webnovel

Peristiwa Pagi

Aku terus memukul punggung Satria. Tapi laki-laki itu seolah tidak merasakan apa-apa. Bahkan sampai ke hotel pun dia masih memanggulku layaknya karung beras. Lelah protes akhirnya aku diam sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Sumpah aku malu banget. Dilihatin banyak orang sepanjang jalan.

Sampainya di kamar hotel, Satria melempar tubuhku ke tengah kasur. Kurang ajar sekali manusia itu.

"Hah! Tubuhmu lumayan berat juga. Bahuku sampe pegal begini."

"Siapa suruh memanggulku. Malu-maluin aja."

"Kalau kamu nurut apa yang aku bilang, kejadian seperti tadi nggak akan terjadi."

"Lagian ini tuh masih sore, ngapain sih buru-buru ngajak balik ke hotel?!"

"Ini udah jam 10 malam, kamu bilang masih sore? Nggak baik juga cewek malam-malam keluyuran."

Aku menatap kesal Satria. "Kan ada kamu, ada Andra juga. Gunanya kalian itu apa kalau nggak jagain aku?!"

Satria berkacak pinggang, satu jarinya bergerak menyuruhku mendekat. Aku yang masih di atas kasur mengabaikan isyaratnya. Memangnya aku ini apaan dipanggil dengan cara seperti itu.

Kejadian kedua yang nggak aku duga. Satria malah menarik kakiku agar bergeser mendekat padanya.

"Kamu itu emang ngeselin banget ya! Dari awal ketemu saja sudah ngeselin."

"Memangnya kamu nggak?"

"Sudah cukup bermain-mainya, Rea. Sekarang waktunya serius." Satria mencondongkan badannya mendekatiku, membuatku beringsut mundur. "Kamu tahu kan, aku nggak mau kamu jadikan teman atau pun kakak. Karena itu sangat merugikan. Kamu itu istriku. Tahu kan tugas istri itu apa?" bibirnya menyeringai kecil.

Aku hanya mengerjap sekali demi menyaksikan hal apa lagi yang akan Satria ucapkan.

"Jadi, bagaimana kalau kita bulan madu di sini saja? Aku nggak minta banyak kok, satu anak cukup."

Ternyata hantaman dikepalanya beberapa jam lalu belum cukup membuatnya jera. Perlukah aku hantam lagi kepalanya yang keras itu menggunakan suatu benda? Teflon mungkin? Biar dia segera sadar.

"Aku nggak bisa. Meskipun kamu suamiku, aku nggak bisa melakukannya, Bang."

"Kenapa?"

"Karena kita nggak saling mencintai."

Satria langsung menarik badannya mundur. Sepertinya dia sedikit terpengaruh ucapanku.

"Tahu apa kamu soal cinta? Kita nggak perlu memiliki perasaan konyol itu hanya untuk melakukan hal seperti itu. Cinta itu nggak penting, yang penting kita sama-sama mau."

Apa? Enak aja dia bilang.

"Tapi bagiku penting. Jadi, aku tidak akan pernah melakukannya dengan orang yang nggak aku cintai dan nggak cinta sama aku."

Satria tertawa dan mengacak rambutku. "Anak kemarin sore aja udah sok-sok an bicara cinta. Asal kamu tahu, Rea. Cinta itu nggak seindah yang ada di otak kamu. Jangan sampai kamu menyesal karena telah mengenal perasaan seperti itu."

"Aku nggak akan menyesal. Jika waktunya tiba aku akan hidup bahagia dengan orang yang aku cintai. Orang yang senantiasa membuatku tersenyum, orang yang tidak akan meninggalkanku hanya karena aku marah. Orang yang akan selalu mengucapkan selamat pagi saat aku buka mata di pagi hari."

Mataku memejam sembari menghayalkan wajah seseorang. Seseorang yang memiliki wajah rupawan bak malaikat, yang memiliki senyum manis, dan tidak pernah marah-marah seperti Satria tentunya. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Andra.

Aku membuka mataku kembali, dan wajah Satria tepat berada di depan hidungku membuatku terjungkal kembali ke kasur. "Astaga, Bang! Kira-kira dong bikin kaget orang!"

"Udah berkhayalnya? Jangan kebanyakan nonton drakor kamu, Rea. Realitanya kamu itu sekarang istriku, laki-laki mana yang berani mengambilmu dari aku?"

Benar juga. Selama masih ada Satria dalam hidupku, cinta seperti itu akan sulit aku dapat. Tapi Kakek menyuruhku untuk membuat Satria jatuh cinta padaku. Gimana caranya? Bahkan Satria sendiri menganggap kalau cinta itu adalah perasaan konyol.

"Kamu pernah jatuh cinta nggak, Bang?" tanyaku tiba-tiba dan itu membuat Satria terlihat sedikit tertegun. Tapi hanya sebentar sebelum dia kembali ke mode biasa-biasa saja.

"Kenapa bertanya begitu?"

"Kamu bilang, aku jangan sampai menyesal karna udah kenal cinta. Apa kamu sekarang sedang menyesal karena pernah mencintai seseorang?"

Dari ekspresinya aku bisa menebak. Aku jadi ingat saat menguping dia bicara dengan seseorang di telepon.

"Kok nggak jawab sih, Bang?"

Satria nampak terdiam tanpa berniat menjawab pertanyaanku.

"Sudahlah, lupakan. Kalau kamu nggak mau melakukannya ya sudah," sentaknya kemudian meninggalkanku yang sukses melongo dibuatnya.

Tuh orang kenapa marah-marah? Kalau nggak mau jawab ya sudah. Sepertinya dia memang sangat sensitif jika berurusan dengan perasaan. Astaga! Aku terjebak pernikahan dengan seseorang yang trauma dengan cinta.

***

Aku pikir malam ini bisa menguasi kasur empuk big size di hotel ini. Ternyata harapanku menguap, ketika tanganku tak sengaja mengenai benda keras di sebelahku. Aku tidak tahu pasti kapan Satria naik ke tempat tidur. Setelah dia keluar semalam, aku langsung tidur.

Sepertinya aku mulai terbiasa tidur satu ranjang bersama Satria. Maksudnya tidur dalam artian sebenarnya yah. Sejak awal pernikahan, Satria memang tidak mau tidur terpisah. Dengan jaminan dia tidak akan menyentuhku. Sejauh ini sih ucapannya itu masih bisa dipegang. Namun, akhir-akhir ini otaknya sedikit rada. Jadi aku perlu waspada.

Dilihat dalam kondisi tidur seperti ini, Satria terlihat sangat tenang. Seperti malaikat tanpa dosa. Tidak akan ada yang menyangka jika manusia itu nyebelinnya sudah sangat akut.

Dan kadar ketampananya naik berkali-kali lipat jika diam seperti itu. Aku terkikik pelan. Benar, Satria akan lebih tampan kalau dia diam seperti ini.

"Apa ada yang lucu, Rea?"

Aku terkesiap. Kenapa dia bisa dengar? Sedetik kemudian, mata Satria terbuka.

Dia mengernyit. "Ada apa?"

"Itu pipi kamu."

"Kenapa dengan pipiku?"

Aku tersenyum jail. "Ada bekas iler. Kamu tidurnya ileran ya?! Jorok banget."

Satria langsung bangkit dan mengusap area sekitar mulut dan pipinya. "Mana?!"

Aku terpingkal melihat muka paniknya. Seolah ileran itu adalah aib terbesarnya yang terbongkar.

"Rea! Kamu mengerjaiku?" geram Satria jengkel. Aku buru-buru meloncat dari tempat tidur karena aku yakin sebentar lagi dia akan mengamuk.

"Rea jangan lari kamu." Satria ikut meloncat. Dia berusaha menghalangiku. Kami kejar-kejaran di kamar hotel. Ya ampun! Hanya soal iler aja Satria bisa sekesal itu.

"Bang iler kamu kemana-mana. Nggak nyangka sih ternyata kamu ileran juga." Aku masih terus menggodanya.

"Rea, mendekat. Jangan lari."

Aku naik kembali ke ranjang menghindari kejaran Satria. "Kejar daku, kau kutangkap."

"Kamu akan menyesal, Rea."

Aku tidak akan terkecoh. Dia pasti sedang ancang-ancang untuk menangkapku. Tidak akan kubiarkan itu terjadi.

"Loh, Andra? Ngapain pagi-pagi ke sini?"

Eh? Andra? Sontak aku melihat ke arah pintu. Namun, sebuah tangan menyambar perutku. Saat itulah aku baru sadar kalau Satria menipuku. Sial.

Kami berdua jatuh terlentang di atas kasur dengan posisi Satria berada di bawahku memeluk erat perutku.

"Kamu mau lari ke mana lagi?" seringainya.

Aku meronta. "Kamu curang!"

"Bukan aku yang curang, tapi kamu yang bodoh."

"Enak saja."

"Aku akan menghukummu karena berani mengerjaiku."

Astaga! Satria mengangkat tangannya membentuk sebuah gerakan hendak menyentil.

"Kamu pilih mau aku sentil di bagian mana?"

"Ya ampun, Bang! Ampun. Jangan gitu, Bang. Sakit itu nanti."

"Oh,itu udah pasti. Ayo pilih di mana. Kepala, telinga, hidung, atau dahi."

"Dahi aja, Bang. Tapi jangan keras-keras. Sakit Bang."

"Kamu ini cemen banget. Makannya jangan suka bikin orang jengkel!"

"Iya, ampun!"

"Kamu siap-siap ya!"

"Pelan-pelan, Bang!"

"Mana ada hukuman pelan-pelan. Rasakan ini ya, buat anak bandel yang nggak mau menurut."

Aku memicingkan mata, ketika tangan Satria memulai aksinya. Aku paling benci kena sentil. Dulu Papa suka memberiku hukuman seperti itu kalau anak-anaknya nakal. Cukup Papa saja yang melakukan itu padaku. Jangan suamiku.

Sentilan itu tak kunjung mendarat di dahiku. Padahal aku sudah siap-siap menahan sakitnya. Tapi tak lama, sebuah sentuhan lain mendarat di pipi. Tadinya sih aku merasa biasa aja, tapi saat sebuah benda lembut itu menempel, aliran hangat tiba-tiba menjalari pembuluh darahku.

"Itu hukuman yang tepat untuk anak nakal."

Mataku yang memicing kontan terbuka. Aku bisa melihat Satria tersenyum senang. Hingga gigi-ginya yang putih dan rapih itu nampak.

Bab berikutnya