webnovel

Bagian 2

"Jangan banyak bergerak..." Fredella menahan tubuh Erik agar tidak bergerak lagi, Erik tetaplah Erik si keras kepala yang selalu melawan.

"Berisik. Apa Anara pernah datang ke sini?"

"Menurut keterangan Gendis, suster yang menjaga saat koma tidak ada perempuan melihatmu selain aku." jawab Fredella

Ya sudahlah memang benar Anara sudah pergi sebelum ia terbangun, terbukti hanya menyayangi Erik ketika sehat tapi tidak ketika sakit.

"Ada apa?" Tanya Fredella sengaja memancing agar mau berbicara tanpa harus ia mendengar jawaban Gendis.

"Anara selingkuh."

Fredella masih terdiam, menunggu Erik menceritakan kembali. Setelah bertemu dengan Erik— Axel izin sebentar mencari tempat makan karena tadi siang lupa makan. Dan tidak Axel membuat Erik bisa bercerita dengan Fredella sepuasnya.

"Memangnya ada bukti?"

"Temanku mengirim foto, Anara sedang bersama pria lain. Mesra sekali." Jawab Erik

"Mau lihat fotonya."

"Sudah dibuang bersama ponselnya juga."

Fredella menatap Erik tak percaya meski sebenarnya ia tahu ponsel sudah pecah menjadi beberapa bagian. "Jangan mengorbankan ponsel, Bang... Harga ponsel mahal."

"Biarkan saja, aku sakit hati."

Erik merasakan Fredella mengusapkan bahunya, sedikit tenang. Mungkin karena mereka kembar sehingga membuat Erik merasa diberi kekuatan. Samar-samar mereka mendengar langkah kaki, suara pintu dari sana. Gendis ada di sana tersenyum lebar tanpa Erik balas, sepertinya Gendis gila— senyam-senyum tidak jelas.

"Darimana?"

Gendis menujukkan kantong plastik besar di hadapan Erik, kantong berisi dua selimut besar milik Erik. Setiap Minggu harus diganti, kalau tidak mulut Erik akan mengoceh tidak jelas.

"Empat kali empat, berapa mas?"

"Enam balas." Jawab Erik

"Delapan kali delapan?"

"Hitung sendiri!"

"Ayo dong mas, jawab. Bantu aku berhitung."

"Enam puluh empat. Cukup Ndis, nggak mau jawab lagi."

Gendis terkekeh, mendekati Fredella dan Frederik. "Tadi cuman mencoba takut mas lupa cara menghitung."

"Gendis..." Erik mengerang

"Apa mas?"

"Sehari jangan membuat saya kesal, bisa?"

Gendis menggeleng, memang itu tujuan

Gendis agar Erik tidak terlalu sedih memikirkan sakit, perempuan.

"Awas kamu, Ndis..."

"Awas kenapa mas, memangnya lagi menyebrang jalan?" Gendis menyahut

"Awas nanti dinikahi." Fredella ikut menyahut dan mendapat tatapan tajam dari Fredrik.

***

Suasana ruangan kembali sepi hanya mereka berdua, Gendis masih menyiapkan makan sore untuk Erik sebelum ia pulang ke rumah, tidak lupa membersihkan wajah Erik, Erik masih mampu membersihkan wajah dan gigi sendiri. Tapi pelan sekali.

"Hati-hati mas..."

Erik melirik sekilas, lalu kembali fokus menggosok gigi. Mata Gendis terus memperhatikan Erik tanpa kedip, ada perasaan kasihan dengan keadaan Erik— masih muda namun harus dihadapi ini meski tidak ada anggota badan yang harus direlakan, tapi tetap saja bagi Gendis ini sebuah musibah terbesar.

"Ndis, Gendis!"

Gendis mengerjapkan mata, terkejut dengan Erik yang tiba-tiba mengangetkannya.

"Saya sudah selesai, jangan melamun. Nggak niat kerja ya, kamu?"

"Niat mas, melamun memikirkan tugas kuliah setiap hari kenapa selalu banyak. Apa dosen nggak pernah mengerti perasaan mahasiswa, ya," Gendis beralasan.

"Kalau malas mengerjakan tugas keluar saja, Ndis. Bagimu pendidikan tidak penting ya?"

"Penting mas, cuman suka mengeluh bagian dari manusiawi."

"Kamu kuliah jurusan apa, Ndis?"

"Bisnis mas." Jawab Gendis membantu memberi minyak rambut di kepala Erik. "Maaf mas, nggak sopan menyentuh kepala mas." Ucap Gendis

"Ya, dulu bekerja dimana?"

"Reseller online shop mas, jualan random sekarang pembeli semakin berkurang, akhirnya keluar dari bisnis itu." Jawab Gendis. Tumben sekali pria di sampingnya bertanya tentang gendis. Dengan nada tidak menyebalkan seperti biasanya, terdengar lembut meski tetap menyebalkan. 

Akhirnya pekerjaan Gendis beres dari membersihkan sebagian badan Erik, memberi makan sebelum malam nanti pulang. Biasanya kepulangan Gendis menjadi hal bahagia bagi Erik, setelah pamit pasti mengatakan, "Nggak balik lagi juga aman, Ndis." Rasanya pengin menjitak kepala Erik saat itu juga.

"Hai..."

Keduanya terkejut, suara asing dari arah pintu sana, tatapan Erik berubah menjadi tajam, nafas mulai tak beraturan membuat Gendis kebingungan. Bahkan tangan Erik mengenggam erat tangan Gendis, seakan tidak boleh menjauh. Gendis berhasil melepaskan tangan dari genggaman Erik dengan alasan nyeri karena mengenggam terlalu erat, Gendis memilih untuk keluar tapi suara Erik menyuruh tetap di dalam ruangan, akhirnya Gendis duduk dan kembali berkutik dengan tugas.

"Ada apa ke sini?" tanya Erik

"Memangnya tidak boleh melihat

kekasih?"

"Kekasih yang ke berapa?"

Di sana perempuan itu terkejut dengan pernyataan kekasihnya— Anara datang tanpa merasa bersalah sedikit pun, sejujurya Erik tidak mau melihat wajah cantik penuh kepalsuan ini.

"Aku bisa jelasin, Erik..."

"Tidak perlu, keluar dari ruangan saya!" jadi sebelum ponsel itu dibanting, setelah melihat foto sempat mengirim pesan pada Anara, mengirim kembali foto.

"Rik, dia bukan siapa-siapa."

"Bukan siapa-siapa, tapi mesra?" Erik tertawa meremehkan. Sudah tidak percaya lagi dengan perempuan di depannya.

"Rik..."

"Saya tahu cacat, saya tahu merepotkan karena kondisi seluruh badan saya lumpuh. Bukan berarti pergi seenaknya, jika bosan dengan hubungan ini bicara baik-baik! Saya tidak butuh perempuan sepertimu." Ucap Erik penuh ketegasan.

Wajah Anara berubah menjadi pucat pasi. Nasi sudah menjadi bubur, foto dengan pria yang dijodohkan dengannya sudah diketahui Erik. Padahal Anara tidak ingin melakukan ini tapi apa daya orang tua dan bisnisnya mengakibatkan Anara harus mengikuti, mengingat hubungan dengan Erik tidak disetujui tanpa Erik tahu. Ingin membicarakan baik-baik saat Erik sembuh tapi terlambat.

"Kamu lihat perempuan di sebelah sana?" Jemari Erik mengarah Gendis yang sedang duduk dan menulis tugasnya.

"Dia calon istri saya nantinya!"

Gendis terkejut, mengangga di ujung sana. Anara tak kalah terkejutnya. "Berarti kamu selingkuh lebih dulu?"

"Tidak, bukan hanya hari ini saya tahu kamu selingkuh sudah seminggu." Erik beralasan.

"Rik, bisa mendengar ucapanku sebentar?"

"Tidak, keluar sekarang!"

Tiba-tiba Gendis berdiri mendekati Anara, "Mbak pulang saja, calon suami saya butuh istirahat."

Anara menatap Gendis bingung, percaya atau tidak tapi Erik menjelaskan. Apa ini petunjuk dari semuanya, jujur saat ini yang Anara pikirkan bagaimana tidak menyakiti Erik dalam kondisi sakitnya.

"Pulang Anara..."

Anara mengangguk, setelah mengucapkan kata maaf langsung pergi dengan perasaan tidak bisa digambarkan. Ia masih mencintai Erik tapi terhalang oleh restu, orang tuanya tidak setuju karena Erik seorang pembalap.

"Nggak mau tahu ya, mas, gaji Minggu depan nambah. Tadi aku bantu akting depan perempuan itu." Ucap Gendis

"Nggak."

"Ish, dasar..." Gendis memberengut. Tugas sudah berakhir sudah waktunya untuk pulang. "Mas, aku pulang dulu ya..."

Erik hanya berdehem sebagai jawaban.

"Ndis..."

"Ya?"

"Hati-hati."

Gendis mengangguk, membenarkan posisi bantal Erik agar nyaman untuk ditiduri. Perlahan Gendis meninggalkan ruangan Erik, selesai sudah tugas hari ini. 

***

Harusnya senang sudah tidak berada di dekat Erik, Gendis berbeda ternyata berjauhan membuat khawatir. Takut Erik membutuhkan bantuan, takut Erik berbuat macam-macam tanpa ada pencegahan. Padahal baru tujuh hari bekerja, mungkin karena ketulusan Gendis dan upah yang ia dapat membuat Gendis memiliki perasaan untuk terus menjaga Erik.

Masuk ke dalam rumah sederhana dekat jalan raya, begitu jelas kebisingan terdengar ketika sedang tidur. Gendis tetap menikmati hidup karena rumah ini menjadi tempat orang tuanya berjualan makanan, usaha kuliner yang sudah dibangun sejak keduanya baru menikah.

"Sudah pulang?"

"Ya pak," jawab Gendis pada pria paru baya yang ia sebut bapak.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, nak?"

"Aman kok pak, ini dapat gaji lebih. Nanti buat bayar bukunya si Clara." Gendis mengeluarkan amplop memberi setengah dari gajinya untuk orang tua lalu sisanya akan ia simpan.

"Banyak?"

Gendis mengangguk, "Calon suaminya mbak Fredella memberi tambahan untuk gaji Minggu ini, doain ya pak, ma. Gendis bisa menjaga mas Erik lebih maksimal sesuai upah yang mereka kasih."

"Iya pasti, kalau lelah jangan dipaksakan kerja."

"Iya pak, aku bersih-bersih dulu ya..."

Gendis pamit karena tubuh sudah butuh air, ganti baju. Sebelum masuk toilet seperti biasa mengecek ponsel terlebih dahulu. Ada voice note dari nomor baru, Gendis segera mendengarkan dan ternyata dari Erik yang bertanya sudah sampai atau belum.

Bab berikutnya