webnovel

Bagian II ( Aku : Bakal Manusia )

Salwa Latifa, 24 tahun. Tinggi 163 cm, warna kulit sawo matang. Aku pulang ke rumah setelah seminggu menjalani masa pemulihan di rumah sakit.

Rumah, tempat yang seharusnya aku bisa merasa akrab dengan keadaannya justru terasa asing. Bukankah tempat pulang seharusnya menjadi tempat yang paling nyaman, tapi kenapa menjadi tempat yang paling kosong. Bahkan di dalam kamar di mana singasanaku yang sebenarnya berada, tetap tidak kutemukan sebuah rasa yang aku inginkan.

Aku berada di sebuah ruangan yang didominasi warna biru. Ruangan pribadiku, singasanaku, kamarku. Aku duduk di atas kasur yang terlalu luas untuk kutempati seorang diri. Seprainya baru, aroma dan kekakuannya, satu pasang dengan sarung bantal dan guling. Satu set meja belajar menjadi salah satu pengisi untuk menutupi bagian-bagian kosong dalam ruangan. Rapi. Buku-buku disusun berdasarkan jenisnya. Komik, novel-novel misteri, buku ilmu pengetahuan, dan sebuah majalah.

Sebuah foto keluarga berdiri tegak dengan penopangnya. Aku, Ayah, Ibu, dan adik laki-lakiku. Ada juga tiga foto yang digantung di dinding. Dua di antaranya foto seorang diri, sementara satu fotoku bersama Daffa dengan pemandangan pantai. Tawaku selalu sangat lebar dan senyum yang sumringah. Bersemangat, ceria. Aku membaca karakterku sendiri yang kulihat dalam foto-foto yang kini telah memenuhi kedua tanganku.

Aku berbalik, menatap ke arah cermin yang menjadi satu dengan lemari pakaian. Aku amati gambaran diriku yang direfleksikan. Wanita berambut sebahu yang terlihat semangat dan ceria telah berubah menjadi wanita muram dengan membentuk mata datar. Rambut yang tumbuh lebih panjang menjadi pertanda begitu banyaknya perubahan yang telah terjadi selama setahun berlalu.

Aku mencoba tersenyum, selebar senyumku dalam foto. Meski dari orang yang sama, senyum yang kulihat di cermin justru terlihat aneh. Terlalu buruk untuk disebut senyuman. Sangat berbeda.

Ke mana perginya diriku yang satu lagi?

Aku meletakkan keempat foto yang ada di tanganku ke atas ranjang. Aku beralih membuka lemari pakaian, berharap menemukan sesuatu. Apa saja yang bisa membuatku merasakan sesuatu.

Aroma kamper segar menjadi hal pertama yang kutemukan. Aku memang merasakan aromanya, tapi bukan hal seperti ini yang ingin aku temukan. Aku berharap bisa menemuka sesuatu yang familier. Perasaan yang melekat kuat.

-Tok, tok, tok-

Buku muncul setelah pintu kamar terbuka. "Sayang, ayo makan dulu!"

Aku mengangguk dan pintu kamar kembali tertutup. Aku meleletkkan foto-foto yang aku ambil kembali ke tempatnya, ke luar kamar, dan ikut makan bersama.

Semua orang telah duduk di tempatnya. Mengelilingi meja makan yang berbentuk bulat besar. Diam-diam aku memperhatikan setiap ruangan yang tetap saja terasa asing. Ada sebuah akuarium yang ditaruh di atas meja samping dinding, perbatasan antara ruang makan dan ruang tamu. Semua tempat terlihat rapi sepanjang mataku mengamati. Buku ini benar-benar hebat karena bisa mengurus segala hal meski cukup untuk bekerja.

"Bagaimana rasanya pulang ke rumah?"

Ayah bertanya sementara Ibu mengambilkan nasi untukku. Adik laki-lakiku yang berusia 13 tahun memainkan PSP ditangannya, sambil menunggu giliran mengambil nasi.

"Rasanya…"

Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab, jadi membiarkan kalimatku menggantung sambil mengangkat ke dua bahuku secara bersamaan. Mungkin kata 'aneh' bisa sedikit menggambarkan apa yang saya rasakan, tapi aku tidak ingin membuat orang tuaku khawatir. Mereka pasti sudah banyak kerepotan selama ini.

Ayah dan Ibu saling bertukar pandangan. Sepertinya aku tetap membuat mereka khawatir. Adikku masih fokus pada permainannya, tidak masuk ke dalam pembicaraan.

"Enggak apa-apa." Ayah memaklumi. "Nanti juga terbiasa." Ibu ikut tersenyum.

Kalimat Ayah membuat rasa penyesalanku berkurang.

Tidak ada yang berbicara selama waktu makan berlangsung. Hening, hanya sesekali saja terdengar bunyi ting, ketika sendok dan piring saling berbenturan. Sebenarnya ada banyak sekali yang ingin kutanyakan, hanya saja aku tidak tahu harus memulai dari mana. Ruang bernama otak dalam kepalaku telah diformat ulang. Rasanya benar-benar kosong. Kosong yang begitu dalam karena nyaris mengusai seluruh tubuhku.

Setelah selesai makan siang, aku hanya mengurung diri seharian di kamar. Berbaring, berdiri, dan duduk. Aku sedang mencari perasaanku. Membuka-membuka semua buku yang ada di rak dan membaca isinya. Bukan hanya perasaanku saja yang merasakan semua ini asing, aroma seluruh ruangan juga terasa baru. Termasuk buku-buku yang saat ini kuhambur di meja. Aku tidak mengerti kenapa rasanya seperti ini.

Tidak bisa menemukan apa pun yang kuinginkan benar-benar mengecewakan. Apa saat seseorang lupa ingatan, ia jadi tidak mengenal apapun bahkan sesuatu yang sangat disukainya. Atau rumah yang selama ini ditinggalinya. Atau aroma kamar yang seharusnya sama seperti aroma tubuhnya.

"Bu, aku mau jalan-jalan sebentar," kataku meminta izin.

"Mau Ibu temani?" Ibu menawari.

Aku melirik ke arah meja. Ada laptop dan lembar-lembar kertas. Ibu terlihat sibuk dengan pekerjaannya meski sedang hari libur. Ayah sendiri sedang pergi entah kemana, begitu juga dengan Daffa, adikku. Aku menggeleng.

"Enggak jauh-jauh kok. Sebentar saja,"

sahutku.

"Kalau begitu hati-hati. Cepat pulang. Salwa masih belum pulih sepenuhnya." Ibu berpesan.

Aku hanya mengangguk kemudian meninggalkan rumah.

Aku tinggal di kawasan perumahan. Ibuku bekerja sebagai wakil kepala sekolah Menengah Pertama. Sementara Ayahku menjalankan perusahaan pribadinya yang bergerak dibidang mekanikal elektrikal listrik. Dengan kedua orang tua pekerja, saya tinggal dalam keluarga dalam kategori ekonomi mapan. Tumbuh dalam keluarga yang sempurna, aku pasti seorang anak yang sangat bahagia. Mampu begitu tersenyum lebar dan memiliki banyak teman. Mungkin sebelumnya aku adalah seorang putri yang manja, atau sebaliknya. Wanita yang kuat dan mandiri.

Matahari sangat terik hari ini. Aku menggunakan tudung kepala sweter untuk menghindari sengatannya. Jalan-jalan sangat ramai. Motor dan mobil lalu lalang tidak memberi jeda. Semua orang pasti sangat menikmati hari libur mereka. Menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang disukai. Jalan-jalan atau berkumpul bersama. Semuanya menjadi sangat menyenangkan jika dilakukan bersama orang-orang tercinta.

Kakiku berhenti melangkah di sebuah kedai kopi. Aku ingin masuk, namun dengan cepat ingat bahwa aku tidak membawa uang serupiah pun. Aku berhenti melangkah dan meraba saku celanaku.

Benar, tidak ada selembar pun uang yang terselip. Ketika aku hendak berbalik dan pergi, aku melihat seorang anak perempuan berambut pendek berdiri di depan pintu masuk kafe. Anak itu hanya diam saja di sana sementara dari dalam seorang pelanggan akan keluar. Pelanggan wanita itu tidak melihat ke arah pintu karena sibuk berbicara dengan seseorang teman atau pasangannya yang sedang membayar pesanan di kasir. Kalau tidak hati-hati…

"Awas!" seruku sambil mengambil anak perempuan itu menjauh dari pintu.

"Kakak kenapa?" Anak itu bertanya padaku dengan wajah polos, tidak mengerti.

Aku terdiam sesaat, tidak langsung menjawab. Mencoba memahami situasi. Tanganku masih menggandeng tangan gadis kecil itu. Beberapa orang juga menatap ke arahku dengan terheran-heran. Seseorang yang sedang membayar di kasir, petugas kasir, dan beberapa orang yang berada di parkiran. Aku menjadi pusat perhatian. Aku balik memperhatikan wajah mereka. Mereka sedang bertanya-tanya, merasa aneh.

Aku beralih pada wanita yang berdiri di depanku. Pelanggan wanita tadi. Wanita itu sudah keluar dari kafe. Dia telah keluar. Keluar tanpa membuka pintu. Dia benar-benar ke luar tanpa membuka pintu!

Seluruh persendianku tiba-tiba saja melemas. Gengamanku terlepas dari tangan gadis kecil berambut pendek yang masih menatap penuh tanya. Pijakanku goyah. Aku hampir saja terjatuh, dan aku dapat dengan cepat menemukan pegangan. Wanita yang mengenakan rompi panjang itu memandangku. Wajahnya juga terheran-heran, sama seperti ekspresi semua orang yang melihatnya. Bukan mereka atau bukan wanita di depanku ini yang seharusnya menunjukkan ekspresi tidak mengerti seperti itu, tapi aku. Aku!

"Rumia ada apa?"

"Tidak tahu."

Gadis kecil itu menggeleng.

Pria yang tadi berada di kasir telah berpindah tempat. Ia keluar melalui pintu dan aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia membuka pintu kaca dan keluar. Pria itu menatap dan menatap wanita di depanku beberapa saat kemudian mengalihkan perhatiannya.

"Apa dia benar-benar bisa melihatku?" Wanita itu berbicara.

Untuk pertama kalinya setelah beberapa saat akhirnya aku mendengar suaranya. Akhirnya dia berbicara. Wanita itu menatap ke arah temannya. Namun seolah tidak melihat atau mendengar apapun, pria itu tak peduli. Ia hanya berbicara pada gadis kecilnya.

"Tidak hanya melihat, dia juga bisa mendengar suaraku. Bukankah ini aneh?" Wanita itu berbicara lagi.

Pria itu kali ini berpura-pura tidak melihat atau mendengar apa yang aku dengar. Dia tidak menanggapi.

Aneh? Jadi hanya aku yang bisa melihat dan mendengarkan? Jadi seharusnya aku tidak bisa melihat dan mendengarkan?

Aku celingukan ke sana ke mari. Bukan aku seharusnya yang disebut aneh tapi dirinya sendiri. Aneh karena bisa keluar dari dalam ruangan tanpa membuka pintu. Anehnya karena aku bisa melihat dan mendengar suara sementara orang-orang lain di sekitarku tidak. Aneh karena mengucapkan kata-kata yang tidak masuk akal.

"Kamu ini... apa?" tanyaku datar. Lekat menatap wujudnya.

Orang-orang masih memperhatikanku karena rasa penasaran mereka. Sesekali tak acuh, sesekali melirik. Mungkin mereka mengira aku sedang berbicara dengan angin. Tapi aku, mataku, telingaku, dengan jelas bisa mendeteksi bagaimana rupa wanita ini. Bagaimana caranya.

Wanita itu berwajah tirus, tulang pipinya tinggi, rambut terurai lurus-panjang, hidungnya mancung, bibir merah tanpa polesan, juga tinggi badannya yang semampai melebihiku. Warna pakaiannya, celana jeans yang ia gunakan. Bahkan telingaku juga bisa menangkap dengan suara jelas yang lembut, dengan penekanan kata yang tepat tanpa dialek.

"Maaf Mbak sudah merepotkan." Pria itu berbicara padaku, membuat pandanganku teralihkan. Ia berhenti, celingukan, dan berbicara lagi padaku. "Terima kasih sudah menjaga adik kecilku."

Aku ingin menjawab, namun pria itu hanya mengangguk. Ia seperti mengerti kalimat apa yang belum ke luar dari mulutku. Sepertinya sedang berusaha membuat semua hal terlihat baik-baik saja. Pria ini berbicara padaku dengan normal, membuatku berhenti menarik perhatian beberapa orang yang masih diam-diam melirik ke arahku, yang diam-diam masih ingin tahu.

*****

"Apa Kakak tidak akan pernah mengunjungiku lagi?" Gadis kecil itu menatap pria bernama Yusuf penuh harap.

Untuk mendapatkan penjelasan mengenai apa yang aku dan Yusuf lihat sementara orang lain tidak, aku ikut mengantar Rumia –nama gadis kecil itu– pulang. Wanita yang bernama Jun –yang tidak terlihat oleh orang lain– juga ada bersama kami. Aku melirik ke arah Jun yang hanya berjongkok di jarak yang tidak jauh dari tempatku saat ini berdiri.

"Kakak, 'kan sudah bilang harus pergi ke suatu tempat. Nanti kalau Rumia sudah besar, mungkin kita bisa bertemu lagi." Yusuf menjawab sambil mengelus dengan lembut kepala Rumia.

"Jadi? Kalau begitu aku akan makan yang banyak biar cepat besar."

"Juga tetap jadi anak yang baik."

"Hm." Rumia menyanggupi dengan mengangguk mantap.

"Jangan cengeng!"

"Hm."

"Jangan terluka!" Kali ini kalimat Yusuf terdengar lebih dalam.

Sepertinya mengerti artinya, Rumia lagi-lagi menyangupi sambil mengangguk mantap.

"Bagus!" Yusuf tersenyum dan memeluk Rumia. Salam perpisahan terakhir bagi keduanya.

Seorang wanita berseragam datang membuka pintu pagar. Rumia berjalan menjauh sembari melambaikan tangannya.

"Apa tempat tujuanmu begitu jauh?"

Aku bertanya setelah Rumia masuk ke rumah bersama wanita yang mungkin saja merupakan walinya. Bukan rumah yang sama dimana tempat Ayah dan Ibu berkumpul, tapi rumah karena tempat itulah satu-satunya tempat dia bisa pulang. Sebuah panti.

"Seharusnya bukan hal seperti ini yang kamu tanyakan." Yusuf menolak menjawab pertanyaanku. Sepertinya dia tidak suka orang tidak dikenal ikut campur urusannya. Kami berjalan beriringan ke tempat Jun masih berjongkok menunggu.

"Aku tahu," kataku "Tapi selain dia itu apa, aku enggak tahu bagaimana lagi harus bertanya."

Jun berdiri di depanku, tatapan kami bertemu. Seperti aku, dia juga mungkin ingin bertanya padaku ini sebenarnya apa, kenapa aku bisa melihatnya sementara orang lain tidak. Kenapa aku bisa mendengar suaranya tapi orang lain tidak.

"Bukan dia, tapi kalian." Yusuf kini berdiri di samping Jun. "Kamu tidak heran kenapa aku juga bisa melihat dia?"

Benar! Seharusnya aku juga bertanya. Seharusnya aku juga heran. Kenapa hanya aku dan Yusuf yang bisa melihatnya. Aku membayangkannya. Berpikir. Menatap kedua makhluk di depanku secara bergantian.

Matahari yang semula terik mulai meredupkan sengatnya yang membakar. Langit memang masih terang, tapi panasnya sudah berkurang sejauh apa yang bisa aku rasakan. Jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku menunjukkan angka 15.37.

Kami beralih ke sebuah tempat yang aku tidak tahu dimana. Yang ada hanya tanah lapang, seperti lapangan bermain. Bersama dengan seseorang, sesuatu, atau apapun itu yang tidak kukenal. Bersama keduanya seharusnya membuatku merasa was-was, takut, atau paling tidak aku harus waspada, tapi tidak. Aku seperti mengenal mereka meski tidak tahu mahkluk jenis apa mereka. Aku seperti mempercayai mereka dan yakin tidak akan ada hal buruk yang menimpaku.

"Apa ini? Kamu memanggil mereka?" Yusuf berkata pada Jun. Entah apa yang dimaksud dengan kata 'mereka.'

"Ini langka, keajaiban alam. Jadi tidak apa-apa, 'kan." Jun mengangkat jari telunjuk dan tengahnya sehingga membentuk V sambil menampilkan barisan gigi yang putih bersih.

'Apa itu senyum?' Aku membatin.

"Dia?"

Sebuah suara tertangkap pendengaranku. Aku menoleh ke sisi kiri. Nafasku seolah berhenti sesaat. Aku melangkah mundur perlahan. Aku melihat segumpal uap. Kini ada dimana-mana. Kanan, kiri. Jumlahnya, ada lima. Ah, tidak! Ada dua lagi di samping Jun. Bertambah lagi.

Apa ini?!

"Zeis, kamu tahu?" Jun bertanya.

"Bukan." Suara yang berasal dari segumpal uap itu menggeleng. Setelah terbentuknya kepala, tubuhnya juga ikut terbentuk secara perlahan. Leher, badan, tangan, terus membentuk tubuh. "Dia pasien Aaron."

Pasien?

Setelah sempurna membentuk tubuh, sesuatu di dalamnya juga menunjukkan bentuknya. Hanya mereka berdua. Sementara uap-uap yang lain tetap hanya menjadi uap. Beberapa bahkan menghilang seperti tertiup angin, kemudian kembali lagi. Menghilang dan kembali lagi, sampai beberapa kali.

"Dia sempat melihatku dan Zeis saat pertama kali bangun dari komanya." Yang di panggil Aaron menimpali.

"Koma?" Aku dan Jun menggulang secara bersamaan.

Koma? Ah, aku ingat. Dua orang yang samar-samar kulihat saat di rumah sakit. Yang tiba-tiba menghilang setelah perawat dan dokter datang. Awalnya mengira itu hanya mimpi, jadi aku tidak terlalu berasumsi, sampai hari ini. Ternyata mereka benar-benar ada. Nyata.

"Aku akan menjelaskannya." Jun menawarkan. Mungkin karena dia melihat kedua alisku sudah menyatu dan wajahku berubah tegang. "Tapi sebelum itu bolehkan aku menyentuhmu? Jangan salah paham, aku hanya ingin tahu kamu ini apa," tambah cepat.

"Apa?!" Tidak masuk akal. Harusnya kalimat itu di tujukan untuknya. Aku menghela nafas.

Rasanya agak aneh, tapi aku membiarkan Jun menyentuhku. Meyakinkannya bahwa aku makhluk hidup yang juga nyata. Bahwa aku manusia. Perlahan telunjuk Jun mendekati wajahku. Jantungku dag-dig-dug seolah aku sendiri tidak yakin aku ini apa.

Bodoh!

Hening. Yusuf, Zeis, dan Aaron tidak lagi bersuara, dan… tuk. Jari Jun pun akhirnya mengenai pipiku. Aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang hangat. Sekali, dua kali. Jun menyentuhku lagi. Yakin bisa menyentuhku, Jun mengendus.

"Ck, kalian ini kenapa? Seharusnya, 'kan aku yang melakukan hal seperti itu. Sudah jelas-jelas aku manusia." Aku merasa konyol. Terlebih lagi karena aku pun ikut merasa tegang.

"Manusia? Mana ada manusia seperti itu." Zeis menimpali.

"Seperti apa?" Aku bertanya tidak mengerti.

"Meragukan dirinya sendiri. Dan… tatapanmu." Yusuf menyambung.

"Kenapa?"

"Kadang terlihat kosong." Jun menjawab.

"Benar-benar kosong." Zeis tekanan.

Aku hanya diam tidak menanggapi. Melihat diriku sendiri yang tersenyum lebar dalam foto dan membandingkannya dengan yang saat ini sebenarnya membuatku juga tidak percaya. Jika hanya kehilangan ingatan, kenapa kepribadianku juga ikut hilang. Aku yang penuh semangat dan ceria berubah menjadi aku seperti saat ini. Muram.

Aku sebenarnya kehilangan ingatan atau kehilangan diriku sendiri, sih!

Jun mulai mengambil alih sebagai cerita, seperti yang ia tawarkan sebelumnya. Dari kalimat pertama Jun menyebut kata 'sesama'. Di kalimat kedua ia menyebut kata 'Bakal Manusia.' Jun bercerita dengan kalimat yang padat dan dengan mudahnya aku bisa menangkap dan mencerna semua itu, meski tidak satu pun yang bisa diukur dengan logika. Aku menerima ceritanya tanpa banyak tanya. Aku tidak menyela atau mengganggu. Aku mendengar dan menyimak kata demi kata yang diucapkan dengan khidmat.

Bakal manusia adalah mahkluk sebelum manusia. Semua Bakal Manusia menyebut diri mereka Sesama. Ada yang tampak dan hidup sebagai manusia, dan ada juga orang awam yang mungkin mengenalnya dengan istilah hantu. Meski tidak seperti hantu yang ada dalam imajinasi orang-orang. Mereka hanya berupa uap. Meski pun memiliki bentuk, orang normal tidak akan bisa melihat atau mendengar mereka. Memiliki kemampuan berteleportasi.

Bakal Manusia hidup sampai batas waktunya. Selama batas waktu itu mereka berada di antara para manusia. Mengamati dan memperhatikan kehidupan yang berlangsung di sekitarnya. Akan lebih sering berada di sekitar satu atau lebih manusia yang menjadi pasiennya.

Pasien adalah sebutan untuk target yang mereka pilih karena memiliki ketertarikan khusus terhadap jalan kehidupannya.

Seperti diary mereka adalah tempat tersimpanya segala hal yang manusia alami. Entah itu bagian yang mengerikan, mengerikan, atau hal-hal menggugah. Hal-hal bodoh sampai yang menjijikan. Mereka tidak melibatkan hati dalam segala hal yang mereka jalani. Karena organ yang sering dipersamakan dengan perasaan itu adalah sesuatu yang terkunci. Tidak berfungsi.

Setelah batas waktu berakhir Bakal Manusia akan menjelma menjadi roh dan masuk ke janin bayi yang berumur 40 hari. Memilih hidup atau berakhir. Pilihan yang diberikan tidak selalu positif menjadi manusia. Segala hal tidak dapat diprediksi sehingga pilihan negatif terkadang juga diambil.

Setelah Bakal Manusia menghilang, –entah itu karena memilih hidup atau menghilang selamanya– ingatan manusia yang mengenalnya lambat laun juga akan terhapus. Mereka sangat mudah dilupakan dan sama sekali tidak mampu menarik perhatian lebih meski penampilan dan wajah mereka mumpuni untuk dikagumi.

"Tidak ada yang bisa membedakan antara Bakal atau manusia saat membaur dan hidup bersama, kecuali…."

Aku menunggu.

"Aroma. Setiap manusia memiliki aroma tubuh yang berbeda selain aroma yang berasal dari darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Bakal Manusia tidak. Bahkan saat kamu menyemprotkan parfum terwangi sekalipun, aroma itu akan hilang. Tidak berjejak."

Penjelasan terakhir Jun mengantarkan langkahku memasuki halaman rumah.

"Penghuni baru ya, Mbak."

Seorang tetangga menyapaku yang baru menutup pintu pagar. Seorang Ibu rumah tangga. Ia sedang menyiram tanaman yang memenuhi pekarangan rumahnya.

"Maaf?"

"Oh, anaknya Bu Mira yang baru pulang dari rumah sakit ya?" Si Ibu meralat kalimatnya. "Maaf, saya kira tetangga baru."

"Kak!" Suara Daffa mengalihkan perhatianku. "Kakak darimana? Ayah, Ibu khawatir, tuh!" tambahnya. Memintaku cepat masuk ke rumah.

Benar saja. Ibu cemas bukan main. Ayah bahkan mencariku ke sekeliling kompleks. Daffa baru saja hendak ikut mencariku karena berpikir mungkin saja aku tersesat atau terjadi sesuatu yang buruk. Ibu yang melihatku segera memasuki rumah dan memanjatkan syukur.

Aku meminta maaf, lalu Ibu memelukku. Sepertinya aku harus lebih memahami bagaimana perasaan orang tua yang anaknya baru bangun setelah koma selama setahun agar bisa lebih menjaga perasaan mereka. Lagi-lagi aku membuat khawatir.

Ayah pulang setelah mendapat kabar dari Daffa bahwa aku sudah berada di rumah. Sesampainya di rumah, Ayah langsung menemuiku. Bukan untuk mengomel atau memarahiku, Ayah justru memberiku sesuatu. Ponsel. Baru. Ayah bilang akan lebih mudah menghubungiku jika terlambat pulang, atau jika aku tidak tahu jalan pulang. Ayah bilang jika aku menghubunginya, Ayah pasti akan langsung datang menjemputku.

Aku sangat tersentuh. Tapi terasa aneh karena semua orang seolah memperlakukanku seperti aku baru pertama kali berada di rumahku sendiri, berada di lingkungan ini. Ataukah aku yang terlalu sensitif. Reaksi mereka sebenarnya normal. Sama seperti semua orang tua yang telah kehilangan anak mereka selama setahun karena koma.

Aku membuka ponsel memberikan Ayah. Ponsel Android. Warna putih dan benar-benar baru dibuka dari bungkusnya. Aku memeriksa kontak telepon. Hanya ada tiga nomor yang tersimpan, kecuali nomor darurat dan operator. Ayah, Ibu, dan Daffa. Kata Ayah ponsel lamaku rusak karena kecelakaan yang kualami. Sudah tidak terselamatkan lagi. Jadi diganti dengan yang baru.

Aku berterima kasih dan Ayah meninggalku sendiri di kamar. Aku memperhatikan wajahku yang berada dalam bingkai yang menggantung di dinding. Lagi.

"Kamu siapa?" Tanyaku datar pada wajah dalam foto itu. "Aku siapa?"

Aku beralih menatap diriku yang berada di dalam cermin. Menyanyakan hal yang sama. Aku yang duduk di bangku meja belajar. Aku yang sama sekali tidak menyunggingkan senyum atau wajah antusias yang berseri-seri. Aku yang muram dengan binar-binar mata yang redup. Dengan bibir pucat.

Aku menunggu, berharap ada jawaban yang bisikkan ke telingaku. Tapi nihil. Sekelilingku kosong. Hanya ada aku, satu-satunya makhluk hidup yang terlihat menghuni ruangan ini.

Yang menghuni kamarku.

Bakal Manusia, kenapa aku bisa melihat mereka?

*****

Bab berikutnya