webnovel

Ketika Kita Berpisah

BAB 8

Malam sudah datang menyapa. Tampak apartemen Erdie Vio yang mewah nan elegan di tengah-tengah pusat kawasan pemukiman kota Singapura. Dari apartemennya bisa terlihat hotel Marina Bay Sands yang sudah menjadi landmark kota Singapura. Erdie Vio masih berkutat di kamar mandi membersihkan diri. Terdengar suara pancuran air dan air yang mengalir dalam kamar mandi.

Menit demi menit berlalu. Pintu kamar mandi terkuak. Tampak sosok tinggi kekar yang melangkah keluar dari kamar mandi. Erdie Vio berjalan masuk ke kamar tidurnya dan langsung mengenakan pakaian piamanya yang berwarna hijau gelap. Baru saja ia mau ke dapur mengambil segelas air hangat, teleponnya sudah berbunyi.

"Halo…" kata Erdie Vio.

"Ini aku, Die…" terdengar suara Qenny Winston di seberang. "Ada satu restoran yang ingin menjadikanmu sebagai bintang iklan mereka. Kontraknya sudah aku kirim ke email-mu. Kau baca-baca dulu dan besok pagi beritahu aku bagaimana pertimbanganmu ya…"

"Sebenarnya aku sudah mengantuk dan sudah mau langsung pergi tidur nih. Tapi, demi Pak Qenny Winston yang kusayangi, apa boleh buat. Akan kubaca dan kupertimbangkan ya…" kata Erdie Vio dengan suaranya yang dibuat-buat.

"Ya, aku tahu kau sangat baik terhadapku… Dipertimbangkan dan see you tomorrow."

Hubungan komunikasi pun terputus. Erdie Vio ke dapur dan mengambil segelas air hangat. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di depan komputernya. Email dibuka dan kontrak yang telah di-PDF-kan diunduh ke dalam komputer. Erdie Vio pun membuka berkas PDF tersebut dan menelusuri tulisan demi tulisan yang dicetak dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Di akhir kontrak tersebut, tercantumlah nama sang direktur utama yang ingin menjadikannya sebagai bintang iklan.

"Bergerak dalam bidang makanan Asia… Banyak cabang di Indonesia, Singapura dan Malaysia. Ada juga makanan Jepang, makanan China, makanan Indonesia dan makanan Thailand. Banyak juga ya… Tapi, nama Hasan Alex Winarta ini… sepertinya… sepertinya tidak asing bagiku. Sepertinya Papa pernah beberapa kali menceritakan nama ini. Namun, sepertinya aku sudah lupa rincian ceritanya ya…" Erdie Vio tampak bersenandika dengan dirinya sendiri.

Pikir punya pikir, akhirnya ia mengambil telepon genggamnya dan menelepon ke telepon genggam Pak Faiz Makmur di Medan.

Pak Faiz heran anak ketiganya bisa meneleponnya Senin malam begini. Dia mematikan televisinya sejenak dan menjawab teleponnya.

"Angin apa yang membuat anak ketiga Papa menelepon Papa Senin malam begini?" tanya Pak Faiz sedikit berseloroh.

"Kan selama ini aku juga sering menelepon Papa dan Mama bukan?" Erdie Vio ikut-ikutan bergurau. "Bagaimana kabar di Medan, Pa? Lancar semuanya? Mama juga lancar?"

"Lancar… Semua di sini lancar seperti biasa. Mama masih menghadiri arisannya dan katanya jam sembilan nanti baru sampai rumah. Ada apa nih kok telepon Papa Senin malam begini? Pasti ada sesuatu yang ingin kautanyakan. Iya kan?"

Erdie Vio meledak dalam tawa renyah di seberang.

"Papa tahu saja… Nggak… Ini loh, Pa… Ada satu direktur utama yang memiliki banyak restoran di Indonesia, Malaysia dan juga Singapura sini yang ingin menjadikanku sebagai bintang iklan mereka."

"Bagus dong itu! Kau bingung apa memangnya?" tanya Pak Faiz.

"Namanya itu loh… Sepertinya Papa pernah cerita, tapi sekarang aku sudah lupa dengan rincian cerita Papa waktu itu. Namanya Hasan Alex Winarta. Papa kenal dia kan?"

Pak Faiz merapatkan bibirnya dan kemudian dia menukas, "Oh, si Hasan Alex itu… Iya… Iya… Tentu saja Papa kenal…"

"Siapa dia memangnya, Pa?" Erdie Vio mulai diberondong oleh segudang rasa penasaran.

"Yah…" terdengar nada skeptis Pak Faiz di sini, "Dia itu sekelas dengan Papa waktu kuliah, dan ketika Papa belum berbisnis kelapa sawit seperti sekarang ini. Dia kerja di bank. Memang orangnya cekatan, pintar, dan berwawasan luas. Pokoknya prestasi kerjanya memuaskan dan entah bagaimana caranya dia bekerja, dalam waktu hanya lima tahun sudah diangkat menjadi kepala cabang. Ketika dia tahu Papa punya lahan di Pekan Baru sana, dia mendadak datang ke rumah dan ajak kerja sama dalam bisnis kelapa sawit Papa. Waktu itu, mamamu langsung menolak mentah-mentah. Kata mamamu, ia kurang percaya dengan si Hasan Alex ini karena jelas sangat tidak mungkin dalam waktu lima tahun bekerja, sudah langsung diangkat menjadi kepala cabang. Papa dengar saja apa kata mamamu karena kau tahu sendiri firasat mamamu itu 80% benar."

"Jadi, Papa tidak jadi kerja sama dengannya bukan? Apa yang terjadi setelahnya?" tanya Erdie Vio lagi.

"Dua tahun setelah ia datang ke rumah waktu itu, Papa dengar lagi kabarnya dia sudah menjadi pemimpin tertinggi di bank itu, seperti direktur umum begitu, dengan sahamnya yang terbesar di bank itu," terdengar tawa sinis Pak Faiz di sini, "Dia hebat bukan?"

"Wow, amazing! Kiat-kiat apa yang dia pakai sehingga dia bisa membeli saham bank tersebut sebanyak itu?" tanya Erdie Vio lagi.

"Hanya gosip sih semuanya… Semuanya hanya desas-desus, Die. Papa sendiri juga hanya dengar-dengar dari cerita orang-orang. Ada yang bilang istrinya itu adalah putri pemilik saham terbesar di bank itu. Dia memperdayai mertuanya sehingga semua saham mertuanya itu jatuh ke tangannya. Mertuanya sendiri akhirnya meninggal karena serangan jantung. Ada desas-desus lain yang bilang dia menggunakan uang bank ke bisnis-bisnis yang lain. Hasil yang dia dapat dari bisnis-bisnis lain itu dia pakai untuk beli saham dari pemilik saham yang lain. Begitu kebusukannya ini ketahuan, sudah terlambat dong!"

Erdie Vio mangut-mangut, "Tidak ada yang bisa mengapa-apakan dia lagi karena dia sudah menjadi pemilik saham terbesar di sana. Begitu kan, Pa?"

"Iya… Dia memperdayai beberapa pemilik saham di sana. Uang yang hilang itu, dengan berbagai cara dan akal bulusnya, dilimpahkan ke beberapa pemilik saham di sana. Dalam situasi yang serba panik begitu, dia baru menawarkan akan membeli sebagian saham mereka. Mereka yang sudah terdesak dan terpojok, tentu saja kedapatan angin segar dan senang sekali seolah-olah solusi terhadap permasalahan mereka sudah ada, padahal mereka itu disingkirkan secara perlahan-lahan. Makanya kubilang, Die… Hasan Alex itu bukan orang sembarangan. Dia punya banyak kerumitan yang harus kauwaspadai."

Erdie Vio mangut-mangut.

"Dan desas-desus terakhir ini yang paling menggegerkan. Papa juga dengar dia ada menggunakan semacam kekuatan supranatural – sama seperti kekuatan kalian bertiga, tapi kekuatannya ini berwarna hitam – semacam kekuatan gelap begitulah – untuk melancarkan kebusukannya ketika ia menggelapkan uang bank, sehingga untuk sementara waktu kebusukannya itu tidak ketahuan. Begitulah yang Papa dengar…"

"Really? Benarkah itu, Pa? Papa yakin dengan kebenaran desas-desus yang terakhir ini?" Erdie Vio mengerutkan dahinya.

"Yakin 70% sih… Anaknya yang pertama itu kan memiliki tiga orang putri yang masih SD sih… Tahun 2016 lalu, menantu perempuannya itu dan ketiga cucu perempuannya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang," kata Pak Faiz sengaja memelankan kalimat-kalimatnya.

Erdie Vio menghela napas panjang kali ini, "Tumbal begitu ya…"

"Hati-hati saja deh, Die… Baca kontraknya dengan teliti dulu. Jika memang tidak cocok dan tidak sesuai dengan keinginanmu, tolak saja. Usahakan sih… Jangan terlalu sering berhubungan dengan orang itu. Papa dengar saja ngeri. Jika saja hari ini kau adalah pemuda biasa yang tidak memiliki semacam kekuatan aneh nan misterius, Papa takkan mengizinkanmu berhubungan dengannya."

"Oke deh… Tenang saja, Pa. Aku akan berhati-hati. Night, Pa… Bye…" kata Erdie Vio.

"Oke, Die… Bye…" kata Pak Faiz.

Hubungan komunikasi pun terputus. Erdie Vio kembali terpaku pada kontrak yang masih terpampang pada layar komputernya. Sebersit senyuman simpul tampak menghiasi wajahnya. Serentetan ide dan tantangan baru tampak sudah membanjiri sinar matanya.

***

Singapura, 10 April 2018

Erdie Vio memunculkan kepalanya ke kantor Qenny Winston pagi itu. Tampak seorang laki-laki berumur awal lima puluhan yang duduk di sofa kantor sang manager pagi itu. Erdie Vio menampilkan senyuman lebarnya pagi itu. Dia tebak laki-laki setengah baya ini seumuran dengan ayahnya. Pastilah dia adalah Hasan Alex Winarta yang diceritakan oleh ayahnya kemarin malam.

"Oke, Pak Hasan… Ini Erdie Vio sudah datang," kata Qenny Winston bermaksud memperkenalkan keduanya.

Namun, Erdie Vio sudah lebih dulu mengulurkan tangannya di hadapan Hasan Alex Winarta.

"Pagi, Pak Hasan Alex Winarta…" kata Erdie Vio.

Qenny Winston merasa dia sudah didahului oleh anak didiknya. Dia hanya bisa merapatkan bibirnya dan duduk kembali ke tempatnya.

"Oh, kau kenal aku, Erdie Vio?" tanya Hasan Alex menurunkan sedikit kacamatanya.

"Kan ada tertulis di kontrak, Pak Hasan Alex," senyuman lebar dari Erdie Vio tampak lagi. "Perkenalkan, Pak Hasan Alex… Aku Erdie Vio… Erdie Vio Makmur…" kata Erdie Vio lagi sengaja memelankan dan menekan nama belakangnya.

Alis Hasan Alex langsung terangkat beberapa senti. Namun, detik-detik berikutnya ia sudah meledak dalam tawanya yang renyah.

"Pantas sejak kau masuk ke sini, aku merasa wajahmu begitu tidak asing. Ternyata kau anak Faiz… Faiz Makmur kan?"

Kau tidak tahu bahwa aku ini bukanlah anak kandungnya… Dan, masih dengan gampang kau bisa bilang wajahku mirip dengan wajah Papa. Tapi, bagus deh jika memang mirip… Jika memang mirip, berarti aku dan Papa memiliki pertalian takdir yang tidak terhindarkan lagi, untuk menjadi ayah dan anak.

"Iya… Dunia begitu sempit ya, Pak Hasan Alex?" Erdie Vio tersenyum lagi.

Tentu saja Qenny Winston terkejut rupanya Hasan Alex Winarta ini adalah teman ayahnya Erdie Vio di Indonesia. Tapi, untuk menetralisir keterkejutannya sendiri, dia pura-pura tertawa cengengesan.

"Rupanya sudah saling kenal… Dengan begitu, perbincangan dan diskusi kita tentunya akan lebih mudah. Iya kan, Pak Hasan Alex?" kalimat yang terakhir dari Qenny Winston ini terdengar sedikit gagap.

"Anda kelihatannya kurang setuju dengan kontrak yang saya ajukan, Pak Qenny Winston," kata Hasan Alex langsung terjun ke inti persoalannya. Dia menyulut sebatang rokok di hadapan Qenny Winston dan Erdie Vio.

"Bukan begitu sih, Pak Hasan…" kata Qenny Winston berusaha tersenyum senetral mungkin, "tapi, kontrak lima tahun dengan hanya 50 ribu dollar, saya rasa itu kurang bijak sih…"

"Oke… Mari dengarkan pandangan dan pertimbangan Erdie Vio. Bagaimana, Die? Kontrak lima tahun dengan bayaran 50 ribu dollar, masa kauanggap kecil lagi. Kan kau masih memiliki kontrak-kontrak lainnya," kata Hasan Alex menghembuskan asap rokoknya keluar sesuka hatinya.

Qenny Winston mulai menutupi hidungnya karena tidak tahan dengan bau asap rokok.

Erdie Vio tetap tampak santai dan bersemangat penuh antusiasme.

"Lima puluh ribu dollar oke-oke saja, tapi per tahun dong, Pak Hasan Alex. Bayangkan shooting iklannya itu… Melelahkan sekali… Pak Hasan Alex punya cabang di Indonesia dan di Malaysia juga bukan? Jadi, aku harus shooting iklannya di tiga negara juga bukan?"

Pak Hasan Alex mengangguk mengiyakan.

"Sangat melelahkan, Pak Hasan Alex. Lima puluh ribu dollar per tahunnya… Pak Hasan Alex boleh ikat mati aku selama lima tahun, no problem… Bagaimana?" tanya Erdie Vio masih dengan senyuman yang santai nan mempesona.

Dengan wajah yang tampan nan rupawan itu, kau sama seperti ayahmu – ingin memerasku, Erdie Vio! Ayah dan anak setali tiga uang! Sama saja! Oke… Ingin bayaran lebih, boleh-boleh saja! Tapi, kau harus mengorbankan lebih banyak lagi hal yang berharga darimu. Tentu saja aku tidak mau kau hanya memberikan parasmu yang tampan rupawan itu.

"Aku dengar kau sudah punya pacar, Die. Di usia yang masih belia begini, jodohmu cepat sekali ya…" kata Hasan Alex lagi. Jelas dia memiliki alasan terselubung dengan mendadak mengalihkan topik pembicaraan seperti ini.

Qenny Winston kebingungan karena mendadak Hasan Alex ini mengubah haluan dalam pembicaraannya.

"Maksud Pak Hasan Alex?" tanya Erdie Vio.

"Terlalu tinggi jika kau minta 50 ribu dollar dariku per tahunnya, Die," kata Hasan Alex meledak dalam tawa renyah. "Kemahalan dong… Kan hanya bintang iklan dan ketika restoran kami ada peluncuran menu baru atau cabang baru, kau akan diundang sebagai bintang utama. Itu saja… Kontrak itu tidak mutlak kau mesti makan di restoran kami saja. Tidak seperti itu…"

"Ketika aku sudah tanda tangan kontrak dengan restoran Pak Hasan Alex, dan keesokan harinya datang lagi kontrak dari restoran lain, apa Pak Hasan Alex tidak keberatan aku tanda tangan kontrak dengan restoran itu juga?" tanya Erdie Vio memajukan wajahnya beberapa senti.

"Tentu saja keberatan dong, Die…" Hasan Alex tertawa renyah menanggapi kata-kata Erdie Vio yang dia anggap suatu senda gurau.

"Jelas dong, Pak Hasan Alex. Pak Hasan Alex tidak hanya membeli waktu, energiku, dan popularitasku, tapi juga membeli kebebasanku menerima tawaran dari perusahaan lain yang sejenis. Aku rasa… Aku rasa… 50 ribu dollar per tahunnya sudah harga mati, Pak Hasan Alex."

"Oke…" kata Hasan Alex bertepuk tangan sekali. "Kalau begitu, aku akan bayar 50 ribu dollar per tahunnya, tapi bukan kau saja yang terikat kontrak denganku. Kau mungkin bisa melibatkan pacarmu juga, Die. Dengan adanya dua orang dalam satu iklan, itu kan lebih baik. Iya nggak?" tanya Hasan Alex mengepulkan asap rokoknya tinggi-tinggi.

Qenny Winston tersentak kaget. Hasan Alex ini ternyata dikasih hati minta jantung.

"Jadi Pak Hasan Alex menganggap aku seorang saja tidak sanggup mengangkat popularitas restoran Bapak? Pak Hasan Alex tahu berapa jumlah penggemarku dan dari negara-negara mana saja mereka?" Erdie Vio mulai berbicara layaknya mawar berduri meski senyuman lebar nan mempesonanya masih terlihat.

Jelas Erdie Vio tahu Hasan Alex ini mempunyai maksud terselubung dengan ingin melibatkan Sabrina ke dalam kontraknya. Erdie Vio bukan seorang pemuda ingusan yang barusan satu dua tahun terlibat ke dalam dunia hiburan. Dengan pengalamannya yang lebih dari tiga tahun, dia sudah tahu industri hiburan akan sangat kejam, terutama bagi kaum perempuan muda. Jelas Erdie Vio tak ingin hal serupa juga terjadi pada sang kekasih.

"Bukan begitu, Die… Aku…"

Erdie Vio langsung memotong pembicaraan Hasan Alex, "Lima puluh ribu dollar per tahun, kembali ke penawaran awalku, Pak Hasan Alex. Itu sudah harga mati. Bapak bisa pulang dan pertimbangkan dulu. Pak Qenny Winston akan menunggu kabar baik dari Bapak. Oke ya, Pak?"

Berkali-kali Qenny Winston terpana dengan cara Erdie Vio yang begitu bijak menyelesaikan setiap permasalahan yang menghampirinya. Kadang Qenny Winston tidak perlu turun tangan karena sering sekali Erdie Vio akan terjun sendiri ke dalam beragam perbincangan dan negosiasi dengan para pelanggan mereka. Seandainya saja semua artis yang bernaung di bawah management ini memiliki kombinasi talenta seperti si Erdie Vio, Qenny Winston tidak perlu pusing-pusing lagi bukan? Sayangnya kenyataan tidaklah seindah itu.

Merah padam wajah Hasan Alex. Qenny Winston diam-diam saja. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Dia juga tidak tertarik meneruskan perbincangan mengenai kontrak yang tidak menguntungkan ini. Jelas tampak Hasan Alex Winarta ini tergolong ke tipe pengusaha kaya raya yang hanya ingin menikmati keuntungan di atas penderitaan orang lain. Egois benar nih bapak-bapak! Namun, dia tidak menyangka Erdie Vio akan bersikap sedemikian ketus terhadap teman ayahnya. Apakah sesungguhnya mereka bukan teman? Apakah sebenarnya orang ini adalah musuh ayahnya dalam dunia bisnis di Indonesia sana?

"Oke… Akan kupertimbangkan, Die… Jika dalam waktu satu minggu tidak ada panggilan dariku, itu berarti kerja sama kita batal ya," kata Hasan Alex tanpa senyum sekarang.

"Tidak apa-apa… Mungkin kali ini tidak ada jodoh. Lain kesempatan mungkin," kata Erdie Vio dengan senyum dikulum.

Hasan Alex Winarta bangkit dari duduknya setelah ia menekan kuat-kuat rokoknya ke asbak yang ada di atas meja di depannya. Setelah ia menghilang ke balik pintu, buru-buru Qenny Winston menghidupkan mesin penyaring udara yang ada di kantornya. Dia sudah tidak tahan dengan bau asap rokok yang menusuk hidung nan memusingkan kepala.

"Sempurna, Die… Mulanya kukira kau tak bisa menolak kontrak yang tidak menguntungkan ini karena dia adalah teman ayahmu. Tapi, ternyata kau penuh dengan kejutan," kata Qenny Winston dengan gaya femininnya.

"Bisnis yang paling tidak menguntungkan adalah berbisnis dengan teman, kenalan atau sanak keluarga yang tidak tahu diri, Pak Qenny Winston. Pengalaman itu sudah sering aku temui ketika aku bantu-bantu di perusahaan Papa. Lantas karena dia adalah kawan papaku, aku langsung memberinya harga kawan? Wah… Jika semua pengusaha di dunia ini berpikir seperti itu, semua perusahaan di dunia ini akan berubah menjadi organisasi sosial."

Qenny Winston meledak dalam tawa renyah, "Oh… Bukan hanya di Singapura – ternyata di Indonesia juga ada orang yang seperti itu toh…?"

"Tentu dong… Banyak orang yang seperti itu ya… Bertebaran ke mana-mana… Jadi, terhadap orang yang demikian, kita tidak usah sungkan-sungkan. Makanya tadi aku heran kau masih bisa bersikap lemah lembut dan tidak enak hati terhadapnya padahal kau tahu jelas-jelas kontrak yang dia tawarkan itu merugikan."

"Dia kan bisa dibilang seorang pelanggan, Die…" kata Qenny Winston tidak enak hati sekarang. "Masa aku harus menunjukkan muka masam dan bicara ketus dengannya karena kontrak yang ditawarkannya itu tidak menguntungkan. Benar tidak?"

"Kau tahu tidak?" Erdie Vio mendekatkan lagi wajahnya ke wajah sang manager, "Dia bisa sekaya sekarang karena dulu ketika seumuran aku, dia menggelapkan uang bank tempat ia bekerja. Dengan suatu akal bulusnya, akhirnya dia menjelma menjadi seorang pemilik saham terbesar di bank itu dalam waktu hanya tujuh tahun. Kau bisa tidak sehebat dia?"

Mulut Qenny Winston menganga sekarang.

"Benarkah?"

"Tentu saja aku tidak bohong. Ngapain aku bohong? Toh aku tidak dapat apa-apa dari kebohongan itu," kata Erdie Vio dengan senyumannya lagi, "Begitu aku tahu masa lalu si Hasan Alex ini, aku jadi terpikir ke satu hal, Pak Qenny Winston."

Qenny Winston bingung, "Apa itu?"

"James Huang korupsi uang perusahaan sebanyak 40 ribu dollar, kau langsung mencercanya tanpa ampun dan malahan mau menyerahkannya pada polisi. Ini si Hasan Alex korupsi uang bank lebih dari 100 ribu dollar, kau masih bisa bersikap lemah lembut dan tidak enak hati terhadapnya. Memang dunia ini begitu tidak merata, begitu tidak adil ya…"

"Jelas beda dong kasusnya, Die," kata Qenny Winston merasa agak terperengah sekarang.

"Ya, aku tahu memang Hasan Alex Winarta dan James Huang adalah dua orang dengan karakter dan masa lalu yang berbeda, jadi kasus keduanya juga berbeda. Itu tidak perlu kaujelaskan lagi. Siang ini aku mau ke Kuala Lumpur dengan Sabrina. Mau jalan-jalan kami… Acaraku berikutnya hari apa ya? Kemarin katamu kau mau menunjukkan jadwalnya kepadaku, tapi kau langsung lupa karena persoalan si James Huang itu," kata Erdie Vio dengan nada skeptisnya. Memang begitulah dunia ini. Ada uang, yang salah bisa diputar menjadi benar. Tidak ada uang, silap langkah, yang benar pun bisa menjadi salah.

Qenny Winston menepuk jidatnya sebentar. Dia membongkar-bongkar berkas-berkas yang tersimpan di komputernya lagi.

"Oh, Jumat depan, Die…" kata Qenny Winston. "Sebenarnya besok juga ada acara, tapi mendadak orangnya telepon ke aku kemarin malam dan bilang diundur sampai dengan Sabtu depan karena ada beberapa masalah operasional yang belum beres. Jadi, sampai dengan akhir minggu ini, kau bebas berlibur."

"Oke! Mantap sekali!" teriak Erdie Vio kegirangan nan penuh antusiasme. "Itulah sebabnya aku sayang banget padamu, Pak Qenny Winston. See you…"

Erdie Vio menghilang keluar dari ruangan Qenny Winston. Qenny Winston hanya mengantar anak didiknya dengan sebersit senyuman simpul.

***

Medan, pertengahan Januari 2013

Tampak dari luar bangunan rumah mewah milik Pak Faiz Makmur di kawasan perumahan Cemara Asri. Tentu saja, sebagai seorang pengusaha kelapa sawit, rumah ini bukan tempat tinggal satu-satunya. Di berbagai tempat di kota Medan, di luar kota dan bahkan di Singapura, Australia dan Amerika, Pak Faiz juga membeli beberapa tempat tinggal yang memang rencananya akan diwariskan kepada ketiga anaknya dan cucu-cucunya ketika dia sudah tiada.

Tampak beberapa tukang kebun mengurus kebun yang sangat luas. Tampak pula beberapa petugas yang membersihkan kolam renang. Tampak juga beberapa pembantu perempuan yang memberi makan anjing-anjing peliharaan Pak Faiz Makmur.

"Lihat rumah yang besar itu! Seperti kastel itu kan?" begitulah kira-kira gosip di antara sesama ibu-ibu setengah baya.

"Itu milik Florencia Quincy Makmur. Suaminya itu sukses di usia yang bisa dibilang masih sangat muda."

"Yah, kan kebetulan ada lahan warisan orang tuanya di Pekan Baru mah…" terdengar gosip yang lain, "Memang nasibnya beruntung… Lahan itu ditanami sawit, dan sejak saat itu meledak deh bisnisnya sampai sekarang. Lahan di mana-mana. Aset di mana-mana. Rumah di mana-mana pun ada."

"Kudengar sih begitu ketiga anak kembarnya itu lahir, derajat kehidupannya mulai terangkat sedikit demi sedikit dan sekarang, mereka sudah berada di atas siapa pun."

"Iya… Memang ketiga anak kembar itu membawa rezeki dan keberuntungan yang luar biasa bagi suami istri itu ya. Dan ketiga-tiganya ganteng lagi, belum ada yang punya. Aduh! Kalau ada kesempatan, bakalan kuperkenalkan anak gadisku kepada salah satu dari si kembar tiga Makmur itu."

"Tidak mungkin deh…" kata referensi gosip yang lain. "Pengusaha kan ada kalangan pengusaha juga. Mana mungkin mereka mau dengan kalangan yang biasa-biasa saja seperti kita ini. Bisnis kita, dengan bisnis kelapa sawit mereka, jelas kalah dong kita. Apa kau tidak pernah dengar orang-orang tua zaman dulu bilang apa? Naga dengan naga; merak dengan merak. Tidak mungkin naga ataupun merak bisa bersama-sama dengan burung gagak."

Demikianlah gosip-gosip yang selama ini beredar di sekitar kastel Pak Faiz Makmur yang mewah nan elegan. Namun, karena mereka sibuk dengan bisnis dan penghidupan sendiri, jarang sekali Pak Faiz Makmur maupun Nyonya Florencia Quincy yang mengindahkan gosip-gosip tersebut.

Siang ini, kembali 3E makan siang bersama di meja yang sama, sepulangnya mereka dari kampus. Tampak Erdie Vio yang membawa setumpuk kertas yang merupakan skripsinya yang dikerjakannya sampai setengah. Dia duduk di meja. Beberapa pembantu mengeluarkan sayur-mayur dan lauk-pauk dari dapur. Tampak 3E tidak saling bicara satu sama lain. Ketiganya masih shocked dan tidak terima dengan beberapa fakta yang baru saja terkuak akhir-akhir ini.

"Aku sudah bilang sama Papa dan Mama," kata Erwie Vincent yang duluan memulai pembicaraan siang itu, "Aku akan pindah ke rumah Papa yang ada di Taman Malibu Indah. Mulai siang ini nanti aku tinggal di sana."

Erick Vildy mendengus sesaat. Erdie Vio tersenyum agak sumbang.

"Aku juga sudah bilang ke Papa & Mama tadi pagi," sahut Erick Vildy. "Aku akan pindah ke apartemen Papa yang di Cambridge City Square. Sementara aku akan tinggal di sana sampai aku tamat kuliah Juli ini. Ketika kuliahku sudah selesai, aku akan pindah ke Australia cari kerjaan di sana. Tidak tahan aku di sini!"

"Kau kira hanya kau yang tidak tahan di sini!" Erdie Vio mulai bersikap sinis. "Aku juga tidak tahan lagi tinggal di sini, tinggal seatap dengan seorang… seorang pembunuh!"

"Siapa yang kau bilang pembunuh!" Erick Vildy mulai kehilangan kesabarannya.

"Aku tidak bilang siapa-siapa kok! Aku kan tidak sebut nama!" balas Erdie Vio tak kalah ketus.

"Tapi, kata-katamu itu seolah-olah kau itu yang paling suci, yang paling tidak mungkin melenyapkan nyawa Stella Kuangdinata! Ingat ya, Die! Statusmu juga sama! Kau juga memiliki kekuatan aneh nan misterius itu!" kata Erick Vildy menunjuk-nunjuk adik bungsunya dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.

"Sudahlah! Sudah saat-saat begini, kalian berdua masih bertengkar. Sama-sama dengan status tersangka pembunuhan, apa lagi yang bisa kalian perdebatkan dan pertengkarkan?" protes Erwie Vincent dengan nada lirih.

"Kau juga sama kan, Wie?" Erdie Vio masih menunjukkan kesinisan yang sama. "Kau pasti juga mencurigai aku atau Erick yang membunuh Stella Kuangdinata dengan kekuatan aneh nan misterius itu bukan? Iya kan?"

"Kalau tidak, kau takkan pindah ke Taman Malibu Indah!" dengus Erick Vildy sesaat.

"Oh, jadi sekarang aku yang sok suci di sini? Jadi kalian berdua menuduhku yang telah membunuh Stella Kuangdinata?" Erwie Vincent terperengah di tempatnya, menyadari persahabatan dan persaudaraan di antara mereka bertiga mulai hilang sedikit demi sedikit.

"Aku sama sekali tidak membunuhnya! Yang paling mungkin membunuhnya itu adalah kalian berdua!" kata Erwie Vincent mulai kehilangan kesabarannya, meski suaranya masih lemah lembut nan serak-serak basah. "Kau yang paling emosional dan temperamental, Rick! Bisa saja kau langsung mengajak Stella ke sanggar dan membunuhnya karena tidak bisa mengontrol kekesalanmu lagi."

"Apa kau bilang?" teriak Erick Vildy dengan gigi-giginya yang bergemeretak. Dia berusaha menahan diri, agar kekuatan itu tidak keluar. Bagaimanapun juga, mereka bertiga telah berjanji pada Nyonya Florencia. Sehebat apa pun pertengkaran mereka, mereka takkan mengeluarkan kekuatan aneh nan misterius tersebut sebagai senjata.

"Dan, kau, Die… Bisa saja kau langsung merencanakan kematiannya begitu kau tahu ia telah membodoh-bodohi dan menipumu selama setahun belakangan ini," kata Erwie Vincent melanjutkan terus argumentasinya tanpa menghiraukan si abang sulung lagi. "Di balik sikapmu yang humoris, penuh semangat dan antusiasme selama ini, entah kenapa aku merasa kau tetap menyimpan satu rencana dan perhitungan yang tidak diketahui siapa pun."

"Oh… Erick tuduh aku yang membunuh Stella tadi. Sekarang kau juga tuduh aku, Wie. Oh, begitu ya…" kata Erdie Vio ikut-ikutan naik juga emosi dan amarahnya. Bicaranya semakin menusuk dan semakin sinis.

"Begitu aku mengetahui kebohongan dan sandiwara Stella Kuangdinata selama satu tahun belakangan ini, aku langsung ajak dia ke sanggar dan melenyapkannya di sana. Terus, aku tinggalkan saja mayatnya di sana supaya bisa ditemukan oleh Melisa keesokan harinya. Apakah orang yang menurutmu penuh rencana dan perhitungan sepertiku ini akan melakukan keteledoran seperti itu?" kata Erdie Vio dengan sebersit senyuman sinis dan pandangannya yang penuh arti tertuju pada Erwie Vincent sekarang, "Bukankah yang lebih cocok menempati posisi pembunuh adalah kau, Wie?"

Erick Vildy menggebrak meja lagi dan menatap adik keduanya dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.

"Air tenang biasanya menghanyutkan," kata Erick Vildy tidak memberi ampun. "Di balik sikapmu yang tenang nan santai selama ini, aku curiga bisa jadi kaulah yang pertama kali mengetahui siapa sebenarnya si Stella Kuangdinata itu. Diam-diam kau merencanakan kematiannya dan setelah kau membunuhnya, kau meninggalkan mayatnya di sanggar begitu saja, karena kau tahu tempat yang paling berisiko adalah tempat yang paling aman. Bukankah begitu, Wie?"

"Oke… Oke… Oke…" kata Erwie Vincent mengangguk ringan nan santai lagi, "Sejak kematian Stella Kuangdinata sampai dengan hari ini, aku memang sudah merasakan perubahan sikap kalian berdua terhadapku. Akhirnya hari ini kalian mengungkapkannya juga. Terima kasih karena sudah mau bersikap jujur dan terbuka hari ini, Rick, Die… Hari ini aku semakin yakin keputusanku untuk pindah merupakan keputusan yang tepat."

Erwie Vincent sama sekali tidak menyentuh lagi makanannya siang itu. Dia langsung menghilang ke lantai atas. Bisa ditebak ia sedang membereskan semua barangnya dan memasukkannya ke dalam koper.

"Kau juga mencurigaiku sebagai pembunuh bukan? Lantas, kenapa kau masih berdiri di sini? Bukankah tadi kau bilang kau akan pindah ke apartemen Papa di Cambridge City Square?" tanya Erdie Vio dengan pandangan nanar.

"Sama… Di matamu juga, aku yang emosional dan gampang marah ini menduduki urutan pertama sebagai pembunuh Stella Kuangdinata. Jadi, untuk apa aku masih tinggal di sini dan berbagi kamar yang sama denganmu?" kata Erick Vildy juga dengan tatapan nanar.

Erick Vildy juga naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar. Erdie Vio berdiri seorang diri di ruang makan sambil menggigit bibirnya.

Sejurus kemudian, tampak si abang sulung dan abang kedua sudah turun dari lantai atas menenteng koper dan tas ransel masing-masing. Keduanya sampai di lantai bawah. Tiga E berdiri diam dan terpaku di tempat masing-masing.

Ketiga-tiganya sama-sama membalikkan badan. Ketiga-tiganya menghadap tiga arah yang berbeda. Erdie Vio tetap berdiam di posisinya. Erick Vildy dan Erwie Vincent berjalan ke dua arah yang berbeda satu sama lain.

Tampak air mata bergulir turun dari pelupuk mata si tiga bersaudara.

Telepon genggam Erdie Vio bergetar di dalam kantongnya. Seseorang mungkin sedang meneleponnya. Tapi, dia sama sekali tidak ada mood untuk menjawab panggilan apa pun. Lagu ring tone- nya merupakan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi asal Inggris, Robbie Williams:

Tell me a story, where we all change.

And we'd live our lives together and not estranged.

I didn't lose my mind – it was mine to give away.

Couldn't stay to watch me cry,

You didn't have the time so I softly slipped away…

No regrets – they don't work.

No regrets now – they only hurt.

Sing me a love song, drop me a line.

Suppose it's just a point of view.

But they tell me I'm doing fine.

I know from the outside.

We looked good for each other.

Felt things were going wrong,

When you didn't like my mother.

I don't want to hate but that's all you've left me with…

A bitter aftertaste and a fantasy of how we all could live…

No regrets – they don't work.

No regrets now – they only hurt.

I know they're still talking –

The demons in your head.

If I could just stop hating you,

I'd feel sorry for us instead…

Bab berikutnya