Saat ini aku sedang duduk menghadap jendela kamarku. Melihat banyaknya anak-anak yang baru saja melewati rumahku, bermain bersama teman-temannya yang lain.
Seandainya saja aku bisa seperti mereka, memiliki banyak teman. Traumaku dimasa lalu itu langsung teringat, membuatku menjadi takut untuk berbicara dengan orang asing.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Keseharianku tak ada yang berubah, seperti ini saja. Jika aku tidak ada kegiatan di Rumah bersama Ibuku, aku hanya bisa diam didalam kamar atau di halaman belakang untuk bermain sendiri.
Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan kesendirian, tidak suka menjadi pusat perhatian bahkan diajak berbicara pun rasanya lidahku sulit sekali untuk digerakkan. Bibirku terkatup rapat, sulit untuk terbuka.
Seketika aku menghela nafas, merasa bersalah pada Ibuku sendiri. Aku tahu bahwa Ibuku sering menangis karenaku, hanya saja Ibu pandai menyembunyikan kesedihannya padaku.
Andai saja Ibu tahu bahwa aku pun tersiksa jika terus seperti ini. Anak yang memiliki masalah dalam mental memang tak mudah untuk Ibuku hadapi seorang diri.
Entah kenapa aku saat ini tiba-tiba ingin menangis, air mataku keluar begitu saja dari mataku. Rasa sesak didada pun mulai terasa, dimana rasa itu setiap kali muncul kapan saja, entah itu karena kesepian, bosan, atau tidak memiliki teman. Itu adalah bagian dari rasa traumaku jika kembali muncul.
Bukan aku merasa ingin dikasihani, hanya saja inilah aku dengan traumaku. Jika kalian tidak bisa memahamiku, maka cukuplah kalian diam dan memperhatikanku dari jauh.
Aku yang seperti ini membuatku menjadi seorang yang senang menyendiri. Orang bilang aku adalah anak Introvert, tak senang dengan keramaian dan lebih menyukai kesendirian.
Terkadang aku tidak mengerti, mengapa Tuhan memberiku ujian seberat ini. Aku benci pada diriku sendiri yang sudah membuat Ibuku sedih.
Rasanya aku ingin pergi dari dunia ini, tetapi Ibuku akan jauh lebih bersedih jika aku meninggalkannya seorang diri. Ibu pasti merasa kesepian jika tinggal seorang diri disini.
"Ayah, seandainya Ayah tahu, banyak sekali kesulitan yang Ibu alami karena Via. Ayah juga pasti gak akan suka Via, karena Via selalu bikin Ibu sedih. Maafin Via, Yah."
Kembali air mataku menetes, aku benar-benar sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku benar-benar membenci diriku yang seperti ini.
Saat sedang menangis seperti ini, terdengar suara teriakan yang memanggil namaku dari luar kamar.
"Vivi," teriaknya. Itu suara Ibuku, aku terkejut dan langsung berlari menuju kamar mandi untuk membasuh mukaku. Aku tidak ingin Ibu tahu jika aku sedang menangis.
Aku membukakan pintu kamar dan terlihatlah sosok Ibuku yang sudah rapi dengan pakaiannya seperti akan bepergian.
"Iya, Bu. Ada apa?"
Bisa aku lihat bahwa Ibuku sedang menatapku intens membuatku gugup takut jika aku ketahuan sedang menangis.
"Mata kamu kok bengkak, Vi? Kamu habis nangis, ya?" Aku menggelengkan kepalanya dengan cepat menjawab, "Enggak kok, Bu. Via gapapa," Ujarku tersenyum.
Akhirnya aku bisa bernafas lega karena sepertinya Ibu percaya pada ucapanku.
Aku mengerutkan keningnya, "Ibu, rapi banget, mau kemana?" tanyaku sembari mataku melihat penampilannya dari atas sampai bawah.
Terkejut karena Ibu yang tiba-tiba saja terkekeh, kemudian tangan Ibuku membelai pipiku dengan lembut.
"Kamu lupa, Sayang. Kan, hari ini kita mau ke pasar beli keperluan Sekolah Vivi."
Seketika seluruh tubuhku mendadak bergetar hebat, ingatan dimasa lalu tiba-tiba terlintas dipikiranku kembali, keringat mulai bercucuran dari pelipisku.
Dengan susah payah aku berusaha menutupinya dihadapan Ibu. Biar bagaimana pun aku sudah berjanji akan berusaha melawan rasa takutku ini pada Ibuku.
"Oh, iya. Via lupa, Bu." Aku langsung masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian seadanya, karena mungkin ini adalah kali pertamaku pergi keluar bersama Ibuku setelah sekian lama aku hanya berdiam di Rumah.
"Udah?" tanya Ibu ketika melihatku kembali dengan pakaian yang berbeda. Aku pun mengangguk sebagai jawaban lalu tersenyum ketika melihat Ibuku tersenyum.
Saat ini aku tidak tahu berada dimana. Disini banyak sekali orang-orang yang memperlihatkan barang-barang seperti pakaian, sandal, sepatu. Bahkan jam dinding pun ada disini.
Aku mulai merasa takut ketika banyak orang yang melihat kearahku dengan tatapan seperti itu. Aku tidak tahu apa yang mereka lihat dariku, tetapi aku takut dari cara mereka menatapku. Bagaimana jika mereka adalah orang-orang jahat?
Tanpa pikir panjang aku langsung mengeratkan pegangan tanganku pada lengan Ibuku.
Saat ini aku benar-benar sedang ketakutan. Akhirnya aku dan Ibuku telah sampai disebuah toko yang dimana semua pakaian seragam sekolah bergantung.
Aku mendengar bisik-bisik orang yang berada disekitarku dengan menatapku intens. Tetapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
Tersadar, Ibuku menghilang dariku. Aku tidak tahu dimana aku sekarang, padahal baru saja tadi Ibuku ada didepan toko ini denganku. Tidak mungkin jika Ibu tega meninggalkanku, Ibu sangat menyayangiku.
Aku berputar melihat-lihat sekitarku, merasa semua orang yang ada disini melihat kearahku. Aku takut dan tidak ingin menjadi pusat perhatian seperti ini.
Aku langsung berjongkok dan memejamkan kedua mataku, tanganku tergerak untuk menutup kedua telingaku. Tubuhku bergetar hebat, keringat pun keluar bercucuran.
"T-takut... hiks, Ibu dimana? hiks."
Akhirnya aku menangis sembari menggelengkan kepala, tak lama aku mendengar ada seseorang yang mengajakku berbicara. Aku memberanikan diri membuka kedua mataku, pemandangan yang ku lihat saat ini adalah seorang laki-laki yang tengah menatapku.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya, "Hey, kamu kenapa?" tanya laki-laki itu yang kini juga ikut berjongkok dihadapanku.
Sejujurnya aku merasa takut terhadapnya, tetapi ketika melihat kesungguhan dari matanya, aku menjadi berani untuk menjawab pertanyaannya.
"A-aku... gapapa, kok," jawabku yang masih bertahan dalam posisi jongkok.
Saat ini bisa aku lihat perubahan raut wajah dinginnya mulai keluar. Laki-laki itu menyuruh semua orang yang ada disekitarku untuk sibuk kembali dengan aktivitasnya masing-masing.
"GAK ADA KERJAAN APA SELAIN NONTONIN ORANG," ujar laki-laki itu yang kemudian menatapku kembali sembari tersenyum dengan satu tangannya yang terjulur.
Aku yang tidak mengerti hanya diam saja, lalu aku melihatnya yang kini berdiri dihadapanku dan masih dengan sebelah tangannya yang terjulur padaku.
Dengan ragu aku pun memberikan tanganku pada tangannya dan ikut berdiri. Aku melihat ke sekelilingku dan tidak ada lagi yang menatapku seperti tadi.
Aku senang, akhirnya bisa bernafas dengan lega. Tetapi baru aku sadari jika tanganku dengan tangannya masih saling menggenggam.
Terkejut, aku langsung melepaskannya dan menundukkan kepalaku karena malu.
"M-maaf, aku gak bermaksud, kok," ujarku padanya. Bisa aku tebak bahwa laki-laki itu sedang terkekeh kearahku.
"Siapa nama kamu?" tanya laki-laki itu. Aku sedikit menggigit bibir bawahku, bingung harus menjawab atau tidak.
Laki-laki itu pun mengangguk tersenyum seperti mengerti aku yang terdiam tak menjawab pertanyaannya.
"Ok, gak masalah kok. Aku bisa ngerti, kamu pasti masih takut sama aku, karena aku orang asing. Iya, kan?"
Dengan gugup aku menganggukan kepalaku. Setelah itu aku bisa merasakan bahwa puncak kepalaku diusap-usap, ah bukan, diacak-acak olehnya.
Aku yang tak mengerti hanya tersenyum dengan kepala yang masih menunduk.
"Aku pergi dulu, ya. Semoga kita ketemu lagi, dah," ujar laki-laki itu yang kini pergi menjauhiku. Ketika laki-laki itu pergi, aku langsung mendongakkan kepalaku menatap kepergiannya itu sembari tersenyum.
Entah kenapa untuk pertama kalinya ada seseorang yang sabar memahamiku. Aku menjadi penasaran, siapa sosok laki-laki itu dan dari mana dia berasal.
"Vivi, siapa itu tadi?" tanya Ibu Via. Aku hanya menggelengkan kepalaku, kemudian aku langsung berhambur kedalam pelukannya tanpa rasa malu dengan tatapan orang-orang disekitarku.
"Ibu, dari mana aja? Via nyariin Ibu dari tadi."