Masih tidak mengetahui apa yang terjadi, Sandra memandang Nico yang bertingkah sangat aneh seperti sedang kerasukan. "Hey, ada apa sebenarnya?!", ia kembali bertanya.
"Masih berani bertanya?"
Nico langsung melempar Sandra ke sofa dengan mudahnya. Ia kemudian menjewer telinga gadis itu dengan kuat. Seperti seorang guru sedang menghukum muridnya yang nakal.
"Ah! Sakit! Apa kamu gila? Lepaskan!"
Sandra mencoba melawan, namun tangan kekar Nico yang terlalu kuat membuat perlawanannya sia-sia.
"Masih belum mengaku hah?"
Nico mengangkat tangannya dan mengencangkan cengkramannya pada telinga Sandra. Dia harus menghukum gadis itu hingga jera.
"Iya iya ampun maaf!" Sandra berteriak sambil memegangi telinganya dengan putus asa. Ia bahkan tidak tahu kesalahan apa yang dibuatnya? Bosnya itu benar-benar seperti preman! Sikapnya begitu kejam dan buruk!
Sekujur tubuh Nico masih terasa gatal tak tertahankan. Dia melepaskan tangannya dari gadis itu dan mengerahkan kedua tangannya untuk menggaruk bintik-bintik di tubuhnya. Sandra memanfaatkan momentum itu untuk bangkit dari sofa. Sambil mengusap telinganya yang kemerahan, matanya mengarah ke bintik-bintik merah di sekujur tubuh Nico. Ia pun menyadari bahwa kemungkinan kulit bosnya itu sensitif dan memiliki alergi terhadap kain tertentu.
"Apakah kamu alergi?", Sandra menunjuk ke titik merah di tubuh bosnya.
"Menurutmu bagaimana?!", geram Nico sambil memelototi gadis kecil itu dengan kesal.
"Apa ini gara-gara pakaian yang kubeli? Kenapa bisa sampai begini?", Sandra sangat menyesal. Dia tidak menyangka bahwa pria bertubuh tinggi besar dan berotot seperti Nico bisa memiliki kulit yang sangat sensitif.
"Kamu ini...", Nico mengangkat tangannya untuk mencoba meraih telinga Sandra. Untungnya gadis itu dengan cepat mengelak, ia tidak akan membiarkan kupingnya dijewer lagi seperti anak kecil.
"Oke, bahkan jika itu salahku! Aku akan membelikanmu obat"
.........
Sandra berlari dengan cepat, mencari toko obat untuk membeli obat alergi. Kemudian ia juga pergi ke toko untuk membeli pakaian lagi. Kali ini, ia membelinya di toko yang lebih bagus, sehingga ia yakun kualitas barangnya pasti jauh lebih baik. Apalagi harganya juga lebih mahal. Sandra jadi harus merogoh sakunya cukup dalam untuk membayar semua kebutuhan bosnya.
"Nah! Oleskan obat di bagian kulit yang gatal tiga kali sehari, dan kamu akan segera sembuh", Sandra menyerahkan obat ke tangan Nico, lalu tangannya menunjuk ke arah bingkisan yang tergeletak di sofa. "Itu adalah baju yang baru kubelikan. Meskipun tidak semahal merek baju yang ada di daftar milikmu, tapi bahan kain baju ini cukup bagus dan tidak akan menyebabkan alergi."
Wajah Sandra begitu lesu. Kali ini, Nico sama sekali tidak memberinya uang sepeser pun, sehingga ia harus membeli obat dan pakaian baru dengan uangnya sendiri. Kejam sekali bos preman ini. Seharusnya dia paling tahu kalau Sandra sangat membutuhkan uang. Kalau tidak, untuk apa dia mau repot-repot melayani orang asing seperti dirinya. Orang asing yang manja dan sombong.
"Ngomong-ngomong, ini total biaya semua barang yang kuberi untukmu. Jangan lupa menggantinya ketika kamu membayar gajiku", ujar Sandra sambil meletakkan struk belanja di atas meja.
Nico memandangi obat di tangannya dengan penuh rasa curiga. Sepertinya dia memiliki krisis kepercayaan kepada Sandra. Dia tidak berani menggunakan obat itu.
Apa gadis ini bisa diandalkan? Bagaimana jika ada masalah dengan obatnya?
"Ekspresi macam apa itu? Kamu tidak percaya denganku?"
Sandra merasa tersinggung. Mengapa bosnya itu sangat tidak mempercayainya? Ia tidak pernah berniat menyakitinya. Oke, kejadian ini memang salahnya. Tapi bagaimanapun juga dia hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Membeli pakaian yang murah adalah kebiasaan Sandra sejak keluarganya bangkrut. Ia bahkan tidak pernah berpikir untuk membeli pakaian mahal untuk dirinya sendiri. Wajar kalau dia lebih memilih untuk membeli pakaian imitasi dengan harga murah dibandingkan pakaian mahal bermerek yang dipesan bosnya. Seharusnya dari awal bosna itu mengatakan kalau ia memiliki kulit yang sensitif. Dasar.
"Yasudah kalau tidak mau. Kemarikan obat itu!", Sandra mencoba mengambil kembali obat itu dari tangan Nico. Namun, dengan cepat ia menangkis tangan gadis itu. Apa boleh buat, ia sudah tidak tahan dengan rasa gatal di tubuhnya. Tanpa memperdulikan rasa malu, ia melepas pakaiannya di ruang tamu, tepat dihadapan Sandra.
Gerakan Nico begitu cepat, Sandra pun tidak sempat mengalihkan pandangannya. Untuk beberapa saat, dia dengan bodohnya memandangi tubuh tinggi Nico yang cukup berotot. Namun reaksi alergi dan bekas garukan tangan membuat kulitnya menjadi merah, bengkak dan banyak luka goresan di mana-mana.
"Tunggu, apa ini?"
Sandra menatap punggung Nico dengan heran. Ia berjalan mendekat dan menusuk sedikit dengan jarinya dan mendapati ujung jarinya ternoda warna.
"Warna di baju ini luntur? Gila, penjual itu sangat licik menjual barang dengan kualitas seburuk ini! ", geram Sandra penuh emosi. Dia berniat mengembalikan semua pakaian yang ia beli di toko seberang jalan itu dan menuntut ganti rugi.
"Bagaimana dengan pakaian lain?", Sandra mengambil piyama yang telah dilemparkan Nico ke lantai. Matanya mencari-cari tumpukan pakaian dan mantel yang dia beli untuknya tidak ada di manapun.
Nico mengarahkan jarinya ke arah mesin cuci. Tentu saja, pakaian yang dibelinya harus dicuci dulu sebelum dipakai, tapi karena hanya ada satu set piyama. Nico langsung memakainya setelah mandi.
Sandra berjalan ke mesin cuci dan mengerutkan kening dengan curiga. Dia mematikan mesin cuci dan mengangkat pakaian yang masih dalam keadaan basah untuk melihat keadaannya.
"Ah! Baju-baju ku..."
Mendapati semua pakaiannya yang luntur dan berubah warna akibat tercampur pakaian yang baru saja dibelinya untuk Nico, Sandra berlutut dengan sedih di depan mesin cuci. Gadis itu kemudian menatap Nico yang sedang mengoleskan obat dengan ekspresi kesal.
"Maaf aku tidak sengaja", Nico mencibir.
Sandra masih meratapi pakaiannya, namun tidak berani berkata apapun. Meskipun sangat marah, tapi ia juga masih diselimuti perasaan bersalah.
Kesulitan mengoleskan obat di bagian punggungnya, Nico mengalihkan pandangannya pada Sandra. "Sini, bantu aku". Ia menyodorkan obat ke tangan Sandra.
Gadis itu menatap Nico dengan mata sayu. Ingin sekali dia melahap iblis satu ini! Sejak dia bertemu dengannya, tidak ada hal baik yang terjadi. Sandra menjadi semakin curiga. Apakah benar Nico adalah jalan keluar dari semua masalahnya?
"Bisa membeli barang-barang ini, kamu sepertinya tidak benar-benar miskin", ujar Nico sambil memandangi tumpukan pakaian baru yang dibeli Sandra.
"Hah? Apa maksudmu? Berbeda denganmu, aku ini sangat miskin! Setelah membelikan obat dan pakaian itu aku sama sekali tidak punya uang tersisa."
Sandra, yang semula marah, mengubah nada bicaranya menjadi lebih santai. Ia menuangkan obat ke jari telunjuknya dan mengoleskannya ke punggung Nico dengan perlahan.
"Bagaimana denganmu? Siapa nama lengkapmu? Apa pekerjaan keluargamu?", Sandra
bertanya dengan rasa ingin tahu sambil terus mengoleskan salep.
Ia baru menyadari bahwa pria asing yang saat ini menetap di rumahnya ini penuh dengan misteri. Sejak kemarin, pemikiran Sandra begitu sederhana. Hanya karena ia merasa bahwa Nico memiliki uang, ia sama sekali tidak peduli siapa dan darimana asal pria itu.
"Panggil saja aku Nico, aku hanya seorang pebisnis biasa". Nico hanya menyebutkan nama panggilannya, tanpa menyebut namanya dengan lengkap, apalagi nama besar keluarganya. Meskipun publik tak banyak mengetahui wajahnya, tetapi nama Nicolas Atmaja terlalu sensasional dan dapat memancing keributan.
"Oke, Nico. Jadi, jika kamu dikejar, apakah kamu berselisih dengan sesama rekan bisnismu? Apa kamu diperas?", Sandra yang penasaran mencoba menebak-nebak dengan berani.
.....