webnovel

#Kembali #026

Seorang pria berjalan ke luar bandara dengan ransel yang ia sanggah di sebelah bahunya. Ia mengenakan jaket denim yang tampak usang. Rambutnya hitam belah samping. Kulitnya lebih gelap dibanding tiga tahun lalu. Tubuhnya lebih berotot dan punggungnya lebih tegap. Tatapan matanya tajam, rahangnya tegas. Ada bekas luka memanjang yang tidak begitu dalam di pipi kirinya. Matanya berkantung dan menghitam.

Tiga tahun tampaknya telah banyak memberi perubahan pada pria itu. Ia jelas tidak sama lagi. Setelah bertahan hidup seorang diri dan berpindah-pindah di berbagai Negara asing, ia belajar banyak hal.

Selama ini ia telah berjuang keras untuk hidupnya, untuk menjadi lebih kuat. Ia telah bertahan, bersabar. Ia telah melalui banyak hal paling menyakitkan selama tujuh tahun, selama menjadi objek penelitian, jadi penderitaan yang ia alami selama tiga tahun ini tidak ada apa-apanya.

Haidee Putra, ia kembali dengan menggunakan identitas aslinya. Meski tahu sedang dicari, ia bahkan tidak berusaha menyamarkan wajahnya dengan topeng, atau menyembunyikannya dengan kacamata, topi, dan masker. Ia begitu terbuka mengenai identitasnya seolah sedang menantang. Seolah sedang berkata pada orang-orang yang telah mencarinya bahwa ia telah kembali.

Orang-orang yang sedang menginginkannya, yang berasal dari proyek Rekayasa Emosi Manusia, yang tidak akan pernah bisa ia lupakan, mungkin akan sedikit terlambat menerima kabar mengenai kedatangannya. Haidee tengah membuat mereka sedikit sibuk.

Begitu berada di luar, tiga orang yang datang dengan jeep dan mobil sport telah menunggu Haidee. Ketiganya baru selesai menjalankan tugas membuat orang yang Haidee benci sedikit sibuk.

Hongli, seorang pria berkebangsaan Tiongkok. Tingginya tidak sampai 180 senti. Tubuhnya sangat kurus seolah kurang gizi. Hongli adalah seorang hacker. Ia adalah seorang penyusup yang mengacak-mengacak website pemenangan Arata Baswara, dan terlibat kejar-kejaran di posko.

Orang kedua yang masih duduk di kursi kemudi adalah Mark. Keturunan Amerika-Korea. Mark seorang fighter. Ia juga pengemudi yang handal dan sangat suka kebut-kebutan di jalan. Mark memiliki tubuh dan paras Korea, tapi sifat lebih mirip orang Amerika. Sebagai seorang petarung, ia memiliki tubuh yang kekar tanpa masa otot berlebih.

Terakhir Carl, berkebangsaan Jerman. Ia adalah seorang sniper, penembak jitu. Ia yang menembak ban mobil Zen Ogawa yang tengah melaju dari jalan layang. Kemampuan menembak adalah kebanggaannya dan membuat onar saat mabuk adalah sifat buruknya yang sulit diubah.

"Selamat datang, Bro!" Mark melakukan tos dengan Haidee, diikuti oleh Hongli dan Carl.

"Bagaimana perjalananmu, Bos?" Hongli berbicara dengan logat katonese yang masih kental.

"Membosankan, Bos," balas Haidee.

Haidee tidak suka dipanggil Bos. Mereka tidak sedang menjalin hubungan atasan dan bawahan. Mereka lebih seperti teman yang pernah melalui masa-masa antara hidup dan mati bersama. Hongli tahu itu, tapi ia suka menggoda Haidee dengan panggilan Bos.

"Bagaimana serangan pemanasan kalian?" Kali ini Haidee yang bertanya.

"Sangat sukses. Tidak perlu khawatir." Carl cukup puas diberi kesempatan unjuk kebolehan. N Island sangat ketat dalam hal kepemilikan senjata api. Jika publik tahu seorang sipil yang merupakan warga asing memiliki senapan, pasti akan terjadi kehebohan di mana-mana.

"Sangat menyenangkan melakukan kebut-kebutan di jalan umum pada siang hari," Mark menimpali.

"Kemampuan menyetirmu tidak selihai sebelumnya, Mark," cibir Hongli.

"Salahkan Haidee yang melarangku bertingkah mencolok padahal aku memiliki banyak waktu kosong yang membosankan." Mark membela diri.

"Kalau Haidee tidak melarangmu, kamu pasti tidak akan bisa beraksi hari ini karena sedang mendekam di dalam penjara," Carl menyahut, Hongli mengangguk setuju.

"Jangan mengataiku, Carl! Haidee juga melarangmu terlalu banyak minum," sinis Mark.

Haidee tidak ingin terlibat dalam perdebatan mereka, juga tidak tahan hanya membiarkannya berlarut-larut. "Bagaimana dengan wanita yang kuminta kalian awasi?"

"Terakhir kali dia berada di taman kota di Distrik Pusat," lapor Mark yang kebagian tugas memata-matai.

Hongli bersiul menggoda. "Lihat, lihat! Kita bekerja susah payah, orang lain yang dia rindukan setengah mati."

"Tidak ada untungnya merindukanmu, kerempeng." Carl melemparkan kunci mobilnya pada Haidee dan bergabung dengan Mark.

Mereka meninggalkan bandara dan bergerak terpisah.

***

Di sebuah taman yang sudah tidak terlalu ramai, seorang pria dan wanita duduk bersisian. Mereka berbicara dan tertawa. Seorang anak laki-laki yang bermain perosotan dengan anak lain, memanggil keduanya dengan sebutan ayah dan ibu kemudian melambai.

Haidee duduk dalam mobil yang terparkir di seberang jalan sembari mengamati. Tatapannya lekat tertuju ke arah si wanita.

Wanita itu adalah Yumi Zahrani, seseorang yang ia rindukan. Yang membuatnya bisa bertahan sampai hari ini. Karena selain dendam dan kerinduan, Haidee tidak lagi memiliki apa pun.

Melihat Yumi berjalan ke arah kedai burger di luar lingkungan taman, Haidee turun dari mobilnya, mengikuti. Yumi sedang duduk di kursi pengunjung dan menunggu pesanannya selesai dibuat. Haidee bergabung dan duduk di depan Yumi.

Jelas Yumi terkejut melihat siapa pria yang duduk di depannya.

"Kalian terlihat seperti pasangan yang serasi dan keluarga kecil yang berbahagia," ujar Haidee tanpa basa-basi. Lega sekali bisa melihat wanita yang sangat ia rindukan dari dekat.

Yumi terlihat akan berbicara, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Kamu tidak ingin menjelaskan apa pun?"

"Menjelaskan apa?" Yumi balik bertanya.

Haidee menatap Yumi lekat kemudian tersenyum. "Menjelaskan kesalahpahamanku," katanya.

Haidee menunggu, tapi Yumi tetap tidak mengatakan apa pun.

"Sebenarnya aku tahu pria itu mantan suamimu. Aku tahu kalian tidak berbaikan. Aku tahu putramu sadar dua tahun lalu dan kamu hanya memberi kesempatan pada mantan suamimu untuk menjadi ayah yang baik." Haidee memilih menjadi orang yang berbicara.

Yumi balas menatap Haidee. Jelas ia merasa tidak senang. "Haidee, kenapa kamu kembali?" Yumi mengabaikan pembahasan mengenai mantan suaminya dan membuka pembahasan lain mengenai alasan keberadaan Haidee.

Mengenai website yang diretas dan angka 011 yang muncul, tidak mungkin Yumi tidak mengetahui pemberitaan itu. Meski ia tidak ingin tahu, orang-orang di sekitarnya tetap membicarakannya.

"Untuk hidupku dan untuk menarikmu ke pihakku."

Yumi menatap Haidee sekali lagi. Bertanya-tanya benarkah pria di depannya ini adalah Haidee yang sama dengan tiga tahun lalu. Kenapa saat menatapnya, Yumi merasa nyaris tidak mengenalinya lagi.

Pesanan Yumi telah selesai dibuat.

"Aku pergi," kata Yumi pamit.

Haidee menahan lengan wanita itu. "Temani aku sebentar."

Yumi tidak menyahut dan Haidee tidak kunjung melepas tangannya. Jelas kalimatnya bukan permintaan melainkan perintah. Jelas Haidee tidak ingin ada penolakan.

Yumi mengalah, menghela napas, dan kembali duduk.

"Apa kamu merindukanku?" Haidee bertanya begitu tiba-tiba.

Diam. Tidak ada jawaban. Yumi bahkan tidak memandang Haidee.

"Iya, benar kamu merindukanku, tapi tidak berani mengakuinya." Haidee menjawab sendiri pertanyaan yang ia ajukan untuk Yumi.

Yumi tidak membantah, tidak juga mengiyakan. Hanya membiarkan kalimat Haidee begitu saja. Membuat perasaan Haidee semakin terkacaukan, semakin tidak berdaya.

"Apa kamu harus melakukan itu?" Yumi terus mengalihkan pembahasan.

Haidee mengangkat kedua bahunya bersamaan. Ia tahu persis apa yang Yumi maksud. "Aku akan berhenti seandai mereka bisa mengembalikan kehidupanku yang damai dan hari-hariku yang menyenangkan."

"Haidee, apa yang sudah terjadi tidak mungkin bisa dikembalikan..."

"Kalau begitu mereka harus membayarnya!" Haidee menegaskan jawabannya, bahwa tekadnya telah bulat. Bahwa tidak ada tawar-menawar lagi dengan dendamnya.

Mereka masih sama. Masih seperti tiga tahun lalu. Isi kepala mereka, sudut pandang mereka tidak akan pernah bisa sejalan. Mereka sama-sama keras kepala, sama-sama memegang teguh prinsip hidup mereka.

"Haidee," Yumi melembutkan suaranya "Tidak bisakah sedikit saja kamu menurunkan kemarahanmu? Bukankah semuanya baik-baik saja sekarang?"

"Baik-baik saja?" Haidee tersenyum sinis, kemudian tertawa. "Jadi hanya aku sendiri yang ditinggalkan dalam keadaan tidak baik-baik saja? Jadi karena hanya aku seorang diri yang tidak baik-baik saja, aku harus mengalah?" Haidee merasa semakin sakit, semakin marah.

"Apa maksudmu?" Yumi memandangi kedua mata Haidee. Jelas merasa khawatir. "Apa yang tidak baik-baik saja? Apa itu efek samping penelitian?" Yumi menyentuh tangan Haidee.

Harusnya Haidee merasa senang, harusnya kepedulian Yumi memberi kehangatan untuk hatinya, tapi Haidee tidak ingin dikasihani. Tidak butuh!

"Aku pergi. Ada banyak hal yang harus aku persiapkan." Haidee beranjak. "Aku akan mengunjungimu lagi nanti."

Yumi tidak menahan meski pertanyaannya belum terjawab. Ia juga tidak bertanya mengenai apa yang akan Haidee lakukan. Yumi hanya membiarkan saja pria itu pergi, menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan akhirnya hilang saat masuk ke dalam mobil.

Mereka masih sama.

Setelah meninggalkan Yumi, Haidee bertolak ke sebuah Tempat Pemakaman Umum. Seseorang yang lain, yang juga sangat ia rindukan ingin ia temui.

Tempat Pemakaman Umum hari ini benar-benar sepi. Hanya Haidee satu-satunya pengunjung. Ia berjalan lambat, mencari. Nama-nama pada batu nisan ia baca satu per satu sampai menemukan nama yang dicarinya. Nama ibunya, kepala panti tempat ia pernah tinggal.

Sebelumnya Haidee yang memutuskan hubungan. Ia yang berkata tidak saling berutang lagi.

Saat itu Haidee begitu marah, begitu kecewa hingga menolak mendengarkan penjelasan ibu. Saat itu ia menutup dirinya hingga terjadi kesalahpahaman yang tidak bisa ia terima. Yang membuatnya tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.

Begitu Haidee pergi setelah menemui ibu untuk yang terakhir kalinya, ibu jatuh sakit. Ibu terus-menerus menyebut nama Haidee, terus mengkhawatirkannya. Para pengurus panti berusaha mencari Haidee tapi tidak tahu harus mencari ke mana. Tidak tahu cara menemukannya. Dua hari kemudian ibu mengembuskan napas terakhirnya.

Seluruh panti berduka. Mereka kehilangan ibu mereka, kehilangan kepala panti yang begitu sabar dan penyayang. Mereka tidak akan bisa lagi mendengar suara lembutnya, tawa cerianya, dan cerita-cerita yang menggugah penuh semangat yang biasa ia bawakan.

"Ibu, aku kembali," kata Haidee menyapa nisan ibunya. "Aku tidak akan pergi lagi. Sampai mati aku tidak akan pernah pergi lagi. Aku akan sering mengunjungi ibu dan menceritakan banyak hal. Dulu aku pernah berjanji membawa ibu ke luar negeri tapi aku tidak menepatinya. Jadi aku akan menceritakan semuanya pada ibu sampai bosan. Tentang orang-orangnya, pemandangannya, makanannya, semuanya."

Haidee mulai mengenang. Semakin banyak ia bercerita, semakin banyak kenangan ditumpahkan ke kepalanya. Tentang masa kecilnya, tentang ibu yang baik hati, tentang pertama kali ia dimarahi karena berkelahi, tentang suatu malam ketika ibu terjaga untuk menjaga Haidee yang demam tinggi. Tentang semua masa kecilnya.

###

Bab berikutnya