Happy Reading
Tak berapa lama setelah Brian dan Imelda duduk di sebuah sofa di ruang tengah, Martin datang dengan tatapan penuh tanya. Pria itu langsung menghampiri pasangan calon pengantin yang sedang duduk berhadapan. "Apa yang membuatmu memanggilku tengah malam begini?" tanya Martin sambil mendudukkan dirinya di kursi sebelah Brian.
Brian menatap tajam wajah pria di sampingnya dengan sedikit kesal setelah mendengar perkataan Martin kepadanya. "Baru saja sebuah mobil mengikuti dan juga menembaki mobil yang membawa aku dan Imelda sepulang dari klinik," jelasnya dengan wajah yang sangat cemas. "Coba periksa kamera dasboard mobilku, aku ingin tahu siapa yang dengan sengaja ingin menyerang kami," lanjutnya lagi.
"Bodoh! Apa kamu tidak membawa bodyguard-mu?" seru Martin pada pria di sampingnya. "Kamu terlalu ceroboh! Jika Imelda terluka sedikit saja, kita semua akan mati," tegas pria yang terlihat geram mendengar kecerobohan yang Brian lakukan.
"Aku menyuruh beberapa bodyguard berjaga di klinik," sahut Brian tanpa menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.
Martin semakin kesal mendengar kebodohan Brian yang sama sekali tak bisa ditutupinya. "Bahkan nyawa Imelda jauh lebih berharga daripada seluruh nyawamu," kesalnya dengan tatapan dingin dan tanpa ekspresi apapun. Pria itu langsung menyuruh beberapa bodyguard untuk mengambil rekaman kamera dasboard di mobil Brian. Dia sangat tidak sabar untuk melihat musuh yang mana lagi yang sedang mencari masalah.
"Martin! Kamu tak perlu mengkhawatirkan diriku. Aku bisa menjaga diri, melebihi penjagaan yang kalian berikan," protes Imelda pada sang kaki tangan Adi Prayoga. Wanita itu sangat tidak suka ketika Martin menganggap dirinya seorang wanita lemah yang butuh perlindungan. "Aku bukan wanita lemah seperti yang kamu pikirkan!" tegasnya dengan senyuman sinis dan tatapan sedingin salju abadi.
Martin langsung melemparkan senyuman yang penuh arti. Dia tak menyangka jika Imelda bisa berpikir sesempit itu terhadap dirinya. "Aku tahu siapa dirimu, Imelda. Bahkan aku sangat tahu kemampuan menembak ataupun bertarung mu jauh lebih hebat dari pria bodoh di sebelahku ini." Martin menghela nafasnya sebentar, dia sedang berusaha menyusun kata-kata yang akan diucapkan pada wanita tangguh di depannya. "Tapi kondisi tubuhmu sangat berbeda kali ini. Kamu sedang mengandung penerus Mahendra dan juga Prayoga. Sedikit saja kamu terluka ... akan menjadikan bencana hebat bagi kami semua. Kamu sangat tahu betapa kerasnya Davin Mahendra dan juga Adi Prayoga. Mereka berdua bisa saja meledakkan kepalaku jika aku tak becus melindungimu," terang Martin dengan wajah cemas dan sangat serius. Pria itu sangat tahu seberapa berharganya Imelda Mahendra bagi kedua pria paling berpengaruh itu.
"Bagaimana kamu bisa sangat mengenalku, Martin?" Sebuah pertanyaan yang selama ini disimpan Imelda pada seorang pria yang foto dirinya tergantung di ruang kerjanya sang ayah. Wanita itu semakin penasaran dengan sosok pria yang terlihat begitu kuat dengan sebuah tatapan dingin yang sangat mengintimidasi dirinya.
Pria itu mencoba melebarkan sebuah senyuman di wajahnya. Martin tak mungkin menunjukkan sisi kejam dan juga mengerikan di balik ketampanan yang dimilikinya. "Seperti seorang Davin Mahendra yang mengenalku tanpa bertatap muka. Begitu juga aku mengenalmu tanpa harus berjumpa dengan wanita cantik yang sangat hebat dan juga terkenal sepertimu," ungkapnya dengan sebuah senyuman yang penuh arti dan begitu sulit untuk diterjemahkan. "Apa kamu mengerti maksud dari ucapanku, Imelda yang cantik?" tanyanya dengan sedikit rayuan yang terucap dari mulutnya.
"Hentikan kegilaanmu, Martin! Atau kamu ingin aku menghabisimu dengan tanganku sendiri?" ancam Brian pada seorang pria yang duduk di sebelahnya sambil terus menatap wajah cantik Imelda Mahendra.
Martin justru terkekeh mendengar ancaman Brian terhadapnya. Dia sangat tahu seberapa hebat kemampuan Brian Prayoga dalam bertarung. "Coba saja kalau kamu bisa," ejeknya pada pria di sampingnya. "Aku sangat mengenalmu, Brian. Dan aku sangat tahu ... di mana kamu bisa bertarung dengan sangat hebat?" sindirnya tanpa perasaan. "Tentu saja di atas ranjang," lanjutnya dengan senyuman meledek pria yang terlihat semakin kesal karena perkataannya itu.
"Hentikan, Martin!" teriak Brian pada tangan kanan ayahnya.
"Maaf, Imelda. Aku tidak bermaksud untuk .... " Belum juga Martin menjelaskan ucapannya, wanita itu sudah memberikan sebuah isyarat agar dia tak perlu melanjutkan penjelasannya.
Wanita itu langsung menatap Brian yang sedang duduk di samping Martin. Pada akhirnya Imelda harus mengatakan hal itu dalam keadaan sangat sadar dan sama sekali tidak mabuk. "Tanpa Martin mengatakan itu semua ... aku sudah tahu siapa kamu, Brian. Bahkan setiap kali aku mendatangi club malam, aku selalu melihatmu bersama dengan wanita yang berbeda," ucapnya dengan senyuman kecut menatap sang calon suami.
"Aku hanya meminta mereka untuk menemaniku sana," kilahnya dalam satu tarikan nafas.
"Aku tahu .... Kamu hanya meminta mereka untuk menemanimu di atas ranjang." Wanita itu menghentikan perkataannya dan langsung terkekeh menertawakan dirinya sendiri. Imelda tak pernah menyangka jika bisa terjebak dengan sosok playboy di depannya itu. "Aku hanya penasaran .... Dalam sehari, berapa kali kamu berganti wanita?" lanjutnya lagi dengan ekspresi yang terlihat sangat menyedihkan. Wanita itu lagi-lagi merasa semakin bingung dengan takdirnya. Terlibat cinta satu malam dengan seorang playboy. Dan yang lebih parahnya lagi, dia harus mengandung benih dari seorang pria yang sama sekali tak pernah dicintainya itu. Imelda hanya bisa pasrah untuk menerima nasib buruknya itu.
Beberapa saat kemudian, seorang bodyguard datang dengan membawa rekaman dashboard mobil Brian. Pria itu memberikan rekaman itu pada Martin lalu kembali berjaga di luar villa. Martin tersenyum penuh arti menatap memory card di tangannya sambil melirik pasangan yang duduk bersamanya. "Ayo kita lihat .... Siapa yang ingin bermain-main dengan kita?" Pria bangkit dari tempat duduknya menuju sebuah ruangan khusus byang berada di dalam villa itu.
Imelda mengikuti kedua pria itu, dia dibuat terbelalak dengan sebuah ruangan yang baru saja dimasukinya. "Apakah ini ruang kendali?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut seorang Imelda Mahendra. Wanita itu dapat melihat banyak layar monitor yang menunjukkan titik vital di seluruh sudut kota. Bahkan ada sebuah layar yang menunjukkan keadaan di klinik milik Kevin.
"Inilah yang biasa aku kerjakan, Imelda. Aku tak sehebat kamu dalam bertarung melawan musuh. Oleh karena itu aku lebih memilih banyak bekerja di belakang layar daripada harus menggunakan ketampanan ku ini untuk melawan musuh," jelas Martin dengan sangat percaya diri. Pria itu sebenarnya tak pernah merayu wanita manapun. Terlalu banyak wanita yang datang dan merayunya. Namun di hadapan Imelda semua berbeda, wanita itu terlalu tangguh dan sangat menantang untuk ditaklukkan. Martin menatap layar besar di hadapannya sambil memulai keahliannya menjadi seorang hacker yang cukup hebat. "Mereka adalah anggota mafia yang juga melakukan penyerangan terhadap Adi Prayoga. Bahkan mobil yang mereka pakai dimiliki oleh orang yang sama," jelas Martin dengan sangat yakin.