webnovel

2. First Day

Awal hari yang tetap seperti senja. Padahal biasanya jika jam sudah menunjukkan jam 8 pagi seperti ini, mentari sudah gencar-gencarnya menebar pesona lewat cahayanya. Namun pagi ini nampaknya tidak seperti hari lalu. Lebih mendung dan abu-abu.

Aku mengerjap pelan, kelopakku baru saja terbuka, ini pun masih sangat sulit kubuka. Seperti aku menyimpan magnet dikedua kelopakku. Aku beringsut hendak bangkit dari ranjang empukku ini, namun tubuhku masih menolak. Ingin sekali rasanya tidur kembali meringkuk dibawah selimut tebal sampai puas. Lagi pula cuacanya mendukung luar biasa untuk terus bermalas-malasan sepanjang hari.

Aku masih senantiasa berbaring, sambil sesekali mendorong kedua lenganku ke udara, melenguh malas karena aku sungguhan sedang malas. Aku benar-benar lelah setelah bangun tidur. Entah karena apa akupun tak terlalu paham. Mungkin karena aku tidur terlalu larut atau bahkan hampir dikatakan aku tidak tidur semalaman.

Tebaklah jika sangat penasaran. Apa yang membuatku tidak bisa memejam mata barang sedikitpun sampai tengah malam. Padahal sebelumnya aku adalah tipe gadis yang tidak bisa tidur larut malam. Maksimal adalah jam 11, itu sudah paling larut sepanjang sejarah kehidupanku. Dan malam tadi, bahkan sampai jarum panjang helokitty hitamku itu menunjuk ke angka 2, aku masih tetap terjaga dengan sangat bugar, seperti mataku adalah mata ikan yang tak kenal kata tidur.

Kemarilah, bisa lihat mata pandaku? Ini... Lingkaran hitam yang seperti vampir disekeliling mataku ini. Baiklah, sekarang tidak papa lah nenekku mungkin akan memanggilku vampir atau jika keberuntungan berpihak padaku, aku hanya akan kena marah karena tidak menjaga pola tidur yang sehat. Nenek benci pelanggaran dan aku sangat tahu itu.

"Nona. Nenek sudah menunggu anda dibawah."

Terdengar dari luar suara lantang yang biasa kudengar setiap pagi. Disusul ketukan pintu sebanyak tiga kali yang membuatku terkesiap. Suara bibi Yoo yang sudah sangat familiar ditelingaku. Aku telah mendengar suara itu semenjak aku tinggal dirumah nenek,oh... maksudku mansion besar milik nenekku ini. Ah entahlah apapun namanya itu, aku sampai bingung hendak menjabarkan seperti apa lagi gambaran betapa luas dan megahnya mansion nenekku yang sudan lebih mirip istana daripada sebuah mansion.

Ngomong-ngomong tentang istana, apakah aku sudah seperti Rapunsel sekarang? Ah pasti bukan ya. Rapunsel kan dikurung karena pernyihir jahat yang mengakukan dirinya sebagai ibunya. Sedangkan disini, aku yang mengurung diriku sendiri. Yak! Ah iya... Ketakukanku yang memenjarakanku layaknya tahanan.

Harusnya aku tidak menyalahkan ketakutan ya, kan dia tidak melakukan apapun, harusnya aku bisa melawan trauma ku. Harusnya aku bisa kembali seperti dulu. Ceria dan penuh senyum. Penebar aura positif dan gadis manis yang pintar bermain vokal dengan menyulap note balok yang teracak menjadi nada yang indah.

Itulah yang selalu nenekku katakan. Menasihatiku dua kali sehari tanpa lelah selama 6 tahun tanpa henti. Baiklah, aku akui jika nenekku adalah manusia terhebat dan paling sabar seantero bumi. Wanita yang selalu membuat aku memiliki alasan untuk hidup, meskipun nyatanya jiwaku sudah mati berbaring bersama ibu dan ayahku 6 tahun yang lalu.

Sebentar. Masih tentang Rapunsel yang terkurung itu. Ah... Bukankah akhirnya sang putri bertemu dengan seorang pangeran yang tidak sengaja menyambangi menara miliknya? Mengetuk mencoba menghancurkan ketakutan sang putri pada orang asing kemudian sang putri akhirnya bisa menerima kehadiran sang pangeran itu dalam kehidupannya? Dan kalo aku tidak salah mengingat, akhirnya putri itu bisa melihat dunia luar yang sangat indah. Dan ya! Aku ingat. Sang putri sangat menyukai lentera. Dan akhirnya pangeran membawanya menuju danau dan menyaksikan ribuan lentera beterbangan dilangit malam dengan begitu indah.

'Dia bukan pangeran! Kim Yerin!'

Ha?! Oh iya, aku hampir lupa. Yang menemui tuan putri Rapunsel itu bukanlah seorang pangeran. Pria itu orang biasa. Dan bukan pula dari kalangan kerajaan. Benar kan? Iya. Aku tidak mungkin salah mengingat!

"Nona?"

Suara itu lagi. Ah yaya bibi Yoo ternyata masih didepan pintu kamarku. "Aku akan dibawah dalam 10 menit bi." Sahutku lantang. Rupanya aku telah membuat bibi Yoo menunggu hingga dua menit, ah maafkan aku bi...

Kembali ke pangeran ya. Pangeran lagi. Kenapa aku jadi membahas kisah disney sekarang? Oh oh baiklah. Pangeran kan?

'Choi Jungkook'

Seketika aku teringat nama itu. Aih?! Kenapa aku tiba-tiba teringat nama itu. Pangeran dan Choi Jungkook? Aissh! Apa hubungannya?!

Tapi ya sudahlah tidak apa-apa, lagi pula jika ingin tahu, nama itulah yang sedari sore kemarin sampai jam 2 dini hari tadi malam yang membuatku tak terpejam sama sekali. Membuatku begadang tanpa tujuan yang jelas.

Jungkook. Choi. Jungkook. Choi? Jungkook?

Dia pria kan? Nenek sama sekali tidak memberitahuku informasi apapun lagi selain namanya yang selalu mengeliling diruang isi kepalaku. Entah rupanya atau asal usulnya. Tidak ada. Nenek hanya memberitahuku, bahwa pria bernama Choi Jungkook itu yang akan menjadi temanku.

Bolehkan sekarang aku berandai-andai memiliki kisah seperti Rapunsel yang bertemu seorang pangeran kemudian hidup bahagia, happily ever after begitu? Boleh ya?

Atau mungkin jangan?

Ingat Yerin, tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini. Pun sebenarnya jika aku ingin mengingat kembali kisah asli dari putri Rapunsel itu sangat berbeda dengan kisah yang tayang dibawah naungan Disney. Pangeran itu--oh maksudku pria yang masuk kedalam menara sang putri adalah orang yang berasal dari komplotan perompak. Kemudian menyetubuhi sang putri dan meninggalkannya begitu saja. Eh? Apa memang benar seperti itu? Baiklah ingatkan aku untuk browsing lagi ya... Aku sangat penasaran. Sungguh.

Suara gemuruh di di perutku tiba-tiba saja mengacaukan kisah disneyku. Memaksaku berhenti dulu membicarakan Rapunsel dan turun kebawah untuk segera sarapan.

"Aku sedang diet padahal." gumamku malas.

Malas sekali. Aku sedang diet tapi nenek selalu menyuruhku makan banyak saat sarapan. Membuatku malah seperti tahanan yang dipaksa makan hingga kenyang sampai malam.

Dan kemungkinan pagi ini akan sama. 2 slices roti gandum dengan selai coklat yang penuh. Ditambah lagi segelas susu kalsium. Huft! Padahal aku tak mungkin bertambah tinggi lagi di umurku yang sudah hampir 20 tahun ini. Tetap 162 senti meter. Dan ya, kuharap aku tidak menyusut tahun depan.

Aku beranjak dari kasur nyamanku, meninggalkannya ke kamar mandi untuk mandi saja sepertinya dia benar-benar tak rela membiarkanku pergi. Seperti sedang memanggil-manggilku untuk kembali bermalas-malasan. Inginnya begitu, tapi pasti 5 menit lagi ada bibi Yoo yang akan mengetuk lagi pintuku sembari menyampaikan pesan nenek untuk menyuruhku segera turun.

Aku turun ke bawah, melewati beberapa anak tangga yang tidak bisa kukatakan jumlahnya sedikit. Ini mungkin akan bisa membakar 300 kalori ketika naik turun sebanyak 7 kali. Aku hanya butuh cepat sampai di ruang makan, tapi pada kenyataannya ruang makannya berada jauh dibelakang, aku perlu 2 menit untuk berjalan kesana. Ya, itulah juga alasanku lebih suka meminta bibi Yoo untuk mengantar makan malamku ke kamarku. Bukan karena aku malas, tapi karena ya seperti aku berolahraga cardio hanya untuk menyambar sepiring nasi atau salad.

Hari ini aku sengaja memakai hoddie sebagai atasan, dan hot pants denim seatas lutut sebagai bawahan. Dingin. Cuacanya sangat tidak baik untuk pagi ini, beraktivitas. Pun sebenarnya aku tak memiliki kesibukan apapun. Aku sadar aku sudah terlalu lama menenggelamkan diri didasar lembah kesunyian, tapi memang aku tak memiliki gairah tentang apapun semenjak hari itu.

Terlihat diluar sana, awannya tampak hitam dan siap memuntahkan airnya kapan saja. Mungkin sebentar lagi juga akan turun hujan. Pikirku aku akan kembali ke bawah selimut dan bermalas-malasan lagi seharian setelah sarapan. Sengaja aku memakai celana pendek karena alasannya aku akan berada dibawah selimut lagi nanti. Dan untuk atasan aku sengaja memakai Hoddie, kan setidaknya aku akan hangat tanpa membuat tubuhku seperti sushi dengan selimut tebal di siang hari.

Ratusan langkah telah aku lalui sepanjang dari pintu kamarku menuju ke ruang makanku. Nenek ada dikursi utama seperti biasa. Dan bibi Yoo akan menyiapkan semua masakannya. Namun ada satu hal lagi yang seperti asing dimataku.

Tamu? Pagi hari? Dan ya. Seorang pria?

Aku masih berjalan tanpa berniat menghentikan langkahku. Namun pijakanku melambat, aku masih mencoba menerka siapa dibalik punggung dengan setelan jaket bomber hijau army dan celana jeans ketat berwarna hitam, serta tatanan rambut yang kelewat rapi namun seperti yang terlihat, pria itu tampan dari belakang.

Dari belakang. Entahlah dari depan seperti apa rupanya, aku belum tahu. Apa akan seperti pangeran Hans? Atau malah seperti Abraham Lincoln?

Baiklah mari kita tebak-tebakkan saja.

"Yerin-ah." Nenek memanggilku.

"Kemarilah. Aku memiliki sesuatu untukmu." sambungnya lagi.

Aku pun mempercepat langkahku. Memasang wajah tak bersahabat adalah keahlianku. Tapi untuk nenekku, aku memasang air muka semanis mungkin. Berbeda saat aku melirik 'tamu' nenek yang tertangkap basah sedang memperhatikanku.

Aku bukanlah tipe orang yang akan dengan mudah membiarkan orang asing menerobos kehidupanku, terlebih setelah traumaku dan ini semakin menyulitkanku untuk mempercayai orang-orang yang berniat berteman denganku.

Tentu ini bukanlah kali pertama nenek mengundang seseorang untuk sarapan bersama. Sebelumnya sudah ada hampir 15 orang sepanjang 6 tahun. Nenek selalu berusaha membuatku kembali seperti dulu, melupakan semua trauma dan ketakutan terhadap dunia luar yang katanya tidak sebaik kamarnya yang sepetak. Dan kemungkinan pria dikursi sebelah nenek ini adalah orang ke 16.

Aku menghampiri nenekku, berhambur memeluk sejenak dan membiarkan nenek menciumi bagian wajahku. Terutama pipi dan dahiku. Ini sudah menjadi rutinitas, seperti nenek akan merasa ada yang kurang dalam sehari jika belum menciumku.

"Duduklah sayang." Suara nenek memang selembut sutra. Menenangkan dan membuatku seperti sangat disayangi. Dan akhirnya aku pun duduk, dikursi sisi sebelah nenek yang membuatku langsung duduk berhadapan dengan seorang laki-laki yang kurasa dia lebih muda dariku. Tapi cukup tampan.

Jawabannya dia tampan dari depan dan belakang. Sudah, jangan tebak-tebakkan lagi. Dia tampan!

"Choi Jungkook." Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Aneh sekali. Aku bahkan sampai menoleh kearah nenek yang malah tersenyum lebar sekali kemudian mengangguk lemah. Anggukan yang mengisyaratkan aku harus menyambut uluran tangan laki-laki itu dan menyebutkan namaku.

"Kim Yerin." ucapku setelah tangan kami menyatu. Mengucapkan nama utuhku yang mungkin saja ia sudah tahu tanpa aku mengenalkan diri seperti ini.

Dengan cepat aku menarik lenganku. Dia terlihat kaget, tapi tentu tidak masalah untukku. Aku pun langsung mengalihkan pandangan, menorehkan seluruh atensiku pada dua lembar roti yang sudah siap dipiringku. Makananku lebih menarik daripada bocah didepanku ini.

"Apa aku boleh memanggilmu 'Noona'" Katanya. Itu adalah kalimat pertama setelah ia menyebutkan namanya dengan marga Choi yang sepertinya aku tak asing dengan marga itu.

Mendengar itu, aku hanya mengangguk tanpa berniat mengangkat dagu. Aku masih sibuk dengan rotiku. Biarlah, dia tampak tidak berbeda sama sekali. Dia masih sama seperti yang lainnya. Hanya saja satu fakta yang membedakan, yaitu; dia lebih muda dariku.

"Noona, sepertinya bukan panggilan yang buruk." gumamku dalam hati. Ini kali pertama aku dipanggil seperti itu. Noona. Panggilan yang tidak jelek kan? Iya kan aku adalah anak tunggal dan sama sekali tidak memiliki adik laki-laki. Juga sebanyak 15 pria sebelum dirinya pun semuanya lebih tua dariku. Dan dia adalah orang pertama yang memanggilku begitu.

"Kita berteman ya?" Dia bertanya lagi. Aish! Kenapa bocah itu banyak omong sekali!

Aku tidak mengangguk ataupun menyahut. Aku hanya mengangkat dagu dan menatapnya tajam yang berhasil membuat dia menoleh kearah nenek. Oh sekarang apakah dia sedang mencari perlindungan?

Yak! Bagaimana dia akan melindungiku jika dia saja menghindar hanya karena tatapanku dan meminta perlindungan pada nenek? Oh lucu sekali.

Aku menghela nafasku. Panjang dan berat. Sungguh pagiku sangat mengesalkan. Akhirnya aku mengangguk setelah nenek menyentuh lenganku dan mengusapnya sedikit. Aku tahu nenek sudah lelah mencarikanku 'teman'. Jadi mungkin aku akan mencobanya kali ini.

"Iya."

[]

Bab berikutnya