webnovel

Bagian XV ( Tidak Akan Sama Lagi )

Tiga bulan waktu yang dibutuhkan sampai akhirnya Salwa diizinkan meninggalkan rumah sakit. Kata dokter, meski dianggap telah membaik namun akan sulit untuk benar-benar sembuh. Tidak akan mudah untuk bisa kembali normal.

Salwa harus tetap mengkonsumsi obatnya meski tidak dalam dosis yang tinggi. Suatu ketika mungkin akan kembali melihat 'mereka' muncul. Tapi, selama masih dapat membedakan mana yang nyata dan tidak, bagian itu akan menjadi tahap penyembuhan.

Salwa juga harus rutin kontrol. Jika kondisinya semakin membaik, jadwal kontrolnya akan dikurangi.

Hal lain yang Salwa sadari tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya, bahwa sekarang Salwa memiliki catatan kesehatan sebagai pasien dengan gangguan jiwa. Riwayat kesehatan yang akan selamanya melekat pada dirinya. Yang akan menjadi seterotip.

Pandangan orang akan berbeda. Sesekali mereka akan membicarakannya di belakang. Sesekali menatap kasihan. Mungkin akan ada yang mulai menjaga jarak karena menganggap gangguan jiwa penyakit menular. Yang jelas, semuanya tidak akan pernah sama lagi.

Di hari lain yang sedikit berangin, Salwa berjalan-jalan seorang diri. Entah apa yang sedang dia cari.

Salwa sedang melewati sebuah kios buah ketika mendengar suara rintih seseorang menahan sakit. Terdengar lagi.

Salwa cekingukan mencari sumber suara dan melihat seorang wanita yang tengah hamil tua hendak menyeberang jalan. Wanita itu memegangi perutnya. Kantongan hitam yang berisi jeruk terlepas dari tangannya dan berhambur di jalan.

Dengan langkah cepat, Salwa mendekat. Dia meminta orang-orang untuk membantu. Orang-orang mulai berkerumun. Yang mengerti berada lebih dekat untuk memeriksa.

Tampaknya memang telah terjadi kontraksi seperti yang diduga oleh seorang wanita tengah baya. Anaknya akan segera lahir.

Calon ibu muda ini… Salwa mengenalnya. Mendadak sebuah perasaan menyusup begitu halus ke dalam hatinya.

Mereka tiba di rumah sakit 30 menit kemudian. Tidak tahu harus menghubungi siapa untuk memberi kabar pada pihak keluarga, membuat Salwa memilih tetap bertahan di rumah sakit sebagai wali. Mengurus pendaftaran dan beberapa hal lainnya.

Salwa mengenal wanita itu tidak berarti mengetahui semua hal sampai pada siapa keluarganya.

Yang Salwa tahu, sebelumnya wanita itu adalah salah satu dari sekian banyak korban kekerasan dalam rumah tangga. Untungnya, di saat terakhir bisa membebaskan diri dan anak dalam kandungan dari mahligai durjana yang telah memenjarakannya.

Suaminya masuk dalam bui karena hampir membunuh Salwa. Karena telah melakukan kekerasan. Salwa mengenal wanita itu dari Jun, salah satu Bakal Manusia yang tidak tampak.

Wanita itu, Putri adalah pasien Jun. Terlebih janin itu adalah tempat Jun kini memulai kehidupannya.

Dokter dan para perawat begitu sibuk dalam ruang bersalin. Terlihat dari tingkat kepanikannya, hal gawat sedang terjadi.

Tidak ada yang bisa Salwa lakukan. Hanya bait-bait doa yang terus-menerus diulang. Panjatan tulus dari lubuk terdalam.

30 menit, satu jam... Dokter keluar dan mengatakan beberapa hal pada Salwa dalam kalimat-kalimat medis.

Hal gawat memang sedang terjadi. Karena itulah Salwa sebagai wali diberitahu beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Bersiap dan bersabar. Salwa juga diminta untuk menguatkan pasien.

Salwa tidak tahu harus berkata apa atau menanggapi bagaimana. Dia merasa tidak memiliki hak apapun. Benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

Ibu!

Salwa tiba-tiba teringat keluarganya. Segera Salwa melepon Ibu dan menjelaskan keadaan dengan singkat dan mudah dimengerti. Jika Ibu, pasti tahu harus apa dan berkata bagaimana.

Salwa sadar tidak seharusnya dia melalui semuanya sendiri, seolah tidak memiliki siapapun. Ayah, Ibu, Daffa, bahkan Dian. Jika Salwa meminta bantuan, mereka pasti akan datang.

"Apakah anakku akan bertahan dan baik-baik saja?" Wanita itu bertanya ketika Salwa menemaninya. Suaranya parau dan putus-putus. Wajahnya pucat, kesakitan, dan tubuhnya lemah.

"Semuanya akan baik-baik saja," kata Salwa mencoba menghibur. Lebih tepatnya berharap.

Salwa tidak sepenuhnya mengerti bagaimana keadaan kandungan Putri, yang dia tahu sesuatu yang buruk memang sedang terjadi. Ayah dan Ibu sedang mengurus semuanya, berkonsultasi dengan dokter untuk segera mengambil tindakan terbaik bagi Ibu dan anak.

Ibu meminta Salwa untuk menemani dan mengajak Putri bicara. Jika kondisi perasaannya kacau atau tertekan, dampaknya juga akan buruk untuk janin.

Salwa berusaha meyakinkan Putri bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar, akan berakhir baik-baik saja. Putri harus kuat, karena dengan begitu janinnya akan memiliki kekuatan untuk bertahan.

Salwa melebarkan senyumnya dan mencoba mengatakan hal-hal yang terdengar manis.

"Malaikat kecilku, aku sungguh ingin melihatnya lahir ke dunia." Putri berkata.

"Pasti. Dia kuat, sangat kuat." Salwa mengangguk yakin, kemudian tersenyum mengenang.

'Setelah batas waktunya berakhir, Bakal Manusia harus menentukan pilihannya. Terlahir sebagai manusia, atau menghilang selamanya. Jika yang dipilih adalah bagian negatif maka anak yang seharusnya menjadi tempat rohnya berlabuh akan meninggal.'

Kalimat-kalimat itu kembali mengiang di telinga Salwa. Salwa mendengarnya seperti Jun yang sedang berbicara. Namun otaknya memberi respons berbeda. Memuat gambar isi blog yang Salwa tulis sekitar dua setengah tahun lalu. Sebuah cerita pendek mengenai makhluk bernama Bakal Manusia.

Beberapa hal menjadi semakin kabur meski Salwa telah menentukan pilihan. Hal-hal yang sebelumnya sangat dia yakini mulai menciptakan cabang baru yang terasa sama nyatanya. Salwa sering merasakannya dalam beberapa situasi tertentu. Seperti saat ini.

Meski seperti itu, Salwa telah mampu menguasai dirinya. Mampu memilah mana perasaan yang nyata atau mana pemikiran yang rasional. Salwa telah menerima banyak dokterin yang mereka sebut terapi selama di rumah sakit. Mencekoki dengan banyak obat hingga terlatih untuk mengendalian diri dengan baik.

Salwa tahu, dirinya bisa.

Salwa memulai hidup dan semuanya dari awal. Kembali ke kota kelahirannya. Dimana semua kenangan mengenai kehidupan masa lalunya tertinggal. Kehidupan normal sebelum kecelakaan terjadi.

Masa lalu dalam kepala Salwa masih tetap berupa puzzle. Susunanya masih saja berantakan dan tidak sempurna. Masih banyak kabut yang tinggal ketika Salwa berusaha mengintip ingatannya.

Alasan utama kembali ke tempat sebelumnya Salwa tinggal adalah untuk melengkapi puzzle ingatannya. Menyempurnakannya. Barang kali sebuah pemicu bisa dia temukan.

Awalnya kedua orang tua Salwa menentang keras. Apalagi kepergiannya hanya berselang enam bulan setelah meninggalkan rumah sakit. Artinya mental Salwa masih belum benar-benar stabil. Mereka masih khawatir.

Tentu saja. Setelah berulang kali berada dalam bahaya, masuk rumah sakit, dan hampir kehilangan nyawa, keluarga pasti masih trauma. Dengan alasan apapun tidak mudah meyakinkan orang tua Salwa.

Akhirnya Dian membantu memberikan penjelasan dan berjanji akan menjaga Salwa.

Pada akhirnya Salwa memang harus bisa mengambil kendali atas hidupnya. Bergantung dengan orang tua akan membuatnya terus menerus terlihat sakit. Salwa ingin mencoba berjalan di atas kakinya sendiri.

Salwa tinggal di rumah peninggalan orang tua Dian. Dian menjaganya. Memenuhi janjinya pada Ayah dan Ibu.

Cara Dian menjaga cukup ketat. Membuat Salwa sulit bernafas. Dibanding seorang kakak, Dian lebih berkarakter sebagai seorang ibu. Cerewet. Pengatur. Entah itu pengeluaran ataupun Salwa, Dian mengatur degalanya. Meski menyebalkan, Salwa tidak pernah merasa kesepian.

Beberapa kali saat keluar rumah, Salwa bertemu dengan beberapa orang yang menatapnya tidak asing. Mereka tidak menyapa atau tersenyum, hanya melihat saja dari jauh.

Sosok Salwa memang telah banyak berubah. Sifatnya, senyumnya, bahkan tatapan matanya. Hanya wajah dan suara yang masih sama. Hal-hal yang tidak sama lagi, membuat aura Salwa seolah ikut berubah.

Di bulan ketiga tinggal bersama Dian, Salwa mendapatkan pekerjaan di salah satu pusat bimbingan belajar.

Memiliki latar belakang pendidikan yang baik, pernah mengajar di salah satu sekolah menengah pertama, sebenarnya merupakan sebuah keunggulan, sayangnya semua itu kalah oleh riwayat kesehatan Salwa.

Gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang tabu. Meski kondisi Salwa sudah membaik dan tidak berbahaya, Salwa tetap terlihat seperti sel kanker yang harus diwaspadai.

Ayah, Ibu, dan Daffa sering berkunjung saat libur. Jika tidak bisa, Salwa dan Dian yang akan berkunjung jika hari libur mereka bersamaan.

Salwa merasa hidup kembali. Dia memegang kendali atas segala tindakannya, juga bisa melakukan semua hal yang sebelumnya terasa amat berat.

Hari ini Ayah, Ibu, dan Daffa tidak bisa datang karena tempat kerja Ayah mengadakan acara yang harus didatangi semua pegawai. Dian sudah pergi bekerja pagi-pagi sekali. Kini giliran Salwa menghabiskan waktu.

Selesai bersih-bersih, Salwa ke luar untuk berburu buku bacaan. Sudah lama Salwa tidak memanjakan kepalanya yang sudah bekerja keras. Sesekali dia perlu mengendurkan ketegangan syarafnya dengan menyelam ke dalam dunia fiksi.

Sejak menginjakkan kaki keluar rumah, Salwa telah memiliki firasat bahwa sesuatu akan terjadi. Bahwa hari ini tidak akan berjalan selancar hari-hari sebelumnya. Bukan karena sensitif, melainkan karena matanya menangkap sosok makhluk itu.

Seorang Bakal muncul dengan tatapannya yang khas. Tatapan yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Salwa bisa menahan diri hingga detik ini. Dia hanya perlu bertahan sebentar, pergi ke toko buku, memilih, dan pulang dengan aman. Hanya sebentar.

Bohong jika Salwa mengatakan sama sekali tidak lagi pernah melihat 'mereka'. Berpura-pura dan mengabaikan adalah cara tercepat untuk sembuh. Itu berhasil. Salwa telah keluar dari penjara paling menyiksa.

Mengakui keberadaan 'mereka' merupakan dosa, kegilaan yang dapat membuat akal sehatnya kembali tersisih. Membiarkan kehidupan normalnya kembali terengut. Artinya orang-orang di sekitarnya akan kembali bersedih, khawatir.

Tidak! Salwa tidak ingin tersiksa lagi.

Salwa membeli tiga buku dengan pengarang yang berbeda. Dua buku bergenre fantasi dan satu buku humor ringan.

Salwa telah menyelesaikan belanjaannya. Ketika pulang dan melewati jalan yang sama, makhluk itu masih berdiri di tempatnya.

"Mereka tidak ada. Mereka tidak nyata." Salwa mengulang-ulang kalimat itu dalam kepalanya. Mematangkan keputusan dan memantapkan hati untuk tidak goyah dan tidak luluh.

"Hatinya memberi isyarat, tapi dia angkuh dengan sikap acuhnya." Akai.

"Entah siapa yang tidak memiliki perasaan sebenarnya. Kami, atau kalian para manusia." Jun.

Satu persatu kalimat yang pernah Salwa dengar dari Bakal Manusia di teriakkan lagi ke telinganya. Begitu jelas. Bahkan lebih jelas dari saat dia mendengarnya pertama kali.

Salwa mulai terombang-ambing, gentar, penuh keraguan. Tembok pertahanan yang sudah dengan susah payah dibangun goyah.

Sebenarnya apa celanya di masa lalu, kenapa kehidupannya di masa kini begitu berat. Salwa tidak melukai orang lain meski mereka menganggapnya tidak normal. Tidak melecehkan, terlebih berbuat durjana.

Berulang kali Salwa memang mendorong dirinya dalam situasi tidak menguntungkan. Tapi itu adalah harga yang memang pantas untuk memperjuangkan kebenaran yang dia yakini.

Salwa tidak mengerti. Sama sekali tidak tahu apa yang salah.

"Kyaaaaaa...!!!"

Salwa tidak mampu lagi berlindung di balik tembok pertahanannya saat mendengar seseorang berteriak. Salwa putar arah, berlari menjauhi rumah.

Jarak dua bangunan dari rumah Dian, ada jalan setapak kecil memutar. Jalannya belum beraspal dan licin memasuki musim penghujan. Salwa terpeleset dan terjerembab. Terbentur sesuatu cukup keras.

Kening Salwa memar. Nyeri. Tidak ada waktu untuk mengaduh, asap mulai menggulung ke langit. Salwa beranjak dan mempercepat langkahnya.

*****

"Salwa!" Dian yang baru pulang memanggil.

Salwa tidak menyahut. Terlalu sibuk memotong-motong wortel hingga menjadi bagian yang kecil. Melihat Salwa di dapur, Dian mendatangi.

Lagi, Dian memanggil nama Salwa.

"Aku enggak apa-apa." Salwa berdusta.

Salwa masih memotong wortel, tidak memandang lawan bicaranga. Dian meletakkan tangannya di punggung Salwa, Salwa menggigit bibirnya yang bergetar. Kesedihan mulai mengambil alih.

"Aku benar-benar enggak apa-apa..." Kata Salwa kali ini diiringi isak.

Dian mengusap punggung Salwa dengan lembut dan air mata Salwa tumpah dengan deras. Tangisnya semakin pecah.

"Seharusnya aku bisa datang lebih cepat. Seharusnya aku enggak tinggal diam saat 'dia' muncul dengan tatapan itu. Seharusnya..."

"Sudah, sudah. Semuanya pasti baik-baik saja. Kebakaran sudah dipadamkan, dokter juga sudah turun tangan." Dian berusaha menghibur.

Kebakaran yang terjadi bukan sebuah ketidak sengajaan. Seorang pemuda memaksa kekasihnya bunuh diri bersama dengan membakar rumah. Memang tidak sampai jatuh korban, tapi keduanya mengalami luka bakar serius. Terutama di pihak wanita.

Dian memberi segelas air dan langsung ludes Salwa teguk. Dian tidak bertanya mengenai ini dan itu atau hal lainnya. Salwa sangat terbantu dengan pengertian yang Dian berikan.

Tapi... Salwa merasa telah melanggar janji yang diucapkannya di rumah sakit. Salwa tidak ingin berbohong, tidak ingin menyembunyikan apapun.

"Sebenarnya..."

"Enggak apa-apa, aku mengerti." Dian memotong.

Wajah Dian tertunduk jadi Salwa tidak dapat menangkap reaksinya saat berbicara.

"Lagi pula berkat Salwa mereka masih bisa diselamatkan." Dian mengangkat pandangannya, "Yang terburuk bukan rasa sakit, tapi kematian karena kita enggak lagi memiliki kesempatan memulai apapun" dan tersenyum.

Tidak ada pertanyaan, tidak ada sesi interogasi. Dian yang lebih menerima membuat Salwa lega. Perasaan terbebani yang dipikul sekian lamanya tiba-tiba berkurang dalam jumlah banyak.

"Terimakasih," ucap Salwa dalam hati.

Dian tersenyum lagi seolah bisa mendengar apa yang tidak Salwa ucapkan.

*****

Bab berikutnya