"Astaga! Kak Intan, aku baru nyadar Kak Intan ada di belakang." Ujar Lily ketika matanya menangkap sosok Intan duduk di jok belakang.
"Tangan aku? Biasalah kak. Gak apa-apa kok." Ucap Lily enteng yang hanya diangguki oleh Intan.
"Gak apa-apa gimana?! Kamu itu udah bolak-balik terluka loh Ly! Lihat tuh bekas yang dibelakang leher juga belum hilang kan?!" Lily mendelik saat Sean dengan sewotnya menceramahi Lily. Ada apa dengan kakaknya ini?
"Kok kakak sewot? Kan aku udah bilang gak apa-apa." Lily memberengut kesal, baru kali ini Sean memarahinya seperti ini.
"Maafin kakak Ly, kakak cuma khawatir. Nanti sampe rumah biar kakak obatin ya?" Bujuk Sean ketika melihat Lily merajuk. Sungguh, Sean tidak bermaksud membentak gadis kecilnya.
"Aku aja yang obatin. Aku kan calon dokter." Sela Intan, membuat Lily semangat. Kenapa tidak? Jika lukanya di rawat oleh orang yang sudah ahli di dalam bidangnya.
"Boleh kak."
"Gak boleh!"
Lily dan Intan mendelik bersamaan dikala Sean menentang hal itu. Maksud Lily, kenapa? Apa Lily harus membayar untuk itu? Bagaimanapun jasa seseorang itu harus dihargai.
"Kenapa?" Tanya Lily.
"Kan kak Intan dokter kecantikan, mana bisa ngobatin luka seperti itu." Ujar Sean mencari-cari alasan dan Lily tidak menerima alasan itu.
"Aku bisa Yan, justru aku juga bisa menyembuhkan sekaligus ke bekas-bekasnya. Pokoknya kamu serahin sama aku aja Ly luka kamu sekalian bekas yang ada di belakang leher kamu." Kata Intan tidak terima dengan pendapat Sean, karena menurutnya Sean sama sekali tidak mengetahui apapun tentang kemampuan yang dimilikinya.
"Oke kak. Makasih ya." Lily tersenyum senang dan Intan dengan senang hati bisa membantu Lily. Intan lebih tidak suka jika Sean berdekatan dengan Lily.
"Kak Sean juga nih. Sama pacar gak boleh ngeremehin gitu." Cerca Lily. Hubungan mereka terasa aneh bagi Lily. Bahkan Lily dan Angkasa yang tidak memiliki status pacaran bisa lebih sosweet dari mereka, tapi yang pacaran beneran malah bertengkar tak jelas.
"Oh iya. Kak aku mau pindah belakang. Kak Intan di depan ya?" Sepertinya Lily yang harus bertindak.
"Apa? Kamu sini aja Ly. Kak Intan gak apa-apa kok di belakang. Ya kan Tan?" Tolak Sean cepat. Mendengar Sean mengatakan itu, sudut hati Intan terasa perih. Apa setidak-nyaman itu duduk bersebelahan dengannya?
"Kenapa sih? Aku mau ke belakang pokoknya, titik. Kalau gak turunin aku aja disini." Sean mendesis tak suka mendengar perlawanan Lily, mereka sedang berada di pertigaan dan terjebak lampu merah, tidak susah bagi Lily jika benar-benar ingin turun.
"Udah mau sampe Ly!" Mata Lily membulat sempurna ketika Intan malah mendukung perkataan Sean.
"Loh kok? Pokoknya aku mau di belakang mau tiduran. Masih jauh juga, gak mau tahu. Atau aku turun disini."
"Turutin aja kali Yan. Lily kelihatan kecapean tuh." Lily mengangguk masih dengan ekspresi marahnya, setuju dengan ucapan Intan.
"Ya udah sana." Sean menyerah, tidak tega melihat Lily yang kelelahan. Dengan cepat Lily berpindah tempat melalui celah dua jok bagian depan untuk sampai ke belakang, mengabaikan Intan yang memilih untuk berpindah dengan cara normal.
Pasangan harusnya duduk berdampingan.
*
Lily mendesis menahan perih di lengannya setelah lukanya tersentuh air sehabis mandi, air matanya hampir mengalir beberapa kali merasakan rasa sakit ini. Tangan kanannya sibuk mengipasi dan bibirnya sibuk meniup lukanya.
Pantas saja Gita sampai minum obat pereda rasa nyeri. Sudut hati Lily sedikit merasa bersalah telah melukai lengan Gita.
Lily sudah mendapatkan obat salep yang direkomendasikan oleh Intan tadi sore, tapi salep itu sedikit memicu rasa perih jika dioleskan.
Tidak tahu harus meminta tolong pada siapa, akhirnya membuat Lily berakhir seperti sekarang. Hanya bisa menahan sakit.
Lily takut jika meminta tolong pada Aster, maka Aster akan membalas perbuatannya selama kaki Aster terluka. Sekarang Lily bisa merasakan sakitnya saat seseorang berusaha menyentuh luka, bahkan menoel-noel seperti yang Lily lakukan pada Aster.
Lily jadi meringis sendiri.
Kak Sean, tolong hapuskan daftar itu dari benak Lily. Lily tidak ingin merepotkan manusia satu itu dan menyebabkan kesalahpahaman, mengingat kejadian tidak menyenangkan yang terjadi di mobil ketika Kak Sean menjemputnya sore tadi. Lily merasakan, Intan sedikit terusik dengan kehadiran Lily.
Rasanya sangat sesak, bahkan ketika Lily sudah pindah ke jok belakang. Kenapa juga Kak Sean cuek seperti itu pada Kak Intan? Kak Intan kan pacarnya. Lily bisa bayangkan bagaimana rasanya di abaikan, karena Angkasa pernah melakukan hal itu padanya.
Oh Ya Allah. Bahkan sekarang Angkasa mengingkari janjinya untuk memberinya kulit ayam crispy. Duh, mengingatnya saja membuat perut Lily keroncongan.
Tingtong!
Oh siapa lagi itu? Lily benar-benar sangat ingin merebahkan tubuhnya ke kasur saat ini.
Mata Lily berbinar cerah melihat sebuah plastik berlogo ayam menyapanya. Tanpa menunggu waktu lagi, Lily menerima bungkusan itu dengan tangan terbuka.
Rupanya Angkasa tidak lupa dengan janjinya.
"Lengan kamu kok belum diobati?" Tanya Angkasa saat melihat luka di tangan Lily masih terbuka, bukannya segera ditutup dengan menggunakan plester atau perban.
"Nungguin diobatin sama kamu." Ujar Lily santai, tapi begitu melihat sorot tidak suka dari Angkasa, Lily buru-buru meringis.
"Bercanda, udah dikasih salep kok." Angkasa menghela nafas lega, itu lebih baik karena Angkasa tidak bisa tinggal lama disini.
"Kamu sama siapa kesini?" Heran Lily ketika menyadari penampilan rapi Angkasa dan seseorang yang berdiri di dekat mobil yang terparkir di depan rumahnya.
"Sama manager aku. Aku kabur di tengah-tengah pemotretan biar bisa anter kulit ayam ini buat kamu." Lily mencubit perut Angkasa dengan keras, membuat Angkasa mengaduh kesakitan.
"Kok gitu sih Ly, bilang makasih kek atau apa. Malah di cubit." Sebenarnya Angkasa tidak benar-benar marah pada Lily, tapi lumayan juga untuk mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Makasih." Ucap Lily kemudian dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Pasti sangat sulit bagi Angkasa mencuri-curi waktu untuk mengantar kulit ayam ini.
"Ya udah sana balik kerja lagi. Cari duit yang banyak, biar bisa culik aku dari mama." Angkasa terkekeh geli.
Angkasa menggeleng.
"Kenapa?"
"Butuh energi." Ucap Angkasa merentangkan tangannya. Angkasa mengernyit dikala Lily tidak segera memeluknya, melainkan membuka plastik yang tadi diberikannya.
"Aaaaa." Angkasa membuka lebar mulutnya, saat Lily hendak menyuapkan kulit ayam crispy itu.
"Gimana udah balik belum energinya?"
"Belum."
Lily meletakkan sekotak kulit ayam ke rak dekat pintu masuk rumahnya.
"Ya udah sini."
Senyuman mengembang dengan lebar di wajah tampan Angkasa, saat Lily memeluk tubuhnya.
"Mama kamu gak di rumah kan?"
"Mau ketemu?"
"Pengen. Tapi lagi gak dirumahkan?"
"Bilang aja takut mama lihat, terus usir kamu."
"Iya deh, aku ngaku." Angkasa dan Lily terkekeh geli bersamaan.
"Untung ganteng, kalau cupu aku gak mau peluk." Angkasa langsung melepas pelukannya tanpa melepaskan pegangannya pada pinggang Lily. Lily tertawa terbahak-bahak melihat wajah cengo Angkasa.
"Tapi aku suka keduanya kok. Berasa punya dua cowok." Tangan Angkasa beralih mencubit kedua pipi Lily dengan gemas.
"Enak aja. Kalau mau sama yang ini harus bayar." Lily mendesis.
"Kalau gitu sana pergi, aku mau sama yang cupu aja." Lily segera mengusir Angkasa pergi, pintunya ditutup rapat. Jika tidak begini, akan semakin banyak waktu yang Angkasa habiskan disini dan membuat semua aktivitasnya tertunda.