Ini adalah gedung waktu aku mengantarkan dokumen pada Papa. Wijaya Grup. Mulai hari ini aku akan di sini. Entah sebagai apa, yang jelas Kakek Wijaya menyuruhku untuk belajar.
"Jangan bengong, cepat keluar." Satria di sebelahku, menyentak.
"Iya."
Kami keluar dan bergabung bersama rombongan Kakek. Jika dipikir-pikir Kamis sudah mirip petinggi-pertinggi perusahaan di sebuah drama korea. Astaga, aku konyol sekali. Membayangkan hal yang menggelikan. Tapi ini beneran mirip. Kami berjalan melewati lobi. Penampilan kami terlihat lebih menonjol dari pada mereka yang berlalu lalang. Tentu saja, itu mengundang perhatian. Bahkan lift yang kami naiki berbeda dengan lift pegawai.
Ketika kami memasuki ruang rapat, semua dewan direksi berdiri menyambut kedatangan kami. Aku harus menahan diri agar tidak terlalu excited.
Andra terlihat membuka rapat ini. Dia berorasi mengundang perhatian orang-orang yang hadir di sini. Kalau boleh aku menilai, Andra itu seperti jelmaan malaikat yang sengaja diturunkan ke bumi. Wajah lembut dengan senyum yang menawan itu bisa membuat siapa saja tersihir. Ehem! Termasuk aku.
Saat giliran kakek bicara, beliau mengenalkanku sebagai menantu sekaligus pemegang saham di Wijaya Grup. Aku pikir semuanya terlihat menerimaku dengan baik. Mereka bahkan memberiku selamat. Kecuali Satria. Manusia tampan itu sesekali berdecak, dia masih belum terima karena menurutnya kakek memperlakukannya dengan sangat tidak adil.
Saat selesai rapat pun, dia segera pergi entah kemana.
"Andra, kakek serahkan Rea padamu. Ajari dia tentang pekerjaan di sini. Karena mulai sekarang dia akan bekerja. Kamu beri posisi terbaik untuknya," ucap Kakek pada Andra.
"Serahkan padaku, Kek."
"Kakek percaya padamu. Rea, Kakek pergi dulu ya. Kalau ada apa-apa kamu bisa langsung hubungi Andra."
"Baik,Kek."
Bersama asistennya, kakek meninggalkanku dan Andra.
Aku memutar badan menghadap Andra. "Jadi aku sekarang bekerja sebagai apa, Bos?"
Andra terkekeh sekilas. "Kamu yang bos di sini."
"Bos yang bodoh karena tidak tahu apa-apa."
Lagi-lagi Andra terkekeh, menambah tingkat kemanisan wajahnya. "Kamu pasti akan cepat belajar."
"Jadikan aku stafmu saja. Aku tidak mau posisi seperti yang kakek bilang tadi."
"Aku bisa dibunuh kakek kalau kamu cuma jadi staf."
"Ayolah, Andra. Aku ingin belajar dari bawah. Aku tidak akan mengerti soal manajemen perusahaan. Dan nggak mungkin juga aku jadi sekretarismu kan?"
"Kamu serius?"
"Serius. Jadi staf lebih baik daripada jadi bos bodoh. Aku akan bicara dengan kakek nanti."
"Baiklah. Kalau itu maumu. Ayo kita ke tempat kerjamu yang baru."
Aku tidak nyangka, sekarang menjadi pekerja kantoran. Nana akan aku beritahu nanti. Meskipun perjalanan ke sini harus mengorbankan masa depan dan impianku sendiri.
***
Aku bekerja di kubikel-kubikel bersama dengan staf yang lain. Ternyata menjadi staf itu menyenangkan. Orang-orang di sini mau menerimaku dan cenderung baik padaku. Atau mereka baik karena tahu aku menantu cucu pemilik perusahaan. Yang itu mau bagaimana pun susah untuk di sembunyikan.
Saat jam makan siang, Andra mengajakku makan di luar. Tadinya aku berniat makan di kantin saja bersama yang lainnya.
"Kamu nggak pernah makan di kantin kantor?" tanyaku ketika mobil Andra memasuki sebuah restoran yang tak jauh dari kantor.
"Aku lumayan sering makan di sana juga."
"Lalu, kenapa kamu nggak mengajakku ke sana saja?"
"Aku takut kamu nggak nyaman. Di sana bukan hanya karyawan kita saja. Karyawan dari perusahaan lain juga ada."
"Ya ampun, Andra. Asal kamu tahu saja, aku malah sering makan di warung ankringan saat di Jogja. Kamu tahu ankringan? Ah! Untuk cucu sultan sepertimu dan Satria mana tahu."
"Jangan mengejekku. Aku tahu apa itu ankringan."
"Aku nggak percaya."
"Apa perlu aku buktikan?"
"Harus dong."
Kami berjalan beriringan memasuki restoran. Suasananya cukup nyaman dan tidak terlalu berisik juga. Aku yakin sih, tidak akan menemukan tempat senyaman ini di kantin. Kami berdua duduk di meja yang dekat dengan jendela restoran.
"Apa Bang Satria memperlakukanmu dengan baik?" tanya Andra setelah pelayan mencatat pesanan kami.
"Sejauh ini sih nggak ada yang aneh. Dia baik-baik saja. Aku yang malah kadang membuatnya kesal."
"Bagaimana bisa?"
Aku tersenyum geli mengingat pertama kali bertemu Satria.
"Kenapa tertawa ada yang lucu?"
Aku menggeleng. Tidak baik menceritakan hal yang bagi Satria memalukan bagi saudaranya itu. Dan saat ini aku melihatnya. Satria, dia memasuki restoran dengan seorang wanita. Mataku tanpa sadar terus mengamati.
"Kamu lihat apa?" Andra bertanya, pandangannya mengikuti arah mataku.
Mataku mengerjap beberapa kali. Apa yang bersama Satria itu pacarnya?
"Rea...."
Aku tidak pernah berpikir kalau Satria ternyata memiliki kekasih. Aku selalu berpikir Satria hanya lelaki yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan warisan kakeknya. Termasuk menikah denganku.
"Rea...."
Wanita itu cantik, kenapa dia tidak membawanya menemui kakek? Mungkin saja kakek mau menerima.
"Rea...."
Sebuah sentuhan di tanganku menyadarkanku. Aku mengerjap dan menatap Andra yang kini juga sedang menatapku.
"Ya?"
"Kamu baik-baik saja?"
Ada apa memangnya? Kenapa Andra bertanya seolah aku tidak dalam keadan baik-baik saja?
Aku mengangguk tak mengerti. "Iya, kenapa tiba-tiba kamu bertanya begitu?"
"Itu Bang Satria. Dia...."
"Nggak masalah, aku baik-baik aja kok."
Untungnya pelayan datang membawa pesanan kami. Jadi, kami menghentikan percakapan ini.
***
Aku sedang membaca berita daring di situs online pada ponselku. Mataku belum terlalu mengantuk. Setelah makan malam tadi aku memutuskan masuk kamar terlebih dulu.
Satria keluar dari walk in closet dengan pakaian yang sudah rapi. Dia mengenakan celana jins dan kaos berkerah. Sebuah jaket kulit tersampir di lengannya.
"Kamu mau kemana?" tanyaku ingin tahu. Padahal aku sudah bersiap tidur dengan piyamaku. Eh, maksudku ini kan sudah malam, jadi kenapa ia harus berpakaian rapi seperti itu?
"Aku ada janji dengan teman-temanku di kelab."
"Kelab? Tempat orang dugem itu maksudnya?"
"Iya."
"Aku ikut." Buru-buru aku beranjak dari tempat tidur.
"Nggak, Rea. Kamu di rumah saja. Sudah malam waktunya kamu tidur."
"Aku nggak mau. Aku belum mengantuk, Bang."
"Aku akan mendapat masalah kalau membawamu."
"Masalah apa? Usiaku sudah boleh untuk pergi ke tempat seperti itu kan?"
"Iya tapi--"
"Pokoknya aku ikut." Segera aku melsat mengganti bajuku. Aku mengganti dengan terusan selutut berwarna merah. Untuk menutupi bagian bahu yang terbuka, aku megenakan jaket kulit. Sepatu boots pendek menempel cantik pada kedua kakiku..
Aku sedikit berdandan ala-ala orang dewasa. Di tempat seperti itu bergaya agak sedikit mencolok aku tahu bisa mengundang hal yang buruk. Tapi peduli apa? Aku ingin tampil beda. Rambut aku biarkan tergerai.
Satria memandangku dari atas hingga ke bawah penampilanku. Bukannya memuji dia malah berdecak menyebalkan. "Kamu nggak usah ikut."
"Iih, Bang! Aku ingin ikut." Aku menggeret lengan Satria.
"Kamu pasti di sana ngerepotin!"
"Enggak! Aku janji. Ya Bang, boleh ya aku ikut." Jurus merengek aku keluarkan dengan tatapan memelas seperti kucing. Itu berhasil membuat Satria menghela napas pasrah.
"Baiklah."
"Yes!" Aku bersorak senang.
"Awas aja kalau sampe di sana bikin masalah."
"Tenang aja, Bang."
Aku hanya penasaran apa itu kelab malam. Apa benar seperti yang mereka bilang? Dan yang lebih membuatku penasaran adalah dancefloor dan DJ yang membuat irama musik jadi dahsyat. Yiha!