‘Tidak ada suatu hal pun yang berjalan semudah membalik telapak tangan.’
Paginya Oh Se Jun terbangun, merasa sesuatu yang hangat melilit di lehernya. Ia mengenali syal merah itu dirajut oleh kakek tua yang berbicara padanya kemarin malam. Segera ia menoleh pada kakek yang tertidur dengan posisi duduk, tangannya memegang syal bermotif bunga milik Se Jun, rupanya semalaman kakek itu menyulamkan namanya di sudut lainᅳsejajar dengan nama ‘Kim Se Rin’ᅳyang lebih dulu tertulis di syal.
“Oh Se Jun.” kata Se Jun membacanya seraya memegang syal dengan tangan bergetar, menempelkan jari telunjuk pada sulaman huruf yang membentuk namanya, ia sangat terharu dengan apa yang dilakukan kakek. “Manusia memiliki hati yang hangat,”
Kepala kakek nyaris terjatuh jika saja Se Jun tak memeganginya, “Oh, kau sudah bangun.” kata kakek terperanjat, “Kau sudah melihatnya,” lanjutnya melihat syal di tangan Se Jun.
“Harabeoji (Kakek),” panggil Se Jun berhambur memeluk kakek, siapa yang tidak tersentuh ketika seseorang memberikan sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya di saat dia pun kedinginan.
“Dari apa yang aku lihat, kau pasti sangat menyukainya.” kakek tersenyum menyimpulkan.
“Hmm,” gumam Se Jun balas tersenyum, ingin rasanya ia melakukan sesuatu pada seseorang hingga membuat orang itu terkesan dan sama terharunya seperti yang ia rasakan sekarang.
Pikiran itu muncul lagi, bahwa ia ingin merubah dirinya agar semakin mirip dengan manusia. Perilaku, sikap dan sifatnya yang mampu berbaur dengan penghuni bumi yang lain.
“Terima kasih,” ucapan itu keluar lancar dari bibir Se Jun, ucapan terima kasih itu ditujukan pada dua orang, yaitu Jae Won dan kakek yang sedang menepuk-nepuk pundaknya memberikan rasa percaya diri.
“Sama-sama nak,” suara tua kakek terdengar lembut.
Se Jun menjadi lebih mampu untuk memulai kehidupannya di antara manusia, jika kakek yang ditemuinya sebaik ini maka sudah pasti ada manusia lain yang juga dapat membantunya.
“Kau mau ikut denganku?” tiba-tiba tawaran sang kakek mencuri sebagian perhatian Se Jun, “Kita bisa pergi ke Seoul bersama-sama.” Ia meneruskan, pandangannya bisa membuat siapa pun yang melihatnya akan tertarik.
Sekarang ini perhatian Se Jun tertuju sepenuhnya pada kakek yang masih meyakinkannya, pelan-pelan ia mengangguk dan semakin bersemangat menggerakan kepalanya naik turun tatkala mata berkilat memancarkan keinginan yang berlebih. Dia tidak sendiri, ada manusia yang akan menemaninya hidup sebagai manusia sesungguhnya.
ΘΘΘ
Pagi yang berbeda di Seoul, saat matahari semakin tinggi. Se Rin dan Hee Yeon duduk berhadapan saling tatap, tak ada yang berkedip satu pun. Mereka berada di cafetaria di gedung agensinya, Dream Entertainment, di mana di dalamnya terdapat aktris dan aktor yang sedang diminati.
Bahkan Delight, girl group pertama mereka banyak diperbincangkan karena mampu menduduki peringkat pertama selama beberapa minggu diberbagai chart acara musik. Sebagai perusahaan yang baru meramaikan bidang hiburan, kemajuan Dream Entertainment sangat pesat dan mendapat sambutan bagus dari masyarakat.
Tiba-tiba saja mata Hee Yeon berair, ia berkedip dan air mata bergulir melewati pipinya. Se Rin berdecak, mengakui kemenangan telak yang dirasa membosankan. Ia juga mencemooh lawan mainnya yang tak pernah belajar dari kegagalan.
“Aish, aku menangis,” sesal Hee Yeon menghapus air matanya perlahan, takut merusak riasan di wajah, “Aku selalu kalah dalam permainan ini.” jengkelnya meraih minuman yang beberapa saat lalu terabaikan.
Permainan dimana kedua orang tersebut harus menahan diri untuk tidak berkedip, orang yang berkedip duluan maka ia akan kalah.
“Ya aku beri tahu kalau kau ingin menang, jangan pernah lagi mengajakku untuk melakukan permainan konyol ini.” Se Rin juga meminum jus jeruknya, ia bergidik ketika rasa asam terasa di lidahnya.
Hee Yeon mencibir, bergumam mengomentari Se Rin yang berlagak tak menyukai padahal paling ambisius.
“Soal kemarin aku minta maaf, ada sesuatu yang mendesak makanya aku buru-buru pergi tanpa menghiraukanmu.” kata Se Rin tanpa menunjukan penyesalan.
“Hal apa yang sangat mendesak sampai kau meninggalkanku?” sungut Hee Yeon menaruh kembali gelasnya. “Kau membuat masalah lagi? Kali ini siapa yang kau kencani? Dia berasal dari Busan dan kau diam-diam menemuinya?!” tanyanya beruntun sembari menyelidik dan segera menyimpulkan, “Berhentilah membuat skandal!”
“Dengar, ini akan menjadi skandalku yang berbeda dari berita kencan atau terlibat cinta segitiga dan sejenisnya.” kata Se Rin memberi jeda pada ucapannya, “Seseorang telah menabrakkan dirinya pada mobilku, sepertinya keadaannya sangat parah karena mobilnya sampai penyok. Kemarin itu benar-benar sial, bahkan aku melihat api dari ledakan yang begitu keras!” jelas Se Rin tak dapat dipercaya begitu saja oleh pendengarnya.
“Aku juga tidak percaya kenapa itu terjadi padaku, tapi itu benar-benar terjadi dan aku sangat terkejut.” Ia berusaha meyakinkan.
Mata Hee Yeon berkedip-kedip Hee Yeon ingin menghilangkan rasa pegal setelah permainan konyolnya berakhir sesaat lalu, sembari mencerna perkataan Se Rin.
“Sungguh, hmm… sebenarnya mobilku yang menabraknya, itu karena Manager Han masih sangat terkejut setelah melihat ledakan.” sekali lagi Se Rin meyakinkan.
Hee Yeon tak bereaksi sama sekali. Merasa tidak puas dengan respon yang diberikan lawan bicaranya, Se Rin menyentak. “Cha Hee Yeon katakan sesuatu!”
ΘΘΘ
Tak terlintas sekali pun dalam benak Se Jun akan mencari uang dengan cara memalukan, dengan harus duduk di pinggiran jalan ramai, menaruh mangkuk kaleng di depannya, ditambah penampilan yang dibuat semenyedihkan mungkin di dekat Department Store Shinsegae, yang ia ketahui mall tersebut adalah yang terbesar setelah Department Store Macy’s di New York.
Se Jun mengakui kepintarannya yang melampaui humanoid lain, dia yang termuda, tertangguh dan tercerdas. Seri terakhir yang dibuat khusus untuk membantu pekerjaan manusia yang berbahaya dan berat, seperti yang berurusan dengan bahan kimia berbahaya dan mengangkat benda berat.
“Tunggu,” kakek memiringkan kepala untuk mengamati Se Jun, segera setelah itu tangannya meraih genangan air sisa dari hujan semalam. “Wajahmu harus lebih kotor, kucel dan kumel,” katanya seraya mengusapkan lumpur di wajah rupawan Se Jun, seketika itu juga Se Jun bergidik jijik tetapi tak berniat menghentikan perbuatan kakek.
Mata berkerut kakek beralih pada rambut hitam legamnya yang menutupi dahi, “Rambutmu tak bisa dibiarkan rapih,”
Penampilan Se Jun berantakan. Pengemis memang harus seperti ini, pikirnya mendengarkan kakek yang sedang menerangkan apa yang harus dilakukan dengan ekspresi wajahnya. Dia harus terlihat sedih, muka memelas dan menambahkan kata-kata seperti, sudah dua hari ini dia belum makan.
“Lihat dia begitu tampan, apa dia seorang aktor?”
“Memang tampan tapi kurasa bukan aktor, dia gelandangan,”
Bisik-bisik dua gadis remaja yang menunjuk-nunjuk Se Jun terdengar tak mengenakan, ingin rasanya ia pergi saja kalau bukan karena kakek menjanjikan akan mengajaknya pergi ke Seoul, dan ia hanya mampu menahan rasa malunya meyakinkan bahwa apa yang dia lakukan adalah demi mengetahui siapa dirinya.
Pekerjaannya masih berlanjut dari satu tempat ke tempat lain, meski begitu kakek berkata bahwa uang yang mereka dapatkan belum cukup untuk ongkos naik kereta api cepat (KTX) menuju Seoul.
“Apa aku boleh membasuh wajahku sekarang?” tanya Se Jun pada kakek yang sedang menghitung uang.
“Silahkan saja,” jawab kakek tanpa mengalihkan penglihatannya dari uang di tangannya, memindahkannya dari tangan kiri ke tangan kanan sam berkata, “Tujuh ribu won, sepuluh ribu won...,” ia berhenti mendelik kesal ke arah Se Jun yang membelok di sudut, “Ya ampun aku lupa baru menghitung berapa, gara-gara dia mengajak bicara tadi, aku harus menghitung lagi dari awal,”
Sampai Se Jun datang kembali, si kakek masih menghitung uang. Ia menggeleng lambat ketika rekan kerjanya duduk di sebelahnya. “Mau berapa kali pun ku hitung, ini masih belum cukup, kita butuh makan juga,” ujar kakek menatap Se Jun yang wajahnya tampak segar.
“Aku baru saja membersihkan wajahku beberapa menit lalu, masa harus dikotori lagi!” protes Se Jun, kakek hanya tersenyum sebelum akhirnya dia berkata agar mereka pergi mencari makan dulu, barulah setelah itu bekerja kembali.
Se Jun tak bisa membantah, hanya mengangguk pasrah sambil mengelus dada. “Aku haru sabar.” katanya mengulas senyum lebar dan menambahkan, “Pekerjaan lainku di luar pabrik, aku akui ini lebih mudah.” ia bersemangat menyusul kakek. “Tunggu aku Harabeoji!”
ΘΘΘ