webnovel

Hanya Berlatih

Ku kenakan seragam berwarna hijau agak abu, warnanya berbeda dari pakaian Pengawas Kebun yang berwana hijau terang. Aku telah sarapan bersama dengan beberapa penghuni kamar dan menuju ke sebuah area berlatih yang disebut oleh mereka sebagai Lahan Berdarah, karena menurut beberapa info yang ku dengar banyak sekali anak asrama calon anggota baru yang mengalami luka saat melakukan pelatihan. Sebenarnya aku tidak peduli dengan itu semua, aku hanya perlu mencari tau dimana pintu keluar agar aku bisa kembali ke rumah dan tidur di tempat tidurku yang empuk. Jika boleh aku jujur, tempat tidurku di asrama telah menjadi arca karena tidak lagi terasa seperti tempat tidur kapuk pada umumnya.

Dari kejauhan aku melihat Ge dan Sam yang sedang mengobrol dengan beberapa teman baru mereka, sama sekali tidak terlihat menyedihkan seperti diriku, mereka malah terlihat sangat senang.

"brukk!!" Seseorang menabrakku dari arah belakang dan hampir membuatku terjatuh.

"Maaf aku berjalan kurang hati-hati," Pria itu memandangiku beberapa saat.

"Kamu kenapa ada disini?" Tanyaku, aku sangat ingat wajah pria itu yang pernah menabrakku dan membantuku membawa jeruk ke rumah paman.

"Apa maksudmu?" Tanya pria itu yang tidak mengerti.

"Kamu… Ah katakan bagaimana caranya kamu bisa masuk ke tempat ini dan bagaimana caranya kamu bisa pergi keluar?" Tanyaku lagi yang tanpa basa basi.

Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, "Aku tidak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan," Ujarnya lagu. Dari ekspresinya terlihat dia tidak sedang bercanda dengan kebingungannya, hal itu membuatku merasa bodoh karena memiliki ingatan yang salah dan bersikap seolah mengenal pria itu.

"Athan ! segera pimpin barisan untuk melakukan pemanasan !" Teriak Arlan sang ketua pasukan hijau dengan sangat lantang.

Pandanganku masih terarah ke pria berparas tampan itu, masih berusaha mengingat kalau memanglah dia yang pernah ku temui sebelumnya. Tiba-tiba pandanganku menangkap pandangan dari Ge dari barisan yang berbeda, dia menyunggingkan senyum dan memberiku semangat dengan lirih. Sikapnya itu membuatku semakin yakin kalau dia tidak mengalami kejanggalan dan keanehan selama berada di tempat ini.

Bang Arlan bilang kalau dengan mengikutinya ke tempat ini aku akan dapat menemukan jalan pulang, ku rasa itu hanya omong kosong yang sengaja dia katakana agar aku mau untuk bergabung dengan mereka. Dia hanya memiliki sebuah foto lamaku saat aku ikut demo, dia bilang aku sangat cocok bergabung dengan mereka. Dia juga bilang jika aku bersedia untuk bergabung maka orang tuaku akan mendapatkan perlakuan yang baik. Mendadak aku merasa semakin bodoh, aku sulit mencernah dan menerka hal apa kiranya yang sedang dipikirkan serta direncanakan oleh para elit melalui pasukan hijau.

Hari pertama mengikuti kelas pelatihan tidak begitu menakutkan, hanya terasa lelah karena aku sudah cukup lama tidak latihan fisik. Berlari mengelilingi lapangan adalah kesukaanku karena dulu saat masih bersekolah aku pernah menjadi juara lari walau hanya antar kelas. Karena aku sangat jarang terluka, aku tidak pernah merasa jera melakukan banyak kegiatan anak laki-laki. Kalaupun aku luka, aku hanya perlu menunggu hingga paling lama dua hari maka lukanya akan segera kering dan sembuh tanpa meninggalkan bekas luka, ku rasa itu adalah satu kelebihanku selain dapat memasak dan mengurus rumah dengan baik.

Ge dan Sam menghampiriku saat jam istirahat, kami menikmati minuman dingin yang disediakan sambil sedikit mengobrol di sudut lapangan. Aku menceritakan tentang semua yang ku alami kemarin sebelum bang Arlan menjemput, mereka berdua tampak terkejut dan sangat tertarik mendengarnya. Mereka bahkan menanyaiku mengenai pepohonan yang bercengkrama itu berulang kali untuk memastikan kalau aku tidak mengarang kisah itu.

"Ku rasa tempat ini benar-benar tidak beres. Kenapa kalian bersedia ikut dan bergabung? Apa kalian mendapatkan imbalan untuk ini semua? Apa orang tua kalian yang menjadi jaminannya?" Pertanyaanku bertubi-tubi.

"Ku rasa hanya kamu yang merasa tempat ini aneh karena bagiku tempat ini sungguh menyenangkan. Kita tidak perlu mengurus perkebunan yang membosankan, bertemu dengan banyak teman baru, makan dan tidur dengan nyaman, tidak ada satupun hal yang tidak baik disini. Bukan begitu Sam?" Tanya Ge santai yang langsung di iyakan oleh sepupunya itu.

Sam mengatakan kalau dia sangat menyukai udara disini yang sangat sejuk dan asri, walaupun harus berlatih di bawah terik tetapi semuanya terasa sangat menyenangkan karena bertemu teman baru.

"Kita bahkan belum genap 24 jam berada disini, kenapa kalian sangat berfikiran positif?" Tanyaku lagi.

Keduanya tersenyum, "Bukankah semua masalah berasal dari pikiran kita? Dengan berfikir positif maka semuanya akan menjadi positif pula," Aahut Ge sambil tersenyum ramah.

Benar, Ge memang benar kali ini. Mungkin memang sudah saatnya untukku dapat menyesuaikan diri sementara waktu sambil terus mencari jalan pulang

Selama berlatih pandangan mataku terus mencari sosok pria yang tadi menabrakku, entah kenapa aku masih merasa yakin kalau dia memanglah orang yang membantuku membawa jeruk ke rumah paman tetapi sikapnya yang dingin dan ketus membuatku kembali ragu dengan ingatanku sendiri. Pria itu memiliki tubuh tegap dan tinggi hamper seperti Ge dan Sam hanya saja lebih tampan. Dia juga memiliki mata coklat terang yang jika terkena pantulan cahaya matahari terlihat seperti berwarna emas, sangat idah.

Namanya Atan, aku mengingatnya dengan baik. Sepertinya dia juga cukup popular karena di kenal oleh pimpinan pasukan hijau. Perangainya tampak ramah tetapi juga menakutkan karena sangat dingin, dia benar-benar unik sangat berbeda dengan Ge dan Sam yang selalu tampak ceria dan bahagia apapun yang terjadi.

"Mada ! Cepat lari keliling lapangan sepuluh kali !" Teriak bang Arlan ke arahku. Bagaimana dia bisa tau marga keluargaku? Ini benar-benar aneh, Ge dan Sam bahkan tidak pernah memanggilku seperti itu.

Sepertinya mereka benar-benar stalker yang hebat yang mengetahui semua informasi para calon anggotanya. Aku hanya penasaran apa mereka juga tau tentang kepribadianku dan kisah masa kecilku. Itu lucu, tapi sangat menakutkan jika mereka benar-benar mengetahuinya.

Aku berlari dengan kecepatan konstan, tidak ingin ngebut dan membuat tubuh kaku ini sangat kelelahan. Pandanganku focus ke depan, pikiranku kembali ku tenangkan agar tidak lagi berpikiran tentang cara pulang. Pada putaran kelima, pria yang sedari pagi menjadi perhatianku tiba-tiba telah berada di sampingku dan ikut berlari dengan perlahan. Dia sangat tenang tidak terlihat lelah, aku bahkan salah focus karena tidak ada melihat satu tetespun peluh di tubuhnya. Ku pandangi dari ujung kaki ke ujung kepala, benar-benar tidak berpeluh hanya terlihat sedikit terengah karena dia berlari dengan sedikit membuka mulutnya.

"Fokuslah dengan arena larimu," Ujar pria itu yang ternyata menyadari pandanganku kepada dirinya. Sontak saja aku memalingkan wajah kea rah yang berbeda, tetapi dalam hitungan detik aku telah terjatuh karena tersandung sebuah batu berukuran sedang yang menghalangi arena lariku.

"Arrrgghhh," Sangat nyeri, ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahu terakhir aku kembali terjatuh. Pergelangan kakiku berbunyi hingga membuatku kesulitan untuk berdiri. Pria bermata indah itu masih melanjutkan larinya tanpa mengiraukanku yang terjatuh, sementara dari arah belakang aku bisa mendengar suara bang Arlan meneriakiku agar segera bangun dan menyelesaikan tugas.

Siapa yang meletakkan batu di tengah arena lari seperti ini? Tanyaku kesal sambil berusaha bangun dan menyingkirkan baru itu dari arena. Sambil sedikit terseok aku melanjutkan lari hingga akhir. Nyeri dan panas, aku bisa merasakan pergelangan kakiku mulai bengkak karena ku paksa untuk berlari cukup jauh. Ge dan Sam segera membantu untuk mengopresnya saat aku selesai dan semua orang sudah kembali ke asrama karena hari sudah sangat senja.

"Kenapa kamu paksakan? Kamu bisa meminta keringanan, ku rasa bang Arlan tidak sekeras itu," Ujar Ge mulai seperti ibuku yang selalu khawatir dengan putrinya.

"Aku tidak ingin membuat hidupku sulit hanya karena terus berurusan dengan mereka," Sahutku masih dengan terengah.

Mereka berdua segera membantuku untuk berdiri dan mengantarku ke depan kamar, mereka menyuruhku untuk menemui tim pengawas kebun dan meminta ijin untuk besok karena kondisiku yang tidak memungkinkan. Aku hanya mengiyakannya dan menyuruh mereka kembali ke kamar masing-masing. Kaki kananku sangat nyeri dan susah untuk di gerakan tetapi aku telah berniat untuk tidak merepotkan diri dengan berurusan dengan pasukan hijau, tetapi aku pun tidak yakin apakah aku bisa mengikuti kelas besok.

Segera ku hampiri tempat tidurku yang seperti batu, ku ambil buntelan di dalam laci dan mengoleskan ramuan berbau daun busuk itu pada area kakiku yang membengkak sama seperti aku mengoleskan ramuan itu pada lenganku yang sempat berdarah karena terkena ranting kayu. Tidak ada rasa apapun saat ramuan itu telah teroleskan sepenuhnya, hanya aroma herbal yang asing sangat menusuk ke hidungku dan membuatku sedikit pusing.

Ku tuangkan sedikit ramuan itu di telapak tanganku untuk ku cek teksturnya. Tidak seperti dedaunan biasa yang terdapat seratnya, ramuan itu benar-benar mengental dengan sempurna dengan warna hijau pekat dan bertekstur lembut. Aromanya mirip seperti aroma akar tanaman yang masih basah bercampur dengan aroma tanaman urang aring yang biasa ku pakai untuk membasuh rambut.

"Ambil ini ! oleskan itu pada lukamu jika kamu ingin segera pulang,"

Aku masih mengingat perkataan bang Arlan saat memberiku ramuan dalam buntelan itu, pikiranku kembali teringat dengan pintu keluar yang akan membuatku pulang ke rumah ayah dan ibu.

Aku telah mengikuti pelatihan, aku juga telah mengoles lukaku dengan ramuan herbal itu, apakah aku sekarang sudah boleh pulang?

Aku sangat ingin mendapatkan jawaban 'iya' dari pertanyaanku itu.

***

Bab berikutnya