Semerbak aroma maskulin mendominasi ruangan tersebut. Ruangan luas yang mampu menampung enam orang tersebut di dominasi dengan barang berwarna putih dan dinding berwarna hitam. Ruangan dengan ranjang berukuran besar ditengahnya terlihat sangat menawan seperti pemiliknya, Afka Fedrick.
Pemuda itu tak berhenti menggigiti kukunya. Dia merasa gelisah karena ucapan Ghirel yang menyuruhnya untuk menjauh. Afka tak tau perasaan apa yang sedang dia rasakan, hanya saja dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk yang kesekian kalinya.
Membayangkan Ghirel menjauh, tak mau berbicara dengannya, dan didekati banyak pria membuat Afka merasa kalut. Matanya menggelap hanya dengan membayangkan hal tersebut. Dia tidak bisa kehilangan Ghirel, apapun yang teriadi.
"Aish! Frustasi gue!" teriak Afka. Teriakannya terdengar hingga telinga papahnya yang berada di ruang keluarga.
Khawatir dengan sang anak, Zyan memutuskan dengan lancang masuk ke dalam kamar anak satu-satunya itu untuk memeriksa keadaan Afka dan memastikan bahwa anak tunggalnya tidak melakukan hal berbahaya, seperti bunuh diri.
"Kenapa boy?" tanya Zyan. Zyan masih berada di ambang pintu dengan tangan berada di pinggang bak model yang sedang berjalan cantik di catwalk.
"Bingung Pah," jawab Afka dengan raut wajah gelisah. Afka merebahkan tubuhnya di kursi panjang berwarna putih yang terletak di ujung kamar.
"Karena apa? Nilai? Atau cita-cita boy ganti lagi?" tanya Zyan sembari duduk di tempat tidur yang berhadapan dengan anaknya yang sedang terlentang seraya meregangkan tangannya.
"Cita-cita aja gak punya, gimana mau ganti Pah?" Afka mengacak rambutnya frustasi lalu membasahi bibirnya sendiri tanda dirinya sedang bingung.
"Terus karena apa?"tanya Zyan lagi seraya menatap jengah pemuda labil yang notabenya adalah anaknya sendiri.
"Cewek, Pah," Afka cengengesan merasa malu. Karena dirinya yakin setelah ini ia akan diolok-olok oleh ayah kandungnya sendiri.
Mendengar perkataan yang keluar dari mulut anaknya ini, Zyan menganga terkejut. Tidak pernah sekalipun Afka sampai frustasi hanya karena seorang perempuan. Afka selalu tidak peduli dengan deretan pacarnya yang entah ada berapa saat ini.Jangankan perduli,tahu nama mereka saja Afka tidak. Tapi sekarang? Ada seorang gadis yang berhasil memikat hatinya hingga berhasil membuat Afka luluh. Hal itu membuat Papah Zyan tersenyum senang karena anaknya berhasil keluar dari jurang masa lalu.
"Afka, kamu sadar'kan sama yang kamu bicarain tadi? Kamu gak lagi kesurupan 'kan? Mau papah panggilkan ustadz? Iya? Atau orang pinter?" ekspresi serius Zyan pasang saat ini meskipun setelahnya, ia tertawa terbahak-bahak.
"Gak," jawab Afka datar. Pipi Afka sudah merona karena menahan malu. Afka menghela nafas kasar saat melihat tatapan nakal dari papahnya membuat Afka mau tidak mau harus jujur.
"Pah, Afka suka cewe-" baru saja akan menjelaskan, ucapannya sudah terpotong oleh papahnya.
"Alhamdulillah dong, kamu masih bener berarti Af. Sebentar lagi berita tentang kamu yang selalu gonta-ganti pasangan bakalan musnah. Berarti Papah gak usah repot-repot nyewa pengacara buat ngurusin semuanya. Iya'kan?" alis Papah Zyan terangkat sebelah disertai senyum merekah.
"Jangan potong dulu Papah!" sentakan Afka saat ini mampu membuat senyum merekah papahnya pudar seketika tergantikan raut wajah sendu disana.
"Apanya yang dipotong hayo?" papahnya memang wajah mesum mencoba mencairkan suasana.
"Tuhkan, pantes Afka mesum. Papah lebih mesum ternyata!" Afka melempar bantal hingga mengenai wajah tampan Zyan.
"Berarti kamu beneran anak papah, bukan anak nemu di tong sampah," Zyan menangkap bantal tersebut lalu melempar balik ke arah Afka membuat sang korban mendelik.
"Kapan Afka ceritanya Pah?" Afka mulai jengah dengan Zyan yang selalu mengalihkan topik pembicaraan. Ia mengubah posisinya dari tertidur jadi duduk di kursi tadi, lalu mulai menatap wajah Zyan dengan raut serius.
"Afka masih belum yakin sama perasaan Afka sendiri. " lanjut Afka.
"Selain itu Afka juga masiu belum siap jatuh cinta, semua cewek sama aja'kan Pah?" Afka mengepalkan tangannya, mengingat ibunya mengkhianati Zyan dan mantan kekasihnya juga berkhianat darinya. Semua wanita yang Afka kenal tak pernah setia.
"Selingkuh?" tanya Zyan, sebenarnya jika sudah menyangkut perempuan Zyan sudah paham betul ini yang akan terjadi. Karena Afka lah yang memergoki ibunya selingkuh dengan laki-laki lain. Dan setahun setelahnya, ia juga ditinggal pergi oleh Sana, mantan kekasihnya yang saat ini sudah menikah dan menetap di Negara Sakura.
Pengalaman tersebut membuat pandangan Afka kepada perempuan berubah begitu saja. Afka menjadi membenci kaum hawa karena ia menganggap semua kaum hawa hanya bermain-main dengan cinta. Dan Afka bertekad tidak akan pernah peduli dengan seorang perempuan lagi. Bahkan ia sampai bersumpah tidak akan jatuh cinta terlalu dalam kepada perempuan. Ia juga merasa akan melajang seumur hidup daripada pada akhirnya bernasib sama dengan papahnya dan nasib buruk dirinya beberapa tahun lalu. Afka trauma. Afka takut. Dan Afka merasa lelah karena dikhianati.
"Gak semua cewek kayak dua orang yang ada di pikiran kamu saat ini Afka. Coba deketin cewek yang kamu suka,jangan sampai kamu menyesal pada akhirnya,dan gak semua cewek itu brengsek Afka,mungkin dia bisa lebih baik dari mamah kamu atau Sana. Papah yakin,kali ini kamu ketemu orang yang tepat," nasihat Papahnya benar- benar Afka cerna dalam hati. Nama Ghirel terdengar di telinganya dan berputar diotaknya.
Ghirel hanya perempuan sederhana dengan segala tingkah laku abstrak yang selalu membuat Afka gemas tertawa. Terlebih, gadis itu sebenarnya adalah seseorang yang selama ini ia cari.
"Dulu, mamah sama Sana juga awalnya baik'kan?" Seperti tertancap sebuah panah. Zyan membeku. Salah jika memberi Afka nasihat, karena ia lebih cerdik darinya.
"Kalau kamu gak mau move on dari masa lalu itu, maka selamanya kamu ga akan dewasa. Kamu akan selalu terbayang- bayang sama semuanya. Semua rasa sakit yang bikin kamu gak pengen dekat sama perempuan. Terus bagaimana dengan masa depanmu nanti Afka? kamu udah mau lulus SMA, waktu berjalan cepat. Apa kamu gak mau nikah? coba bikin selangkah lebih maju. Coba tantang diri kamu sendiri untuk berani melawan rasa trauma kamu itu. Papah tau kamu sanggup,hanya saja kamu tidak mau melakukannya," jelas Zyan sembari tersenyum pahit. Semua ingatan akan beberapa tahun yang lalu seakan terputar kembali di dalam otaknya membuat Zyan merasa sedih. Wajahnya bahkan menjadi sendu membuat Afka merasa bersalah.
Afka berdiri dan melangkah menuju ayahnya .
"Nih,Afka udah selangkah lebih maju," sungguh, Afka hanya mencoba mencairkan suasana.
"Papah coret kamu dari Kartu Keluarga!"
***
Ghirel, Siska, dan Tzuwi sedang menjalani malam minggu yang sama seperti malam sabtu kemarin. Bedanya, malam ini mereka berburu kuliner di dekat air mancur tengah kota. Berada di dekat air mancur bersama seseorang yang sangat berharga, dibawah langit pekat dengan banyak bintang bertebaran dimana-mana membuat suasana terasa semakin tentram.
"Gue mau nyicipin cilok nya lo dong Sis," Tzuwi menarik paksa bungkus cilok milik Siska.
"Tzuw,mau bakso bakarnya," Sama seperti Tzuwi,Ghirel menarik paksa bungkus bakso bakar di tangan Tzuwi.
"Jie,mau batagor lo dong," sama seperti yang lain, Siska menarik paksa sebungkus batagor milik Ghirel.
Selalu seperti ini, menghemat uang dengan cara membeli sesuatu yang berbeda lalu berbagi. Mereka berhenti di depan air mancur tengah kota lalu duduk seadanya dipinggir jalan sembari bercanda tawa bersama. Membicarakan hal-hal tidak penting disekitar mereka.
"Haus nih guys," ujar Siska, sedangkan Tzuwi mengusap tenggorokannya.
"Ya udah iya, gue beliin minum dulu. Mau pada beli apaan?" Ghirel peka. Ia berdiri dengan telapak tangan tersodor di depan teman-temannya.
"POP ICE COKLAT!" Tzuwi teriak terlalu kencang sampai anak kecil dibelakangnya terkejut.
"TEA JUS APEL!" setelah anak itu terkejut mendengar Tzuwi, sekarang ia menangis mendengar suara menggelegar milik Siska.
Dan mereka bertiga tertawa terbahak-bahak bersama. Receh emang.
Ghirel berjalan memutari air mancur dengan mata menelisik mencari penjual es, ditengah-tengah perjalanan, teleponnya nya berbunyi namun gadis itu mengabaikannya ,sampai di titik dimana ia lelah karena teleponnya berkali-kali berbunyi, mau tidak mau Ghirel membukanya dan terkejut dengan pesan yang ia terima dari Afka di lockscreen hpnya. Baru saja akan membuka pesan tersebut, hpnya berdering tanda ada telefon masuk. Itu dari Afka. Entah apa yang merasukinya, tapi Ghirel menerima telefon tersebut.
"Kita perlu melihat kebelakang untuk belajar dari pengalaman masa lalu. Tapi, enggak buat lo yang harus melihat kebelakang untuk belajar mencintai seseorang," terdengar helaan nafas gusar dari telefon yang menandakan lawan bicaranya sedang gugup.
"Hah?" Ghirel menganga tidak paham dengan apa yang Afka ucapkan.
"Balik badan dan belajar cintai gue!"
Deg.
Ghirel membalikkan tubuhnya dengan perlahan, dan benar saja sekarang Afka hanya berjarak satu langkah di depannya.