"Neng, Aa boleh cium tangannya?" Asiyah mengangkat dagu perlahan, memindahkan pandangannya dari kancing baju dada suaminya menuju wajah sang suami. Pandangan mata mereka beradu, Asiyah tersipu, Salman tersenyum malu-malu. Perlahan tapi pasti Salman menggerakkan kedua tangannya yang gemetar, mengangkat lembut kedua tangan mungil istrinya yang terasa dingin. Salman mencium kedua tangan putih itu, mengecup dengan penuh cinta dan kasih, ia memindahkan kedua tangan Asiyah ke dadanya dengan masih mendekapnya dengan sebelah tangan saja. Tangan kanan Salman naik keatas ubun-ubun istrinya, Salman mulai berdoa dengan menengadahkan tangan kirinya yang masih menekan kedua tangan Asiyah didadanya. Salman berdoa khusyuk dan pelan, memohon keberkahan atas istri yang sudah Allah berikan kepadanya. "Hari ini, Aa sudah sah menjadi suami kamu, doain Aa semoga selalu bisa mendampingi kamu sampai akhirnya kita berjumpa di Jannah Allah nanti ya, kalaupun andai akhirnya maut yang memisahkan kita, Aa gak akan melarang kamu buat nikah lagi ya. Karena Aa sayang kamu karena Allah" Assalamu 'alaikum Jazakumullahu khoir untuk para pembaca Di next novel ini akan bercerita tentang pemeran utama Asiyah Abdullah yang terpaksa bercerai dengan suaminya yang soelh karena sesuatu. Akankah ia mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Allah? Nantikan lanjutan kisahnya ya. Novelnya sudah selesai, akan di posting part demi part karena beberapa bagian masih proses revisi sedikit. Jazakumullahu khoiron
Lelaki berparas Arab itu hanyut dalam sholat malam itu, tepatnya waktu ibadah Isya. Ia terlihat sangat khusyuk, sesekali terdengar suara desah pelan menahan tangis. Ya, ia banyak menangis. Ia menangis ketika membaca surat wajib dalam sholat 'Al fatihah' terutama dalam kalimat 'Ihdinash shiraathal mustaqiim'. Ia dengan sungguh-sungguh, dengan hati merendah meminta selalu dinaungi dengan rahmat petunjuk jalan yang benar dalam mengarungi samudra kehidupan kepada yang maha pemilik kehidupan.
Bacaan surat-surat pendeknya tartil, ia sangat menyukai membaca ayat-ayat perihal azab, sebagai pengingat diri bahwa sejatinya manusia hanyalah berasal dari air yang hina kemudian berkat rahmat dan kasih sayang dari Allah sajalah ia bisa menjadi makhluk yang diakui memiliki tingkat teratas dalam siklus dan menara kehidupan manapun.
Selepas sholat ia masih betah berlama-lama duduk diatas sajadah hadiah dari seseorang saudari yang sekian tahun lalu berangkat umroh. Ia terlihat khusyuk, komat-kamit mendoakan dirinya, Ibundanya, Ayahandanya, saudara saudarinya juga kaum muslimin diseluruh jagat raya. Setelah selesai ia meneruskan dzikirnya. 33 kali untuk tasbih, 33 kali untuk tahmid dan 33 kali untuk takbir ditambah satu doa penutup.
Dzikir sendiri baginya adalah laksana ruh, juga laksana minuman yang merupakan kebutuhan primer dalam tubuh, coba saja kalian sehari semalam tidak minum, sebaian orang mungkin kuat berpuasa makanan selama 4-7 hari dalam kondisi terdesak, namun untuk minum, rasanya belum ada penelitian atau penemuan mengenai hal tersebut. Ia juga selalu mengingat hadist Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengenai dzikir, Abu Musa Radiallahu 'anhu berkata :
"Permisalan orang yang mengingat Rabbnya (Berdzikir) dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya (Tidak berdzikir) seperti orang yang hidup dengan yang mati.
Setelah selesai ia berdiri, merapihkan kembali sajadah beraroma wangi molto pure yang baru saja dicuci kemudian keluar dari kamar untuk bersiap makan.
^^^
"Aku ingin menikah, Mi"
Jantung kedua orang tua itu serasa mau copot, bergemuruh dengan darah berdesir. Ada hening sesaat setelah sang bungsu mengungkapkan hal tersebut langsung dari bibir merahnya. Sang pembantu yang berusia kepala empat hampir-hampir saja menumpahkan sup tulang sapi panas ke atas meja dan bukannya ke mangkuk putih yang sudah teronggok manis, lantaran setengah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Sudah lama sekali. Sudah lama sekali mereka semua menantikan perkataan itu keluar dari laki-laki tampan berkulit putih tersebut.
"Alhamdulillah" kedua orang tua tersebut berkata serentak
"Barakallah nak" susulan kata-kata berikutnya keluar dari mulut orang tua yang mengenakan gamis putih bersih lengkap dengan peci putihnya yang jika diperhatikan akan sangat serasi dengan perabotan yang terdapat diruang makan yang lumayan besar tersebut. Putih dan bersih.
"Umi sudah lama nunggu kamu berkata seperti ini, nak. Kenapa baru sekarang"
"Iya mi, Alhamdulillah. Allah sudah menggerakkan hati Arif"
"Lalu, kamu mau perempuan seperti apa nak?"
"Terserah Umi saja, yang penting cantik dan soleha"
"Loh, yang mau menikah kan kamu, bukan Abi, kok bisa terserah Umi?"
Sontak saja tangan perempuan tua itu memukul pelan lengan lelaki tua yang baru saja bercanda tersebut. Menandakan perkataan barusan sangatlah tidak masuk akal. Ketiganya serentak tertawa kecil melihatnya.
"Ya, yang penting itu solehah Bi, sisanya ya yang mana menurut Umi baik saja. Arif yakin, Bi, Umi tak mungkin menjerumuskan anaknya. Contohnya saja sudah ada 3 kan yang sukses" sambil melirik kearah foto keluarga besar yang sengaja dipajang diruang makan
"Iya, iya. Umi paham. Pokoknya Insyaallah Umi akan carikan kamu jodoh yang terbaik. Kalau besok bagaimana? Kamu sanggup?"
"Insyaallah Mi"
^^^
Pagi, Minggu 1 Desember. Siyah duduk sendiri didepan kaca. Melirik berulang-ulang sambil tersenyum. Hiasan dinding bergantung tepat diatas kepala tempat tidur, hiasan indah berwarna Emas bertuliskan 'SS', kependekan dari Siyah dan Salman, permintaan khusus dari calon suaminya. Kamarnya sudah rapi sekali, seperti kamar bidadari di surga pikirnya. Bunga-bunga mawar merah segar menghiasi ranjangnya, susunan kotak-kotak kado sudah mulai memenuhi ruangan sejak dua sampai tiga hari yang lalu.
Masih pagi, masih jam setengah delapan tepat ketika ia melirik kearah jam bulat hijau kecil dimeja.
"Setengah jam lagi" lirihnya dalam hati
Jemarinya dingin, kaku dan basah. Tisyu yang sedari tadi dipegangnya entah sudah seperti apa bentuknya. Lusuh dan kemerahan akibat dari terkena hena dan kuatnya tekanan yang diberikan kepada alat pembersih yang berasal dari kulit kayu tersebut.
"Calon mempelai laki-laki sudah datang"
Suara gadis berjilbab ungu mengagetkannya yang sejak tadi sudah khawatir. Suara yang membuat hatinya tambah gusar gundah gulana tak karuan pokoknya. 'Nurul' sahabat sekaligus merangkap sebagai salah satu bridesmaidnya hari itu.
Secepat kilat, semua orang sudah berkumpul diruang tamu. Duduk ditempat masing-masing sesuai porsinya.
"Hayuk atuh neng" wanita yang sudah tidak muda lagi itu merentangkan tangannya. Tampak sekali kecemasan dengan sedikit kesedihan diwajahnya. Barangkali, karena hari ini menurutnya tugasnya sudah selesai. Hari mengantarkan putri bungsunya ke pelaminan untuk kemudian kemungkinan besar akan diboyong pergi mengikuti suaminya. Meski begitu ia masih tetap terlihat cantik, mungkin memang benar kata orang-orang bahwa sesungguhnya kecantikan itu memiliki bekas.
"Iya, Mi"
Gadis berkebaya putih tersebut berdiri perlahan dibantu beberapa braidesmaid yang sudah mengenakan kebaya kompak, beberapa membetulkan hiasan siger dikepala juga bunga melati yang menjuntai diluar hijab putihnya. Kaus kakinya mulai berpindah tempat, dibawa bergerak kearah depan menuju tempat perkumpulan.
Sang gadis menundukkan pandangan, berjalan perlahan menyusuri tangga, tak berani menatap apalagi mencari liar. Hanya sedikit lirikan. Lirikan mencari seseorang. Seseorang yang sangat spesial baginya pada hari ini dan hari-hari berikutnya, setidaknya itulah yang ia bayangkan.
Perlahan tapi pasti, kakinya sudah menginjak anak tangga yang terakhir. Beberapa orang tampak sibuk membolak-balikan dokumen didepan hiasan dinding pernikahan dengan tema putih dan emas. Dua orang lain tampak saling tertawa lepas, entah apa yang diobrolkan. Sepertinya mereka sangat bahagia. Paling tengah terlihat seorang pemuda, duduk bersila dengan baju berwarna putih bersinar. Wajahnya menunduk, perasaan gugup sangat jelas tergambar dari gesture tubuhnya.
"Baik, Bapak-bapak Ibu-ibu. Acara akan segera kita mulai"
Mendengar kalimat ini Asiyah semakin gusar, jarum jam serasa begitu lama berputar. Ia dipanggil, duduk bersebelahan dengan calon suami. Disatukan dengan sebuah selendang putih tipis yang masih tercium bau barunya. Tak lama tangan calon suami sudah menjabat tangan Abinya, lalu, mengucapkan kata-kata yang akan meruntuhkan dinding haram menjadi halal. Seketika mereka halal, setelah saksi yang dipercaya mengucapkan kata-kata 'Sah' secara bergantian.
Hari ini, Asiyah Abdullah telah resmi menjadi istri dari Muhammad Salman Alfarisi. Lelaki yang dikenalnya semasa berkuliah di Lipia. Lelaki yang berani mempersuntingnya tanpa mengetahui dia anak siapa atau seperti apa keluarga gadis itu sebenarnya. Yang berani meminangnya hanya dengan alasan pernah mendengarnya mengaji surat An-naba sebanyak satu kali.
^^^
"Neng, Aa boleh cium tangannya?"
Asiyah mengangkat dagu perlahan, memindahkan pandangannya dari kancing baju dada suaminya menuju wajah sang suami. Pandangan mata mereka beradu, Asiyah tersipu, Salman tersenyum malu-malu. Perlahan tapi pasti Salman menggerakkan kedua tangannya yang gemetar, mengangkat lembut kedua tangan mungil istrinya yang terasa dingin. Salman mencium kedua tangan putih itu, mengecup dengan penuh cinta dan kasih, ia memindahkan kedua tangan Asiyah ke dadanya dengan masih mendekapnya dengan sebelah tangan saja. Tangan kanan Salman naik keatas ubun-ubun istrinya, Salman mulai berdoa dengan menengadahkan tangan kirinya yang masih menekan kedua tangan Asiyah didadanya. Salman berdoa khusyuk dan pelan, memohon keberkahan atas istri yang sudah Allah berikan kepadanya.
"Hari ini, Aa sudah sah menjadi suami kamu, doain Aa semoga selalu bisa mendampingi kamu sampai akhirnya kita berjumpa di Jannah Allah nanti ya, kalaupun andai akhirnya maut yang memisahkan kita, Aa gak akan melarang kamu buat nikah lagi ya. Karena Aa sayang kamu karena Allah"
Seketika telunjuk Yaya (nama panggilan Asiyah dirumah) berpindah, dari dada Salman menuju bibir manis suaminya. Ia tak sanggup jika suaminya harus meneruskan perkataan seperti itu. rasanya baru beberapa menit ia bahagia, kenapa harus mendengar kemungkinan-kemungkinan buruk seperti itu. Yaya melekatkan kepalanya ke dada bidang sang suami, tangan Salman mendekap lembut tubuh mungil sang istri dengan perasaan penuh cinta dan kasih sayang.
"Kang Salman sudah belum ganti pakainnya? Itu dibawah para tamu sudah menunggu"
Suara teteh dari pihak event organizer memanggil dari luar pintu seraya mengetuk. Membuyarkan kemesraan mereka berdua seketika.
^^^
Prosesi perayaan pernikahan berlangsung sukses, kedua mempelai beserta dua pasang orang tua tampak tak henti-hentinya duduk dan berdiri menyalami tamu undangan. Grup Nasyid kenamaan kota menjadi pengiring mereka, wajah-wajah bahagia tampak dengan lahapnya menikmati makanan yang disajikan. Anak-anak berlarian dengan riangnya, tampak juga beberapa anak sibuk menangis entah apa alasannya. Para pemuda dan pemudi terlihat sibuk berfoto selfie. Tapi yang peling terlihat bahagia adalah kedua mempelai yang duduk diatas singgasana putih bagaikan raja dan ratu. Mereka terlihat senantiasa tersenyum dan bercanda menantikan malam tiba.
Jam dinding seperti mengebut, tiba-tiba sudah Ashar, tiba-tiba sudah magrib, tiba-tiba sudah Isya.
Asiyah bersiap di dalam kamar, mengganti pakaiannya dengan gamis berbahan dasar satin halus berwarna hijau muda dengan jilbab senada. Ia mulai memasukan beberapa lembar pakaian kedalam sebuah tas tangan yang sudah dipersiapkan. Ia sudah tak sabar untuk melakukan perjalanan malam bersama sang suami tercinta. Mengharap pahala dari Allah berdasarkan Hadist yang Rasulullah Sallallahu alaihi Wasallam pernah sampaikan. Tak henti-hentinya ia tersenyum manis di atas ranjangnya. Menunggu kedatangan sang suami tecinta pulang sholat Isya.
"Assalamualaikum" suara lembut sang suami membuyarkan lamunannya
"Waalaikum sallam"
"Sudah siap?"
Yaya mengangguk pelan, mereka berjalan berbarengan keluar dari kamar. Salman menenteng tas milik Yaya dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya digelendoti oleh sang istri yang mulai terlihat manja. Mereka turun kebawah mencari kedua orang tua Syifa untuk berpamitan.
Sebelum pernikahan Salman sudah memberitahukan Asiyah bahwa dia akan melakukan sunnah suami istri yang pertama persis dimalam pertama pernikahan mereka, yaitu jalan-jalan dimalam hari sesuai yang dicontohkan Baginda Rasulullah Sallallahu alaihi wassallam dengan Aisyah bintu Abu Bakr.
Salman menikah karena Allah, beribadah juga untuk Allah, ia juga mencintai istrinya hari ini berkat rahmat karunia dari Allah semata, jadi, jelas landasan utama pernikahannya adalah meraih ridho, berkah serta pahala melimpah dari Allah semata. Ia sudah menyiapkan daftar panjang kearah mana pernikahan ini akan ia bawa bersama istrinya. Jadi, ia tak menunggu waktu yang lama, sesegera mungkin ia harus melakukan amalan sunnah ini baru kemudian ia melakukan amalan wajibnya, nafkah batin terhadap istrinya, di Hotel terbaik di kota Bandung.
"Mi, Salman dan Asiyah pamit dulu"
Salman berpamitan dengan mertuanya yang tampak sedang repot mengurus makanan sisa pernikahan, memindahkan makanan dari satu wajan ke wajan yang lain atau ke dalam kuali untuk dihangatkan.
"Apa, gak sebaiknya kalian pergi besok saja? Lagian sekarang sudah malam, kalian berdua kan juga capek habis acara walimahan tadi siang?"
"Enggak Mi, Insyaallah kita berdua kuat. Kang Salman sudah tidak sabar ingin meraih pahala pertama, yaitu mengajak istrinya jalan-jalan dimalam hari. Seperti dahulu Rasulullah mengajak jalan-jalan Aisyah pada malam hari"
"Ah, kamu"
Wajah Salman tampak tersipu, setelah berpamitan dengan kedua orang tua mereka langsung tancap gas.
Menggunakan mobil jenis sedan Vios mereka berdua meninggalkan desa nan indah dan asri itu menuju kota Bandung. Perjalanan mereka sungguh sempurna. Seluruh alam sepertinya sangat merestui cinta mereka berdua, bintang-gemintang yang bertebaran dengan kerlipnya yang indah, purnama yang sedang merekah sempurna juga angin sejuk malam seperti mendendangkan lagu cinta untuk mereka berdua.
"Hotelnya bagus, kamu pasti suka. Aa sudah minta layanan khusus pengantin baru disana"
"Kamar Yaya juga bagus A"
"Iya Aa udah liat kamar kamu bagus. Ada inisial nama kita"
Asiyah tersenyum manis menatap wajah suaminya yang sedang fokus menyetir
"Kamu marah"
"Marah kenapa?"
"Marah dan mungkin kecewa karena malam pengantinnya bukan di kamar kamu?"
"Aa ih, ada-ada aja. Buat Aku dimana aja tetep sama, yang penting tidurnya gak sendirian lagi"
Mereka berdua tersenyum mesra, Salman yang tak kuasa melihat senyum istrinya segera menarik lembut tangan putih sang istri, mencium dan mendekapnya di dadanya lekat-lekat. Yaya terbawa suasana, sekali-sekali ia merebahkan kepalanya ke dada bidang sang suami, sehingganya tercium bau khas aroma tubuh suaminya, wangi.
^^^
"Ngantuk euy, apa tidur dulu ya? Alah tanggung bentar lagi juga nyampe rumah. Tahankeun wae atuhlah" Sopir truk berbicara pada dirinya sendiri di perjalanan.
^^^
Perjalanan Bogor – Bandung hanya memakan waktu kurang dari 3 jam. Salman dengan percaya diri mengendarai mobilnya, dengan kecepatan sedang dan penuh kehati-hatian. Sepanjang jalan ditemani sang bidadari membuat mata Salman semakin awas, bahkan nyamuk lewat pun ia bisa tau.
Takdir menentukan jalannya, di tanjakan emen, mobilnya beradu dengan sebuah truk yang sedang kosong tak bermuatan. Mobil truck seperti oleng tanpa kendali. Kejadiannya begitu cepat sampai untuk berteriak pun mereka tidak sempat, Salman kehilangan kendali setelah truk menghantam mobil sedan kecil miliknya. Mereka kehilangan kesadaran.
....
Send review, balon and power stone please.
Support IG penulis di @ririn.p.abdullah