BAB 4
Los Angeles, 4 Mei 2018
Julia Dewi Sofia Luvin memarkirkan mobilnya di depan hotel tempat Erwie Vincent bekerja. Tampak sepasang tungkai yang indah turun dari mobil. Kacamata hitam dinaikkan ke atas kepala. Rambut yang panjang tergerai dikibaskan sebentar ke belakang. Kaki mulai melangkah masuk ke dalam hotel. Dua petugas sekuriti yang berjaga-jaga di luar membukakan pintu serta tersenyum memberi hormat kepada sang putri yang datang membawakan makan siang bagi sang pangeran yang sedang bekerja.
Tampak Erwie Vincent sedang melayani seorang pelanggan hotel yang barusan mau check-in.
"Ini kunci kamar Anda, Nyonya Silverstone," kata Erwie Vincent dalam bahasa Inggris yang sangat fasih. "Kamar Anda berada di tingkat 12 nomor 7768."
"Terima kasih, Anak Muda," kata Nyonya Silverstone yang tampak sangat elegan dengan segala macam perhiasan yang menempel pada leher dan pergelangan tangannya. "Anak Muda ini bahasa Inggrisnya fasih sekali. Juga sangat tampan… Astaga, Tuhan! Jika saja aku 40 tahun lebih muda, aku sudah mengejarmu, Tampan."
Tanpa disangka-sangka Erwie Vincent, Nyonya Silverstone yang kaya raya itu langsung mencolek dagunya sesaat sebelum ia meninggalkan meja resepsionis. Tentu saja Erwie Vincent terperanjat seketika. Namun, demi profesionalisme dalam pekerjaannya, ia tetap tersenyum dan mengatakan, "Silakan, Nyonya Silverstone…"
Sang nyonya kaya raya pun berlalu. Erwie Vincent bernapas lega. Datang lagi Julia Dewi Sofia Luvin yang juga tampak sangat elegan dengan penampilannya yang eksotis siang itu. Dia meletakkan bungkusan makanan ke atas meja resepsionis, tepat di hadapan Erwie Vincent. Rekan kerja Erwie Vincent yang juga sesama resepsionis, langsung tahu jam makan siang sudah tiba karena si tuan putri sudah datang membawakan bekal buat sang pangeran.
"Siapa itu nyonya kaya raya yang berani main pegang sana pegang sini?" tanya Julia sedikit tidak senang.
Erwie Vincent tersenyum santai, "Namanya Silverstone. Baru hari ini aku melihatnya menginap di sini. Katanya sih habis berjudi dari Las Vegas, menginap di sini satu malam dulu, besoknya balik ke Washington. Orang pemerintahan tuh."
"Oh, tentu saja… Tidak heran uangnya banyak, bisa dipakai berjudi di Las Vegas," kata Julia. "Tapi, kau tentu tahu uang papa mamaku jauh lebih banyak karena mereka memiliki beberapa perusahaan komputer dan telepon genggam di New York."
"Jadi?" Erwie Vincent memandangi sang putri dengan sedikit perasaan geli.
"Kalau dia berbuat yang tidak-tidak lagi terhadapmu, laporkan saja padaku, Wie. Biar papa mamaku yang mengurusnya," kata Julia Dewi Sofia Luvin dengan sedikit lantang.
"Kan aku laki-laki. Kalaupun dia mengapa-apakan aku, toh bukan aku yang rugi, Jul. Tak usah risau. Makan siangnya nanti keburu dingin. Ayo makan sama-sama," kata Erwie Vincent juga mengindikasikan rekan kerjanya yang sesama resepsionis.
"Aduh…! Jangan nakal ya, Wie Wie… Jadi laki-laki baik itu tidak boleh menikmati keuntungan dalam kesempitan ya…" kata Julia Dewi Sofia Luvin pura-pura bersungut-sungut.
Kini Erwie Vincent tersenyum nakal.
"Ayo makan sama-sama, Do," kata Erwie Vincent kepada Aldo Morales, si rekan kerja yang juga sesama resepsionis.
"Iya… Yuk makan sama-sama. Ini aku masak sendiri loh… Jangan malu-malu… Silakan…" kata Julia Dewi Sofia Luvin sambil tersenyum hangat.
"Jangan khawatir, Do. Putri seorang pengusaha restoran yang terkenal di China Town sini takkan menghidangkan cita rasa yang aneh-aneh deh…" kata Erwie Vincent lagi-lagi dengan senyuman nakalnya.
"Tolong tolong ya, Wie… Pengalaman masakku dimulai sejak aku usia 12 tahun ya. Dan takaran bumbu-bumbu masakku tidak pernah keliru ya…" kata Julia pura-pura bersungut-sungut lagi.
Erwie Vincent kali ini meledak dalam tawa kecil.
Akan tetapi, si rekan kerja tahu diri. Siapa yang tidak tahu Julia Dewi Sofia Luvin sebenarnya ada menaruh hati pada Erwie Vincent Makmur sejak pertama kali mereka bertemu? Julia adalah anak blasteran Amerika dan Singapura. Ayahnya adalah seorang pengusaha komputer dan telepon genggam yang sudah merajai sebagian kota-kota besar di Amerika ini. Ibunya adalah orang Singapura yang setelah menikah dengan ayahnya membuka sebuah restoran Asia bintang lima yang cukup terkenal di China Town di Los Angeles. Karena si rekan kerja merasa tidak enak hati makan-makan dengan sepasang sejoli yang jelas-jelas tengah dimabuk asmara, ia memutuskan makan di luar saja.
"Tidak deh… Aku belum begitu lapar sih sebenarnya. Kalian makan saja… Aku mau mencari angin segar dulu di luar," kata Aldo Morales dan langsung mengundurkan diri dari meja resepsionis.
"Oke deh…" Erwie Vincent tersenyum santai lagi.
Aldo Morales berlalu begitu saja. Akan tetapi, ketika ia lewat di belakang Erwie Vincent dan Julia, entah kenapa Erwie Vincent merasa mereka berdua diperhatikan secara diam-diam oleh Aldo Morales itu. Semacam firasat… Semacam kata hati… Seolah-olah aku merasa aku dan Julia diperhatikan oleh Aldo Morales ini dengan… dengan… dengan penuh iri hati… Astaga! Semoga saja itu hanya firasatku yang berlebihan…
Serta-merta Erwie Vincent berpaling ke belakang. Sontak Aldo Morales langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia segera berlalu dari meja resepsionis.
"Ada apa?" tanya Julia juga sedikit terperanjat. Ia tahu Erwie Vincent memiliki semacam kekuatan aneh nan misterius yang susah dijelaskan dengan akal sehat. Melihat sang pangeran pujaan yang serta-merta berpaling ke belakang secara mendadak begitu membuatnya sedikit terkejut juga.
"Nggak… Nggak ada apa-apa," tukas Erwie Vincent sangsi apakah mau meneruskan kalimatnya atau tidak, tapi antara dia dan Julia, semenjak mereka berkenalan sampai sekarang, sama sekali tidak pernah ada rahasia.
"Kau pasti mencurigai si rekan kerjamu itu berbuat yang tidak-tidak di belakang kita tadi. Iya kan?" Julia mulai bergidik.
"Hanya semacam firasat sih, Jul…" kata Erwie Vincent memutuskan untuk berterus terang sekarang. "Mudah-mudahan saja itu hanya firasatku yang berlebihan. Tapi, entah kenapa dia berdiri di belakang kita agak lama tadi dan aku merasa seakan-akan dia itu memperhatikan kita dengan sorot matanya yang tajam dan penuh iri hati."
"Siapa sih namanya?" Julia Dewi Sofia Luvin juga mulai awas.
"Aldo… Aldo Morales… Dari Manila. Baru dua minggu saja dia di sini. Satu lagi, si Takeru Honda pindah ke shift malam. Yang shift malam itu, Roberta de Castellanos, sudah menikah dan kini ikut suaminya kembali ke Meksiko."
"Baru dua minggu ya…?" Julia Dewi Sofia Luvin mangut-mangut. "Tapi memang kuakui perangainya sedikit aneh tadi. Kalau dia memang mau keluar, kenapa dia mesti berdiri di belakang kita lama sekali tadi? Kan kita duduknya ini tidak menghalangi jalannya bukan?"
Erwie Vincent mengangkat bahunya. Dia meneruskan makan siangnya. Yang dimasak Julia selalu masakan Chinese. Dia selalu cocok dengan segala resep yang keluar dari tangan Julia.
***
Malam sudah menyapa seantero China Town di Los Angeles. Kota tersebut bagai kota yang tidak pernah mati. Pasar malam tampak ramai. Banyak pengunjung domestik ataupun internasional berlalu-lalang. Terdengar bahasa Mandarin dan bahasa Inggris yang berbaur menjadi satu.
Tampak Erwie Vincent berbaur dengan beberapa anak-anak muda perantauan yang kebanyakan lebih muda darinya. Julia Dewi juga termasuk di dalamnya. Mereka sedang mendengarkan arahan dari Erwie Vincent tentang rumus-rumus musik pengiring atraksi naga. Berselang dua tiga menit kemudian, Erwie Vincent kembali ke tambur naganya. Tambur dipukul menghasilkan irama-irama musik yang sangat cepat. Empat alat bunyi-bunyian pengiringnya juga berbunyi selang-seling dengan irama yang sama cepatnya.
Irama berganti dari musik jalan ke musik kuo ciang long. Julia Dewi membunyikan gong naga kecil. Dia berusaha semaksimal mungkin mengikuti sepasang tangan Erwie Vincent yang sedemikian cepat. Dia sudah latihan berkali-kali sendiri di rumah. Malam ini dia yakin dia takkan berbuat kesalahan yang sama lagi. Ternyata benar adanya… Dia sudah bisa memukul semua rumus musik pengiring yang diajarkan oleh Erwie Vincent dengan lancar.
Musik pengiring mencapai tahap penyelesaian. tang tang cer… tang tang cer… teo! chep! Musik pun berhenti sampai di sana. Tambur, gong, dan simbal pun berhenti berbunyi.
"Nah… Skenario kali ini seperti itu dulu. Di acara peresmian toko teh milik Nyonya Wang nanti, kira-kira kalian mainnya seperti tadi ya… Mengerti kan?" tanya Erwie Vincent.
"Mengerti…" jawab keempat pemain gong dan simbal naga secara serempak.
"Oke… Jadi gong besar dan simbal besar tidak boleh berbunyi bersamaan ya. Jika sudah ada bunyi yang sama timing- nya, itu berarti salah satu di antara kalian berdua sudah salah ya. Kalian sesuaikan sendiri irama dan rumusnya, sesuai dengan yang kuajarkan, supaya kalian tidak berbunyi bersamaan lagi," kata Erwie Vincent kepada si pemain gong besar dan simbal besar.
Keduanya mengangguk.
"Simbal kecil berbunyi teratur saja satu-satu kali ya… Dan gong kecil memiliki rumusnya yang tersendiri dan berbeda dengan ketiga alat bunyi-bunyian yang lain ya. Sudah bisa, Nona Julia Dewi?" tanya Erwie Vincent sedikit berseloroh.
"Sudah dong," jawab Julia Dewi penuh semangat.
"Oke… Oke…" kata Erwie Vincent dan kini beralih ke si pelatih naga yang juga orang perantauan dari Taiwan yang bekerja di Los Angeles, "Sudah oke, Ming Neng?"
"Oke…" jawab sang pelatih.
"Oke…" kata Erwie Vincent kepada keempat pemain musik pengiring naga, "Kali ini kita konsepkan skenario musik tadi dengan gerakan naganya. Gerakan naga yang cepat akan diiringi musik yang cepat. Begitu juga sebaliknya… Siap, semuanya?"
"Yoo…" seru semua pemain serentak.
Tambur mulai dibunyikan. Mutiara naga berputar-putar dengan gerakan yang cepat dan lincah. Naga mulai meliuk-liuk mengikuti ke mana mutiara pergi. Gong dan simbal juga berbunyi – sistematis dan teratur.
Kembali Julia Dewi memperhatikan tangan-tangan Erwie Vincent yang cepat menari-nari di atas tambur besarnya. Tak kuasa, kenangan manis kembali terkuak. Pikirannya tak kuasa melayang kembali ke saat-saat pertama kali ia bertemu dan mengenal lelaki yang bernama Erwie Vincent Makmur ini.
Sambil menyetir mobilnya menelusuri jalanan di kota Los Angeles yang masih ramai, Julia Dewi melirik ke jam mobilnya sebentar. Baru jam delapan malam lewat sedikit rupanya. Dia masih bisa ke kafe es krim dan menikmati es krim susu kesayangannya, Traffic Signal. Dia memutar setir kemudi ke arah kanan. Kini mobilnya memasuki jalanan yang lebih kecil dan lebih sepi daripada jalanan utama yang sebelumnya.
Lampu lalu lintas dari hijau beralih ke kuning. Sebelum Julia Dewi sempat lewat, lampu sudah beralih ke merah. Dia menginjak rem pelan-pelan. Mobil berhenti di depan lampu lalu lintas.
Sungguh terhenyak si Julia Dewi karena sekonyong-konyong terdengar suara tabrakan dan dentuman yang sangat keras di jalan layang yang ada di atasnya. Dia sempat melihat sebuah mobil melayang turun dan akan jatuh tepat ke atas mobilnya. Tak ayal lagi, jeritan keras nan melengking tinggi pun berkumandang dari dalam tenggorokannya.
"Aaiiihh…!"
Sekonyong-konyong lagi dilihatnya seorang lelaki berlari menyeberangi zebra cross yang ada di hadapannya. Antara samar-samar dan jelas, Julia Dewi melihat lelaki tersebut mengangkat kedua tangannya ke udara dan keluarlah sinar warna kuning dari kedua tangan itu. Sinar kuning mengarah ke mobil yang hendak jatuh tepat ke atas mobilnya tadi. Alhasil, tidak terjadi apa-apa pada mobilnya. Julia Dewi mendengar sekali lagi suara benturan yang sangat keras di belakang mobilnya.
Perlahan-lahan, Julia Dewi melihat ke belakang. Mobil tersebut jatuh di belakang mobilnya. Mungkinkah itu? Dengan hanya mengarahkan sinar kuning aneh nan misterius itu, lelaki ini berhasil mengirim beban yang seberat itu ke belakang sehingga beban berat itu tidak jadi mengenai mobilnya.
Julia Dewi keluar dari mobilnya. Dia kini berhadapan dengan seorang lelaki berpakaian kemeja putih lengan panjang, lengkap dengan celana panjang, tali pinggang dan sepatu kantor. Lelaki itu tampak sedang dalam perjalanan pulang.
"Makasih ya…" kata Julia Dewi agak kaku – sedikit bingung bagaimana ia memulai percakapan dengan seorang pahlawan tak dikenal, pahlawan tanpa pamrih yang baru saja menyelamatkannya.
"Kenapa…? Kenapa…?" tanya Julia Dewi antara bingung dan takut.
"Lebih baik hanya satu orang yang terluka daripada dua orang kan?" tukas Erwie Vincent menunjuk ke mobil yang dihempaskannya ke belakang tadi.
"Jadi… Jadi…" Julia Dewi tak sanggup meneruskan kalimatnya.
Erwie Vincent mendekati mobil itu. Dengan sekali sapuan tangannya, keluarlah lagi sinar kuning yang sama. Sinar kuning mengarah ke mobil tersebut. Tampak sosok seorang laki-laki setengah baya yang kini terbaring tidak sadarkan diri di tengah jalan. Wajah laki-laki setengah baya itu tampak berlumuran darah. Namun, begitu sinar kuning disapukan, hilang semua darah dan bekas luka pada wajah laki-laki itu tanpa bekas.
Julia Dewi menyaksikan fenomena misterius itu dengan sepasang matanya yang membelalak lebar.
"Hubungi polisi dan ambulans, Nona. Bilang ada kecelakaan di sini," kata Erwie Vincent mulai pusing. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang.
Julia Dewi masih belum pulih dari keterkejutannya. Akan tetapi, begitu Erwie Vincent memandanginya sekali lagi, dia langsung sadar dan tahu apa yang harus dia lakukan. Dia mengeluarkan telepon genggamnya dan menghubungi pihak yang berwajib.
Selang beberapa menit kemudian, Julia Dewi kembali ke Erwie Vincent. Dilihatnya wajah laki-laki itu sudah pucat pasi. Julia Dewi terperanjat seketika.
"Astaga! Wajahmu pucat sekali! Ada apa?"
"Jangan… Jangan… Jangan katakan pada siapa pun apa yang kaulihat barusan ya… Aku mohon ya… Jangan…"
Tak lama kemudian, dunia Erwie Vincent pun tenggelam dalam kegelapan yang hitam pekat. Samar-samar, dia masih mendengar Julia Dewi berteriak-teriak meminta bantuan. Setelah itu, segalanya menjadi hitam pekat tanpa cahaya setitik pun.
"Nona Julia!" panggil Erwie Vincent dengan agak keras sembari berkacak pinggang. Panggilan tersebut langsung membuyarkan lamunan Julia Dewi.
"Oh, sorry… sorry… sorry… Ada sedikit kesalahan tadi. Terlalu cepat musiknya," kata Julia Dewi terkekeh-kekeh.
Erwie Vincent tersenyum mencibir sejenak. Kemudian ia melanjutkan pemukulan tamburnya lagi. Naga dan mutiara naga kembali bergerak dan memasuki pos akhir.
Musik pengiring berhenti seketika. Latihan selesai.
"Oke… Lusa kita diundang main sedikit atraksi naga di peresmian toko teh milik Nyonya Wang ya… Semuanya berkumpul di sanggar jam enam sore ya… Jam enam sore sudah harus sampai. Jangan ada yang terlambat. Nyonya Wang adalah seorang bos yang paling menghargai kedisiplinan waktu," kata si pelatih yang merupakan orang perantauan dari Taiwan.
Erwie Vincent dan Julia Dewi bertukar pandang sejenak. Memang sudah beberapa kali ada beberapa anggota yang selalu saja terlambat. Alhasil mereka selalu ditegur oleh pelanggan yang memakai jasa mereka.
Erwie Vincent tersenyum skeptis lagi. Tidak di Medan, tidak juga di Los Angeles – yang namanya jam karet tetap saja ada.
***
Los Angeles, 5 Mei 2018
Memang Sabtu Erwie Vincent tidak bekerja. Ada beberapa resepsionis lain yang memang hanya digaji bekerja pada hari Sabtu dan Minggu dan mereka itu bekerja 12 jam per harinya. Namun, meski tidak bekerja, bangun pada jam tujuh pagi sudah menjadi rutinitas Erwie Vincent, bahkan ketika ia masih tinggal di Medan.
Jam weker berbunyi. Tangan terangkat dan mematikan jam weker. Sepasang kaki kekar berbulu agak lebat pelan-pelan diturunkan dari tempat tidur. Erwie Vincent bangun dan berjalan ke arah jendela. Begitu gorden disibak, sinar matahari pagi yang lembut mulai menerobos masuk ke kamar apartemennya.
Mata menerawang ke seluruh kota Los Angeles dari lantai 15. Tampak sudah ada beberapa mobil pribadi dan kendaraan umum yang berlalu-lalang di jalanan. Pikiran tak kuasa menerawang kembali ke masa-masa silam.
Lima tahun berlalu sudah… Lima tahun… Bukan waktu yang singkat, tapi terasa berlalu begitu saja dengan sedemikian cepat. Bagaikan tersesat di tengah-tengah pegunungan yang menghadap ke samudera luas… Kehilangan arah… Tak tahu mau ke mana…
Wie… Wie… Erwie Vincent menghela napas panjang. Sinar lampu jalan di pagi hari bagai semburat lembayung di kala senja, menyinari kesedihan yang kutinggalkan di belakang. Hmm… Apakah aku sudah benar-benar meninggalkan kesedihan itu…?
Laksana kupu-kupu yang terbang melayang ke arah perbukitan, mencari setitik cahaya harapan yang begitu rapuh dan rentan… Meski demikian, aku sadar cerita ini tidak boleh berhenti hanya sampai di sini. Karena dengan melanjutkan cerita ini, aku baru bisa tahu betapa panjangnya impianku ke depannya… Oh, Buddha. Benarkah aku masih memiliki sebuah impian…? Benarkah…?
Pikiran tak kuasa melayang kembali ke masa-masa silam.
"Rick…! Die...! Ke mana CD-ku, yang baru saja aku beli kemarin itu!" teriak Erwie Vincent yang masih berusia 13 tahun kepada kedua saudaranya.
Kedua saudaranya yang sedang menonton film kartun terhenyak seketika dengan teriakan Erwie Vincent yang mendadak nan keras sekali.
"Siapa yang ambil! Aku tidak suka dengan gambar Power Rangers yang kamu beli kemarin itu ya!" balas Erick Vildy tak kalah kasar.
"Aku juga tidak suka. Aku lebih suka gambar Jiraiya punyaku. Jadi aku tak mungkin ambil tuh CD-mu apalagi memakainya!" kata Erdie Vio acuh tak acuh.
"Tapi jelas-jelas kemarin malam aku masukkan ke lemari ini. Semua celana kita kan campur-campur…" Erwie Vincent mulai menangis meraung-raung. "Di dalam sini tidak ada! Kebanyakan CD kalian itu! Pasti kalian mengambilnya! Aku mau pakai CD baruku itu ke sekolah nanti siang!"
Erwie Vincent menerjang ke Erdie Vio dulu. Dia menarik celana saudaranya itu kuat-kuat. Langsung tampak CD yang bergambar Power Rangers sedang dikenakan oleh Erdie Vio.
"Nah, itu kan bergambar Power Rangers! Itu punyaku, Die! Kembalikan! Buka! Aku mau pakai itu ke sekolah siang nanti!" teriak Erwie Vincent sekarang.
"Nggak mau! Nggak mau! Aku nggak punya CD baru lagi. Erick pakai yang bergambar Jiraiya punyaku! Jadi aku mau pakai CD baru yang mana ke sekolah nanti? Hari ini ada pelajaran berenang. Aku mau memperlihatkan CD baruku ke teman-teman sekelasku nanti!"
Mendadak Erdie Vio beralih ke Erick Vildy sekarang. Sekonyong-konyong dia menarik celana saudaranya itu kuat-kuat. Erick Vildy jatuh terjerembab ke lantai.
"Apa aku tidak bisa pinjam sebentar, Die! Punyaku yang bergambar Ninja Hattori dibuat Mama jatuh ke selokan depan tadi pagi! Mama cuci sekarang!" teriak Erick Vildy sekarang. Jelas tampak ia sudah marah.
"Nggak bisa! Nggak bisa! Erwie sudah minta CD- nya. Jadi kau harus kembalikan CD-ku, Rick! Buka! Kembalikan! Aku mau pakai itu sekarang!" teriak Erdie Vio masih tidak menyerah mendapatkan celana dalamnya kembali.
Erwie Vincent juga memberondong Erdie Vio dari belakang, "Cepat bukalah, Die! Aku sudah mau mandi sekarang! Habis mandi, aku mau langsung ganti!"
Terjadilah tarik-menarik ala kereta api di antara ketiga bersaudara itu. Naiklah emosi Erick Vildy. Dia yang pertama kali mengeluarkan kekuatannya yang berwarna merah. Erwie Vincent dan Erdie Vio mundur beberapa langkah secara sempoyongan. Erwie Vincent balas mengeluarkan kekuatannya yang berwarna kuning. Erdie Vio juga tidak mau kalah mengeluarkan kekuatan misteriusnya yang berwarna hijau. Terjadilah ledakan energi di dalam kamar mereka. Alhasil, dalam sekejap kamar yang rapi berubah menjadi seperti kapal pecah!
Nyonya Florencia tersentak kaget begitu ia masuk ke dalam kamar ketiga anaknya.
"Sudah Mama bilang jangan pakai kekuatan itu dalam kemarahan! Itu akan menjadi kekuatan gelap yang menyesatkan! Kenapa kalian masih saja tidak mau dengar? Hentikan…! Hentikan…!" teriakan Nyonya Florencia Quincy berkumandang sampai ke jalanan yang sepi di luar.
Tiga E menghentikan perkelahian mereka. Ketiganya tampak merasa bersalah karena kini kamar mereka sudah berubah menjadi kapal pecah.
"Ada apa ini? Kenapa bisa sampai berkelahi?" hardik Nyonya Florencia tegas kali ini.
"Ada apa ini?" tanya Tuan Faiz Makmur yang entah sejak kapan muncul di belakang istrinya dan juga terperanjat kaget dengan kondisi kamar ketiga anak laki-lakinya.
"Entah ini… Ketiganya berkelahi dan pakai kekuatan itu pula, Faiz…" Nyonya Florencia terperengah.
Tuan Faiz Makmur mulai berbicara tegas kepada ketiga anaknya, "Kan sudah Papa bilang… Jangan sembarangan memakai kekuatan gelap itu lagi. Itu bisa membahayakan bukan hanya diri kalian sendiri, tapi juga orang-orang yang ada di sekitar kalian. Ada apa ini? Kenapa bisa sampai berkelahi? Tadi waktu sarapan, kompak kayak prangko Papa lihat! Sekarang bacok sana bacok sini kayak mau bunuh-bunuhan segala!"
"Erdie ambil CD baruku, Pa, Ma…! Dia kan sudah punya yang bergambar Jiraiya, tapi dia masih pakai yang bergambar Power Rangers punyaku!" mulai terdengar tangisan Erwie Vincent.
"Erick ambil yang bergambar Jiraiya punyaku, Pa, Ma…!" tangisan Erdie Vio juga tidak kalah kuatnya.
"Kan punyaku yang bergambar Ninja Hattori Mama bikin jatuh ke selokan tadi pagi. Aku pinjam yang punya Erdie sebentar. Tapi, dia tak mau pinjamkan dan menarik paksa celanaku ini, Pa, Ma…!" tangisan Erick Vildy juga sangat menyayat hati.
Kedua suami istri itu menepuk jidat mereka. Sungguh mereka tidak sangka-sangka sebelumnya bahwa celana dalam baru yang mereka belikan kemarin malam itu akan menjadi inti perkelahian ketiga anak mereka siang ini.
"Nah…" celetuk Tuan Faiz Makmur kepada istrinya sekarang. "Kau jatuhkan pula CD baru si Erick ke selokan tadi pagi. Sekarang kau yang salah…"
"Hei! Kok jadi aku, Faiz?" protes si istri bersungut-sungut.
"Tak mau urus lagi aku… Kau selesaikan saja dengan seadil-adilnya. Jangan sampai ada perkelahian lagi. Selesaikan ya, Istriku Sayang… Kuserahkan padamu…"
Tuan Faiz Makmur langsung turun ke lantai bawah lagi. Tampak 3E masih menangis meraung-raung di dalam kamar. Terpaksa Nyonya Florencia Quincy harus mengeluarkan jurus andalannya untuk menenangkan ketiga anak itu.
"Oke… Mama yang salah…" kata Nyonya Florencia Quincy dengan senyum dikulum. "Jadi diputuskan hari ini tidak pakai CD baru ke sekolah dulu. Oke…?"
"Tapi aku sudah janji akan memperlihatkan CD baruku kepada teman-teman sekelasku pada saat pelajaran berenang, Ma…" kata Erdie Vio masih belum puas.
"Bilang kepada teman-temanmu, Die… Belum dibelikan… Malam ini baru akan dibelikan Papa & Mama… Oke…?" kata Nyonya Florencia dengan senyum dikulum lagi. "Bagi yang tidak menangis lagi dan sudah berbaikan kembali, sepulang sekolah akan Mama bawa makan-makan di Thamrin Plaza… Oke…?"
Ketiga bersaudara itu spontan mengangguk-ngangguk dengan cepat. Makanan lezat sudah menanti mereka nanti sore. Rasanya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sore hari saja.
Nyonya Florencia memanggil anaknya satu per satu.
"Rick…! Sini…!" yang dipanggil pun mendekat, "Mama tahu emosimu cepat meluap dan kamu gampang marah. Tapi, ada satu hal yang harus Mama pesankan padamu. Setiap kali marah, kamu harus ingat… Erwie dan Erdie adalah saudaramu. Mama takkan berbohong padamu di sini. Meski kalian bukan saudara kandung, yakinlah, Rick… Ke depannya, kalian bertiga akan saling membutuhkan. Mengerti kan kamu?"
Erick Vildy mengangguk, "Iya, Ma…"
"Wie…! Sini…!" yang dipanggil pun mendekat. "Kau berdiri di posisi kedua. Jangan sampai lupa ya…"
"Kenapa aku mesti di tengah, Ma?" tanya Erwie Vincent polos.
"Sinarmu kan kuning…" kata Nyonya Florencia langsung mendapatkan jawabannya seolah-olah diturunkan dari langit. "Dalam lampu lalu lintas, posisi lampu kuning di mana?"
"Di tengah, Ma…" jawab Erwie Vincent.
"Ya… Sebagai posisi tengah, tugasmu adalah menjadi penengah dan pendamai antara Erick dan Erdie, bukan memperkeruh dan memperparah keadaan. Ngerti ya, Wie…? Mama tak mau berbohong padamu di sini… Meski kalian bukan saudara kandung, Mama yakin… Ke depannya kalian bertiga akan saling membutuhkan… Kamu percaya pada Mama bukan?"
Erwie Vincent mengangguk, "Iya, Ma…"
"Die…! Sini…!" yang dipanggil pun mendekat. "Sebagai yang bungsu…"
"Kenapa aku menjadi yang bungsu, Ma…?" tanya Erdie Vio langsung.
"Sinarmu hijau. Dalam lampu lalu lintas, lampu hijau berada di mana?"
"Di bawah, Ma…" jawab Erdie Vio polos.
"Oke… Sebagai yang bungsu, kamu tidak hanya duduk dan terima bersih dari kedua abangmu ya, Die. Jangan selalu berharap kedua abangmu akan mengalah padamu ya, Die. Oke…? Kadang-kadang Mama rasa, ada baiknya kamu mengalah dulu. Mama paham betul sifat kedua abangmu. Kamu lembut sama mereka, mereka akan 100 kali lipat lebih lembut terhadapmu. Mengerti?"
Erdie Vio mengangguk, "Iya, Ma…"
"Mama takkan berbohong padamu di sini, Die. Tapi, meski kalian bukan saudara kandung, Mama yakin sekali… Ke depannya kalian akan saling membutuhkan… Kamu percaya pada Mama bukan?"
Erdie Vio mengangguk mantap.
"Oke… Sekarang kalian sudah tahu apa yang harus kalian lakukan?" tanya Nyonya Florencia lagi, sembari melipat sepasang tangannya di depan dada.
"Maafin aku ya, Die, Wie…" kata Erick Vildy dengan raut wajah penuh penyesalan. "Aku gampang emosian. Aku janji aku lain kali takkan begitu lagi."
"Maafin aku juga, Rick, Die…" kata Erwie Vincent dengan seraut wajah penuh perasaan bersalah.
"Maafin aku juga, Rick, Wie…" kata Erdie Vio dengan raut wajah penuh penyesalan juga. "Mulai sekarang apa pun yang bisa kita kongsi, kita akan kongsi bertiga. Setuju?"
"Setuju…" jawab Erick Vildy dan Erwie Vincent serempak.
Nyonya Florencia pura-pura batuk sebentar. Tiga E saling berpelukan sebagai tanda berbaikan kembali dan tanda perdamaian. Tiga E saling berpelukan sambil tertawa cekikikan. Kadang, menurut mereka ibu mereka sangat berlebihan dalam mengenalkan konsep perdamaian dan persaudaraan.
Kembali ke alam realita, Erwie Vincent tersenyum-senyum simpul sambil memandangi satu per satu foto mereka dalam telepon genggamnya: foto mereka ketika sama-sama lulus SD, foto ketika mereka menyumbangkan sebuah lagu di acara perpisahan SMP, foto ketika mereka liburan ke Beijing bersama-sama dengan orang tua mereka, foto mereka ketika liburan ke London, foto ketika mereka ikut turnamen naga daerah untuk yang pertama kali, foto ketika mereka sama-sama ikut study tour ke Singapura, foto ketika mereka sama-sama tamat SMA, dan foto-foto ketika mereka ikut turnamen naga nasional di beberapa kota besar di Indonesia.
Kembali Erwie Vincent merebahkan kepalanya ke jendela. Sinar matahari pagi masih nyaman dan lembut di kulit.
Dengan datang ke sini, aku justru tidak bisa melupakan semua kepedihan masa lalu. Aku justru takut terluka, di tengah-tengah sibuknya dan cepatnya arus kota metropolitan seperti ini… Oh, Buddha… Di satu sisi, aku takut tidak bisa menemukan tempat yang pas bagiku. Tapi, di sisi lain, aku jadi bertanya-tanya… Di mana sebenarnya tempat yang pas bagiku itu?
Dan sampai sekarang, aku justru terjerumus semakin dalam… ke dalam perputaran arus waktu yang gila nan bergejolak di tengah-tengah kota asing seperti Los Angeles ini – tanpa keluarga – tanpa kedua saudaraku… Jika bukan karena Julia Dewi, aku bahkan 20 persen waktu untuk diriku sendiri saja tidak punya… Oh, Buddha… Apakah sesungguhnya ini adalah pilihan yang kuinginkan…? Benarkah ini yang kuinginkan? Benarkah…?
Terdengar satu ketukan di pintu. Lamunan panjang pun langsung buyar. Erwie Vincent berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa gerangan yang datang pagi-pagi begini.