webnovel

10: Perburuan Kepala Si Pengelana Hitam

Januari tahun 2050 telah berlalu dalam sekejap setelah Prof. Jack mengurung para player di dunia game Free World Online ini. Setelah itu, Februari tahun 2050 pun kembali terlewati dan berhasil membuka Area tiga. Pengalaman pahit di Area dua membuat para player kembali terdiam dalam keseharian mereka, tapi tidak dengan para pejuang yang sampai saat ini terus bertambah kuat untuk menjadi pahlawan dan membebaskan seluruh player yang terjebak di dalam game penjara ini. Lalu Maret dan April di tahun 2050 pun kembali terlewati dengan pengalaman pahit yang masih membekas. Bahkan sampai pertengahan bulan Mei di tahun 2050 pun kenangan pahit itu masih terasa di dalam hatiku.

Dua bulan setengah sudah berlalu untuk aku dan seluruh player yang ada di dunia ini. Banyak player yang menghabiskan waktunya dengan cara hidup tenang di Safe Zone, tapi tidak sedikit pula player yang menghabiskan waktunya di tengah-tengah kepungan Monster dan terus bertambah kuat.

Selama dua bulan setengah itu, aku hanya tidur dan makan selama tiga jam, dua puluh satu jam sisanya aku habiskan dengan membunuh Monster dari Area satu sampai Area tiga. Bahkan suatu waktu, aku sudah menemukan dimana lokasi Boss Area tiga, tapi aku tidak melawannya, dan juga tidak membagikan lokasinya di World Chat, karena aku yakin trauma di Area dua masih belum hilang sepenuhnya.

Memang tidak ada yang menyalahkanku atas kematian tujuh puluh player lainnya, karena aku bukanlah pemimpin party saat itu. Yang di salahkan oleh semua orang adalah Ray yang sudah meninggalkan dunia ini untuk selamanya, dan Rio yang baru saja terdaftar jadi Leader Of The Green Eyes.

Dua bulan setengah itu terasa sangat berat, karena setiap harinya aku selalu bertarung melawan kematian. Entah sudah berapa banyak aku membunuh Boss Area satu. Entah sudah berapa banyak aku membunuh Boss-Boss lainnya di Area satu. Entah sudah berapa banyak aku membunuh Boss Area dua. Entah sudah berapa banyak aku membunuh Boss-Boss di Area dua. Dan entah sudah berapa banyak aku membunuh Boss di Boss Monster Zone Area tiga.

Bahkan saat aku menyadarinya, ternyata seluruh perlengkapanku sudah berganti. Jubah kegelapan yang tadinya berlevel rendah, kini berlevel lima puluh. Pedang hitam Naga Air berlevel lima puluh. Perisai bulat hitam sisik Naga Air berlevel lima puluh. Dan armor kegelapan air belevel lima puluh terpasang di tubuhku. Dan level playerku, adalah level lima puluh.

Aku tidak ingat kapan aku mendapatkan semua perlengkapan ini, tapi kemungkinan besar perlengkapan ini aku dapatkan setelah aku membunuh Hydra di kedalaman seribu meter di bawah permukaan air.

Area tiga adalah sebuah kota yang mengapung di atas air. Dengan jembatan-jembatan kayu yang saling terhubung pada pulau-pulau buatan yang sangat banyak dan indah. Banyak dari player berduit membeli rumah atau toko di Area tiga karena pemandangannya yang indah, dan bisa menghabiskan waktu dengan cara memancing. Bahkan Maya pun memindahkan toko pandai besinya ke Area tiga. Aku tahu semua kegiatan itu dari Maya. Dan selama dua bulan setengah itu, aku hanya berhubungan dengan Maya, sedangkan dengan teman-temanku yang lainnya, aku hanya kebetulan bertemu mereka dan mengucapkan "Hai!", Setelah itu berlalu.

Aku rasa sudah cukup. Level lima puluh di Area tiga, aku rasa ini sudah lebih dari cukup, bahkan dengan perlengkapan, skill, dan ability yang sudah aku dapatkan, aku yakin bahkan Boss Area tiga dan empat bukanlah masalah.

Aku menarik pancingku dan mendapatkan satu ekor ikan mas.

"Kau akan menjual itu?"

Aku menoleh ke arah kananku, "Liz." Dan tersenyum saat melihat Liz yang terlihat kuat dan cantik.

"Kau terlihat sangat kuat, Zack."

Aku mengangguk, "Iya, dua bulan setengahku tidak habis dengan sia-sia."

Liz tersenyum lembut, "Jadi sekarang kau sudah mau bicara?"

"Iya, pengasinganku sudah selesai."

"Kau jadi benar-benar terlihat seperti pengelana hitam yang di bicarakan orang-orang."

"Di bicarakan orang?"

Liz mengangguk, "Iya."

"Memangnya bagaimana?"

"Umm." Liz menyentuh dagunya dan menatap kosongnya langit, "Pengelana hitam penyendiri?" Lalu dia menatapku dan tersenyum, "Hehe."

"Bagaimana kabar The Green Eyes?"

Liz mengangguk pelan, "Guild terdepan terkuat."

"Apa Rio yang jadi leadernya?"

Liz tersenyum canggung, "I-Iya."

"Tidak kusangka mereka semua setuju kalau Rio yang jadi ketua."

"Sebenarnya yang membuat orang-orang setuju adalah pengawal pribadi Rio."

"Ha?"

"Iya. Mereka disebut sebagai Triple Attack."

"Apa itu?"

Liz tersenyum malu dan mengangkat bahunya, "Yah, aku rasa karena mereka membunuh musuh hanya dalam tiga kali serangan, masing-masing satu serangan besar."

"Whoa! Keren."

"Ehehe."

"Ada apa? Kenapa wajahmu begitu?"

"Yah, aku rasa aku akan jujur padamu." Liz melihat ke segala arah sebelum menatapku kembali, "Aku jijik pada mereka."

"Eh?"

"Dari pada Triple Attack, aku lebih suka menyebut mereka sebagai Quartet Gay."

"Ha? Ma-Maksudmu, me-mereka berempat..."

Liz mengangguk, "Iya, yang baru saja kau pikirkan memang benar."

"Jadi, apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku.

"Hanya menyelesaikan beberapa quest."

Aku mengangguk untuk menanggapinya, "Kalau begitu berusahalah untuk tidak kalah."

"Iya, tentu saja."

Aku membereskan alat-alat pancingku ke dalam ruang itemku, lalu berpamitan dengan Liz dan segera pergi menjauh. Sebenarnya aku masih ingin berbicara lagi dengan Liz, tapi sebuah keadaan tidak terduga baru saja muncul. Ada tiga orang aneh yang memperhatikan kami dua kilo meter di belakang Liz. Karena itulah aku berjalan menuju arah mereka. Aku tidak tahu apa tujuan mereka, aku juga tidak tahu siapa yang mereka targetkan, tapi jika target mereka adalah Liz, aku harap hal itu hanya karena Liz adalah gadis yang populer dan mereka adalah tiga orang dari sekian banyak penggemar Liz.

Tapi saat aku menjauh dari Liz dan menedekati mereka, mereka bahkan tidak mencoba untuk melarikan diri dan malah berjalan mendekatiku.

Kini jarak kami hanya di pisahkan oleh satu digit angka kecil. Wajah mereka bertiga di tutupi oleh masker berwarna hitam pekat. Armor mereka berwarna hitam, dan masing-masing dari mereka memegang dua  pisau di tangan mereka.

"Apa kau si pengelana hitam?" Tanya player pria yang berdiri di tengah.

"Begitulah mereka memanggilku."

"Terima kasih."

Setelah mengatakan itu, mereka menggunakan kristal teleportasi dan menghilang dari hadapanku.

Aku tidak tahu apa maksud mereka melakukan hal itu, tapi aku merasakan hal buruk akan terjadi padaku. Maksudku, oh ayolah, tiga orang pria tiba-tiba bertanya siapa dirimu, lalu setelah kau menjawabnya mereka pergi begitu saja. Andai saja ini bukanlah death game, aku yakin aku tidak akan merasa takut atau semacamnya.

Aku melupakan semua ketakutanku dan menatap sekitar. Rumah-rumah apung, pulau-pulau apung, dan ratusan atau bahkan ribuan jembatan yang menyambungkan semuanya di atas permukaan air berwarna biru yang sangat indah. Jika saja ini bukanlah penjara virtual yang di balut indah dengan nuansa fantasi dari game Free World Online, aku akan menikmati pemandangan ini selama yang aku bisa.

"Pemuda yang di sana!" Suara seorang Kakek-kakek terdengar dari belakangku.

Aku memutar tubuhku untuk mengetahui siapa pemilik suara itu, atau hanya ingin tahu apakah benar aku yang sedang di panggil olehnya.

"Saya?" Tanyaku, sambil menunjuk diri sendiri.

Kakek tua yang rambutnya masih berwarna hitam tipis itu tersenyum lembut. Dia tidak memakai armor atau bahkan membawa senjata. Dia hanya memakai sebuah baju dan celana batik seperti orang tua kebanyakan yang benar-benar menghargai sebuah budaya.

"Iya. Kau terlihat tertekan. Ada apa?" Tanyanya.

Aku menggeleng, "Tidak! Maaf sudah membuat anda khawatir, tapi aku baik-baik saja."

Kakek tua itu mengangguk, "Walau pun kita memang terjebak di dunia ini, tapi jika kau terus memasang wajah tertekan seperti itu, kau hanya membuat orang lain tertekan juga. Berbagilah senyuman dengan orang lain, maka dengan itu kau bisa meringankan beban di hati mereka."

Aku tersenyum, "Iya."

"Dengan wajah tampanmu, cobalah menghibur para gadis yang seumuran denganmu."

Aku tersentak dan hampir saja menunjukan wajah senang saat dia memuji diriku tampan. Aku tertawa kecil, "Anda adalah satu-satunya orang selain Orang tuaku yang memujiku begitu."

"Senang rasanya jadi yang pertama."

"Hehe."

"Sekali-kali hiburlah dirimu sendiri, Nak."

"Iya."

Setelah mengatakan itu, Kakek tua ini mengambil sebuah pancing dari kayu dan mulai memancing di pinggir danau. Dia terlihat sangat senang saat kailnya jatuh ke air. Aku tidak sabar untuk melihat wajah senang lainnya saat kail itu di tarik oleh seekor ikan. Tapi aku tidak bisa melakukan itu, karena aku harus pergi.

Aku berpamitan dengan Kakek tua itu dan berbalik, kemudian berjalan dengan santai.

Carilah hiburan untuk diriku sendiri, tapi satu-satunya hiburan untukku adalah menonton anime dan bermain game. Aku bermain game ini karena aku sedang menghibur diri, tapi sejak game ini berubah menjadi death game, hiburan gamenya sudah berakhir, dan saat aku ingin menonton anime, tidak ada fitur semacam itu di game ini. Tapi aku beruntung, karena jika ada fitur menonton anime di game ini, maka aku hanya akan menghabiskan waktuku di dalam kamar atau di tempat sepi sambil menonton anime, dan berakhir dengan diriku yang levelnya tidak pernah sekali pun bertambah, dan yang paling buruk dari semua itu, aku yakin aku hanya akan bergantung pada orang lain untuk makanan sehari-hariku. Memang benar jika ada fitur seperti itu aku tidak akan mengalami penyesalan ini dan tidak perlu setiap hari selama dua puluh satu jam terus bertaruh nyawa untuk memperkuat avatar ini.

Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya bersinar dari arah kananku, dan sesuatu menancap tepat di leherku.

"Akh!"

Dengan menggunakan tangan kiriku, aku segera mencabut apapun yang menancap di leher ini.

Sebuah anak panah?

Aku menarik pedang dan perisaiku, dan memutar tubuhku ke arah anak panah tadi melesat, lalu menggunakan skill: mata elang untuk melihat seseorang atau Monster yang memanahku, tapi tidak ada siapapun sejauh mata memandang. Monster? Tidak! Hal itu tidak mungkin terjadi, karena ini adalah Safe Zone Area tiga, jadi sebuah ketidakmungkinan jika ada Monster yang masuk, kecuali jika Prof. Jack memang ingin membunuh seluruh player, karena nyatanya dia masih memberikan kesempatan bagi para player untuk keluar dari death game ini.

Saat mataku terfokuskan pada kejauhan, suara orang berlari terdengar dari arah kiriku, dan dengan cepat suara itu sampai di dekatku. Aku mengangkat perisaiku sebatas leherku untuk melindungiku, dan benar apa yang dikatakan instingku, sebuah belati membentur perisai hitamku.

"Sial!" Aku mendengar gumaman itu.

"Siapa kau?" Tanyaku, "Kita sesama player, kenapa kau menyerangku?"

"Tanya saja pada dirimu sendiri!"

Sebuah tendangan tepat mengenai dadaku dan membuatku hampir terjatuh, lalu dia menarik kembali belatinya, dan dengan cepat dia melompat kebelakang.

"Ada apa denganmu?" Tanyaku.

Saat ditanya seperti itu olehku, dia memelototiku dan menyingkap tudungnya. "KAU SUDAH MEMBUNUHNYA, SIALAN!!!"

Tanda tanya besar langsung berputar di atas kepalaku. Entah dia bisa melihatnya atau tidak, tapi yang pasti harusnya dia sadar saat dia melihat wajah kebingunganku yang sengaja aku buat mencolok.

"Aku membunuh siapa?"

"Jangan mengelak, sialan!"

"Tck! Berhenti memanggilku sialan dan cepat katakan aku membunuh siapa!!! Aku tidak mau cerita ini menjadi cerita salah paham yang mainstream!!!"

"Eh?"

"Jelaskan saja, sialan!"

Player pria itu mengangguk ragu, "Ba-Baiklah." Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Dalam laporan seseorang, kau sudah membunuh sahabat kami."

"Siapa? Siapa nama sahabat kalian?"

"Red eye!"

"Eh?"

"Red eye!"

Aku mengangguk,  "Iya, aku dengar! Dan dia sama sekali belum mati! Tidak kah kalian lihat namanya di daftar teman?"

"Di serikat kami, hal itu tidak diperbolehkan!"

"Ha? Serikat macam apa it- akh!"

Sebuah pedang panjang menembus ke depan leherku dari belakang tengkukku. Walau pun aku yakin rasa sakit yang di proses oleh otakku tidak sesakit yang seharusnya, tapi rasa mual karena leherku di tusuk benar-benar membuatku tidak enak.

Tiba-tiba si player pria yang tadi berbicara denganku melesat ke arahku dan dengan cepat dia menusuk dadaku dengan belatinya. Tapi bukan hanya aku yang terluka saat dia menusukku, karena disaat yang sama pedang hitamku menembus perutnya.

Setiap detiknya HPku terus berkurang, dan pedang di leherku lah yang berdampak sangat besar, karena itu adalah area vital.

Tidak ada cara lain selain menggunakan Ability Berserker

Aku langsung mengaktifkan Ability: Berserker. Seketika seluruh statusku di buff tinggi. Tubuhku di selimuti oleh aura berwarna merah. Aku menendang player yang menusuk dadaku dan membuatnya terpental sejauh beberapa meter, lalu dengan cepat aku melesat maju dan menginjak perut player yang tadi menusuk dadaku. HPnya berkurang hingga 60% saat aku melakukannya. Saat aku sedang menginjaknya, sebuah kilatan terlihat dari kejauhan, lalu sebuah anak panah melesat ke arahku. Aku mengangkat player yang aku injak dan menggunakannya sebagai tameng untuk anak panah tadi. Aku menoleh ke arah kiriku, di mana player pria dengan pedang panjangnya sedang berlari ke arahku. Aku melempar player yang aku jadikan tameng ke air, lalu melesat ke player pengguna pedang panjang, lalu memegang pedangnya dan memotongnya dengan pedang hitamku. Wajah terkejutnya membuatku hampir tertawa. Lalu aku menggunakan tangan kiriku dan menghantam perutnya. Dia memuntahkan darah yang cukup banyak saat aku melakukannya. Lalu aku memegang kerahnya, dan mengaktifkan skill pelempar pedang di tangan kananku, tapi bukan pedang yang aku lempar, melainkan player ini. aku melemparkan player ini ke arah anak panah tadi melesat.

"Waaaahhhhhh!!!" Suara teriakannya semakin kecil saat dirinya semakin menjauh.

"Gwah!" Player pengguna belati tadi keluar dari air dan sedang mencoba untuk berdiri.

"Aku tidak pernah membunuh si Red Eye, tapi jika aku yang menangkapnya dan menyerahkannya pada The Police, itu memang benar."

"Ha? Red eye masih hidup?"

Aku mengangguk, "Aku tidak tahu siapa yang memberitahu info itu, tapi jelas itu adalah bohong. Jika kau tidak percaya, pergilah ke penjara di Safe Zone Area satu. Dan satu hal lagi, jangan beritahu hal ini pada orang yang memberitahumu kalau Red eye sudah mati, karena aku yakin orang itu tidak akan senang."

"Kau tidak mau tahu siapa yang mengatakannya?"

Aku menggeleng, "Iya. Dia mungkin punya dendam padaku, dan aku mewajarinya. Mungkin orang itu adalah teman, pacar, atau keluarga dari korban di Area dua."

Dia menyimpan belatinya.

Aku mencabut belati yang masih menancap di dadaku dan melemparkanya pada si player. "Kumohon, jangan membunuh lagi."

"I-Iya." Dia mengeluarkan kristal teleportasi dan menghilang.

Aku menghembuskan napasku penuh dengan rasa lega, walau aku tahu sebenarnya aku masih belum bisa merasa lega, karena mau bagaimana pun seseorang yang memberitahu mereka tentang aku yang membunuh Red eye, dia membenciku.

Aku menaruh kembali pedang dan perisaiku kembali di punggungku, lalu menatap setiap rumah minimalis yang di bangun di atas sebuah pulau buatan yang mengapung di atas lautan tanpa batas sepanjang mata menatap. Jika saja ini adalah dunia nyata, maka hal pertama yang akan aku lakukan adalah mencari jalan keluar dari kepungan air asin ini. Jujur saja, aku tidak bisa berenang di dunia nyata, tapi beruntung bagiku, beruntung bagi orang-orang sepertiku, karena kita bisa mengambang di dalam air sesuka hati kita. Aku adalah perenang yang handal di game ini, tapi saat aku menginjak dunia nyata, aku yakin bahkan kata 'buruk' saja tidak akan cukup untuk melabeli diri ini yang sangat buruk dalam hal berenang.

Saat aku sedang menatap air dan sesuatu berwarna hitam yang semakin lama semakin besar, tiba-tiba saja sesuatu itu melesat keluar dari dalam air.

Aku terjatuh kebelakang dan beruntung bisa menghindari sesuatu itu. Aku memutar kepalaku dan melihat seseorang dengan pakaian serba hitam berdiri membelakangiku.

"Harga kepalamu sangat menggiurkan, pengelana hitam." Itu adalah kalimat pertama yang player pria itu katakan.

"Ha?"

"Di dunia bawah, kau sangat terkenal dengan harga kepalamu."

Aku langsung menarik pedangku dan berputar untuk menebas kedua kakinya, tapi dia dengan mudah menghindari tebasan itu dengan cara melompat, lalu sebilah pisau kecil keluar dari ujung sepatunya sebelum dia tiba-tiba berputar di udara dan menendang kepalaku dengan ujung kakinya.

"Akh!"

Karena tendangan itu, aku terpental cukup jauh dan langsung berguling sekaligus berdiri sambil memasang perisai hitamku.

"Ke-Kenapa kepalaku di hargai?"

Dia menggeleng, "Entahlah."

"Hanya karena sebuah imbalan, kau rela membunuh orang?"

"Aku bahkan sudah tidak tahu berapa banyak player yang sudah aku bunuh untuk mendapatkan perlengkapan ini."

"Sialan!"

"Oh, dan bukan hanya aku yang menginginkan kepalamu, pengelana hitam."

"Eh?"

Aku melirik ke arah air, dan bayangan hitam di sana bertambah banyak. Aku melirik ke arah rumah-rumah minimalis, dan dengan skill mata elang, aku bisa melihat beberapa player bersenjata panah dan sniper mengarah kepalaku.

Saat aku melihat lagi pada si player di depanku, di belakangnya sudah bertambah beberapa player lainnya.

Player itu menunjuk sesuatu di belakangku dengan dagunya.

Eh? Tidak mungkin.

Aku menghembuskan napasku dengan pelan, menunduk beberapa saat, lalu menatap player di depanku, "Kalian semua adalah pembunuh. Kalian semua tahu kalau sakit rasanya saat seseorang yang kalian cintai mati. Kalian juga tahu kalau kematian itu tidaklah menyenangkan. Dan jika suatu saat kematian seperti itu datang pada kalian, kalian semua harus menerimanya."

Player di depanku tersenyum dan membuka mulutnya. Tapi tepat saat dia melakukan itu, aku mengaktifkan skill percepatan dan melesat ke arah player itu, lalu memotong lehernya dengan satu kali tebasan pedang hitam di tangan kananku.

Kepalanya menggelinding dan masuk ke dalam air, disaat yang sama darah menyembur keluar dari lehernya sebelum seluruh tubuhnya di selimuti oleh cahaya putih dan akhirnya menghilang.

"Cahaya putih menjadi tanda kalau kalian sudah mati? Aku tidak setuju."

Sebuah bilah pedang menghunus dari arah kiriku langsung menuju leherku. Aku menggunakan perisaiku untuk menahan tebasannya, lalu dengan cepat menusuk perutnya dan langsung merobeknya ke arah kirinya. Jika saja ini adalah dunia nyata, maka isi perutnya sudah berhamburan.

Aku mengaktifkan skill tebasan cepat, dan langsung menebas lima player di depanku. Aku tidak membunuh mereka, aku hanya memotong kaki dan tangan mereka. Aku langsung berbalik, dan langsung di hadapkan dengan sebuah kapak mengarah tepat ke kepalaku, tapi sebuah anak panah melesat dan menghantam kapak ini dan membuat serangannya meleset dari kepala dan tubuhku dan hanya menghancurkan kayu apung di sebelah kananku.

Pria berbadan besar ini menoleh ke kejauhan di arah kanannya,  "JANGAN GANGGU MANGSA-" Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, pedang hitamku sudah memotong lehernya. "Eh?"

Dua player di belakang pria besar ini langsung melesat ke arahku dengan belati mereka. Aku menggunakan kakiku untuk mengangkat kapak di samping kananku, lalu menendang kapaknya dan mengenai dada salah satu dari player yang melesat ke arahku. Sebuah tebasan belati mengarah tepat ke mataku, aku menunduk untuk menghindari serangan itu, memukul rahang bawah player ini dengan perisaiku, lalu dengan cepat aku menusuk perutnya, dan merobeknya ke atas sampai membelah kepalanya.

Player yang tadi dadanya terkena kapak berlari ke arahku dengan belatinya, dia memutar belatinya ke belakang, mengangkatnya sebatas dadanya, lalu dia mulai menyerangku dengan tebasan beruntun. Tapi tebasan-tebasan itu dengan mudahnya aku hindari dan tahan, lalu aku menendang perutnya dan membuatnya melompat ke belakang.

Bab berikutnya