webnovel

» Dimas Cahyadi.

Aku terbangun ketika kami semua tersenyum mendengar kalimat Rindang yang penuh energi positif. Wanita itu memang sungguh luar biasa. Tidak hanya cantik dan mandiri, tapi juga cerdas dan tangguh. Semua hal yang kulihat dari kepribadiannya adalah hal-hal yang luar biasa.

Mimpi ketika ikut merayakan hari kelahiran Rindang tiga bulan lalu seharusnya merupakan sesuatu yang membahagiakan. Anehnya perasaanku menjadi tidak enak. Apalagi ini sudah terlalu larut dan Rindang belum juga pulang.

Aku kembali melirik jam di pergelangan tanganku untuk memastikan waktunya tidak salah, aku bahkan mencocokkannya dengan jam dinding dalam ruangan. 01.25. Rindang terlalu terlambat untuk pulang.

Tanganku meraih ponsel yang kugeletakkan di atas meja. Sesuai rencana yang kuatur bersama Alexi, kami membeli bahan makanan yang kemudian kumasak sendiri. Semuanya adalah makanan kesukaan Rindang yang diolah rendah kalori.

Menurut Alexi memasak untuk wanita adalah hal yang romantis. Wanita akan merasa diperhatikan, diperlakukan dengan baik, merasa dirawat. Tapi mengemasnya sesuai apa yang para wanita butuhkan, menimbulkan efek yang lebih dominan. Mereka akan merasa dimengerti. Perasaan dimengerti akan membuat seseorang merasa nyaman. Apalagi yang dibutuhkan setelah merasa nyaman.

Dan yang terjadi adalah seluruh usahaku sepanjang sore ini nyaris tak tersentuh sama sekali. Hanya Alexi yang diam-diam mencomot sedikit demi sedikit makanan yang dengan sepenuh hati telah kusajikan. Aku bahkan sudah memanaskannya dua kali.

Meski rendah kalori kalau terlalu sering dipanaskan, makanan jadi tidak baik untuk kesehatan dan lagi rasanya sudah pasti berubah.

Panggilanku tidak terhubung.

Mungkin jaringannya jelek. Kucoba lagi dan hasilnya tetap tidak berubah.

Hening. Saat kusadari, hanya suara jarum jam dinding yang terdengar. Alexi tidur di sofa dengan setengah tubuhnya berada di lantai. Aku sendiri yang tertidur di ambal terbangun karena jari Alexi yang nyaris masuk ke lubang hidungku.

Pandanganku kembali mengarah ke jam dinding di atas televisi. Aku tidak ingin menduga-duga, tapi keresahan tidak kunjung meninggalkanku sendiri.

Aku beranjak menuju dapur dan meneguk segelas air. Mencoba mencari ruang untuk sedikit merasa tenang. Mungkin hari ini bukan waktu yang tepat.

Ketika aku mengemasi barang-barangku untuk bersiap pulang, ponsel Alexi berdering. Berharap panggilan yang masuk berasal dari Rindang, aku mengintip ponselnya. Nomor baru. Tanpa nama. Lebih tepatnya si pemanggilan di seberang sana menggunakan telepon rumah.

"Alexi bangun, ada telepon!" ucapku sembari menepuk-nepuk bahunya. Anak itu tidak bereaksi.

Heran. Nada dering yang begitu nyaring tetap tidak mampu mengusik tidurnya. Sebenarnya telinganya yang bermasalah atau cara tidurnya yang seperti orang mati.

"Alexi! Barangkali itu kakakmu," tambahku lagi. Masih tidak terusik. Aku meraih ponselnya yang masih meraung-maraung melantunkan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris yang tidak jelas pelafalannya.

Alexi mulai menggeliat. Dengan mata yang masih terpejam, ia meraih ponselnya, menggeser tombol angkat, "Halo!" Nadanya malas dan dengan terang-terangan merasa tidak suka karena diganggu. "Iya, iya. Iya?!"

Mendadak nada suara Alexi berubah tinggi, tercekat di leher. Matanya terbuka lebar. Kesadaran telah seutuhnya kembali. Untuk beberapa lama Alexi hanya diam mematung. Mungkin otaknya sedang mencerna semua informasi yang diberikan padanya. Napas Alexi tertahan.

Perasaanku tidak enak. Semakin melihat ekspresi Alexi semakin membuatku tidak tenang. Apa yang membuatnya begitu terkejut, kenapa anak itu tidak mengatakan apa pun. Aku masih menunggu ketika kulihat ponsel Alexi merosot dari tangannya dan jatuh ke ambal.

"Alexi!"

Perasaanku benar-benar tidak keruan. Aku tidak ingin menebak-nebak, tidak ingin berpikiran aneh. Aku masih menunggu tapi anak itu tetap tidak mengatakan apa pun. Ia hanya duduk terdiam, tanpa ekspresi.

"Alexi, kenapa? Terjadi sesuatu?" tanyaku memburu tapi Alexi tetap tidak merespons. Anak itu seperti telah kehilangan dirinya, seperti tidak lagi berpijak di bumi. "Alexi!" Aku meninggikan suaraku, marah.

Alexi memutar kepalanya perlahan, teramat perlahan seolah ada yang tidak beres dengan lehernya. Anak itu menatapku. Ada ketakutan, ada kesedihan, ada ketidakberdayaan. Semakin aku menunggu, semakin aku merasa marah.

"Kak Rindang, Kak Rindang..."

Suara Alexi bergetar. Aku tahu anak itu masih berbicara, aku tahu dia sedang mengatakan sesuatu, tapi telingaku tidak mampu menangkap suaranya. Tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya.

Pada detik ini waktunya berhenti. Begitu pula dengan waktuku.

*****

Dua puluh menit kemudian kami telah berada di Rumah Sakit Umum Daerah. Suara langkah kami memenuhi lorong yang sepi. Tidak ada siapa pun selain aku dan Alexi. Kami mempercepat langkah. Tepat di ruang paling ujung dua orang terlihat menunggu.

Mereka tidak mengatakan apa pun saat melihat kedatangan kami. Hanya mengangguk dan mempersilakan. Seorang petugas mendampingi kami untuk mengidentifikasi benarkah wanita yang berada di balik kain putih itu sama dengan wanita yang kami kenal.

Petugas memberi instruksi untuk menyingkap kain, melihat wajah korban, dan memastikannya.

Alexi maju satu langkah. Aku melihat tangan Alexi bergetar. Tangannya terangkat, kemudian berhenti di udara. Matanya berkaca-kaca. Perlahan, ia mulai meraih. Alexi menyentuh kain penutup, ia mencengkeramnya. Ada keraguan, ada ketakutan dalam matanya. Ada beban yang terlalu berat di pundaknya. Aku bisa melihat dan merasakannya seperti aku yang tengah berdiri di posisi Alexi saat ini.

Ketika akhirnya Alexi menyingkap kain hingga wajah di baliknya terlihat, seketika itu juga atmosfer di sekeliling kami membeku.

Bentuk wajahnya, alisnya, hidungnya, bibirnya, dia benar-benar Rindang. Wanita yang kami kenal. Wanita yang kucintai.

Mendadak tenggorokanku terasa kering, bibirku tiba-tiba kelu. Aku merasa kakiku tidak lagi berpijak di bumi. Aku merasa sekeliling kami begitu hening, seolah hanya aku sendiri yang tinggal.

Gambaran wajah Rindang yang sedang tertawa bahagia, tersenyum manis, memenuhi benakku. Rindang yang sedang berbicara, yang sedang memarahi Alexi, yang sedang mengomeli banyak hal, membanjiri ingatanku.

Airmataku menetes tanpa izin.

Rindang yang energik, penuh semangat, yang cantik, kini berbaring tak berdaya. Matanya terpejam untuk selamanya. Ada memar di wajahnya yang bersih. Ekspresinya tampak kesakitan, tidak tenang.

Aku sungguh ingin menolaknya. Tidak kuasa menerima kenyataan pahit ini.

Bisakah ini hanya mimpi buruk? Bisakah ini hanya kepura-puraan dan setelah orang di balik layar puas dengan ekspresi terkejut dan putus asaku, mereka akan keluar dan tertawa. Mengatakan ini hanya lelucon dan semua baik-baik saja. Bisa tolong bangunkan aku sekarang juga! Kumohon sadarkan aku bahwa ini tidak nyata. Ini bohong.

Ini bohong...

Raungan Alexi mengubah atmosfer yang beku menjadi duka, tangisnya pertanda luka, kesedihan akibat ditinggal yang terkasih untuk selamanya.

Aku menggigit bibirku agar tidak bergetar. Aku menahan diriku untuk tidak terguncang, untuk tidak bersedih, untuk tidak menangis. Tapi diriku yang saat ini bukanlah diriku. Aku tidak sanggup mengendalikannya. Tidak sanggup menahannya untuk tidak berduka, untuk tidak terluka.

Aku ingin memaki, ingin mengumpat, ingin menyerapahi dunia. Kembalikan Rindang! Kembalikan wanita yang kucintai...

_abcde_

Bab berikutnya