webnovel

Makanan Pinggir Jalanan

Melihat ekspresi menyesal Lana saat ini, Erza merasa puas, "Kalau begitu aku akan pergi dulu, dan ingat untuk tidur sebelum jam sepuluh."

Ketika Erza keluar dari ruangan, Lana tidak tahu mengapa, tapi dia merasakan kehilangan. Dia bertanya pada dirinya sendiri apakah dia menyukainya. Jika tidak, mengapa dia tidak setuju untuk menceraikannya?

Setelah Erza kembali ke kamar, dia mulai tertidur. Sekarang dia masih dalam kondisi yang kurang sehat. Dia terlihat baik-baik saja, tapi sangat jelas bahwa tubuhnya sangat lemah dan perlu untuk istirahat.

"Erza, kamu sudah bangun? Selamat pagi." Keesokan paginya, saat Erza turun, Bu Siska tersenyum.

"Ya, bu. Lana belum bangun?" Erza merasa bahwa setiap Lana bangun lebih dulu, dia langsung berangkat kerja. Hal ini membuat Erza sedikit malu.

"Nona sudah lama pergi. Dia belum sarapan tadi. Dia bilang dia buru-buru karena ada rapat." Wajah Bu Siska tampak tak berdaya dan khawatir. Bisa dibilang Bu Siska merawat Lana dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Dalam hatinya, Bu Siska menganggap Lana sebagai putrinya sendiri. Saat dia melihat Lana tidak sarapan pagi, Bu Siska merasa cemas.

"Bu Siska, jangan khawatir, aku akan mengantarkan sarapan ke Lana nanti." Erza tersenyum sedikit.

"Kak Erza." Pada saat ini, Wina tiba-tiba keluar dari kamar dan datang ke sisi Erza.

"Ada apa? Apa kamu sudah lebih baik hari ini?" Ketika Erza melihat Wina, dia merasa bahwa Wina sedang dalam kondisi yang lebih baik.

"Tidak apa-apa, kak. Kak, ada yang ingin aku katakan pada kakak." Wina menundukkan kepalanya dan berhenti berbicara.

"Ada apa? Beritahu aku," ucap Erza dengan lembut.

"Aku ingin pergi ke sekolah." Mata Wina tampak penuh harap. Erza tercengang sejenak Melihat Wina di depannya. Setelah Wina mengatakan tentang hal itu, Erza menyadari bahwa Wina bersekolah dengan cukup baik dulu, tetapi seiring bertambahnya usia Wina dan sakitnya yang bertambah parah, Wika akhirnya memilih untuk membiarkan saudara perempuannya itu putus sekolah.

Erza bisa memahami Wika, apalagi kondisi keuangan Wika. Jika dia membiarkan adiknya pergi ke sekolah, itu pasti agak sulit, terutama karena penyakit Wina yang bisa kambuh kapan saja di sekolah.

"Wina, jangan khawatir. Aku akan melakukannya untukmu." Erza dengan cepat menyetujui Wina, dan dalam hati Erza, dia masih mendukung Wina untuk pergi ke sekolah.

"Tapi Kak Wika mungkin tidak setuju." Wina ragu-ragu lagi.

"Aku akan pergi dan memberitahunya. Dia pasti akan setuju. Ya sudah, aku akan pergi bekerja dulu." Erza menyentuh kepala Wina. Sebenarnya untuk membiarkan Wina pergi ke sekolah, Erza tidak perlu meminta pendapat Wika. Dia hanya perlu mengatur agar Wina bisa pergi ke sekolah. Pasti agak merepotkan karena Wina sudah putus sekolah selama dua tahun. Jika dia ingin pergi ke sekolah lagi, dia perlu orang dalam yang bisa membantunya.

Di zaman ini, itu tidak masalah. Jika kita punya uang, semua akan lebih mudah. Namun, meskipun Erza tahu Lana bisa mengurusnya dengan sangat mudah, tapi dia tetap tidak ingin mengganggu istrinya itu. Pada saat ini, Erza merasa sedikit ragu-ragu di dalam hatinya.

Setelah masuk ke dalam mobil, Erza menghela napas. Dia sudah menyusun rencana. Setelah lukanya sembuh, dia akan mencari tahu tentang orangtuanya, dan kemudian mencari tahu tentang siapa penculik orangtuanya. Kemudian, dia akan kembali ke Kota Semarang dan menjalani kehidupan normal.

Ketika sudah dekat dengan kantor, Erza mampir ke toko terdekat dan membeli dua cangkir susu kedelai dan donat. Setelah memarkir mobil, Erza memasuki kantor.

"Alina, pagi." Tapi itu kebetulan, Erza baru saja memasuki lift dan melihat Alina masuk. Meskipun Erza menyapa Alina, namun Alina tidak memperhatikan Erza. Karena masalah semalam, Alina tidak bisa tidur nyenyak, dan sekarang dia memiliki dua lingkaran hitam di matanya. Sekarang ketika dia melihat Erza, Alina bahkan lebih marah.

"Alina, sesuatu terjadi tiba-tiba tadi malam, jangan marah ya?" Melihat Alina mengabaikannya, Erza juga merasa bersalah.

"Urusan apa? Kamu tampak baik-baik saja sekarang?" Alina mendengus dingin.

"Alina, apakah kamu tidak memahamiku?" Erza merapat ke Alina.

"Apa yang kamu lakukan? Menjauhlah dariku." Melihat Erza begitu dekat dengannya, Alina panik.

"Bukankah kita pacaran?" Melihat Alina tidak bisa dibujuk, Erza akhirnya memutuskan untuk melakukannya sekarang.

"Siapa yang pacaran dengan-" Sebelum Alina selesai berbicara, Erza baru saja menutup mulut Alina dengan mulutnya. Pada akhirnya, Alina tidak bisa melawannya.

"Oke, jangan lakukan itu lagi lain kali." Melihat lift akan segera tiba di lantai tempat kerja mereka, Alina dengan cepat mendorong Erza menjauh. Nada bicaranya menjadi sangat lembut.

"Jangan khawatir, Alina. Tidak akan lagi." Erza juga diam-diam menghela napas lega. Dia masih merasa bahagia di dalam hatinya setelah mencium Alina.

"Cepatlah bekerja." Alina berlalu. Dia sudah memaafkan Erza di dalam hatinya.

"Aku akan naik dan makan sesuatu dulu, lalu kembali. Aku tidak bisa makan enak di kantor. Ngomong-ngomong, Alina, kamu sudah sarapan?" Setelah pintu lift terbuka, Erza menunjuk ke susu kedelai. Tentu saja Erza akan mengantarkan sarapan untuk Lana.

"Aku sudah makan, pergilah sekarang," jawab Alina. Lalu, Erza naik lift dan langsung pergi ke lantai atas menuju ruangan Lana.

"Kenapa kamu ada di sini?" Setelah tiba di ruangan Lana, Erza dihentikan oleh Sinta lagi.

"Sinta, kenapa kamu begitu galak?" tanya Erza dengan kesal.

"Maaf, Bu Lana sedang menemui klien, jadi kamu tidak bisa masuk." Dalam hati Sinta, dia benar-benar merasa Erza adalah karyawan yang lancang.

"Aku di sini untuk mengantarkan sarapan kepada Bu Lana." Erza terlalu malas untuk menjelaskan kepada Sinta. Setelah berbicara, dia langsung memasuki kantor Lana, sedangkan Sinta tentu saja dia tidak bisa menghentikan orang ini.

"Lana, aku benar-benar tidak bisa menahannya." Sanca ternyata ada di ruangan Lana. Ketika Sanca melihat Erza masuk, dia benar-benar ingin membunuh pria itu.

"Erza?" Lana yang sedikit kesal karena Sanca, langsung tersenyum ketika melihat Erza.

"Sanca, kamu juga ada di sini? Apa kamu mau mengajak Bu Lana makan menu premium lagi?" Erza juga sedikit kaget, tak disangka Sanca ada di sini.

Ketika Sanca mendengar ini, wajahnya terus berkedut karena menahan kesal. Ketika Lana mendengar ini, dia tidak bisa menahan tawa, "Erza, mengapa kamu di sini?" Sanca akan marah, tetapi melihat Lana di seberangnya, dia secara paksa menahan amarah di hatinya. Singkatnya, dia tidak bisa meninggalkan kesan buruk pada Lana.

"Aku di sini untuk mengantarkan makanan kepada Bu Lana." Erza meletakkan donat dan susu kedelai di atas meja Lana. Lana mengerutkan kening. Tapi Sanca sangat bahagia di hatinya. Dia merasa Lana pasti akan marah. Sanca tidak menyangka Erza akan memberikan makanan murahan seperti itu untuk dimakan Lana.

"Apakah ini enak?" Lana sedikit ragu-ragu. Dia tidak pernah makan donat dari pinggir jalan sejak dia masih kecil.

"Lana, kupikir lebih baik kamu tidak memakannya. Ini semua makanan jalanan. Tidak higienis. Nanti perutmu sakit." Sanca berkata dengan ekspresi merendahkan.

"Hari ini panas sekali. Anda harus minum lebih banyak susu kedelai. Ini baik untuk kesehatan." Tidak peduli dengan perkataan Sanca, Erza memberikan susu kedelai langsung ke Lana dengan nada lembut. Saat ini, Lana tidak bisa menolak. Ketika Erza memberikan donat ke mulutnya, Lana membuka mulutnya dan menggigitnya.

Setelah memakannya, Lana tiba-tiba berpikir bahwa rasanya enak. Dia meneguk susu kedelai lagi. Rasanya menyegarkan hingga membuat suasana hati Lana meningkat pesat. Erza juga mengangguk puas. Dia mengambilkan Lana donat lagi, dan duduk di hadapan Lana untuk ikut makan.

Bab berikutnya