Menu makan malam ni dibuat oleh anak-anak bersama. Sebelumnya, Dewi yang memasak semua hidangan, tapi kali ini berbeda. Dewi sebenarnya enggan membiarkan anaknya memasak. Rena sebelumnya memang sering membantu ibunya. Namun, baru kali ini ia memasak di dapur sendirian. Rena dengan sigap mengambil bumbung bambu, ia meniupnya mengarahkan pada tumpukkan ranting yang mulai menyala. Rena ingin nyala api itu lebih besar.
Mona yang sudah pernah hidup sebagai orang dewasa di kehidupan sebelumnya tak bisa tinggal diam. Ia sekarang bertingkah seperti orang dewasa dengan tubuh kecil, mempraktekkan apa yang biasa ia lakukan bersama neneknya di dapur. Mona bergegas membantu kakaknya.
Makanan keluarga Restu ditakar setiap harinya. Jika tidak, maka bahan makanan tidak akan cukup. Belum lagi mereka juga harus menabung untuk kebutuhan mendesak dan rencana membangun rumah yang layak.
Rena mengambil beras dengan gelas yang biasa dijadikan takaran oleh ibunya. Rena mulai mencuci beras, membilasnya dengan hati-hati agar tidak ada beras yang terbuang. Jika ada beras yang terbuang, Rena akan memungutnya kembali. Rena tak segan memungut meski hanya satu bulir beras. Ia tak ingin ada sedikitpun yang terbuang. Rupanya, Rena ingin memasak beras itu menjadi bubur.
Satu alasan utama mengapa Rena ingin memasak bubur dan bukan nasi adalah bubur memiliki kandungan lebih banyak air. Sedikit beras saja bisa menjadi porsi bubur yang banyak. Rena berharap bisa lebih berhemat jika memasak bubur. Kali ini Rena juga tidak menambahkan ubi jalar rebus sebagai menu tambahan makan malam. Ia ingin lebih hemat lagi. Tapi, Rena tetap menambahkan beberapa daun bayam segar sebagai sayur dalam bubur.
Mona menambahkan jerami dan ranting dalam perapian. Ia meniup api di bawah tunggu hingga api segera membesar. Dewi dan Restu baru saja pulang ke rumah. Dewi menarik tangan Restu, mengintip dua anaknya yang sedang memasak. Dua anak itu nampak malu. Anak-anak dari keluarga miskin memang harus bisa mandiri lebih awal. Mereka harus bisa membantu orangtua sejak kecil.
"Ibu, Ayah, kalian sudah pulang? tunggulah, makan malam akan segera matang." Rena khawatir orangtuanya lapar dengan perut lapar, sementara makan malam belum siap dihidangkan.
Dewi memandang putrinya yang cemberut, Dewi tersenyum dan berkata, "Apa lagi yang ingin kalian masak? Biarkan ibu membantu kalian".
Mona bergegas menunjukkan semangkuk tauge pada ibunya, "Bu, lihatlah, ini kedelai yang kita kumpulkan hari ini, sudah menjadi tauge. Aku ingin menggorengnya dengan sedikit minyak."
Eka keluar dari ruang belakang, menarik Dewi ke ruang belakang, dan menunjukkan beberapa kedelai kering di lantai. "Bu, lihat, kami mendapat banyak kedelai hari ini. Kami akan mencari kedelai lagi besok. Jika kita punya lebih banyak kedelai, kita bisa membuat minyak dan tahu. "
Anak-anak itu bersemangat menunjukkan kepada orang tua mereka hasil kerja mereka hari ini. Restu dan Dewi tidak menyangka akan ada begitu banyak kedelai yang tersisa di ladang, dan mereka tidak pernah membayangkan anak-anak berhasil mengumpulkannya hari ini.
Dewi terharu dan memeluk kedua putranya, "Anak pintar, kalian mengais banyak kedelai hari ini, kalian pasti lelah. Biarkan ibu yang memasak tauge untuk kalian."
Melihat anak-anak berhasil mengumpulkan banyak bahan makanan, Restu terkejut. Ia berkata dengan dengan lemah lembut, "Anak-anak, kalian jangan mengais di ladang terlalu banyak. Jangan sampai orang-orang berpikir kalian mencuri hasil panen. Meskipun sebenarnya kalian hanya memungut sisa panen yang tidak laku terjual."
"Baiklah ayah, kami mengerti." Anak-anak setuju serempak.
"Anak-anak, lihat apa yang kami bawa, ini pasti enak." Restu mengeluarkan segenggam buah murbey yang sudah layu dari sakunya.
Restu memberikannya kepada anak-anak, anak-anak senang dan langsung memakannya bersama. Langit sudah gelap. Eka menyalakan lampu minyak tanah sehingga ada pelita di rumah itu meski tak bisa membuat pandangan mereka sepenuhnya jernih Tidak jika mereka tidur dengan kondisi gelap, semua rumah disini pasti menyalakan lampu minyak sebelum mereka mulai makan.
Mona mendekat ke sisi ayahnya, melingkarkan lengannya di sang ayah dan menyuapi ayahnya beberapa sendokan bubur.
"Ayah, ayah juga harus makan" Restu memeluk putri kecilnya dan berkata, "Baiklah, ayah akan makan, kalian semua juga harus makan."
Dewi hampir menghabiskan makanannya. Keluarga itu duduk di atas lantai dan makan malam dengan lampu minyak redup. Ibu menggoreng tauge segar hari ini, ditambah lagi anak-anak benar-benar lapar. Jadi, semua makanan habis, tidak ada yang tersisa.
Dewi mengambil panci yang tadi digunakan sebagai wadah tauge dan mencucinya. Dengan panci itu pula, Dewi merebus air yang akan untuk anak-anak mencuci kaki. Untuk menghemat minyak lampu, semua anggota keluarga pindah ke kamar.
"Ayah, nanti kita buatkan kita kamar mandi agar kita bisa mandi. Jika tidak kita bisa gatal-gatal."
Berbicara tentang mandi, Mona merasa gatal di tubuhnya. Dia menggaruk punggungnya dengan tangan, tapi bisa meraih punggungnya sendiri dengan tangannya pendek. "Ayah, bantu aku menggaruk, gatal."
Restu mengulurkan tangan dari tempat tidur dan memeluk Mona. Restu menggaruk punggung anak itu dengan lembut.
"Masih gatal?"
"Ayah, terimakasih, ayah sungguh baik."
Pujian gadis itu membuat sang ayah merasa sangat dihargai, ia kemudian mencium wajah kecil anak itu, "Sayang, sekarang kembalilah ke kasurmu, tidurlah bersama saudara-saudaramu".
Mona kembali ke kasurnya dan berbaring bersama saudaranya. Meskipun semua orang berbaring di tempat tidur, mereka belum bisa memejamkan mata.
"Ayah, apakah sawah bagian keluarga kita sudah diukur?".
Mona mengingat jatah sawah yang harusnya sudah diterima keluarganya. Bukan karena ingin harta, tapi Mona tah jika sawah itu bisa menghasilkan sumber makanan untuk keluarganya selama setahun.
"Ya, Restu. Bagaimana, apa sudah kamu pastikan petugas akan segera mengukur sawah? Ini sudah musim tanam, harusnya kita bisa segera menggarap sawah itu."
Restu sedang tidur dengan muka tertutup bantal. Tidak ada yang dapat melihat raut wajahnya. Ia kemudian berkata pelan "Ayah sudah bicara dengan kepala desa. Dia menjelaskan bahwa dia akan segera mengirim seseorang untuk mengukur sawah besok. Sawah bagian keluarga kita ada tepi sungai di sebelah selatan desa. Sawah itu berdekatan dengan rumah nenek ".
"Di dekat rumah nenek?." Suara Zhang Lan sedikit meninggi. Mona yang mendengarnya memperkirakan ibunya tidak mau mendapat bagian sawah disana, tetapi dia tidak mendengar suara ibunya lagi.
"Ayah, kita kan mmebangun kamar andi atau menggunakanuang sisa itu untuk membeli pupuk kandang?" Suara Eka datang dari kegelapan.
Seluruh anggota keluarga terdiam beberapa saat. Memang keluarga itu harus memilih salah satunya. Keduanya sangat penting karena nenek tidak mungkin mau berbagi closet dengan keluarganya.
"Ayah akan meminta bantuan tukang untuk membuat kamar mandi dan jamban besok." Suara Restu menjawab pertanyaan Eka.
"Bu, lampu minyak kita hampir mati karena minyaknya habis, ibu tidak lupa membeli minyak tanah, kan?," Rena sedikit bangun dari tidurnya dan menengok ibunya.
"Oh ya?".
Mona mendengar suara ibunya ragu-ragu.
"Bu, apakah tidak punya uang?" Rena bertanya.
Suara ragu-ragu Dewi terdengar di kegelapan, "Tidak apa-apa, ibu bisa mencari pinjaman uang. Jangan khawatirkan soal uang".
Mona, yang sedang berbaring menyadari bahwa keluarganya benar-benar sedang krisis. Keluarga itu bahkan tidak memiliki sepeser pun saat ini, dan uang yang diberikan nenek terakhir kali sudah dibelanjakan ibunya. Sepertinya benar-benar sulit bagi keluarga ini bertahan hidup.