Nathan cukup merasa tenang hampir dua bulan ini. Ia merasa bisa bernafas sedikit lega karena tidak adanya gangguan Max di hari- harinya. Hubungan dengan Rian pun sedikit membaik saat ia memberanikan diri menemui kekasih mungilnya itu di apartement miliknya. Nathan sampai harus menguatkan hatinya yang begitu merasa bersalah karena mengabaikan Rian terlalu lama.
Nathan pun kini berusaha lebih terbuka dengan Rian, ia ingin hubungannya seperti dulu. Ia ingin Rian yang ceria dan sedikit agresif kepadanya. Nathan berusaha lebih banyak memulai percakapan dan sesekali memberikan belaian sayang untuk Rian.
Bukan hal mudah untuk Nathan yang dari awal terlihat kaku dalam menjalin hubungan percintaan. Ia yang lebih banyak diam seketika mulai bergerak lari saat menyadari Rian yang sudah seperti tak mendambanya lagi. Nathan tak tau sifat Rian yang mulai berubah atau karena selama ini kekasihnya itu berusaha menutupi sifat asli, Rian terlihat begitu pendiam sekarang.
Setelah kerja, Nathan lebih sering menghabiskan waktu ke apartement. Ia bahkan hanya pulang ke rumahnya sesekali, itupun jika Rian tak ada di tempatnya. Pria itu terlalu canggung jika harus berdua saja dengan sang mama, wanita paruh baya itu kini kembali membatasi diri karena tak ada Max yang selalu bisa mencairkan suasana di antara mereka.
Jika boleh jujur, Nathan sedikit merindukan perbincangan mereka bertiga di meja makan walaupun itu hanya terjadi beberapa kali. Sang mama yang hanya bisa terpancing dengan obrolan Max yang terkesan akrab itu membuat Nathan tanpa sadar sedikit membutuhkan kehadiran Max. Bukan untuk dirinya namun lebih ke arah dibutuhkan untuk bisa sedikit melihat gurat bahagia sang mama. Meski lagi- lagi Nathan berusaha menyangkal peran Max yang sepenting itu untuk keluarga yang telah patah miliknya.
" Kenapa memblokir nomor ponsel Max?"
Siang hari, tepat pukul satu. Nathan yang sedang menikmati makan siang dengan disuapi oleh Rian sang kekasih. Ya... Nathan mengundang Rian ke kantornya. Ia ingin sedikit memberikan pengenalan awal untuk bisa membuat kekasihnya itu memasuki dunia miliknya. Ayam bumbu pedas yang menjadi permintaan Nathan membuat ia semakin lahap memakan hidangan itu langsung dari tangan Rian.
" Ehem! Maafkan aku,"
Nathan yang akan bersiap menerima suapan Rian menjadi gagal. Sendok yang disodorkan Rian hanya tergantung tepat di depan mulut Nathan. Pintu yang secara tiba- tiba terbuka tanpa seizinnya membuat Nathan begitu gemetaran saat mengetahui posisinya yang terlihat begitu menempel ke Rian.
" Kalau mau masuk, ketuk pintu dulu!" Nathan berujar lirih. Duduknya secara otomatis sedikit memberi jarak dengan sang kekasih.
Rian yang melihat itu hanya bisa tersenyum miris, lagi- lagi seperti ini. Rian seolah harus menjadi bayangan jika ingin terus mempertahankan cintanya kepada Nathan. Pria mungil itu sudah lebih dari sering saat mendapatkan respon seolah ia hanya sebagai selingan. Jika hanya berdua Nathan begitu menyanjung dan memujanya, tapi di sisi lain ia seperti secara tiba- tiba tersingkir oleh perhatian Nathan yang lain. Nathan seolah menguasainya.
" Maaf boss! Ehmm... boleh aku bicara secara pribadi denganmu?"
Nathan hanya bisa menatap satu karyawannya yang tak tau diri itu. Matanya bahkan tanpa sadar menatap Tommy yang seperti sedang meraba suasana yang sempat terbentuk di antara dua pria yang duduk berdekatan itu.
" Kalau begitu aku pergi saja,"
Rian tak ingin mencari masalah, lagipula hubungan mereka akhir- akhir ini sudah lepas dari kesalahpahaman saat terakhir kali Nathan berbicara kasar padanya. Ia tak ingin menuntut pengakuan yang tak mungkin di dengarnya dari mulut Nathan. Ya... ia lebih baik tau batasan- batasan dalam menjalin percintaan tak normal seperti ini.
" Ri... baiklah, nanti akan ku hubungi,"
Nathan pun melanjutkan makan setelah beberapa saat Rian menutup pintu dan meninggalkan ruangannya. Dahinya berkerut dalam, ia merasa begitu bersalah saat rasa takut tiba- tiba mendominasi pikirannya. Ia bahkan sangat khawatir apabila Tommy sedikit meragukan orientasinya karena kejadian tadi, alih- alih mengkhawatirkan perasaan sang kekasih.
" Max menerorku, dia bahkan mendesak untuk meminta ku membujukmu. Hapus pemblokiran nomornya dan sesekali angkat panggilannya,"
" Kenapa kalian terdengar begitu dekat? Dapat apa kau dari jasa pengantar pesannya?"
Nathan berbicara dengan nada meremehkan. Wajahnya yang menatap Tommy datar itu membuatnya mendapat pukulan telak di belakang kepala.
" Ouch! Sekarang kau bahkan terlihat lebih memilih kawan baru mu itu,"
Nathan pun meringis kesakitan saat lagi- lagi Tommy memukulnya.
" Heh! Jika kau mendengar alasanku sesungguhnya pasti kau akan begitu terharu oleh kisah perjuanganku,"
" Oh ya?"
" Hemm... Aku tipikal pria pejuang. Semua bisa kulakukan untuk mendapatkan beberapa wanita agar bisa jatuh ke ranjangku. Aku tak bisa hanya mengandalkan ketampanan yang kumiliki saja, aku juga butuh relasi yang bisa membantuku. Dan semua begitu berjalan mudah saat Max datang, dia hanya meminta dukungan untuk mengejar kawanku yang manis ini,"
Tommy berbicara dengan sangat santai, giginya pun sampai bisa terus terlihat saat pria itu begitu getol untuk terus tersenyum. Dan Nathan ingin sekali merontokkan gigi putih berjejer rapi milik Tommy. Nathan begitu kesal, bagaimana bisa Max bisa terang- terangan mendekatinya hingga Tommy bisa ikut terlibat.
Gigi Nathan pun mengerat dengan ketat, tangannya menghempaskan milik Tommy yang bertengger tak tau malu di bahunya. Tatapan tajam pun kini terarah ke Tommy.
" Sejauh mana kau tau?"
" Tau apa... Max menyukaimu? Dia yang ingin memperbaiki hubunganmu dan tante Rara? Dia yang suka menggoda dan mengikutimu? Atau Max yang suka mengambil kesempatan saat kau mabuk? Opps!"
Nathan pun kini hanya sanggup memejamkan mata dan menghembuskan nafas perlahan guna meredam emosi. Pikirannya lagi- lagi mengingatkan jika Tommy masihlah kawannya yang bermulut besar.
" Jangan sampai aku menendang pantatmu, Tom!"
" Oh ayolah Nath... Max itu pria yang begitu tampan, dia berwajah sempurna dan tubuh yang menggiurkan. Dia kaya dan sangat royal,"
" Aku juga tampan dan kaya, aku tak membutuhkan orang yang serupa seperti ku untuk melakukan hal yang tak penting dengan mengejarku. Beritahu padanya, aku bukan gay!"
Nathan pun menarik tangan Tommy dari duduknya. Ia tak bisa lagi mendengar celotehan tak berguna dan hanya bisa membuat hatinya panas seperti sekarang.
Mendengar Tommy yang mengatakan kalau Max pernah memanfaatkan ketidaksadarannya untuk kesenangan pribadi membuatnya ingin sekali terbang ke Bali dan memukuli pria itu sampai wajahnya tak sanggup lagi untuk tersenyum.
" Sebentar! Nath... kurasa kita kawan lama. Aku tak akan mempermasalahkan orientasimu, aku hanya ingin melihat kau jujur dengan dirimu sendiri,"
Nathan secara tiba- tiba menjadi gugup. Tommy yang kini menatapnya begitu serius membuatnya seperti tertangkap basah sedang melakukan kesalahan. Tangan yang sempat menggenggam milik Tommy dengan erat itu pun secara perlahan terlepas.
Tommy sedikit demi sedikit memajukan wajah hingga membuat Nathan sedikit heran dengan keseriusan pria yang biasanya selalu menampilkan cengiran bodoh itu. Tanpa sadar Nathan ikut menatap serius dan memasang telinga lebar- lebar.
" Melihat tampilanmu yang selalu rapi, wajah bersih dan senyum yang terlihat begitu manis. Aku seratus persen mendukungmu dengan Max!"
" Shitt!"
Tommy langsung tancap gas dan berlari sebelum sempat tangan Nathan menggapainya dan memberi sedikit pelajaran.
Tommy, tetap saja Tommy yang penuh dengan sifat kekanakan dibalik tampang pria nakal yang selalu ditunjukkannya. Bahkan pria itu masih saja bisa membuatnya tertawa karena tingkahnya yang hampir saja jatuh karena terpeleset di depan pintu.
Dan dibalik itu semua, Nathan cukup merasa bersyukur karena Tommy sama sekali tak mencurigai dirinya dan Rian.