webnovel

Muncullah Sinar Merah

BAB 2

Sydney China Town, 14 Juli 2018

Iwan Agustan Sembiring mengangkat tubuh mitra mainnya. Ia berhasil menaikkan tubuh si mitra ke atas kepalanya. Tambur, simbal, dan gong barongsai mulai memainkan musik gembira yang semakin cepat. Singa di atas tiang-tiang mulai meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri.

Subur Kapoor yang memegang kepala singa, kini duduk di atas kepala Iwan, mitra permainannya. Dia sempat melihat ke bawah sejenak. Subur Kapoor, seorang keturunan India, yang memang takut ketinggian, sempat gemetaran begitu ia menyadari tinggi tiang itu lebih dari satu setengah meter.

Erick Vildy yang memperhatikan jalannya latihan dari bawah bisa menangkap pandangan mata Subur yang gemetaran ke bawah.

"Jangan melihat ke bawah, Subur! Lihat ke depan! Konsentrasi ke depan! Ke depan! Bukan ke bawah!" Erick Vildy sengaja mengeraskan suaranya sehingga bisa terdengar di antara bunyi alat-alat musik pengiring barongsai yang memang sangat keras.

Subur berusaha melihat ke depan sekarang. Perlahan-lahan, gemetarnya mulai hilang.

"Lihat ke depan, Bur!" kata Iwan dari bawah, "Sekarang turun dan langsung ke skenario berikutnya ya."

"Hah? Skenario berikutnya? Apa?" Subur mulai panik. Dia lupa dengan skenario berikutnya. Mungkin rasa gemetar barusan sedikit banyak menguras ingatannya.

Iwan Agustan mengira mitra mainnya sudah siap. Dia langsung menurunkan tubuh Subur Kapoor ke dua tiang yang ada di hadapannya. Kemudian, barongsai itu maju dua langkah. Beberapa saat kemudian, musik gembira kembali dimainkan.

"Naik lagi, Bur…" kata Iwan Agustan langsung mengangkat tubuh Subur lagi.

Akan tetapi, saat itu Subur belum siap. Dia terhenyak seketika begitu tubuhnya terangkat begitu saja ke udara. Saat Iwan Agustan menurunkannya ke tiang lagi, kedua kakinya tidak siap dan tidak tahu tiang mana yang bakalan dia injak. Tak ayal lagi, tubuhnya dan kepala singa langsung menghantam ke pagar kayu yang ada di ujung. Seluruh tubuh Subur Kapoor terjatuh ke balik pagar kayu. Badan singa yang masih terikat pada tubuh Iwan Agustan juga tertarik ke ujung. Tubuh Iwan Agustan bergerak maju dengan cepat dan seketika tubuhnya menghantam ke pagar beton yang ada di bawah pagar kayu tadi. Tubuh Iwan Agustan tertahan di beton. Kepala dan badan singa juga tertahan pada pagar beton. Akibatnya, tubuh Subur Kapoor hanya bisa menggelantung pada puncak bangunan yang menjadi tempat latihan mereka.

"Tolong…! Tolong aku!" terdengar teriakan Subur.

Semuanya panik. Musik pengiring kontan berhenti. Semuanya berlari ke tempat kejadian. Erick Vildy memutar otaknya dengan keras. Dia yang mendirikan sanggar ini. Para orang tua dari anggota-anggotanya mempercayakan keselamatan anak mereka di tangannya. Kecelakaan seperti ini jelas menjadi tanggung jawabnya. Dia harus menolong Subur.

"Naikkan tanganmu, Bur!" teriak Erick Vildy mengulurkan tangannya ke bawah.

Subur Kapoor berusaha menaikan tangannya supaya dia bisa menggapai tangan Erick Vildy. Akan tetapi, posisinya yang menggelantung itu terlalu ke bawah sehingga dia tidak bisa menggapai tangan Erick Vildy yang ada di atas. Dia berusaha sekuat tenaga lagi mengayun-ayunkan tangannya supaya dia bisa menggapai tangan Erick Vildy. Sial baginya, kain barongsai tempat dia berpegangan mulai koyak dan tubuhnya semakin melorot ke bawah.

"Tidak! Kainnya koyak, Bang Erick!" teriak Subur sekarang. Beberapa pemain musik barongsai yang kebetulan adalah anak perempuan juga ikut berteriak menyaksikan ketegangan itu.

Akhirnya kain barongsai itu koyak total. Badan barongsai terbelah menjadi dua. Terjatuhlah Subur dari lantai sepuluh bangunan itu, diiringi dengan teriakannya yang membahana memecah langit malam.

Tidak ada pilihan lain lagi! Tidak ada pilihan lain lagi! Aku harus menggunakan kekuatan itu!

Erick Vildy serta-merta terjun ke bawah. Tampak beberapa anggotanya yang masih berdiri di tempat, terperanjat bukan main menyaksikan aksi nekat dari sang pelatih.

Tampak tubuh Subur Kapoor yang mencapai bagian bangunan yang berbentuk seperti setengah kubah yang melengkung dua lantai di bawahnya. Tubuhnya meluncur dengan kecepatan penuh ke bawah di atas kubah tersebut. Teriakannya kian tajam dan melengking. Erick Vildy berhasil mencapai bagian setengah kubah yang melengkung tersebut. Dengan sekali sapuan tangan, ia berhasil menggapai tangan Subur Kapoor sebelum tubuhnya melorot lebih ke bawah lagi.

"Bang Erick Vildy!" kata Subur Kapoor lirih di batas antara ketakutan dan kepasrahannya.

"Tenang! Aku adalah pelatihmu. Aku takkan membiarkanmu celaka. Aku akan menyelamatkanmu. Sebentar ya…" kata Erick Vildy masih berusaha tersenyum di tengah-tengah ketakutan dan kepanikan yang ada.

"Tapi, kita tersangkut di tengah-tengah bangunan seperti ini, Bang Erick Vildy. Naik jelas tidak mungkin. Turun sudah pasti kita akan langsung tamat. Bagaimana ini?" kembali kepanikan terpancar dari wajah anak muda itu.

"Kita naik saja…" kata Erick Vildy singkat non komital.

Dia menarik tangan Subur sekuat tenaga. Begitu posisi Subur Kapoor sudah berdiri tegak, dia menghentakkan kakinya sejenak. Tidak disangka-sangka oleh Subur Kapoor sebelumnya, keduanya langsung terbang meluncur ke atas lagi. Semua anggota yang ada di lantai atas menyaksikan keajaiban tersebut dengan penuh takjub. Semuanya terkesima, tidak bisa berkata apa-apa ketika tubuh Erick Vildy dan Subur Kapoor mendarat dengan sempurna di lantai atas.

"Sudah tidak masalah… Mungkin kamu shocked… Duduklah dulu di sini dan tenangkan dirimu," kata Erick Vildy mendudukan Subur di salah satu tiang terdekat yang agak rendah.

Dengan napasnya yang masih tersengal-sengal, Subur hanya bisa duduk dengan pasrah.

"Ana… Buatkan teh manis hangat untuknya sebentar," kata Erick Vildy.

Ana Simanjuntak, yang merupakan campuran antara Batak dan China, segera berlari masuk ke dalam bangunan dan kemudian keluar lagi dengan segelas teh manis hangat. Subur yang masih shocked segera meneguk habis teh manis hangat itu.

"Apa itu yang barusan kami saksikan, Bang? Apa itu sebenarnya?" tanya Iwan Agustan memandang Erick Vildy dengan mata yang melebar dan mulut yang menganga.

"Bagian mana tadi yang kena?" tanya Erick Vildy seraya membuka pakaian Iwan Agustan.

Tampak luka memar besar pada bagian dada Iwan Agustan Sembiring yang sebelah kiri. Dengan sekali sapuan tangan, muncullah sinar merah pada tangan Erick Vildy. Sinar merah diarahkan ke luka memar tersebut. Detik demi detik berlalu dan akhirnya luka memar itu pun menghilang. Lagi-lagi semua anggota sanggar menyaksikan kejadian itu dengan takjub.

"Masih sakit?" tanya Erick Vildy lagi.

Iwan Agustan menyentuh-nyentuh dada kirinya lagi. Sungguh aneh! Sama sekali tidak terasa lagi sakitnya!

"Siapa kau sebenarnya, Bang Erick Vildy?" tanya Ana Simanjuntak sekarang. "Satu tahun kau mendirikan sanggar naga barongsai ini di sini. Satu tahun kami mengikutimu dalam sanggar ini, dan sampai detik ini kami baru sadar kau ternyata lain dari yang lain, Bang. Siapa kau sebenarnya?"

Ana Simanjuntak memandangi Erick Vildy dengan dahi yang berkerut, begitu juga dengan semua anggota sanggar.

"Kalian mau berjanji untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk anggota keluarga kalian dan teman-teman kalian di luar sana yang tidak bergabung dengan sanggar ini?" tanya Erick Vildy memandangi satu per satu anggotanya dengan tatapan tajam nan serius.

Semuanya mengangguk mantap. Tidak ada yang berkata-kata lagi setelah itu. Semuanya menunggu jawaban Erick Vildy dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.

Erick Vildy berpaling ke arah lain dan mulai bercerita, "Terus terang aku juga tidak tahu, Kawan-kawan. Hanya semacam kekuatan aneh dan sudah ada ketika aku lahir. Setidaknya, itulah yang diceritakan oleh papa mamaku."

"Jadi, semacam kekuatan misterius yang sama sekali tidak diketahui asal-usulnya begitu?" tukas Iwan Agustan masih dengan dahi yang berkerut.

"Banyak fenomena misterius di dunia ini, Iwan. Selain dari yang kita ketahui dan kita pelajari selama ini, aku yakin di luar sana masih banyak kejadian dan fenomena yang masih tidak bisa dijelaskan secara teoritis. Begitu juga dengan kekuatan yang ada pada diriku ini. Mamaku bercerita pagi di hari aku lahir, langit sangat mendung, gelap total, seolah-olah akan turun hujan yang sangat deras. Tak lama kemudian, halilintar sambar-menyambar. Namun, hujan yang turun tidak deras sama sekali – hanya gerimis. Tapi, halilintar tetap sambar-menyambar sampai aku lahir, sampai terdengar tangisanku. Dan, yang paling aneh dan yang paling tidak logis adalah…"

"Apa itu, Bang?" tanya Paul Johnson, yang merupakan pemain tambur naga dan barongsai, yang berhasil menguasai apa yang diajarkan oleh Erick Vildy hanya dalam waktu satu bulan.

"Setelah tangisanku terdengar, satu halilintar yang paling kuat dan paling menggegerkan menyambar masuk ke dalam ruang bersalin melalui jendela kaca. Tentu saja jendela kaca pecah dan para dokter dan suster sedikit panik. Tapi, apa yang muncul setelah itu adalah kepanikan mereka yang sesungguhnya."

"Apa itu, Bang?" tanya Siska Jessica Angkasa, yang murni merupakan keturunan China.

"Muncul lagi dua bayi lain di sampingku, berbaring tepat di sampingku, di tempat tidur yang sama. Dokter dan suster kebingungan karena jelas-jelas mamaku hanya melahirkan aku seorang. Jadi, dari mana datangnya lagi dua bayi yang lainnya? Tapi, sampai sekarang misteri itu tetap tidak terpecahkan. Dokter dan suster, papa dan mamaku sendiri, dan semua kerabat dekat keluarga kami hanya menganggap mamaku melahirkan bayi kembar tiga. Dan, pada saat usia kami menginjak lima tahun, kami bertiga sama-sama sadar kami memiliki kekuatan misterius ini, yang entah sejak kapan ada, dan entah dari mana asalnya. Begitulah, Kawan- kawan…"

"Dan selama ini kekuatan kalian bertiga tidak pernah diketahui oleh orang lain, selain papa mama dan keluarga sendiri?" tanya Subur Kapoor yang sudah agak tenang kali ini.

"Beberapa kali ketahuan sih…" kata Erick Vildy dengan sedikit pandangan menerawang. "Banyak wartawan dan orang-orang pintar yang datang ke rumah, datang ke sekolah untuk mewawancarai kami. Tapi, kami tetap tidak mengatakan apa-apa. Kami pindah sekolah hampir lima sampai enam kali ketika kami SD dan SMP. Ketika kami SMA, kami memutuskan untuk merahasiakan hal ini dari siapa pun juga, termasuk gadis-gadis SMA yang saat itu selalu mengerubungi kami."

Erick Vildy tampak agak tersipu malu menceritakan masa-masa remajanya. Beberapa anggota tersenyum kecut sesaat mendengar penuturan Erick Vildy.

"Jika tidak terpaksa demi menolong Subur barusan, aku juga takkan kurang kerjaan memperlihatkan kekuatan ini pada kalian. Oleh sebab itulah, aku minta kepada kalian untuk merahasiakan hal ini kepada siapa pun juga, bahkan kepada anggota-anggota sanggar yang hari ini tidak hadir. Anggap saja hari ini tidak terjadi apa-apa dan latihan berjalan seperti biasa. Oke…?"

Semua anggota perlahan-lahan mengangguk.

"Baguslah… Kalian sudah berjanji, maka kalian tidak boleh melanggarnya ya…" kata Erick Vildy mulai merasa mual dan pusing.

Lama-lama pandangan Erick Vildy menjadi berkunang-kunang. Dunianya serasa berputar-putar terus dengan cepat. Dia tidak bisa membedakan lagi mana kiri, kanan, atas dan bawah. Akhirnya kepusingannya mencapai puncak dan dunianya pecah dalam kegelapan yang berbintang-bintang.

"Bang Erick Vildy! Bang Erick! Bang!" masih samar-samar terdengar jeritan anggota-anggota sanggar sebelum akhirnya dunianya menjadi hitam pekat semua.

***

Begitu mata dibuka, bayangan pertama yang berhasil ditangkap adalah sosok Melisa Rayadi yang tampak sangat cemas dengan sisa-sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk mata.

"Akhirnya kau siuman juga, Rick…" kata Melisa Rayadi membelai kepala dan wajah sang pangeran pujaan. Dia tidak mau tahu lagi. Meski diketahuinya laki-laki itu selama ini tidak pernah membalas perasaannya, hanya dengan cara ini dia bisa mengungkapkan kecemasannya atas apa yang telah terjadi.

"Ada di mana aku? Di rumah sakitkah?" tanya Erick Vildy melihat ke sekeliling.

"Ya… Kau menggunakan kekuatan itu lagi! Berapa kali harus kukatakan kau tidak boleh menggunakan kekuatan itu lagi, Rick? Setiap kali kau menggunakan kekuatan itu, kau harus berakhir di rumah sakit seperti ini. Kenapa kau begitu keras kepala dan tidak mau dengar?"

"Tapi, pernah suatu kali aku menggunakannya dan aku baik-baik saja, Mel. Kenapa kali ini kumat lagi ya?" Erick Vildy bertanya-tanya keheranan.

"Waktu itu kau menggunakannya bersama-sama dengan Erwie dan Erdie. Sudah lupakah kau? Waktu itu kalian bertiga mengejar seorang perampok yang membawa kabur tasku," sahut Melisa cepat tanpa memberi kesempatan apa-apa kepada Erick Vildy untuk membantah.

Baru teringat oleh Erick Vildy waktu itu dia dan kedua saudara angkatnya menggunakan kekuatan itu bersama-sama. Dia sudah lupa. Mendadak dia merasa jarak di antara mereka bertiga menjadi semakin jauh. Oh, Buddha… Apakah jarak kami sudah semakin jauh? Aku bahkan tidak tahu ada di mana mereka sekarang. Aku terlalu gengsi untuk bertanya pada Papa dan Mama di mana kedua orang itu sekarang. Apakah hubungan persaudaraan di antara kami akan segera berakhir?

"Sudahlah… Kau istirahatlah dulu… Aku akan membereskan persoalan administrasimu di lantai bawah dulu…"

Melisa Rayadi mengelus tangan sang pangeran pujaan lagi dan kemudian berlalu dari tempat itu. Dia menutup pintu perlahan. Di luar, tampak Iwan Agustan Sembiring dan Ana Simanjuntak menunggu dengan harap-harap cemas.

"Bagaimana keadaannya, Kak Melisa?" tanya Ana.

"Sudah agak mendingan, Ana…" kata Melisa agak lirih. Dia memberi isyarat kepada Iwan dan Ana untuk agak menepi supaya mereka bisa membicarakan sesuatu yang rahasia. "Tadi kalian sempat melihat kekuatan misterius yang ada pada diri Bang Erick Vildy bukan?"

Iwan dan Ana mengangguk.

"Aku mohon pada kalian untuk tidak sembarangan menceritakannya pada siapa pun juga ya – termasuk pada anggota-anggota yang tidak hadir malam ini. Bisa?" tanya Melisa memandangi dua lawan bicaranya dengan serius.

"Aku janji nggak akan bilang," kata Ana sembari mengangkat tangan kanannya ke udara.

"Ya, Kak… Kami janji nggak akan bilang," kata Iwan Agustan mengangguk cepat. "Tapi, ternyata Bang Erick Vildy memiliki sejenis kekuatan supranatural yang selama ini hanya bisa kusaksikan di film-film. Pikir-pikir, keren juga ya memiliki kekuatan supranatural yang seperti itu."

Iwan Agustan mereka-reka hal-hal keren apa yang bakalan dia lakukan jika ia memiliki kekuatan supranatural yang sama seperti Erick Vildy. Ana Simanjuntak langsung menyodok pinggangnya.

"Sudah! Jangan terlalu banyak berkhayal. Sudah jam sebelas malam nih. Kau mau pulang tidak? Besok kau masuk shift Minggu pagi kan?" tanya Ana Simanjuntak mengingatkan kembali Iwan Agustan akan shift kerjanya Minggu besok.

Melisa Rayadi tersenyum geli. Memang selain Paul Johnson dan beberapa anggota lainnya yang merupakan anak Australia asli, yang lainnya – seperti Ana Simanjuntak, Iwan Agustan Sembiring, dan lain sebagainya – merupakan anak perantauan yang sambil kerja sambil kuliah di Australia. Mereka kemudian bertemu dengan Erick Vildy, merasa tertarik dengan budaya barongsai dan naga, dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dalam sanggar yang dibentuk oleh Erick Vildy. Dua tiga kali setahun mereka akan mengadakan atraksi naga dan barongsai untuk meramaikan acara peresmian toko-toko, rumah-rumah makan, dan berbagai macam perayaan berbau budaya China di China Town kota Sydney.

"Oke… Kalian sudah boleh pulang. Bang Erick Vildy sudah baikan. Memang dia tidak boleh menggunakan kekuatan itu sendirian. Beginilah akibatnya jika ia menggunakan kekuatan misterius itu sendirian. Aku rasa, dalam situasi yang tidak begitu berbahaya seperti situasi di tempat latihan tadi, Bang Erick Vildy juga takkan mempergunakan kekuatannya itu," kata Melisa lagi.

"Selain Bang Erick Vildy, ada lagi dua saudaranya yang katanya juga memiliki kekuatan misterius yang sama, Kak. Benarkah itu?" tanya Iwan Agustan.

"Kira-kira begitulah…" Melisa menghela napas panjang. "Jika kekuatan itu dipergunakan secara bersama-sama, takkan ada yang terluka. Namun, jika dipergunakan sendiri-sendiri, siapa pun di antara mereka bertiga, akan mengalami seperti apa yang terjadi pada Bang Erick Vildy malam ini."

"Kedua saudara Bang Erick Vildy itu tidak sedang berada di Sydney kan, Kak Mel?" tanya Ana.

"Iya… Mereka berdua ada di lain tempat," kata Melisa.

"Jika memang kekuatan itu haruslah dipergunakan bersama-sama, kenapa ketiganya bisa sampai terpisah di lain-lain tempat, Kak Mel?" sahut Ana lagi.

Lagi-lagi Melisa Rayadi menghela napas panjang, "Ceritanya panjang, Ana. Lagipula itu adalah kenangan buruk tak terperikan bagi Bang Erick Vildy. Jika kalian ingin tahu, mungkin kalian bisa mencari waktu yang tepat bertanya padanya. Oke…?"

Iwan Agustan dan Ana Simanjuntak hanya membisu setelah itu. Tidak ada yang berkata-kata lagi.

***

Mendadak mimpi Erick Vildy malam itu terasa begitu menyakitkan.

Medan, 22 September 2012

"Jangan masukkan foto-foto kita kemarin malam ke Instagram ataupun Line, Rick… Aku mohon jangan… Kemesraan kita hanya untuk kita berdua. Aku tak mau mengumbarnya ke mana-mana dan membaginya dengan banyak orang. Bisakah…?" terdengar nada kalimat Stella Kuangdinata yang memelas.

Untung saja Erick Vildy belum memasukkan foto-foto perayaan ulang tahunnya kemarin di Sun Plaza ke Instagram ataupun Line. Untung saja sebelumnya ia sempat menanyakannya terlebih dahulu kepada Stella. Jika tidak, mungkin Stella akan kecewa dan bahkan marah padanya. Ia tidak tahu lagi apa yang mesti diperbuatnya jika gadis itu sempat marah padanya.

"Aku justru berpikir kau akan senang begitu aku memasukkan foto-foto kita kemarin ke Instagram ataupun Line, Sayang. Aku berpikir dengan mengumumkan hubungan kita ke medsos, berarti aku telah meresmikan hubungan kita kepada banyak orang. Aku pikir kau akan senang," kata Erick Vildy sedikit kecewa.

"Beri aku waktu lagi, Rick," kata Stella berbalik ke arah lain, "aku masih belum memberitahu papa dan mamaku mengenai kedekatan kita, Rick. Aku mohon… Beri aku waktu satu dua bulan lagi."

"Apakah… Apakah… Apakah sebelumnya papa mamamu ada menunjukkan indikasi mereka kurang setuju dengan hubungan kita?" tanya Erick Vildy agak khawatir.

Stella menggeleng-gelengkan kepalanya, "Nggak, Rick… Hanya saja di tahun terakhir SMA- ku, papa mamaku berharap aku belajar baik-baik dan tidak memikirkan pacaran dulu. Tapi, aku yakin begitu aku menjelaskan baik-baik kepada mereka, mereka bisa mengerti. Tolong beri aku waktu lagi ya…"

Erick Vildy mengangguk. Tapi, beberapa saat kemudian ia terhenyak seketika dalam mimpinya!

Sungguh ia tidak bisa mempercayai penglihatan dan pendengarannya sendiri. Bayangannya tadi kini berubah menjadi bayangan Erwie Vincent! Dia terhenyak menyaksikan adegan yang sama, adegan yang ia jalani tadi juga dijalani oleh Erwie Vincent, saudara angkat sekaligus teman baiknya semasa kecil sampai sekarang! Oh, Buddha… Mengapa ini harus terjadi? Mengapa ini harus terjadi pada kami? Mengapa…?

"Apakah setelah kau mendapatkan restu dari kedua orang tuamu, aku sudah bisa bebas memperkenalkanmu pada papa mamaku, pada Erick dan Erdie, dan pada teman-temanku semuanya?" tanya Erwie Vincent dengan sebersit senyuman hangat yang menghiasi wajahnya.

"Iya… Beri aku waktu lagi, Wie," kata Stella asyik mengulang-ngulang kalimat yang sama. "Aku mencintaimu, dan jika untuk bisa bersama-sama denganmu, aku mendapat tentangan dari kedua orang tuaku, aku akan lari dari rumah saja."

Erwie Vincent meletakkan telunjuknya di bibir si putri pujaan.

"Jangan bilang begitu. Aku yakin papa mamamu akan mengizinkan kau bersama-sama denganku. Aku yakin kekuatan cinta kita bisa mengalahkan segalanya, Stel. Aku yakin…" kata Erwie Vincent membelai kepala sang putri pujaan dengan lembut. Erwie Vincent memang adalah seorang laki-laki yang lemah lembut nan bertanggung jawab, apalagi itu sudah menyangkut cinta dan perasaan.

"Thanks banget, Wie… Thanks karena sudah mau memahami posisiku sekarang ini. Aku yakin ketika aku sudah bersama-sama denganmu nanti, itu akan menjadi hal yang tidak tergantikan dengan apa pun di dunia ini," kata Stella membenamkan kepalanya dalam pelukan Erwie Vincent.

Erwie Vincent pun terperanjat bukan main dalam mimpinya. Bayangannya sekonyong-konyong berubah menjadi bayangan Erdie Vio! Dia sungguh-sungguh tersentak kaget dalam belahan mimpinya malam itu! Dia mundur beberapa langkah secara sempoyongan. Dunia latar belakangnya serasa pecah berkeping-keping tanpa sisa. Dia tidak bisa menerima pengkhianatan ini! Dia juga tidak terima kenapa ia justru kalah bersaing dengan saudara angkatnya dan teman baiknya dari kecil dalam mendapatkan cinta Stella Kuangdinata! Oh, Buddha… Kenapa ini harus terjadi? Kenapa kami bisa sampai terjerat dalam pertalian cinta yang sama…? Kenapa…?

Erdie Vio mendaratkan satu ciuman mesra ke bibir sang putri pujaan. Stella mempererat pelukannya dan bibir keduanya saling bertaut dalam suatu kemesraan yang dalam nan tak berujung.

"Aku janji… Ketika kedua orang tuamu sudah merestui hubungan kita, aku pasti akan segera menikah denganmu, Stel," kata Erdie Vio penuh antusiasme.

Stella tersenyum geli. Erdie Vio memang adalah laki-laki yang penuh dengan sinar antusiasme, gairah hidup, dan semangat yang paling tinggi di antara ketiga bersaudara Makmur. Namun, jangan sampai mengecewakannya. Jika ia sempat kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap suatu hal, walau hanya sekali, ke depannya ia takkan menunjukkan semangat dan antusiasme yang sama lagi terhadap hal tersebut.

"Mengapa secepat itu? Kau kan tidak boleh mendahului Erick dan Erwie, Die…" kata Stella masih tersenyum-senyum geli.

"Jika aku duluan yang mendapatkan jodohku, aku yakin Erick dan Erwie akan merestuiku, Stel. Mereka bukan hanya saudara dan teman baikku dari kecil sampai sekarang, Stel. Mereka sudah seperti belahan jiwaku. Aku yakin mereka tetap akan mendukung apa yang menjadi kebahagiaanku," kata Erdie Vio masih dengan antusiasme yang berpendar-pendar dalam sorot matanya.

Stella mengangguk mantap, "Ya… Beri aku waktu lagi, Die. Aku akan pelan-pelan menjelaskannya pada papa mamaku. Aku juga yakin mereka senantiasa akan mendukung dan merestui kebahagiaanku."

"Masa depan masih panjang, Stel," kata Erdie Vio mempererat pelukannya. "Tapi, jika kita menghadapinya bersama-sama, aku yakin yang terbaik akan menunggu kita di ujung jalan sana."

"Ya… Kau memang penuh dengan optimisme, Die…" kata Stella.

"Tentu saja…" sahut Erdie Vio sedikit menyeringai. "Dengan berpikir optimis, segala sesuatu di sekitar kita akan ikut-ikutan baik pula. Dengan berpikir pesimis, mah segalanya juga akan menjadi negatif loh… Iya nggak?"

"Ya… Kudengarkan saja kata-kata optimismu, Die…" kata Stella kembali membenamkan kepalanya ke dalam pelukan Erdie Vio.

Namun, detik-detik berikutnya, kembali Erdie Vio dihantam palu duka dan nestapa yang seribu kali lebih kuat daripada gempa berkekuatan sembilan skala Richter. Mendadak bayangannya berubah kembali menjadi bayangan Erick Vildy. Dia juga mundur beberapa langkah dengan terseok-seok. Sepasang kakinya menjadi gemetaran dan kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya. Dunia latar belakangnya juga serasa pecah berkeping-keping tanpa sisa.

Oh, Buddha… Kenapa ini harus terjadi? Aku tidak terima dia mengkhianatiku dengan dua saudaraku dan teman baikku dari kecil hingga sekarang! Aku tidak terima…! Sungguh aku tidak bisa menerima kekalahan ini! Segalanya akan lain jika dia memang mencintai lelaki lain. Aku akan mundur. Tapi, kenapa harus dengan kedua saudaraku dan sahabatku semasa kecil hingga sekarang? Kenapa…? Kenapa ini harus terjadi pada kami bertiga?

***

Mendadak lagi, jeritan batin Erdie Vio itu membuyarkan mimpi Erick Vildy. Serta-merta ia terbangun dari mimpinya dengan napasnya yang memburu. Ia melihat ke sekelilingnya. Ia masih berada di ruang rawat inap rumah sakit. Ia melirik ke jam dinding sebentar. Baru jam dua dini hari lewat sedikit. Dilihatnya lagi jarum infus masih menempel pada pergelangan tangan kirinya. Dia tidak bisa turun dari tempat tidur. Karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia hanya meneguk segelas air yang terletak di bufet samping tempat tidurnya. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali berbaring.

Lima tahun lamanya… Lima tahun kejadian itu sudah berlalu. Akan tetapi, sampai dengan detik ini aku masih kepikiran hal yang sama. Aku jadi bertanya-tanya… Apakah aku masih tidak bisa melupakan Stella? Jelas-jelas dia hanya menipuku dan memperdayaiku, untuk satu tujuan tertentu. Sampai sekarang, aku masih samar-samar apa sebenarnya tujuannya dengan semua kebohongan ini. Jelas-jelas aku tahu semuanya hanyalah sandiwara, semuanya tidak nyata, dan aku selama itu hanya hidup dalam kebahagiaan semu. Apakah itu masih tidak cukup bagiku untuk melupakannya dan memulai lembaran hidupku yang baru di sini…?

Atau…? Justru bukan Stella yang masih terngiang-ngiang dalam alam memori bawah sadarku…? Bukan Stella ya…? Lantas jika bukan Stella, apa sebenarnya yang masih mengganjal pikiranku sampai sekarang…? Apakah itu Erwie dan Erdie…? Oh, Buddha… Mengapa persoalan pikiran dan batin manusia harus serumit ini?

Mulai timbul sekelumit perasaan bersalah dalam rangkup batin Erick Vildy.

Wie… Die… Kalian ada di mana ya sekarang…? Sebenarnya dengan gampang aku bisa telepon ke Medan dan bertanya pada Papa dan Mama ada di mana kalian sekarang. Tapi, gengsi dan harga diriku ini melarangku untuk melakukan hal itu. Oh, Buddha… Aku mulai menyesal mengapa aku bisa memiliki harga diri dan gengsi yang sedemikian tinggi…

Malam itu dilewatkan Erick Vildy dengan penuh kegelisahan.

Bab berikutnya