webnovel

Bara dan Dila 21+

Bara mencium bibir Dila membabi buta. Dila pun kesal. Ia gigit bibir Bara hingga berdarah.

"Awwwwww….," pekik Bara melepaskan ciumannya.

"Kamu binatang. Tidak boleh memaksa wanita itu melayani nafsumu." Dila meradang.

"Kalo begitu jadilah istri binatang." Bara kesal lalu mengangkat tubuh Dila melemparkan tubuhnya ke sofa. Ia cium Dila membabi buta dari bibir lalu ke tengkuk lalu mencupang leher Dila. Perempuan itu meronta-ronta minta dilepaskan. Dila menggeleng ketika Bara mengecup lehernya dan membuat tanda disana. Semakin memberontak pria itu semakin bernafsu dan cengkramannya semakin kuat. Bara angkat tangan Dila. Bara kalap tak terima penolakan dari istrinya. Ia lepas pakaian Dila satu persatu tanpa mempedulikan perlawanan Dila. Ia pun melepaskan resleting celananya.

"Kamu istriku," ucap Bara menjilat caping Dila.

Bara benar-benar menuntaskan rindunya pada Dila. Ia mengambi haknya sebagai suami. Dila tidak bisa menolak keinginan Bara karena pria itu menguasainya.

Dila terbangun dari tidurnya usai bercinta dengan Bara. Ia pungut pakaiannya di lantai lalu memakainya. Bara terbangun tak lama kemudian.

"Aku pergi," ucap Dila bangkit dari sofa namun tangannya dicekal Bara.

"Siapa yang membolehkan kamu pergi? Aku masih ingin kamu disini."

"Sudahlah Bar. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kamu ingin tidur denganku? Kamu sudah puas? Mendapatkan aku? Kamu jangan mempermainkan aku. Ingat kamu sudah punya istri. Aku sebagai wanita merasa kotor. Kita bercinta disini sementara Rere bersama anak-anak. Aku tidak ingin jadi duri dalam hubungan kalian. Lepaskan aku."

"Aku tidak akan melepaskan kamu."

"Kamu tidak punya alasan untuk mempertahankan aku."

"Alasan aku mempertahankan kamu lebih kuat dari sebelumnya. Aku bertahan demi kamu dan triplets." Bara hampir keceplosan. Lupa jika ia masih bersandiwara lupa ingatan. "Rere dan Dian sudah menceritakan semuanya padaku?" Kata Bara sekenanya. Bara memang pandai bersilat lidah, lebih tepatnya menjadikan Rere dan Dian kambing hitam.

"Dian?" Dila mengernyitkan kening. "Tidak mungkin Dian cerita sama kamu."

"Kenapa tidak mungkin?" Bara memancing Dila untuk bicara.

"Dian tak mungkin cerita soal aku ke kamu. Jika dia melakukannya, pasti sudah dari dulu dia lakukan. Dian tahu keberadaan aku di KL semenjak aku hamil. Jangan berusaha membohongi aku Bar."

Bara naik darah. Ternyata Dian sudah tahu keberadaan Dila dari dulu namun menyembunyikannya. Pria itu mengamuk. Bara memukul tangannya ke dinding.

"Dian," pekiknya amarah. Bara marah besar karena Dian menyembunyikan keberadaan Dila. Andai saja perempuan itu bicara dari dulu mungkin ingatannya cepat pulih. Bara terluka dan kecewa. Orang yang sangat ia percayai tega membohonginya.

"Bar. Hentikan!" Dila memegang tangan Bara. Tangan pria itu mengeluarkan darah. "Kenapa kamu marah?"

"Masih tanya kenapa aku marah padanya? Tentu saja aku marah sama Dian. Sejak dulu aku mencari tahu keberadaan istriku, tapi dia hanya diam. Aku seperti orang bodoh mencarimu. Meski aku hilang ingatan, tapi aku merasakan jika kamu mengandung anakku. Asal kamu tahu Dila. Aku mengalami mual dan muntah. Aku bahkan tidak bisa makan. Baru satu suap makanan itu kembali aku muntahkan. Perasaanku tidak enak. Enek mencium bau makanan. Aku sadar mungkin aku yang ngidam bukan kamu. Bahagia jika aku yang mengalaminya bukan kamu. Kamu pernah tidak pikirkan perasaan aku selama ini? Aku berusaha mengingat memori tentang masa lalu kita. Semudah itukah kamu meninggalkan suamimu? Apa salahku Dila?" Bara memegang kedua lengan Dila, menatap perempuan itu lekat. Bara bisa melihat jika Dila menahan tangisnya. Berusaha tegar padahal ia sendiri rapuh.

"Aku tidak bisa melakukannya." Dila bersikap angkuh. Ia harus tega agar Bara menjauhinya.

Bara gemas. Ia mendekati Dila, menekuk wajah Dila dengan kedua tangannya. Menahan tengkuk wanita itu. Mencium bibirnya dengan gemas. Bara kesal sekaligus dongkol, kenapa Dila masih berpura-pura.

"Hentikan Bar!" Dila memukul dada Bara. Cubitannya menghentikan kegiatan Bara.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Berhenti menyentuhku!" Dila menghardik Bara. "Jangan zinahi aku."

"Zina?" Mata Bara membulat. Sakit hati mendengar ucapan Dila jika ia telah menzinai istrinya sendiri.

"Kita telah berbuat khilaf Bar. Kita bukan suami istri lagi." Napas Dila terengah sembari memegang dada. Sesak rasanya menyampaikan semua ini.

"Apa aku pernah mengucapkan talak padamu?" Dila menggeleng.

"Selagi aku belum menjatuhkan talak padamu maka kita masih berstatus suami istri. Kamu masih istri sahku. Kita tak pernah sepakat untuk berpisah."

"Tidak. Kita bukan suami istri lagi. Kamu sudah menikah dengan Rere."

"Meski kita sudah lama berpisah namun kita masih suami istri jika belum ada ucapan talak dariku. Jika kamu tidak percaya silakan tanya pada ahli agama. Jangan seenaknya mengatakan apa yang kita lakukan tadi perzinahan. Aku suamimu dan sudah kewajiban kamu melayaniku." Bara meradang. Tadi ia marah pada Dian sekarang marah pada Dila.

Dila menggeleng kuat. Tak terima dengan pernyataan Bara.

"Kamu harus mematuhi aku mulai hari ini. Kalian akan tinggal bersamaku."

"Tidak." Tolak Dila mentah-mentah.

"Kamu tidak bisa menolaknya."

"Talak aku," ucap Dila memejamkan mata. Sesungguhnya ia tak sanggup mengatakannya. Entah keberanian darimana ia bisa melakukannya.

"Tidak akan. Sampai kapan pun kamu tetap istriku. Tidak ada alasan untukku melakukannya," ucap Bara hati-hati. Perkara talak

Bara naik darah. Ia menarik Dila dari ruang kerjanya lalu menariknya ke kamar. Bara mengurung Dila dalam kamarnya.

"Lepaskan aku Bar." Dila mengetuk pintu kamar yang telah dikunci Bara dari luar. "Aku mau pulang."

"Ini rumahmu," balas Bara mengunci pintu otomatis. Dila tak akan bisa keluar.

Bara datang menghampiri Rere yang tengah bermain bersama anak-anak. Ketiganya langsung lengket dengan Rere. Perempuan itu memang pintar mengambil hati anak kecil. Ketiganya tidur di sofa bersama Rere. Bara lega melihat senyum ketiga anaknya. Pria itu mengangkat tubuh anaknya satu persatu dan membaringkan di kamar yang telah ia persiapkan.

"Ada apa bang?" Rere melihat kemarahan di mata sang kakak.

"Dila minta talak."

Bab berikutnya