webnovel

Keluar Dari Rumah Sakit

Aku berjalan perlahan kembali ke tempat tidur lalu duduk di atasnya. Disusul oleh Anto yang berjalan ke tempat tidur di sampingku sambil menatap Pak Arya dengan bibir mengerucut.

Kemudian Anto melepas serta menaruh tas ranselnya di meja, lalu dia bertanya padaku, "tadi lu kenapa sih Di di depan lift?"

Kupalingkan wajah ke lantai lalu melirik ke muka Anto, kemudian aku membalasnya, "ha? kenapa gimana?"

"Yah.... tadi lu bengong gitu, gua panggil panggil gak nyahut malah tiba-tiba bilang terima kasih, aneh lu!" ejek Anto sambil merobohkan badannya duduk di tempat tidur di sampingku.

"Ohh itu.... se.... sebenernya gini To!" ungkapku terbata-bata penuh keraguan.

Kedua mata Anto langsung melotot menyorot tajam ke arahku.

"Jadi gini.... tadi pagi sekitaran jam 4 gua kebelet kencing, nah gua keluar kamar tuh pengen ke toilet!" paparku

"Hmmm.... "lenguh Anto sambil menganggukkan kepalanya.

"Nah! sebelum gua keluar si Pak Arya bilang gini, kalau ada yang tiba-tiba manggil kamu dari belakang jangan nengok! entar nabrak tembok!" sambungku sambil mengayunkan telunjukku ke belakang.

Anto langsung menyipitkan mata dan mencondongkan kepalanya ke kiri depan sambil berkata, "ohh.... terus! terus!"

"Terus gua jalan tuh keluar kamar, pas sampai di lorong sebelah lift situ, tiba-tiba ada yang manggil gua, Hardi.... Hardi.... Hardi.... gitu To!" jelasku.

"Hah?" celetuk Anto sambil mengerutkan jidatnya.

"Terus gua panikkan tuh! langsung lari gua sekenceng-kencengnya entah kemana sampe lutut gua lemes, pas gua lagi capek ngos-ngosan, tau-tau perawat yang ngelepas perban gua dari belakang nepuk pundak gua dari belakang." Dengan suara serta menggebu-gebu penuh semangat kuteruskan menceritakan bagaimana aku ditolong oleh perawat itu kepada Anto. Begitu juga Anto yang terlihat semakin tertarik dengan ceritaku dengan kedua matanya yang semakin bulat dan keringat yang mulai mengalir di kedua pipinya.

"Nah habis itu gak tau kenapa dia malah nganterin gua balik ke kamar ini sambil gandeng tangan gua, dia ternyata tinggi banget To pas berdiri, mana jalannya cepet juga! capek gua ngikutinnya!" ujarku.

"Pas sampe di depan pintu situ gua bilang terima kasih ke dia sambil bungkuk gitu, tapi tau-tau malah lu yang nongol!" ungkapku sambil menunjuk pintu keluar di ruangan itu.

Saat kuselesai bercerita, Anto nampak gelisah ketakutan dengan mata melotot tajam, jidat mengkerut, keringat mengucur keras membasahi wajahnya, serta tangannya yang tak bisa diam menggesek-gesek seprai kasur yang dia duduki.

Akupun sedikit merasa aneh dengan tingkah Anto saat itu, sampai saat ini aku masih bertanya-tanya 'apa ceritanya seseram itu kah?' 'perasaan biasa aja deh, kenapa dia gelisah banget gitu?'.

"Ohh, ternyata gitu toh!" kata Anto dengan matanya yang tak henti-hentinya melirak-lirik ke kanan dan kiri.

"Yahh.... gitu!" balasku sambil mengikuti gerakan matanya.

Selama beberapa saat kemudian suasana menjadi hening tanpa suara hanya kedua pasang mata kami yang saling menatap. Sampai akhirnya aku menghapus keheningan itu dengan bertanya padanya, "ngomong-ngomong lu ngapain kesini To?"

"Ohhh.... ini gua bawa catetan pelajaran yang gua janjiin kemaren!" ungkap Anto sambil menunjuk tas ranselnya di atas meja.

"Yaelah To, orang sakit bukannya dibawain buah malah dikasih catetan!" keluhku.

"Hahahaha.... pantes ulangan lu jelek mulu, Di.... Di.... !" ejek Anto dengan gelak tawanya yang membuatku sedikit kesal.

Dengan sedikit, aku ikut nyengir serta menertawakan kebodohanku bersamanya, lalu membalas ejekannya, "hahahaha.... kaya nilai lu bagus aja! ranking lu kan dibawah gua!"

"Rangking is just a number! kita bukan hewan ternak yang kualitasnya hanya ditentukan oleh angka!" bantah Anto dengan wajah sombong serta tangan kanannya yang mengibas udara, seakan tak peduli bahwa dia terancam tidak lulus.

Yah, total sudah sebelas kali aku mendengar kalimat itu keluar dari mulut Anto, sampai bosan mendengarnya. Sebuah kalimat dari seseorang yang berusaha menyangkal kalau dia itu bodoh di pelajaran.

Di tengah-tengah canda tawa kami berdua eh.... bertiga, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu.

Tokk.... tokk.... tokk....

Lalu perlahan pintu itu terbuka dan muncullah ibu menenteng sebuah kantung plastik disertai oleh seorang pria yang berpakaian seperti seorang dokter dengan jas putihnya. Ibu perlahan mendekatiku.

"Ayo Di kita pulang!" ajak ibu.

"Pulang? bukannya kata mbak perawat kemaren harus diperiksa sama dokter dulu Mak?" cecarku sambil melirik pria berjas putih itu

"Oh, untuk itu sebenarnya saya sudah memeriksa mas Hardi dua hari lalu, dan menurut hasil foto rontgen kepalanya Mas Hardi, memang ada sedikit retakan di tengkorak bagian kiri, tapi tidak perlu dilakukan tindakan serius, karena nanti akan sembuh dengan sendirinya!" ungkap pria berjas putih itu.

Aku yang seorang murid sekolah menengah atas hanya bisa mengangguk setengah paham mendengar penjelasan dokter itu. Walaupun sebenarnya masih ada hal yang mengganjal di pikiranku, entah apa itu.

Akupun segera turun dari tempat tidur itu serta merapihkan kaos yang menempel di badanku sambil mendengarkan pria berjas putih itu kembali bicara, "tapi sebisa mungkin hindari benturan di kepala terutama di kepala bagian kiri, agar tidak semakin parah retakannya!

"Baik Dok!" balasku.

"Yah.... percuma dong capek-capek gua bawain lu catetan!" keluh Anto.

"Mampus!" sorakku

Dengan dibuntuti oleh ibu serta Anto, akhirnya aku keluar dari kamar yang sudah menampungku selama tiga hari, dan dengan menaiki lift, kami turun ke lantai dasar.

Saat di lantai dasar sebelum keluar dari rumah sakit, aku sempat melihat perawat yang membantu melepaskan perban sedang sibuk melayani orang-orang di meja resepsionis. Tak duga-duga tiba-tiba saja dia celingak-celinguk seperti tersadar sedang diperhatikan, lalu dia melirik ke arahku.

Dengan sedikit malu-malu kucing, kubuka kelima jari tangan kanan lalu melambai-lambaikan telapaknya menghadap ke perawat itu. Yang dia balas dengan senyuman manis serta anggukan kepala. Senang sekali mendapat balasan darinya, walaupun sebelum tersenyum, dia sedikit mengerutkan jidatnya. Setelah puas melihat senyumnya, aku lanjut berjalan melewati pintu keluar rumah sakit itu menyusul Ibu serta Anto yang sudah menduhuluiku.

Saat berjalan melewati pintu itu, perlahan terlihat sinar dari sang matahari di langit nan cerah yang sangat menyilaukan mata, serta di depan teras ibu nampak sedang berbicara dengan Anto sambil menggenggam handphonenya.

"Gak! saya aja yang bonceng sama kamu! Hardi naik ojeg!" bentak Ibu.

Melihat Ibu yang tiba-tiba membentak Anto seperti itu, membuatku sedikit khawatir, penasaran, serta bingung dengan apa yang sebenarnya 2 orang yang kusayangi ini bicarakan.

"Kenapa Mak? kok marah-marah gitu?" tanyaku.

"Ha? oh.... gak apa-apa kok Di!" jawab Ibu.

"Kamu pulangnya naik ojeg online aja ya Di!" sambung Ibu sambil jari jemarinya mengetik di layar handphone.

Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan perintahnya sambil melirik Anto yang menunduk serta menghela nafas. Beberapa menit kemudian, seorang pria bermotor mengenakan jaket seragam ojeg online mendekati kami bertiga.

"Ibu Ratih?" tanya pria berjaket itu.

"Iya bener Pak, tolong anterin anak saya ini yah!" balas Ibu sambil menunjukku dengan handphone yang digenggamnya.

"Siap Bu!" jawab tegas pria berjaket itu.

Akhirnya aku pergi dari rumah sakit dengan membonceng pria berjaket ojeg online itu meninggalkan ibu dan Anto yang mulai berjalan ke parkiran motor.

Saat kami melewati gerbang rumah sakit, aku baru tersadar telah melupakan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting, namun tetap saja hal ini sangat mengganjal di hatiku. Aku telah lupa untuk berpamitan dengan Pak botak.

Thanks karena sudah mau mampir di mari!

Berikan saya kritik!

Berikan saya saran!

Berikan saya vote!

Add novel ini ke library anda!

CTRIPcreators' thoughts
Bab berikutnya