webnovel

Hubungan yang Terputus

Hampir sejam Alyx menunggu, saat Norih datang bersama Michi yang tampak begitu tampan. Dia begitu bersemangat mengajak Michi berjalan-jalan hari ini. "Kau tahu kita akan kemana, Michi? Kita akan ke rumah paman Nick." Dia sendiri yang menjawab pertanyaannya, seperti sudah terbiasa mengobrol dengan kucing kesayangannya itu.

Michi tidak banyak bergerak di pelukan tuannya. Hanya sesekali dia mengeong, saat angin bertiup ke wajahnya. Dia jenis kucing anggora yang terlihat arogan tapi tentu saja selalu menggemaskan di mata Alyx.

"Aku di depan pintu," kata Alyx di telepon genggamnya, sesaat dia tiba di depan pintu apartemen yang sudah beberapa kali didatanginya.

Nick yang baru saja menerima pemberitahuaan berlari ke pintu dan melihat siapa yang datang. Dan benar saja wajah Michi sudah di layar. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Cepat buka pintumu!" perintah Alyx mendesis, bagaimana temannya itu berpura-pura terkejut.

"Apa?" Nick berbalik melihat barang-barangnya tergeletak sembarang.

"Kau tidak perlu membersihkan kamarmu," Alyx mendecakkan lidah, mungkin saja Nick memang tidak menyangka dia akan datang. "Tenang saja, aku tidak akan memamerkannya pada pegawaimu kalau kau itu orang yang jorok."

"Jangan bicara asal." Pintu terbuka. Nick mempersilahkan Alyx masuk.

"Terlalu…" protes Alyx yang harus menunggu lagi.

Alyx menjongkok dan membiarkan Michi berjalan sendiri.

"Ada perlu apa kau datang ke rumahku, ha?" dagu Nick terangkat, meski matanya sudah melihat tampilan Alyx, mencoba menebak kemana saja tadi Alyx sebelum ke sini.

"Kau tega sekali, aku ini temanmu, bersikap baiklah padaku. Padahal kau sendiri yang mengatakan padaku untuk datang," gumam Alyx.

"Jangan naik ke karpet. Itu mahal," teriak Nick pada Michi yang baru saja berjalan bak seorang model, mengabaikan protes Alys.

"Hei, hei, jangan memarahinya, dia ini sensitif," Alyx menunjukkan Michi yang baru saja mengeong, seperti meminta dibela.

"Ah, jadi kau benar-benar merindukanku." Nick mengabaikan dan mencoba merangkul Alyx, tapi Alyx segera mengelak dengan mempelintir tangan Nick dan membuatnya merintih kesakitan. "Apa yang kau lakukan?"

"Maaf. Ini refleks."

"Aw, aw, kalau begitu lepaskan aku sekarang," gerutu Nick kesal. Sejenak berikutnya dia mengelus tangannya yang baru saja dilepaskan. "Apa lagi ini, penikmat bela diri? Taekwondo? Karate?" Nick mulai menerka-nerka bela diri apa lagi yang baru saja dipelajari oleh Alyx.

"Tidak. Ini hanya pelajaran lama," Alyx menggerakkan bahu.

Nick tertawa kecil, "pantas saja tidak ada pria yang tahan denganmu."

"Jadi kau bukan pria?"

"Sialan kau. Kau terlalu kuat. Sebaiknya kau tidak mempelajari semuanya. Kau terlalu rakus." Nick memikirkan temannya yang setiap kali mengunjungi suatu Negara, pasti dia akan mempelajari bela diri Negara itu, tapi beberapa memang sudah dipelajarinya saat masa sekolah dulu. Yah, hanya sekedar mempelajarinya, dia tak berniat untuk memperoleh sabuk atau mengikuti kejuaraan.

"Kau keterlaluan sekali," Alyx berdiri dan masuk ke dapur Nick. Mengambil minuman dari lemari es.

"Kalau kita bertanding apa jadinya, yah?"

"Kau mau bertanding dengan perempuan? Dasar kau. Kupikir mungkin saat bertinju, kau akan menang, tapi…" Alyx setengah berteriak.

"Tapi apa?"

"Mungkin aku akan menang kalau bela diri yang lain," Alyx tertawa kecil.

"Jangan mimpi kau bisa mengalahkanku." Nick berdiri, berbalik untuk mengambil remote di meja, tapi seketika berhenti—mematung.

"Kau mau sparring denganku?" Kaki jenjang Alyx sudah menendang, lurus, dan tepat di depan wajah Nick. "Taekwondo mungkin?"

"Mungkin lain kali." Nick tahu betul kalau tendangan Alyx sangat kuat, jadi sebaiknya dia tidak meladeninya.

Alyx menurunkan kakinya dan duduk di depan TV, menikmati minuman sodanya.

"Aku membuat kamera pin hole," mata Nick berbinar, dia terdengar bersemangat memberi info.

"Aku tidak bertanya," kata Alyx dengan pandangan tidak beralih dari TV. "Baiklah, untuk apa?" tanyanya kemudian, menyadari Nick hanya diam.

"Tidak, hanya membuatnya saja."

"Dasar. Kalau begitu tidak perlu kutanyakan."

"Ah, kau malas sekali berbicara. Apa English-mu tidak bagus?"

Alyx mencibir. "Setidaknya aku mengetahui bahasa yang tidak kau pahami." Beberapa saat kemudian perhatian Alyx teralih pada kamera DSLR yang diletakkan di hadapannya. "Kau baru mengganti lensanya?" tanya Alyx kemudian.

"Kenapa?"

"Ada debu. Kau seharusnya merawat kameramu ekstra. Dasar."

"Ah, terima kasih, kau perhatian sekali dengan kameraku."

"Sudahlah, tidak ada untungnya aku memberitahukanmu. Aku akan pergi sekarang."

"Eh, kau sudah mau pulang?" tanya Nick. Matanya lalu menangkap gelang di tangan Alyx, ketika lengan kemeja gadis itu terangkat.

Alyx tersenyum dan mengangkat menujukkan tangannya. Sebuah gelang tali dengan liontin jam Big Ben—kecil sekali. "Kau menyesal memberiku?"

"Tidak. Hanya senang kau masih memakainya."

Alyx mencibir dan sekali lagi menyentuh gelang yang telah dua tahun lebih dikenakannya. "Ini karena kau yang memberinya, jadi aku selalu pakai."

Cengiran Nick membuat Alyx memutar bola matanya.

"Eh, kau benar akan pulang sekarang?"

"Kenapa kau senang?" Alyx meraih Michi yang menggeliat di kakinya. "Kita akan jalan-jalan Michi, di sini sangat membosankan."

"Kau mau jalan-jalan kemana?" Nick mencoba dilibatkan dalam percakapan Michi dan Alyx.

Alyx melambaikan tangan. "Biasa. Aku akan mulai mencari lagi."

"Baiklah lakukan yang ingin kau lakukan," helaan nafas Nick keluar. "Sampai jumpa." Nick mengantar Alyx.

*

Alyx tiba di depan Parliament House. Dia tidak membawa Michi, dia memulangkannya dan hanya mengambil kamera kemudian pergi sendiri. Alyx mendongak melihat jam Big Ben, beberapa bulan yang lalu dia juga di sini. Setelah puas memandangi jam besar itu—beberapa kali jepretan, Alyx pergi. Dia berjalan melalui sungai Thames yang membelah kota London.

Lebih baik jalan kaki, menurut Alyx. Mungkin akan lebih mudah mendapat apa yang dicarinya, tapi sampai detik ini tak ada tanda-tanda kemunculannya.

Alyx memulai rutinitas ini semenjak kameranya mendapatkan gambar seseorang yang sangat ingin ditemuinya. Saat itu, orang itu sedang memandangi Big Ben seperti yang dilakukannya tadi. Alyx pikir mungkin akan menemukannya lagi, jadi setiap kali dia memutuskan untuk datang ke tempat ini.

Tapi, perkiraannya salah, orang itu tidak pernah muncul lagi. Sepertinya yang dicarinya telah pergi lagi ke kota atau ke Negara lain. Haruskah dia pindah lagi? Tapi, dia tidak akan meninggalkan London sebelum mendapat informasi jelas tentang keberadaan orang itu.

Cukup untuk hari ini, sekarang Alyx harus kembali ke apartemennya, tidak baik membiarkan Michi terlalu lama sendiri. Dia bahkan belum menyiapkan makanan untuknya. Mungkin Michi sudah sangat kelaparan. Dia tersenyum, mengingat Michi yang akan selalu mengikutinya saat ingin bermain.

*

Alyx tiba di apartemennya. Dia berhenti saat tidak melihat Tom berdiri di tempat kerjanya. Dan kembali berjalan, masuk ke dalam lift. Sesekali dia melihat kantongan yang dibawanya, kantongan yang berisi makanan kucing. Tadi dia mampir membelinya untuk Michi.

Lantai sembilan. Pintu lift terbuka. Dia berdiri di depan pintu apartemennya, bahkan sebelum memasukkan pass, dia segera menyadari pintunya sudah terbuka. Alyx melongo dari balik pintu. "Apa aku lupa mengkuncinya?" dia segera masuk ke dalam. Sebenarnya dia ingin segera ke kamar untuk melihat apa kameranya masih di sana atau tidak—mungkin saja seorang telah masuk, tapi langkahnya terhenti saat melihat Michi terbaring di samping tempat makannya.

Alyx mengeluarkan makanan Michi dari kantong dan bermaksud menuangnya ke wadah, tapi berhenti saat mendapat sisa makanan. "Apa ini?" Alyx menciumnya, "Sianida." Alyx segera tersadar dengan keadaan Michi. Dia meraihnya. Alyx hanya bisa memeluknya erat.

*

Bab berikutnya