Pagi itu, dalam perjalanan ke restoran, Carol lagi-lagi melihat sisi baik Troy. Di tengah jalan, pria itu memberikan jaketnya pada seorang wanita tua yang sedang menyapu di tepi jalan.
"Kenapa kau memberikan jaketmu pada wanita itu?" tanya Carol ketika mereka melanjutkan perjalanan. "Sepertinya itu bukan pertama kalinya. Wanita itu bilang, kau harus datang ke rumahnya untuk mengambil jaket-jaketmu."
"Wanita itu sebatang kara. Setiap pagi, dia akan keluar untuk menyapu, tak peduli meski cuacanya dingin, bahkan ketika musim hujan." Troy menghela napas. "Satu-satunya tujuan hidupnya, adalah menunggu anaknya yang entah di mana. Sudah bertahun-tahun dia menunggu, tapi anaknya tak pernah datang. Jadi, setidaknya aku harus memberinya alasan untuk bertahan hidup dengan meninggalkan jaket-jaketku padanya."
Carol tersenyum haru mendengarnya. "Kau … benar-benar orang yang baik," ucapnya tulus.
"Kau baru mengenalku seminggu, Rose," balas Troy.
"Dan seminggu sudah cukup bagiku untuk melihat betapa baiknya dirimu," balas Carol. "Kau adalah orang paling baik yang pernah kutemui seumur hidupku. Setelah orang tuaku."
Troy menoleh padanya. "Kau ingat tentang orang tuamu?"
Carol gelagapan karena keceplosan. "Ti-tidak, tapi … orang tuaku pastinya orang yang baik, kan?"
Troy mengangguk-angguk. "Ya. Mereka pasti orang baik."
Carol agak terkejut mendengar reaksi pria itu. "Terima kasih," ucapnya tulus.
Troy menoleh padanya dan tersenyum. "Jangan memikirkan hal-hal buruk ketika kau tak bisa mengingat apa pun. Itu hanya akan membuatmu takut untuk mengingat siapa dirimu."
Carol tersenyum. "Kau benar-benar orang yang baik. Apa kau tidak takut jika kebaikanmu dimanfaatkan orang lain?"
"Apa itu yang kau lakukan? Memanfaatkan kebaikanku?" Troy balik bertanya.
Ya, itu yang Carol lakukan. Namun, Carol bahkan tak berani mengakuinya.
"Kau tidak seharusnya memanfaatkan kebaikan orang lain, kau tahu, kan?" ucap Troy lagi.
Carol mengangguk.
"Tidak masalah selama kau tidak melakukannya," ucap pria itu sembari menepuk lembut puncak kepala Carol.
Carol diam-diam melirik pria itu, merasa bersalah. Apa yang akan ia lakukan jika nanti pria itu tahu jika Carol memanfaatkan kebaikannya? Semoga saja pria itu bisa mengerti situasi Carol.
Begitu mereka tiba di restoran, James tampak terkejut ketika melihat Carol ikut datang ke sana. Sebenarnya, ada alasan lain kenapa Carol berkeras ikut ke sini.
Troy menyapa James dan meminta James memeriksa Carol, lalu memberitahu jika Carol akan di sini sampai jam makan siang. James mengajak Carol pergi ke ruangannya. Begitu James menutup pintu ruangan itu, pria tua itu langsung menegur Carol,
"Kenapa Nona datang kemari? Seharusnya Nona tetap di rumah Troy dan tidak muncul di depan siapa pun."
"Kenapa begitu?" tantang Carol.
"Nona dalam bahaya, Nona juga tahu itu, kan?" balas James.
Carol mengernyit. "Aku tahu. Aku hanya ingin tahu kabar Papa. Kau satu-satunya yang bisa memberiku informasi tentang itu."
James menghela napas sedih. "Tuan Harlan saat ini dalam keadaan koma dan berita tentang Nona yang hilang dalam kecelakaan itu sedang ramai dibicarakan di media. Media menyebutkan itu kecelakaan tunggal, itu berarti, keluarga Nona pasti tidak mengharapkan Nona kembali, kan?"
Carol mengepalkan tangan penuh amarah. Teringat pesan papanya tentang bagaimana papanya harus mati agar Carol bisa hidup. Ironis dan tragis. Carol sudah kehilangan mamanya, bahkan tak bisa melakukan apa pun ketika berhadapan dengan pembunuh mamanya. Haruskah ia kehilangan papanya dengan cara setragis ini juga?
James menyentuh lengannya lembut. "Nona, untuk saat ini, sebaiknya Nona …"
"Jangan sentuh aku," tepis Carol kasar. Ia menatap James penuh kebencian. "Ketika ini berakhir, sebaiknya kau pergi dari sini. Kecuali kau ingin mati di tanganku."
James hanya menunduk, sebelum pria itu berbalik dan meninggalkan Carol sendirian di ruangan itu. Carol seketika lemas dan terduduk di lantai. Pikiran tentang papanya membuat dada Carol sesak.
Namun, Carol tidak akan jatuh seperti ini. Ia tidak boleh jatuh seperti ini. Carol mengepalkan tangan, menguatkan tekad. Ia akan bertahan hidup, bagaimanapun caranya, dan membalas orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya.
Carol sudah akan berdiri ketika pintu ruangan itu terbuka dan Troy yang baru masuk, terkejut.
"Kau kenapa? Apa kau merasa pusing? Tidak enak badan?" tanya pria itu cemas sembari menghampiri Carol.
Carol yang masih terduduk menatap Troy yang kini berlutut di depannya.
"Biar kupanggilkan James," ucap Troy sembari akan berdiri, tapi Carol menahan lengannya.
"Jangan pergi," pinta Carol.
Troy mengerutkan kening. "Kau kenapa?" tanya pria itu lagi.
Carol menggeleng. "Aku hanya tersandung dan jatuh sendiri tadi," dustanya.
Troy menghela napas lega mendengar itu. "Kupikir kau pusing atau kenapa!" Dia terdengar agak kesal.
"Apa ada yang bisa kubantu di sini?" tanya Carol.
"Tidak ada," jawab Troy sembari memegangi lengan Carol dan membawanya berdiri bersama pria itu. "Kau tunggu saja di sini sampai jam makan siang. Nanti kuantarkan kau pulang saat jam makan siang."
"Kalau begitu, boleh aku menunggu di luar saja? Aku ingin melihatmu bekerja," pinta Carol.
Troy tampak berpikir sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi, apa James sudah memeriksamu? Apa kata James?"
"Dia bilang, aku baik-baik saja. Seiring waktu, aku akan bisa mengingat siapa aku," Carol kembali berdusta.
Troy hanya mengangguk-angguk. "Ya sudah, ayo kita keluar. Aku harus bekerja."
Carol mengangguk, lalu dirasakannya tangan Troy menggandeng tangannya, membawanya keluar dari ruangan itu. Pria itu menarikkan kursi di meja pinggir sisi restoran.
"Kau tunggu di sini saja agar tidak terganggu pengunjung yang datang. Aku akan mengambilkan air minum dan camilan untukmu," ucap Troy sebelum pria itu beranjak pergi.
Tatapan Carol mengikuti Troy yang pergi ke arah dapur. Tak lama, pria itu keluar membawa nampan dengan segelas minuman dan sepiring camilan di atasnya. Namun, langkah pria itu terhenti ketika tiba-tiba, serombongan kakek dan nenek memasuki restoran dan langsung menghampiri Troy utuk menyapanya.
Dalam sekejap, pria itu dikerumuni para kakek dan nenek itu. Sepertinya dia cukup populer. Sembari berusaha menjawab sapaan penggemarnya, pria itu menoleh ke arah Carol dengan ekspresi bingung. Carol penasaran, sebaik apa pria itu hingga orang-orang ini begitu memujanya?
Namun, mengingat bagaimana pria itu mau menampung Carol di rumahnya ketika dia tak tahu siapa Carol, juga bagaimana dia memberikan jaketnya untuk wanita tua yang mereka temui di jalan tadi, Carol bisa sedikit melihat kebaikan pria itu. Karena itu juga, kan, saat ini Carol harus memanfaatkan kebaikan pria itu demi keselamatannya sendiri.
Tak seperti pria itu yang memiliki hati yang baik, Carol justru sebaliknya. Tak seperti Troy yang baik hati dan suka menolong orang lain, Carol adalah orang yang jahat dan egois. Bagi Carol, ia dan hidupnya yang terpenting. Karena itu, Carol akan melakukan apa pun untuk bertahan hidup.
Apa pun.
***