webnovel

5T + 3Y

BAB 15

Medan, 15 Januari 2019

Sudah memasuki hari kedua 3E bantu-bantu di tiga kantor cabang milik ayah mereka.

Pagi ini, tampak Erick Vildy sedang menekuri laporan keuangan yang sedang disampaikan oleh kepala keuangan. Kegusaran segera menyelisir di pesisir pikirannya.

"Bukankah kemarin sudah aku minta kau perbaiki lagi neraca lajur yang untuk bulan Desember itu?" tanya Erick Vildy melemparkan kembali berkasnya ke atas meja, ke hadapan si kepala keuangan.

"Sistem yang Bapak beritahu kemarin itu terlalu rumit dan tidak bisa diterapkan oleh seluruh anak buah saya, Pak," kata si kepala keuangan.

"Dan dengan gampangnya kau mengatakan hal itu kepadaku?" tampak emosi Erick Vildy yang sudah naik dengan intonasi suaranya yang sudah meninggi. "Lantas kalau begitu, apa kerjaanmu sebagai seorang kepala keuangan?"

Si kepala keuangan diam saja. Sudah merah padam wajahnya.

"Ya kau ajarilah mereka. Jelas-jelas dengan mempertahankan sistem lama kalian itu, kerja kalian jadi lambat dan selisihnya kadang bisa besar sekali. Kenapa tidak mau memperbaiki diri dan mempelajari hal-hal baru sih? Bagaimana perusahaan ini bisa berkembang jika semua SDM- nya tidak ingin mempelajari hal-hal baru?"

Si kepala keuangan terdiam lagi. Di hadapan anak bos, dia tidak berani berkutik.

"Perbaiki lagi sana…" kata Erick Vildy mendorong kembali berkas tersebut ke kepala keuangan. "Besok pagi kau bawa lagi laporan Desember itu ke mejaku ini. Terima kasih…"

Si kepala keuangan memungut kembali berkas laporannya. Dia berlalu dari ruangan Erick Vildy dengan wajah yang merah padam.

Erick Vildy mengiringi kepergian si kepala keuangan dengan dahi dan wajahnya yang merengut. Sudah dibuktikan salah sekali, masih saja keras kepala dan bersikukuh mempertahankan pendiriannya.

Kegusaran menyelisir di pesisir pikiran Erick Vildy.

***

Kegusaran menyelisir di pesisir pikiran Erwie Vincent.

"Yang kemarin aku minta tolong padamu sudah di-follow up?" tanya Erwie Vincent kepada si sekretaris.

Si sekretaris yang tidak menyangka kepala cabangnya akan datang sepagi itu ke kantor, berdiri dengan kaku tanpa sempat membereskan semua peralatan kosmetiknya yang masih berserakan di meja.

"Berdandan lebih penting ya…?" tanya Erwie Vincent dengan senyuman santainya, tapi perkataannya sarat akan sindiran yang pedas nan tajam.

"Iya, Pak Erwie Vincent… Akan saya follow up hari ini juga," jawab si sekretaris terbata-bata.

"Oke… Sudah kuberitahu padamu bukan? Supplier yang satu ini penting sekali karena dia menjual bahan-bahan yang lebih murah. Kita pesan sekali dulu dan lihat bagaimana kualitas bahan-bahan tersebut selama setahun ke depan."

"Oke, Pak Erwie Vincent…"

"Harus cepat di-follow up ya karena kita sudah sangat membutuhkan boiler yang baru. Jika tidak ada boiler yang baru ini, produksi pabrik akan mengalami kemunduran besar. Hal itu tentunya aku tidak perlu mengajarimu lagi bukan?" tanya Erwie Vincent masih dengan senyuman santainya.

"Iya, Pak… Iya, Pak…" kata si sekretaris panas dingin di depan anak bosnya yang baru kali ini dilihatnya secara langsung.

Astaganaga…! Ganteng sekali… Gagah lagi… Dan sangat berkompeten… Dengan demikian, aku jadi semangat kerja deh ke depannya… Tapi, sayang sekali… Sudah punya pacar… Jadi penasaran aku yang jadi pacarnya itu kira-kira gadis yang seperti apa ya… Pasti persyaratannya tinggi untuk bisa menjadi pacar dari salah satu tiga bersaudara Makmur…

Jadi penasaran juga aku… Tampang kedua saudaranya yang lain itu seperti apa ya…? Apakah seganteng dan segagah Erwie Vincent ini juga…?

Melihat si sekretaris masih tidak juga bergerak, Erwie Vincent berdehem sebentar. Si sekretaris buru-buru membereskan segala peralatan kosmetiknya dari meja. Sejurus kemudian, ia sudah tampak menenggelamkan diri ke dalam pekerjaannya.

Erwie Vincent hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah si sekretaris bagian pembelian ini.

Kegelisahan mengeriap di padang pikiran Erwie Vincent.

***

Kegelisahan mengeriap di padang pikiran Erdie Vio.

"Bagaimana dengan bahan kemarin yang rusak itu? Kau sudah email ke supplier- nya?" tanya Erdie Vio muncul mendadak di hadapan salah satu karyawati divisi pembelian.

Si karyawati tentu saja tampak terkejut. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang sejenak dan segera mengecek komputernya.

"Sudah, Pak Erdie Vio," jawab si karyawati merasa panas dingin karena Erdie Vio berdiri terlalu dekat di sampingnya.

"Apa balasannya?" tanya Erdie Vio lagi.

"Balasannya itu… Balasannya itu…" si karyawati tak kuasa meneruskan pernyataannya.

"Oh, dalam bahasa Inggris…" Erdie Vio segera tahu si karyawati ini masih dalam prosesnya mengejar gelar S1 di jurusan ekonomi. Hanya saja, dia tidak paham kenapa bagian personalia menempatkan seseorang yang tidak paham bahasa asing di divisi pembelian.

"Ya sudah… Teruskan email itu ke email-ku saja ya… Aku yang langsung berhubungan dengan supplier-nya nanti…" kata Erdie Vio menepuk ringan bahu si karyawati.

Si karyawati merasa panas dingin lagi. Aduh…! Tidak kusangka anak bos ternyata begitu tampan dan gagah. Tahu begitu, aku gunakan saja gajiku untuk menjalani banyak terapi kecantikan. Sayang sekali… Erdie Vio ini sudah punya pacar… Pacarnya itu kira-kira gadis yang bagaimana ya? Jadi penasaran aku… Jangan sempat saja aku ini lebih cantik daripada pacarnya ya… Akan kurebut Erdie Vio ini dari tangan pacarnya itu…

Erdie Vio segera berlalu ke dalam ruangannya. Hari ini banyak tugas. Kepusingan segera berselarak di kuncup pikirannya.

***

Malam sudah menyapa seantero kota. Karena Melisa dan Sabrina hanya bekerja sebagai karyawan bagian keuangan dan perencanaan di salah satu kantor cabang milik Pak Faiz, mereka pulang cepat hari itu. Malamnya mereka bersepakat datang ke sanggar Solidaritas Abadi.

Dewa Perak tertegun melihat adanya dua gadis cantik jelita yang datang ke sanggar pagi sekali sebelum waktu latihan. Sudah tiga bulan lebih aku bekerja menjaga bangunan sanggar Solidaritas Abadi ini, hanya ada seorang anggota perempuan yang kujumpai selama ini. Kenapa mendadak malam ini datang lagi dua? Apakah ini pacar anak-anak Pak Faiz dan Bu Florencia? Memang akhir-akhir ini Pak Faiz dan Bu Florencia ada cerita-cerita bahwa ketiga anak mereka sudah punya pacar dan awal Januari ini akan pulang ke Medan. Inikah pacar-pacar mereka? Jika pacar mereka sudah tiba, seharusnya 3E itu sendiri juga sudah sampai di Medan. Siipp…! Dengan demikian, aku bisa segera bertemu dengan 3E dan memastikan apakah benar mereka bertigalah orang-orang yang dimasukkan tiga bintang kemujuran oleh Dewi Ruby waktu itu. Akhirnya hari ini tiba juga, Buddha… Akhirnya hari yang kunanti-nantikan selama tiga bulan terakhir di alam manusia ini tiba juga… Akhirnya aku bisa mengembalikan Dewi Ruby ke wujudnya semula, Buddha…

"Kau pasti Jovan Dellas yang diceritakan oleh Oom Faiz dan Tante Florencia itu…" ujar Melisa Rayadi begitu ia melihat sosok Dewa Perak yang duduk di meja kerjanya di pojok auditorium lantai satu bangunan sanggar Solidaritas Abadi.

Dewa Perak memperkenalkan dirinya sebagai Jovan Dellas di alam manusia. Dia mengulurkan tangannya dan menyalami tangan kedua gadis cantik itu.

"Salam kenal… Aku Jovan Dellas. Sejak Oktober tahun lalu, aku bekerja di sini sebagai penjaga bangunan sanggar Solidaritas Abadi ini. Senang bertemu dengan kalian berdua."

"Aku Melisa Rayadi."

"Aku Sabrina… Sabrina Marcelina Tiogana… Kami dulunya juga anggota tim Solidaritas Abadi…" kata Sabrina Marcelina dengan sebersit senyuman cerahnya.

"Ya… Sepertinya kalian adalah… kalian adalah…" kata Dewa Perak melirik-lirik sebentar ke foto 3E ukuran besar yang terpampang di salah satu dinding bangunan sanggar Solidaritas Abadi.

"Hah…? Sejak kapan foto ini ada di sini?" tanya Sabrina Marcelina menunjuk ke foto 3E itu.

"Itu adalah salah satu foto mereka ketika mengisi acara pembukaan turnamen naga di Jakarta tahun 2011 lalu bukan?" tanya Melisa dengan mata yang berbinar-binar pula.

"Baru dipasang oleh Pak Faiz November lalu. Pak Faiz selalu mengatakan pada seluruh anggota bahwasanya itu adalah ketiga anaknya, sekaligus tiga ketua tertinggi di sanggar Solidaritas Abadi ini," kata Dewa Perak non komital.

Sabrina Marcelina dan Melisa Rayadi terus memperhatikan foto ukuran besar tersebut selama beberapa saat.

"Dan kalian adalah kekasih dari 3E di atas…?" kata Dewa Perak mengajukan sebuah tebakan.

"Yang tengah…" kata Melisa Rayadi sedikit tersipu malu.

"Yang kanan…" kata Sabrina Marcelina sedikit tersipu malu pula.

Dewa Perak mangut-mangut mendengar pengakuan kedua gadis cantik jelita di hadapannya itu.

"Jadi bagaimana dengan perkembangan sanggar ini, Jov…?" tanya Melisa Rayadi lagi. "Apakah anggota-anggota yang baru sekarang ini pernah mengikuti pertandingan di luar lagi?"

"Jangankan bertanding di luar, Melisa… Naga saja sudah tidak pernah ditampilkan lagi. Sering kekurangan anggota yang bisa main mutiara naga, kepala, ekor, dan musik pengiringnya. Hanya barongsai yang masih ada beberapa kali diundang tampil di luar. Itu pun sering kali jobs kita direbut oleh tim Gagak Hitam yang menyebalkan itu…" kata Dewa Perak menghela napas panjang. Begitulah manusia… Ada persaingan yang tidak sehat di mana-mana dan ada manusia yang bisa menjatuhkan manusia yang lain demi tercapainya tujuannya yang serakah dan egois.

Sabrina dan Melisa saling berpandangan sesaat.

"Begitu ya… Tapi kali ini 3E sudah balik… Mudah-mudahan ke depannya akan ada sedikit sinar harapan dan kesempatan untuk tim Solidaritas Abadi ya…" kata Melisa Rayadi dengan sebersit senyuman simpulnya.

"Kami ke atas dulu, Jov… Mau persiapkan naga dan alat-alat penyertanya…" kata Sabrina Marcelina.

"Naga dan alat bunyi-bunyiannya itu sudah berdebu sekali ketika aku pertama kali tiba di sini. Tapi jangan khawatir. Sudah kubersihkan kok…" kata Dewa Perak dengan sebersit senyuman simpulnya juga.

"Oke… Terima kasih ya, Jov…" kata Melisa Rayadi.

Keduanya menaiki tangga ke lantai dua.

"Tampan juga, Mel… Dan gagah juga…" kata Sabrina Marcelina sedikit berseloroh. "Tapi, dia jarang tersenyum, dan jarang menampilkan senyuman yang penuh semangat dan antusiasme seperti Erdie. Jadi, Erdie tetap menjadi pangeranku."

Sabrina Marcelina meledak dalam tawanya, begitu juga dengan Melisa.

"Dia tidak seserius Erick. Dia tidak sematang Erick. Aku kurang sreg dengan laki-laki yang tidak serius. Tetap Erick yang akan menjadi pangeranku."

"Ngomong-ngomong, kau sudah beritahu papa mamamu mengenai hubunganmu dengan Erick?" tanya Sabrina Marcelina.

"Belum… Kau…?"

"Belum juga…" kata Sabrina Marcelina menghela napas panjang. "Teringat dengan kejadian lima tahun lalu, dan betapa marahnya papaku waktu itu, aku jadi ragu untuk berterus terang kali ini, Mel."

"Papamu masih menganggap 3E yang telah membunuh Stella Kuangdinata?"

"Jelas-jelas mayat perempuan penipu itu kautemukan mengonggok di dalam bangunan ini bukan? Dan entah dari mana papaku dengar tentang kekuatan aneh nan misterius yang dimiliki oleh 3E itu, Mel. Jika saja waktu itu aku tidak berbohong dengan bilang aku sudah dapat satu kerjaan di Singapura, papaku jelas tidak memperbolehkan aku ke Singapura loh, Mel…"

"Sama denganku kalau begitu… Papaku juga dengar entah dari mana soal kekuatan misterius pada diri 3E itu. Papaku curiga betul 3E- lah yang telah membunuh Stella Kuangdinata. Jika saja aku tidak berbohong waktu itu dengan bilang aku dapat kerjaan di Sydney, jelas aku tak bisa ikut Erick sampai ke Sydney sana."

Kedua gadis itu tampak bingung.

"Tapi, lambat-laun kedua orang tua kita harus tahu tentang hubungan kita dengan 2E bukan? Cepat atau lambat kita harus berterus terang pada mereka. Iya nggak?" celetuk Sabrina Marcelina.

"Iya, kau benar, Rin… Aku akan mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya baik-baik dengan papa mamaku. Mudah-mudahan saja mereka mau mengerti."

Kedua gadis tersebut mulai menyibukkan diri dengan naga dan sekumpulan peralatannya.

***

Teddy Revan memainkan kepala singa di atas tiang-tiang besi yang terletak di halaman sanggar Solidaritas Abadi. Tampak Theo Rafael yang memainkan ekornya. Mereka berdua tampak meloncat-loncat di atas tiang-tiang dengan lincah.

"Anggota baru semuanya, Jov…" kata Melisa Rayadi yang memperhatikan dari bawah. "Hampir 80% anggota lama yang lima tahun lalu sudah tidak tampak."

"Yang memainkan kepala singa di atas itu adalah Teddy Revan… Teddy Revan Liuwis… Yang memainkan ekornya adalah Theo Rafael… Theo Rafael Yaputra… Terus… Yang sedang duduk di sana tuh, santai dan minum-minum, itu namanya Timothy Ricky… Timothy Ricky Liuwis… Dan, yang sedang menyusun celana-celana barongsai ke dalam kardusnya itu adalah Tommy Rido… Tommy Rido Syawira… Yang sedang duduk di sana tuh dengan matanya yang terpelongo – entah apa yang sedang dilamunkannya – adalah Thomas Robert… Thomas Robert Liuwis…"

Mendengar pengenalan dari Dewa Perak, Sabrina Marcelina dan Melisa Rayadi saling bertukar pandang sejenak.

"Kok jadinya sama seperti 3E kami, Jov…? Nama kelima orang itu juga ada inisialnya ya…?" tanya Sabrina Marcelina sedikit kebingungan.

"Iya… Mereka berlima adalah saudara sepupuan. Yang Liuwis itu ayah mereka yang bersaudara. Sementara si Syawira dan Yaputra itu adalah ibu mereka yang bersaudara. Jadi yah, kelimanya memang saudara sepupuan, makanya nama-nama mereka itu ada inisialnya," kata Dewa Perak memberikan sedikit penjelasan.

Sementara itu, sepeda motor Erdie Vio sudah masuk ke jalan di mana bangunan sanggar Solidaritas Abadi terletak. Tampak Yuni Mariany yang sedang jalan kaki, juga mengarah ke bangunan sanggar Solidaritas Abadi. Tapi sungguh sialnya bagi gadis itu, kakinya terantuk ke sebuah batu besar di pinggir jalan. Sandalnya langsung menganga lebar pada bagian depan. Batu langsung mengenai jari-jari kakinya. Dia memekik lembut karena kesakitan. Detik-detik berikutnya, sudah tampak Yuni Mariany berjalan dengan tertatih-tatih di pinggir jalan.

"Aduh! Sial sekali…! Kenapa bisa ada batu sebesar itu di pinggir jalan ini? Aduh…! Masih jauh pula… Bagaimana ini?" kata Yuni Mariany kepada dirinya sendiri. Dia mulai celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, tapi tak ada satu becak pun yang tampak.

Sepeda motor Erdie Vio mendekat. Dia melihat ada seorang gadis yang tampaknya sedang mengalami kesulitan di pinggir jalan. Gadis itu tampak berpakaian sangat rapi, dengan penampilannya yang sangat sopan. Jadi, Erdie Vio mengambil kesimpulan gadis ini pastilah gadis baik-baik.

"Ada yang bisa kubantu, Nona?" tanya Erdie Vio setelah mendekatkan sepeda motornya ke Yuni Mariany.

Yuni Mariany tercengang mendapati seraut wajah tampan, dan mendapati perawakan tubuh yang begitu tinggi, tegap dan gagah, yang mendadak muncul di hadapannya.

"Kakiku… Kakiku… Kakiku… Kakiku terantuk ke batu besar itu. Sekarang sandalku rusak dan aku harus jalan kaki ke tempat tujuanku. Tempat tujuanku itu jauh lagi…" kata Yuni Mariany dengan wajahnya yang setengah bersungut-sungut.

"Ikut aku saja… Mau ke mana memangnya?" tampak senyuman Erdie Vio yang menggetarkan hati dan meleburkan sukma Yuni Mariany.

"Ke sanggar Solidaritas Abadi yang ada di ujung jalan ini," kata Yuni Mariany juga dengan senyuman keceriaannya. Siapa yang tidak senang mendadak ditawari tumpangan oleh seorang laki-laki ganteng yang tinggi tegap dan gagah seperti ini? Yuni Mariany memutuskan dia tidak boleh melewatkan kesempatan ini.

Erdie Vio tersenyum penuh semangat dan antusiasme lagi. "Oh ya…? Kebetulan sekali aku juga mau ke sanggar itu. Kau jadi anggota di sana ya?"

"Jadi… Jadi… Jadi kau juga anggota Solidaritas Abadi? Kok selama ini aku tidak pernah melihatmu?" tanya Yuni Mariany mulai mengenakan helm dan naik ke atas sepeda motor Erdie Vio.

"Aku juga anggota sih… Hanya saja, selama lima tahun ini aku tidak ada di Medan. Aku tinggal di Singapura. Ini aku baru saja kembali ke Medan," kata Erdie Vio dengan nada candaan yang agak ganjil. Jelas tidak mungkin dia menceritakan bahwa dia adalah salah satu dari ketiga anak bos yang mendirikan sanggar Solidaritas Abadi.

Mendadak satu bayangan foto ukuran besar yang selama ini terpampang di auditorium sanggar lantai satu berkelabat masuk ke dalam pemikiran Yuni Mariany. Akhirnya ia tahu siapa laki-laki yang menawarinya tumpangan malam ini.

"Hah… Kau adalah salah satu dari 3E yang fotonya dipampangkan oleh Pak Faiz di auditorium sanggar lantai satu loh… Ya… Ya… Ya… Tidak salah lagi… Kau adalah salah satu dari ketiga anak Pak Faiz…" kata Yuni Mariany seolah-olah mendapat durian runtuh malam itu.

"Cepat sekali ya jati diriku ketahuan rupanya. Sebegitu terkenalkah 3E di sanggar Solidaritas Abadi?" tanya Erdie Vio masih dengan nada selorohnya.

"Tentu saja… Bukan hanya di Solidaritas Abadi, tapi juga di tim-tim lain yang berkecimpung dalam dunia atraksi naga dan barongsai di kota ini dan di negeri ini. Aku dengar dari kakak perempuanku yang masuk ke tim Gagak Hitam, kalian bertiga bahkan pernah masuk majalah dan TV."

"Gagak Hitam?" Erdie Vio agak sedikit heran karena gadis ini dan kakak perempuannya masuk ke dalam dua tim yang berbeda, yang jelas-jelas merupakan saingan berat satu sama lain. Kecurigaan mulai timbul, tapi dia pendam dulu dan tidak mau menunjukkannya terlalu cepat.

"Iya… Tim Gagak Hitam. Sudah berkali-kali kuajak dia masuk ke tim Solidaritas Abadi ini saja. Dia bilang tidak mau karena cowok-cowok di tim Gagak Hitam lebih gagah dan keren-keren. Katanya ya…" kata Yuni Mariany menirukan gaya bicara kakak perempuannya.

Erdie Vio meledak dalam tawa renyah, "Sesekali boleh kau bawa kakak perempuanmu jalan-jalan ke sanggar kita. Lihat dulu baru membuat keputusan dan penilaian. Oh ya… Aku lupa memperkenalkan diri… Namaku Erdie Vio… Erdie Vio Makmur…" kata Erdie Vio mengulurkan tangannya ke belakang.

"Namaku Yuni… Yuni Mariany Gani… Senang berkenalan denganmu, Die…" kata Yuni Mariany menyambut uluran tangan Erdie Vio.

Nama yang keren sekali… Orangnya juga ganteng sekali, sangat gagah dan begitu memikat. Aku akan ingat malam ini seumur hidupku… Oh, Buddha… Aku takkan melupakan kejadian malam ini seumur hidupku…

Akan tetapi, begitu sepeda motor Erdie Vio masuk ke pelataran parkir dan begitu sinar mata Yuni Mariany bertemu pandang dengan sinar mata Sabrina Marcelina, dia tahu dia harus berjuang keras terlebih dahulu jika ia ingin mendapatkan Erdie Vio.

"Kok lama sih sampainya, Die…?" tanya Sabrina Marcelina melingkarkan lengannya ke leher sang pangeran pujaannya.

"Ada anggota cewek kita juga. Kakinya terantuk ke batu besar di jalan dan sandalnya rusak. Pas mau ke sini juga, yah sekalian kuantarkan dia ke sini," kata Erdie Vio mengerling nakal kepada Sabrina Marcelina.

"Antar sekali saja… Jangan antar untuk yang kedua dan ketiga kali…" kata Sabrina Marcelina sambil membelai-belai wajah sang pangeran pujaan.

Yuni Mariany menyaksikan adegan tersebut dengan mata yang terbakar cemburu.

"Sudahlah… Hanya diantar ke sini saja, jangan terlalu terbawa ke dalam perasaan," sindir Teddy Revan sambil tertawa cekikikan.

"Bang Erdie tuh sudah ada pacar. Tuh lihat pacarnya… Namanya Kak Sabrina…" kata Theo Rafael menunjuk-nunjuk ke Sabrina Marcelina yang kini tengah menggandeng tangan Erdie Vio masuk ke dalam bangunan sanggar.

"Apaan sih!" sergah Yuni Mariany dengan mata melotot ke Teddy Revan dan Theo Rafael. "Ya tidak ada salahnya dong aku mengagumi seorang cowok ganteng dan gagah seperti Erdie Vio itu…"

"Jangan berkhayal terlalu tinggi. Waktu jatuh, sakit sekali tuh rasanya…" kata Tommy Rido.

"Ini baru satu yang muncul, kau sudah panas dingin seperti ini. Yun… Yun… Nanti muncul lagi dua, aku tak bisa bayangkan lagi apa yang bakalan terjadi padamu. Mungkin kami harus membawamu ke rumah sakit untuk infus," kata Thomas Robert.

Lima T meledak dalam tawa terbahak-bahak.

"Mau minum, Yun?" tanya Timothy Ricky menawarkan Yuni Mariany sekaleng minuman.

"Nggak mau! Minum saja tuh sendiri!" jelas tampak suasana hati Yuni Mariany tidak enak malam ini.

"Apaan sih! Salahku apa coba? Kan aku hanya menawarinya minum," sergah Timothy Ricky sedikit kesal.

"Salahmu adalah tidak bisa membaca situasi, dan menawarkan sekaleng minuman kepada seorang gadis di saat suasana hatinya lagi galau," kata Tommy Rido. Tiga T yang lain membenarkan perkataan Tommy Rido.

"Ya sudah… Aku minum sendiri saja kalau tidak mau," kata Timothy Ricky membuka minuman kaleng itu dan meneguk isinya.

Tidak bisa… Tidak bisa… Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan. Aku, Yuni Mariany Gani, putri salah seorang pengusaha keramik terbesar di Medan ini, jelas tak boleh kalah dari gadis yang biasa-biasa saja seperti si Sabrina itu. Penampilannya saja biasa sekali. Ada hak apa dia bersanding dengan Erdieku? Gara-gara si Yenny yang getol ingin pakai mobil malam ini. Kalau tidak, kan aku bisa naik mobil ke sini dan tidak perlu kehilangan pamor di hadapan gadis yang biasa-biasa saja seperti si Sabrina ini. Tidak…! Tidak…! Tidak…! Apa pun caranya, Sabrina harus berpisah dari Erdie! Erdie harus memperhatikanku seorang saja! Hanya aku seorang saja!

Yuni Mariany melangkah masuk ke dalam bangunan sanggar Solidaritas Abadi. Sebelum memikirkan rencana-rencananya yang selanjutnya, pertama-tama dia harus menyembuhkan luka pada jari-jari kakinya dulu. Dia masuk ke dalam bangunan sanggar mencari kotak P3K.

Di dalam tampak Erdie Vio, Sabrina Marcelina, Melisa Rayadi dan Jovan Dellas sedang bercakap-cakap dengan riang gembira. Seandainya Sabrina Marcelina tidak ada di sana, dia sudah ikut bergabung dengan percakapan seru itu, pikir Yuni Mariany dalam hati.

"Kotak P3K ada di sini, Yun…" kata Jovan Dellas menyodorkan kotak P3K kepada Erdie Vio.

Erdie Vio menyodorkan kotak P3K kepada Yuni Mariany. Kembali Yuni Mariany tersenyum hangat begitu ia menerima kotak P3K tersebut dari sang pangeran idamannya. Dia merintih kesakitan lagi.

"Aduh…! Aduh! Sakitnya bukan main, Die…" kata Yuni Mariany mulai mengambil langkah kedua. "Siapa pun di sini, ada yang bisa bantu aku oleskan obat?"

Yuni Mariany mengambil suatu risiko. Dia ingin lihat siapa duluan yang akan membuka mulut membantunya mengoleskan obat.

"Aku saja…" kata Erdie Vio menarik sebuah kursi untuk diduduki oleh Yuni Mariany. "Sini kakimu…" kata Erdie Vio dengan lembut.

Satu kecemburuan mulai terbit di mata Sabrina Marcelina. Baik Dewa Perak maupun Melisa Rayadi bisa menangkap sorot kecemburuan itu. Dewa Perak menggeleng-gelengkan kepalanya. Jelas dalam posisi memegang kotak P3K dan berada dalam jarak yang terdekat dengan Yuni Mariany, tidak mungkin Erdie Vio mengalihkan tugas mengoleskan obat itu ke orang lain. Dewa Perak menekur. Jika dalam posisi Erdie Vio, Dewa Perak juga akan berbuat hal yang sama. Seandainya Dewi Ruby ada di sini, akankah ia secemburu Sabrina Marcelina ini?

Jelas Yuni Mariany ada hati terhadap Erdie Vio, meski dia tahu Sabrina Marcelina adalah kekasih Erdie Vio. Memang sejak awal, aku merasa Yuni Mariany ini tergolong ke dalam gadis yang terbuka dan berani terang-terangan. Hmm… Erdie Vio ini begitu baik, bahkan terhadap gadis yang baru saja dikenalnya itu… Hmm… Aku jadi tambah yakin bintang kemujuran warna hijau itu ada pada tubuhnya. Lihat saja bajunya yang hijau, bahkan ke jaket, helm dan sandalnya yang juga berwarna hijau… Oh, Buddha… Kenapa dua saudaranya yang lain belum tiba sampai sekarang?

Tampak Sabrina Marcelina yang menyaksikan adegan di hadapannya dengan pandangan yang kurang sedap. Melisa Rayadi bisa menangkap adanya sorot kecemburuan di mata Sabrina Marcelina. Dia melihat ke gadis itu lagi. Tampak Yuni Mariany tersenyum hangat nan penuh kelembutan ketika Erdie Vio mengoleskan obat ke jari-jari kakinya dan kemudian membalutnya dengan perban.

Melisa Rayadi menghela napas panjang. Sepertinya perjalanan Erdie Vio dan Sabrina Marcelina ke jenjang pernikahan masih tidak mudah.

Tampak Yuni Mariany yang terus menebar senyumannya.

Akhirnya Erdie mengoleskan obat itu ke kakiku. Dengan jarak yang terdekat denganku, dan dengan karakternya yang merupakan seorang laki-laki sejati, jelas dia tidak mungkin mengalihkan aku ke orang lain. Sepertinya nasib baik berpihak padaku malam ini. Sabrina… Dengan kenangan kalian yang lima tahun terakhir ini, aku pastikan akan menghapusnya dengan kebersamaanku dan Erdie selama beberapa waktu ke depan. Lihat saja…

Kecemburuan terus menggerayangi Sabrina Marcelina malam itu.

Bab berikutnya