webnovel

Kuntawijayadanu

"Raka! Tanggung jawab! Tubuhku jadi kecil begini gara-gara kamu seenaknya membangkitkan keris sialan itu! Ayo tanggung jawab!" Shinta berteriak tepat di samping telinga Raka, membuat pemuda itu harus menghela nafas karena lelah. Entah sudah berapa kali gadis perwujudan Vasavi Shakti itu meneriakinya, karena Raka sudah kehilangan hitungannya semenjak Shinta berteriak untuk yang kesepuluh kalinya.

Pemuda itu lalu menutupi wajah dan telinganya dengan bantal, hari ini dia merasa sangat lelah setelah seharian penuh menjalani aktifitas di sekolah. Belum lagi kepergiannya ke Sapta Pratala yang turut andil dalam menguras staminanya, membuatnya merasa semakin tak tahan untuk mendengarkan seluruh omelan Shinta perihal terkuncinya wujud terkuat dari Vasavi Shakti.

~Flashback~

Setelah Asmitha menyebutkan nama Ranggalawe dan keris Kaladete, sebuah keris langsung saja keluar dari dalam tubuh Raka. Keris itu memiliki 16 uliran pada bagian bilahnya, dengan ukiran membentuk seperti retakan yang berada di bagian gagang. Sebagai pelengkap, kilatan-kilatan petir berwarna kekuningan melapisi hampir seluruh bagian keris itu, menjadikannya tampak lebih indah namun mematikan.

Raka langsung saja berdiri dan berjalan mendekati keris itu, tangannya terulur kedepan seolah ingin menggenggam gagangnya. Akan tetapi, tangan pemuda itu ditahan oleh sebuah tangan yang lebih halus. Raka pun menoleh kesamping, dan menemukan Shinta yang tengah menatap tajam kearah tuannya. Hal itu tentu saja membuat Raka merasakan firasat buruk saat menatap Shinta. Apalagi, Shinta dengan sengaja menaikkan suhu di sekitar mereka, membuat pakaian Raka basah oleh keringat.

"Shinta, kenapa kamu menghentikan tuanmu untuk mengambil keris itu?" Srikandhi bertanya seraya berjalan mendekati Shinta. Akan tetapi, Shinta malah melayangkan tatapan benci pada Srikandhi sambil mengeluarkan lebih banyak hawa panas dari tubuhnya. "Jangan ikut campur, Srikandhi! Kau yang dulunya berada di pihak kelima raja brutal itu tidak akan mengerti kenapa aku melakukan ini!" hardik Shinta pada Srikandhi.

Seluruh orang di ruangan itu terdiam karena bentakan Shinta, bahkan Raka yang tadinya merasa risih pun sekarang beralih menjadi takut. Pemuda itu sama sekali tak menyangka bahwa Shinta akan marah karena ia berusaha mengambil keris itu, bahkan sampai mengeluarkan hawa panas yang belum pernah Raka rasakan sebelumnya. Raka akhinya membuat catatan mental untuk tidak membuat Shinta menjadi semarah ini di kemudian hari.

"A...Anu, Shinta, maukah kamu tenang sedikit? Aku berjanji kalau aku tidak akan menyentuh keris itu sama sekali," bujuk Raka sambil menyentuh tangan Shinta dan berjalan mundur beberapa langkah. Akan tetapi, Shinta hanya terdiam sambil menatap keris yang masih melayang itu dengan tatapan murka, meski tubuhnya menurut saat Raka menariknya untuk mundur menjauhi keris itu.

Tak lama setelahnya, keris itu pun bercahaya terang dan merubah wujudnya menjadi sesosok anak perempuan yang mengenakan kebaya berwarna kuning pucat. Penampilannya sedikit berbeda dengan Shinta, Sembadra, dan Srikandhi yang memakai gelung pada rambut mereka, rambut anak perempuan itu dibiarkan terurai hingga mencapai punggungnya. Sebagai tambahan, di punggung anak itu terdapat beberapa bilah besi tajam yang seakan mencuat dari tulang belikatnya, membuat bilah-bilah besi itu nampak seperti hiasan yang menyerupai ekor burung merak berwarna perak.

"Akhirnya kau menunjukkan diri, Ranggalawe... Ah tidak! Dewi Segara Bayu!" ucap Shinta dengan nada murka. "Kamu masih saja mendendam padaku ya, Mbakyu? Padahal kematian mereka bukanlah kesalahanku," ujar sosok yang dipanggil Dewi Segara Bayu itu. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja dengan kata-katamu?! Kalau bukan karena kau dan saudarimu itu, reinkarnasi Karna sebelum Raka tidak akan terbunuh saat masih belia!" Shinta membentak sosok anak perempuan itu dengan keras.

"Kenapa menyalahkan ku, Mbakyu? Bukankah seharusnya Mbakyu Shinta menyalahkan Mbakyu Segara Agni karena menunjukkan lokasi dari reinkarnasi Karna?" Dewi Segara Bayu berkata seolah ingin memanas-manasi Shinta. "Kurang ajar!" Shinta berusaha melesat maju kearah Segara Bayu, tapi dihalangi oleh Sembadra dan Srikandhi yang megangi tubuhnya dengan kuat.

"Shinta, kumohon tenanglah! Kita tidak akan menyelesaikan masalah kalau kita mengandalkan emosi kita," ucap Sembadra saat Shinta memberontak dari kekangan Sembadra dan Srikandhi. "Lepaskan aku, jalang! Lepaskan aku supaya aku bisa membunuh siluman kurang ajar itu!" jerit Shinta melampiaskan kemarahannya seraya terus memberontak. Raka yang tadinya berdiri disamping Shinta hanya bisa menatap kosong kearah Segara Bayu, seolah mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan dari pembicaraan tadi.

"Shinta, kenapa kamu berkata kalau dia adalah penyebab anak-anak itu ditemukan oleh para prajurit Bathara dan terbunuh?" tanya Raka dengan nada datar, meski matanya hanya memandang kosong kearah Segara Bayu.

"Semua itu... Berawal dari terbunuhnya Karna oleh Arjuna dalam pertempuran 5 hari 5 malam, tepat saat Karna meneriakkan sumpahnya bahwa dia akan membunuh Arjuna di masa lampau. Dia... Keris sialan itu.....!!" Shinta tak bisa melanjutkan kata-katanya, karena di dalam hatinya telah dikuasai oleh amarah dan kesedihan yang membuatnya tak kuasa untuk melanjutkan perkataannya.

~Flashback~

Setelahnya, Raka kehilangan kesadarannya dan hampir meluluhlantakkan Sapta Pratala setelah mendapatkan sebagian memori milik Adipati Karna dan para reinkarnasi Karna sebelum dirinya. Memang tak sampai separuh memori yang kembali ke otaknya, tapi, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Raka mengeluarkan sedikit lagi kekuatannya yang masih terkunci. Pemuda itu akhirnya bisa ditenangkan oleh Sembadra yang memeluk Raka saat tubuh pemuda itu mengeluarkan api yang sangat panas sampai melukai tubuhnya sendiri.

Saat Raka mendapatkan kembali kesadarannya, ia menemukan sebagian besar Sapta Pratala hangus dilalap api. Tubuhnya terbaring dengan posisi telentang dan kepalanya disangga oleh paha Sembadra. Di sekelilingnya hanya tersisa puing-puing bangunan dan beberapa lelehan besi yang sudah membeku. Pun ia menemukan sebuah busur berada dalam pelukannya beserta beberapa anak panah tanpa wadah. Tak lupa, sebuah keris tertancap tepat di sebelah Sembadra yang tubuhnya penuh dengan luka.

Barulah Raka menyadari bahwa ia telah mengamuk sampai membuat Sapta Pratala kacau karenanya. Pemuda itu hanya bisa menyesali segala hal yang telah ia lakukan saat ia mengamuk. Apalagi saat ia menemukan Sembadra pingsan dalam posisi terduduk karena merelakan pahanya digunakan untuk menyangga kepala Raka. Otomatis hal itu membuatnya merasa semakin bersalah dan melarikan diri dengan membawa serta busur, anak panah, dan keris itu bersamanya.

Sekembalinya dari Sapta Pratala, Raka hanya bisa terkejut ketika mendapati busur dan anak-anak panah itu berubah menjadi Shinta yang tubuhnya mengecil menjadi seukuran dengan tubuh Segara Bayu. Selain itu, Shinta tak henti-hentinya mengomel tentang kecerobohan Raka sehingga Shinta kehilangan wujud aslinya untuk sementara. Wujudnya sebagai tombak Vasavi Shakti kini sudah terkunci, meninggalkan wujudnya sebagai busur dan anak panah bernama Busur Bathara Surya dan anak panah Kuntawijayadanu.

Raka sekarang hanya bisa menahan diri untuk tidak mendengarkan ocehan kekesalan Shinta dengan cara menutup telinganya dengan bantal. Diam-diam, pemuda itu menitikkan air matanya karena ia merasa telah mengacaukan semuanya. Raka terus menangis dalam diam, tidak menyadari bahwa Shinta sudah berhenti mengoceh dan menatapnya dengan iba. Raka akhirnya tertidur pulas karena menangis, mencoba melupakan segala permasalahan yang telah terjadi hari itu.

Lama setelah Raka tertidur, pintu kamarnya terbuka oleh seorang perempuan yang berusia sedikit lebih tua dari Raka. "Ka, Raka, makan dulu, nanti makanannya dingin lho," panggil sosok yang tak lain adalah kakak Raka, Rana. Rana berjalan mendekati Raka yang terbaring tengkurap di kasurnya, lalu menyingkap bantal yang menutupi kepala pemuda itu. Namun, yang didapatinya hanyalah sang adik yang sudah tertidur pulas dengan bekas air mata yang mengalir di pipinya.

~Kuntawijaya~

Pagi harinya, Raka merasa tidak bersemangat untuk datang ke sekolah, lalu memutuskan untuk membolos. Berhubung hari ini dia diminta untuk berangkat sendiri dengan membawa sebuah motor, maka Raka pun memilih untuk tidak mengendarai motornya ke sekolah, melainkan menuju ke sebuah daerah hutan yang lumayan sepi di area lereng gunung Merapi. Disana, Raka memarkirkan motornya di dekat sebuah batu besar, lalu memutuskan untuk mengganti pakaiannya dengan sebuah celana panjang jeans dan kaos hitam serta kemeja abu-abu lengan pendek. Seluruh atribut seragam sekolahnya dia masukkan ke dalam tasnya yang dengan santai ia gantungkan di stang sepeda motornya.

Raka mencabut kunci sepeda motornya, lalu mendudukkan diri di tepi batu besar yang berada di depan motornya. Raka menatap kebawah dimana ia bisa menemukan sebuah danau yang lumayan luas tak jauh dari tempatnya duduk sekarang. Ingin rasanya ia berjalan menuju ke danau itu, tapi ia merasa enggan untuk berdiri dari tempatnya duduk sekarang. Raka hanya menghela nafas lelah, apalagi saat ia mendengar sebuah notifikasi datang dari ponselnya.

Saat Raka membuka notifikasi itu, ternyata ia mendapatkan pesan dari Adit yang merupakan ketua di kelasnya. Adit menanyakan dimana keberadaan Raka, dan mengapa ia belum datang ke sekolah, padahal kelas telah dimulai beberapa menit yang lalu. Raka balas mengetikkan pesan bahwa ia sedang sakit, jadi ia tidak bisa masuk sekolah hari ini. Setelah mengirimkan pesan itu, Raka memutuskan untuk menyalakan ponselnya di mode hening sambil membaringkan tubuhnya diatas batu besar itu.

Cahaya mentari pagi menerpa tubuh Raka, sinarnya terasa menghangatkan bagi pemuda itu. Raka kembali menghela nafas, lalu memejamkan matanya, sebelum akhirnya sebuah siluet muncul disamping dirinya. Siluet perempuan itu menghalangi cahaya matahari yang sedang dinikmati kehangatannya oleh Raka, membuat pemuda itu harus membuka kelopak matanya untuk melihat siapa orang yang telah mengganggunya ini.

Tepat disampingnya, Raka bisa melihat Shinta dalam wujud kecilnya tengah duduk bersimpuh. Paras wajahnya masihlah ayu, meski tubuhnya berubah menjadi seperti anak kecil. Sayangnya, keindahan paras cantik Shinta ternoda oleh ekspresi khawatirnya terhadap Raka. Gadis perwujudan pusaka magis itu meletakkan tangannya pada tangan Raka, lantas menatap lekat kearah mata pemuda yang menjadi tuannya sekarang.

"Ada apa denganmu, Raka? Apa ini karena kejadian di Sapta Pratala kemarin?" tanya Shinta pelan. Raka hanya memejamkan matanya, mencoba untuk tidak menatap kearah Shinta. Sebuah siluet lain muncul di seberang Shinta, sesosok anak perempuan yang tampak seusia dengan Shinta sekarang. "Lihat kan? Ini semua salahmu, Segara Bayu!" ucap Shinta menyalahkan sosok yang baru muncul itu.

"Kenapa Mbakyu selalu menyalahkan ku, sih?! Padahal jelas-jelas dia kemarin mengamuk sendiri!" Segara Bayu menyangkal perkataan Shinta. Keduanya lalu saling terlibat cekcok panjang yang membuat Raka merasa jengah. Raka lalu bangkit dari tempatnya terbaring, lalu melompat turun dan berjalan kearah danau, mengabaikan Shinta dan Segara Bayu yang menatapnya bingung. Raka melangkahkan kakinya sampai ke tepi danau, lalu berjongkok di tepi danau itu.

Raka menatap kearah bayangannya di air danau dengan tatapan kosong. Di pikirannya terus-menerus bermunculan ilusi tentang hasil dari amukannya kemarin. Sebagian besar wilayah Sapta Pratala telah luluh lantak, dan dia menyebabkan Sembadra terluka parah sampai harus pingsan dalam posisi terduduk. Pemuda itu terlalu asik dengan pikirannya sampai tidak menyadari bahwa sesosok siluman ular betina telah berdiri di depannya. Siluman ular itu menatap Raka dengan intens, seolah-olah tengah mencoba menerka apa yang ada di dalam pikiran pemuda itu.

Bersambung

Semoga readers menikmati chapter terbaru dari novel Kuntawijaya ini ya~

darrenlynn_frostcreators' thoughts
Bab berikutnya