webnovel

#Tamu #018

Hari ini harusnya Haidee sudah bisa meninggalkan rumah sakit tapi kemarin sore ia berkonsultasi dengan dokter yang menanganinya. Haidee menceritakan berbagai keluhan dan melakukan pemeriksaan seluruh tubuh. Hasilnya, pagi ini dokter memanggilnya untuk menyampaikan hasil pemeriksaan tempo hari.

Dokter menempelkan hasil rontgen dan mulai menjelaskan.

Dokter menunjuk tungkai kaki yang menunjukkan pernah ada luka di sana, namun sudah pulih. Luka yang diakibatkan tertabrak kendaraan roda empat. Dokter juga menunjukkan perlukaan pada tengkorak kepalanya. Perlukaan yang terjadi karena benturan keras ke aspal saat tertabrak.

"Untuk keluhan-keluhan yang Anda alami, saya masih belum bisa memberikan jawaban pasti apakah berasal dari efek luka pada tengkorak kepala atau karena hal lain. Saya butuh waktu dan harus dilakukan pemeriksaan lanjutan."

Haidee hanya fokus mendengarkan. Ia sama sekali tidak memotong bahkan hanya untuk mengiyakan keterangan dokter mengenai kecelakaan yang memang pernah dialaminya.

"Ketidakseimbangan kimiawi menyebabkan terhentinya pertumbuhan pada bagian-bagian otak tertentu yang kemudian menyebabkan timbulnya halusinasi."

Haidee memikirkan dengan serius setiap kata yang dokter ucapkan, juga kemungkinan bahwa halusinasi yang ia alami adalah efek sisa dari kecelakaan yang menyebabkan bagian otaknya terluka. Meski harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menemukan penyebab secara pasti, Haidee tidak akan tinggal lebih lama untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya. Ia tidak memiliki banyak waktu.

Kemarin tanpa sengaja Haidee melihat seseorang yang sering curi-curi pandang menatap ke arahnya. Pagi ini ia melihat orang yang sama di lorong depan ruang rawatnya. Haidee harus segera meninggalkan rumah sakit, para pengejar telah mendapatkan posisinya. Keberadaannya tidak lagi aman.

Haidee kembali ke ruangannya. Ketika ia melangkah semakin dekat ke ranjangnya yang berada di ujung ruangan, ia melihat seseorang tengah duduk di sana. Orang itu menyilangkan kakinya. Haidee celingukan ke sana-kemari, berjaga-jaga barangkali saja ada penyergapan.

Tapi tidak. Orang itu datang menemuinya seorang diri.

Ketika Haidee menyingkap tirai agar bisa leluasa melihat, orang yang duduk di sana adalah seorang pria berusia 40 tahun. Ia sedang mengupas apel dengan pisau kecil yang ada di meja. Haidee mengenalnya sebagai profesor yang mengurungnya di lab. Riset dan Teknologi.

"Saya dengar kamu akan meninggalkan rumah sakit. Apa sudah cukup beristirahat?" Profesor Rekson bertanya dengan nada bicara yang terdengar penuh perhatian.

"Apa maumu?!" Haidee bersikap waspada.

Prof. Rekson tersenyum. "Saya datang untuk mengajak kembali secara baik-baik," katanya masih terlihat penuh perhatian. "Saya tahu setelah ini kamu tidak tahu harus ke mana. Pengurus panti yang telah kamu anggap keluarga telah menyerahkan perawatanmu pada kami, jadi kami tidak mungkin menelantarkanmu begitu saja."

"Aku sudah terlalu tua untuk membiarkan orang lain menentukan pilihan untuk hidupku."

"Kalimat yang bagus." Prof. Rekson tersenyum lagi. "Paling tidak harusnya kamu merasa bangga karena Negara memilihmu untuk berkorban."

"Itu bukan berkorban tapi melakukan pemaksaan!" kata Haidee tegas.

"Oh, jadi menurutmu pengorbanan adalah melakukan segala sesuatu dengan senang hati, sesuai kesanggupan? Tapi yang seperti itu bukan berkorban tapi mengabdi."

"Terserah! Tapi aku tidak akan pergi ke mana-mana."

"Baiklah." Profesor berdiri dari duduknya. "Saya sudah memberimu kesempatan untuk kembali secara bak-baik. Kalau begitu jangan salahkan kalau nanti ada yang berlaku sedikit kasar."

Haidee hanya menyipitkan matanya, tidak menanggapi. Prof. Rekson berlalu dengan sudut mata Haidee masih mengikuti setiap langkahnya. Di depan pintu, dokter yang bertanggung jawab atas Haidee berdiri.

"Berkorban pada Negara? Bukannya itu sebuah kebanggaan yang tidak semua orang bisa dapatkan." Sang dokter berkata pada Haidee.

"Anda menguping?"

Sebelumnya Haidee berpikir bahwa dokter di depannya adalah seorang dokter biasa. Sebelumnya dokter itu terlihat normal. Sekarang, setelah menangkap basah pria itu menguping, tampaknya Haidee harus mulai waspada pada siapa pun yang ada di dekatnya.

Sang dokter mengangkat bahunya bersamaan. "Saya ke sini untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum Anda meninggalkan rumah sakit. Silakan kembali ke tempat tidur Anda!"

Haidee menurut meski ia tetap tidak menurunkan kewaspadaannya. Dokter mulai memeriksa dan mencatat. Kemudian memberi beberapa wejangan mengenai menjaga kesehatan. Setelah selesai, dokter beralih ke ranjang sebelah Haidee yang selalu tertutup tirai.

"Kapan saya bisa pulang, Dok?" Sebuah suara terdengar bertanya.

"Anda hanya terkena flu. Hari ini pulang juga sudah bisa."

"Bukannya beberapa tahun lalu flu menjadi penyakit yang paling menggemparkan di seluruh dunia. Flu gejala awalnya, setelah itu gangguan pernapasan, sampai dapat mengakibatkan kematian."

"Anda tidak perlu khawatir karena sekarang tubuh Anda benar-benar sudah sehat."

Merasa tidak asing dengan suara orang di sebelah ranjangnya, Haidee menyingkap tirai yang membatasi penglihatannya.

Tepat seperti dugaannya. Pria yang ada di sana adalah orang yang sama yang mengaku sebagai penyelamatnya saat berada di lab.

"Halo!" Adiwangsa melambai pada Haidee.

Bagus! Sekarang Haidee benar-benar telah terkurung. Di luar berkeliaran beberapa orang dari lab. Riset dan Teknologi, di sebelah ranjangnya ada Adiwangsa. Tidak lupa ada seorang dokter yang juga tampak mencurigakan, yang entah berada di pihak mana.

Adiwangsa beralih ke tempat Haidee ketika dokter berpindah ke pasien selanjutnya. Adiwangsa mengambil satu apel yang Yumi Zahrani bawakan dan mengambil alih ranjang Haidee, membuat pemiliknya harus puas hanya dengan duduk di kursi.

"Sejak kapan kamu berada di sana?" Haidee melipat tangan di depan dada.

"Sehari setelah kamu masuk." Adiwangsa mulai menggigiti apelnya. "Jangan salahkan aku. Bosku yang menyuruhku agar kamu tidak terlepas dari pengawasanku."

Haidee tidak menanggapi. Ia hanya memperhatikan tingkah Adiwangsa yang mirip monyet kecil ketika baru saja mendapat makanan. Pikirannya sibuk menerka-nerka apakah Adiwangsa dapat dipercaya atau pria itu akan menyebabkannya masuk ke dalam bahaya lain.

"Oh iya, besok kita sudah harus meninggalkan rumah sakit. Tempat ini sudah tidak aman lagi." Adiwangsa memberitahukan rencananya.

"Kenapa aku harus pergi dengamu?" Haidee tampaknya tidak begitu setuju dengan rencana Adiwangsa. Ia memang berencana meninggalkan rumah sakit, tapi seorang diri, tidak dengan siapa-siapa.

"Karena setelah ini kamu tidak tahu harus ke mana." Adiwangsa meniru kalimat Prof. Rekson. "Pengurus panti yang kamu anggap keluarga sudah menyerahkan pengawasanmu kepada mereka. Ya, kecuali kamu mau kembali lagi ke lab." Adiwangsa mengangkat kedua bahunya bersamaan.

Haidee mengerutkan keningnya. "Tetap saja... aku ingin mendengarkan penjelasan..."

Adiwangsa mengangkat tangannya. Ia berhenti menggigit apel dan fokus mendengarkan.

"Ada yang datang," kata Adiwangsa dengan suara berbisik.

Suara pletak-pletok dari heels tertangkap pendengaran mereka. Ketika Haidee memfokuskan penglihatannya untuk menyambut tamu lain yang datang, Adiwangsa sudah kabur secepat kilat kembali ke ranjangnya. Ia menarik tirai hingga tidak terlihat celah sedikit pun untuk mengintip.

Seorang wanita berambut kecokelatan dan memakai heels setinggi 5 senti kini telah berdiri di depan Haidee. Haidee menatap dari ujung rambut sampa ujung kaki. Bertanya-tanya kemampuan apa yang wanita di depannya ini miliki sehingga membuat Adiwangsa melarikan diri dengan cepat.

"Izinkan saya memperkenalkan diri," kata wanita itu.

"Ah, iya. Silakan duduk!" Haidee berhenti memperhatikan. Ia mendorong kursi yang sebelumnya ia duduki, sementara ia sendiri berpindah duduk di atas ranjang.

"Nama saya Hana Lutfia. Saya bekerja di lab. Riset dan Teknologi." Wanita yang bernama Hana mulai memperkenalkan diri.

Sebelah alis Haidee terangkat ketika mendengar nama lab. Riset dan Teknologi.

Bisa menangkap maksud dan ekspresi Haidee dengan cepat, Hana segera meluruskan. " Jangan khawatir karena saya sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan sesuatu yang ada di lantai zero. Saya juga tidak mengerti masalah yang Anda hadapi. Saya datang ke sini hanya untuk menanyakan keberadaan seseorang."

"Keberadaan seseorang?" Haidee mengulang. Tatapannya tertuju ke belakang punggung Hana.

"Orang itu bernama Zen Adnan. Ia berutang sesuatu pada saya." Hana mengambil jeda ketika melihat kening Haidee berkerut. "Beberapa hari yang lalu keamanan lab. Menanyai saya tentang si brengsek itu. Mereka berkata tentang mata-mata, penyusup... Dari yang kudengar secara tidak sengaja katanya dia menculikmu."

Segera Haidee mendapatkan ide untuk menyingkirkan Adiwangsa. Haidee menggeleng tapi tatapan matanya tidak berhenti tertuju ke tempat dibalik tirai di belakang Hana.

"Tidak tahu?" Hana bertanya memastikan gerakan kepala Haidee.

Haidee kembali menggeleng dengan tatapan mata yang tidak berubah.

Kali ini kening Hana yang berkerut. Ia mengikuti arah pandangan Haidee dan seketika itu juga mengerti maksudnya. Hana segera menyingkap tirai. Seorang pria tengah baya berbaring di sana. Tubuhnya ditutupi selimut sampai sebatas leher dan ia tampak terkejut. Jelas pria itu bukan si brengsek yang Hana cari.

Melihat tidak ada Adiwangsa di sana, Hana dan Haidee saling bertukar pandangan. Haidee beranjak untuk memeriksa sendiri ranjang-ranjang lain dan tetap tidak menemukan Adiwangsa di mana pun.

Kening Haidee berkerut dalam, "Cepat sekali kaburnya orang itu."

###

Bab berikutnya