webnovel

66. Terpecah belah

Desi menatap berkas perceraiannya dengan nanar. Sudah lama sejak pengajuan perceraiannya dengan Arya, suaminya. Perceraian ini belum menemukan titik terang sama sekali.

Sering kali Lily atau Aster berkata ingin menemaninya paling tidak disalah satu sidang. Namun Desi menolaknya dengan tegas. Desi tidak tega membiarkan kedua anak itu menghadapi hal semengerikan ini.

Desi tidak tega membiarkan kedua anaknya melihat kedua orang tuanya bersitegang di meja hijau. Sedangkan pengacaranya meminta kedua anaknya bersaksi atas kelakuan keji yang telah ayah mereka lakukan pada mereka. Desi tidak bisa biarkan itu, bagaimanapun Arya tetap ayah mereka walaupun hubungannya dan Arya akan berakhir.

Entah apa yang Arya fikirkan hingga memperebutkan hak asuh kedua anaknya setelah melukai mereka seperti itu. Mungkinkah Arya ingin melakukannya karena rasa bersalah? Atau mungkin untuk membuat Desi hidup tanpa kedua anaknya?

Tega sekali dia.

"Saya memiliki berkas yang membuktikan bahwa anak pertama saya hidup menderita dengan ibunya." Ucapan Arya kepada hakim itu menyadarkan Desi dari lamunan panjangnya.

"Apa maksudnya? Tolong bawa berkas itu kemari." Desi menghela nafas saat melihat Arya yang menyerahkan sebuah berkas pada hakim sidang. Desi lelah bertarung, tapi bila suudah mneyangkut anaknya Desi tidak bisa menyerah begitu saja.

Keadaan hening sesaat, ketika hakim membaca berkas yang diberikan Arya.

*

Hakim memutuskan penundaan sidang perceraian karena menemukan fakta baru yang mengatakan bahwa Lily pergi ke psikiater. Desi tak mempercayai ini, ia kira Lily hanya asal bicara malam itu tapi nyatanya Lily benar-benar pergi ke psikiater.

Apa trauma anak itu kembali lagi? Yang Desi tak habis fikir adalah anaknya yang ternyata menyembunyikan fakta itu.

Desi merasa bersalah pada kedua anaknya. Desi membuat mereka terdiam tanpa mau mengatakan kesulitan yang sedang mereka alami.

*

"Yang satu kelihatan ceria, cerah dan bahagia. Yang satu sedih, muram dan stress." Komentar Rena saat melihat Yuli dan Lily, saat mereka berkumpul di kantin pada jam istirahat.

"Sama-sama stress tapi beda arti." Tambah Doni yang menyetujui ucapan Rena. Dengan cepat Lily mencubit tangan Doni yang tak jauh darinya.

"Lo kenapa Yul?" Tanya Doni sambil mengelus tangannya yang memerah akibat cubitan yang Lily berikan.

"Gue lagi mabuk cinta." Ujar Yuli sembari tersenyum bak orang gila.

"Lo habis ketemu sama Aster kan semalem?" tebak Lily.

"Aster adek lo Ly?" Tanya Doni yang penasaran, setahunya Yuli menyukai tetangga sebelah Lily.

"Iya."

"Ly, lo gak cerita kan soal adek gue yang udah gak ada kan?" Tanya Yuli dengan berbisik ditelinga Lly, tidak ingin Rena ataupun Doni mendengarnya.

"Tenang aja, gak kok." Jawab Lily sembari mengacungkan jempolnya.

"Tapi semalem kok dia bilang, kata lo gue cuma anggep Aster adek doang."

"Lah? Itukan yang lo bilang sama gue."

"Iya sih. Gue takut kalau Aster nganggep dirinya cuma sebagai pengganti adek gue yang udah meninggal, jadi jangan kasih tahu Aster dulu ya Ly."

"Iyaa." Jawab Lily kesal, entah berapa kali Lily harus menyakinkan anak ini agar percaya dengan ucapannya.

"Jangan bisik-bisik dong, berasa teman tiri tau gak?" Ujar Rena yang kesal karena tidak ikut diajak berbicara.

"Uuu, Rena marah nih." Ucap Yuli sembari memberikan Rena susu kotak rasa coklat kesukaannya.

"Kalau lo Ly, stress kenapa?" Tanya Doni penasaran, sama halnya dengan Rena yang siap menyimak cerita Lily.

"Hari ini sidang perceraian mama sama papa Lily." Rena dan Doni serempak menatap Yuli yang menjawab pertanyaan untuk Lily.

"Iya... ditambah gue gak berani bilang kalau gue pergi ke psikiater lagi." Tambah Lily membenarkan ucapan Yuli.

"Kamu belum bilang mama kamu Ly?" Semua yang ada di meja itu menoleh kearah Angkasa yang entah datang dari mana, yang jelas ditangannya sudah ada sebungkus nasi dan segelas es teh.

"Kok disini? Belajarnya gimana?" Tanya Lily pada Angkasa yang mengambil tempat disamping Lily.

"Pasti takut lo digangguin Gita lagi." Sewot Doni.

"Kamu belum bilang sama mama kamu Ly?" Ulang Angkasa merasa belum mendapatkan jawaban dari Lily.

"Iya, aku bingung bilangnya. Aw!" Ucap Lily diakhiri pekikan karena sebelah pipinya dicubit oleh Angkasa.

"Kenapa bingung lagi, kan udah aku kasih semangat."

"Mana ada, gak kebalik tuh."

"Mulai lagi." Sindir Yuli, ketika tidak tahan melihat ke-uwu-an ini.

"Apasih Yul? Yang semalem kurang?" Yuli menutup rapat mulutnya dan segera menyembunyikan wajahnya. Lily benar-benar menyebalkan.

"Udah makan lo. Buruan balik belajar. Ntar kena marah lagi lo." Ujar Doni pada Angkasa yang tidak segera membuka bungkusan nasinya.

"Iya, makan aja. Aku usahain malam ini bilang ke mama." Angkasa mengelus pucuk kepala Lily sayang. Angkasa tahu betapa kesulitannya Lily.

Angkasa memang manusia biasa yang menginginkan dirinya teruus berada disamping Lily, menjadi kekuatannya, menjadi tempat berlindungnya, menjadi tempat pelariannya.

Lily yang memiliki tubuh kecil itu, terlalu banyak menanggung beban berat dalam hidupnya dan Lily berterima kasih pada Angkasa yang teah menjadi penopang tubuhnya saat Lily membutuhkannya.

*

Lily berjalan dengan bingung saat melihat seluruh pakaiannya berserakan di teras rumahnya. Apa yang terjadi?

Lily masuk kedalam rumahnya, tersenyum lega saat menemukan mamanya terduduk di sofa ruang tamu sembari menyeruput teh hangat.

"Mama pulang cepet? Gimana sidang hari ini? Harusnya Lily temenin mama."

"Buat apa temenin mama?!" Lily terkejut saat mama berbicara dengan nada yang sangat dingin.

"Kok mama bilang gitu?"

"Kamu gak lihat baju kamu ada diluar semua?"

"Yang taruh diluar siapa ma? Aster ya?" Lily menyingkirkan segala fikiran negatifnya saat ini.

"Bukan, mama yang buang pakaian kamu diluar. Aster belum pulang."

"Ke.. kenapa dibuang? Kan masih bagus-bagus."

"Mulai sekarang kamu gak boleh tidur disini lagi. Kamu ikut papa kamu aja."

"Maksud mama?" Lily mengernyit tidak mengerti. Ada apa dengan mamanya? Kenapa mamanya mengatakan hal seperti itu?

"Kamu pergi lagi ke psikiater tanpa sepengetahuan mama dan dokter itu dokter kenalan selingkuhan papa kamu."

"Ma, Lily gak bermaksud begitu." Lily iut berdiri saat Desi, mamanya berdiri.

"Mama berjuang keras supaya hak asuh kamu jatuh ke mama. Tapi nyatanya kamu pengen tinggal sama papa kamu. Mama gak bisa cegah itu. Silahkan pergi." Lily meneteskan air matanya.

"Ma, Lily baru mau bilang jujur ke mama. Lily gak bohong."

"Kamu emang gak bohong, tapi kamu menyembunyikan itu ke mama. Apa mama segitu gak dipercaya sama kamu Ly?"

Lily menggeleng, tangisannya pecah. Bukan maksud Lily seperti ini. Lily tak menyangka mamanya akan sangat terluka karena ini.

"Bukan gitu ma. Lily cuma gak mau nambah beban mama lebih banyak itu aja."

Desi menarik tangan anaknya kleuar dari rumah.

"Kamu itu anak mama Ly! Bukan beban." Lily terdiam oleh tamparan keras yang mamanya lontarkan padanya.

"Ma, Lily salah. Lily maunya sama mama. Lily gak pengen sama papa. Lily janji gak akan pergi ke psikiater itu lagi ma. Lily janji." Ucap Lily memohon disela tangisannya, sembari berlutut dihadapan mamanya.

Mata Lily menatap mata mamanya penuh harap. Lily tahu kesalahannya sangat besar saat ini. Lily harap mamanya akan menghukumnya saja ketimbang mengusirnya seperti ini.

Tak mengindahakan permohonan anaknya, Desi menutup pintu rumahnya meninggalkan Lily yang masih berlutut diantara pakaiannya yang berserakan.

Lily segera berdiri ingin menahan pintu, namun terlambat pintu itu sudah tertutup rapat. Lily mengetuk pintu itu berulang kali. Sesekali berteriak memanggil mamanya.

Hati Desi mati, tidak tergerak sedikitpun mendengar tangisan anaknya yang meraung-raung memanggilnya.

Lily menyeka air matanya, bagaimanapun ini terjadi karena kesalahannya dalam menunda-nunda untuk memberitahu mamanya. Lily memungut pakaiannya satu-persatu, mungkin Lily akan tidur semalaman diteras rumah ini sampai mamanya membukakan pintu untuknya.

Satu tangan yang datang mengelus bahu Lily, berhasil membuat Lily kembali terisak dan menjatuhkan seluruh pakaian yang sudah Lily kumpulkan dalam genggaman tangannya.

Bab berikutnya