Di sore hari yang cerah ini Lily berakhir di rumah sakit milik teman papanya. Disana terdapat psikiater yang disarankan oleh selingkuhan papanya. Ups, Lily masih nyaman memanggil wanita itu dengan panggilan kesayangan.
Lily ditemani papanya ke rumah sakit ini, karena dengan usilnya Lily menghindari beberapa janji temu yang sudah diatur untuknya.
"Papa kira kamu sudah datang dari kemarin Ly." Lily meringis.
"Lily malas pa. Lagian Lily ngerasa baik-baik aja kok." Mata Arya memincing kearah anaknya. Arya sangat mengenal anaknya, Lily tidak pandai menyembunyikan apapun melalui emosinya.
"Jangan bohong sama papa Ly. Kamu gak akan nangis seperti itu kalau kamu baik-baik saja." Arya benar-benar khawatir terhadap anaknya yang satu ini. Setidaknya Arya menjafi lebih tenang karena anak laki-lakinya kuat bagai baja.
"Lily pasti pergi kalau emang Lily merasa sakit pa. Lagian malam itu Lily cuma kebawa emosi aja pa." Elak Lily. Dalam hati Lily memang ingin pergi ke psikiater, tapi begitu tahu psikiater yang disarankan papanya adalah psikiater kenalan selingkuhan papanya, Lily takut mamanya akan marah besar jika tahu Lily pergi kesana.
"Nah, masalahnya itu emang emosi kamu Ly. Kamu cukup pergi menemui psikiater sekali ini Ly, dengan begitu rasa bersalah papa padamu sedikit berkurang." Terdapat nada sendu pada kalimat yang di ucapkan Arya. Dengan sigap Lily memeluk papanya.
"Iya pa. Buktinya Lily pergi nih sama papa. Udah nunggu antrian juga kan? Papa jangan merasa bersalah lagi ya." Arya mengangguk dalam, hatinya sedikit tenang ketika Lily menurutinya.
"Atas nama Lily." Panggil suster. Lily segera berdiri dan mengikuti suster yang memanggilnya. Arya menatap punggung Lily penuh rasa bersalah. Andai ia bisa memutar balikan waktu.
*
Lily duduk disebuah sofa panjang yang sangat empuk, bahkan jika Lily tidak ingat Lily sedang berada di psikiater saat ini, maka Lily akan dengan senang hati tidur diatas kasur ini.
Ruangan ini benar-benar minimalis, didominasi oleh warna oranye keemas-emasan. Bau harum dari tumbuh-tumbuhan hidup yang dipajang di ruangan ini terasa begitu menenangkan.
Bahkan sudah menunggu lebih dari sepuluh menit diruangan ini, Lily masih merasa sangat betah. Lily cuma khawatir saja jika Aster bertanya-tanya kemana perginya Lily, di jam-jam yang seharusnya Lily sudah berada di rumah.
Lily tidak khawatir mamanya akan tahu, karena mama Lily sudah bilang akan pulang larut hari ini. Semua akan baik-baik saja jika Aster menutup mulutnya.
Ah, Lily punya ide cemerlang. Lily akan ajak Rena dan Yuli untuk menginap dirumahnya. Setidaknya Yuli akan jadi tamengnya jika Aster bertanya yang macam-macam.
"Selamat sore." Lily membuyarkan lamunannya ketika sosok wanita cantik masuk kedalam ruangan ini.
"Selamat sore." Sapa Lily kikuk.
"Perkenalkan nama saya Samita, kamu bisa panggil Mita saja." Lily mengangguk kecil. Wanita itu mengambil tempat untuk duduk dihafapan Lily.
"Namamu Lily ya?" Tanya wanita itu sembari membuka beberapa berkas milik Lily.
"Catatan terakhirmu sudah sangat bagus. Sekarang apa yang membawamu kemari sampai temanku Gita meminta bantuanku?" Lily mendengus, kenapa selingkuhan papanya harus disebut sih.
"Saya juga gak mau kesini. Papa aku yang maksa." Lily memutar bola matanya malas.
"Oke, maafkan aku. Sekarang apa kita bisa mulai sesinya." Lily mengangguk dan dokter cantik itu membawa Lily untuk berbaring di sebuah kursi nyaman yang desainnya sangat unik.
"Sekarang coba pejamkan matamu." Perlahan Lily memejamkan matanya mengikuti arahan-arahan dari sang dokter.
"Rileks saja, santai, gak usah takut. Ingat ada aku disamping kamu Ly." Lily menarik nafas dan menghembuskan nafas secara teratur sesuai arahan dari dokter Mita.
"Sekarang, apa ketakutan terbesar kamu?" Pertanyaan itu membuat ingatan Lily berlari dimalam gelap dan dingin itu.
*
"Jadi foto-foto itu mengingatkanmu dengan kejadian yang membuatmu trauma? Dan karena itu akhir-akhir ini traumamu sedikit kambuh?" Lily mengangguk, foto yang ditunjukan papa Angkasa padanya beberapa hari lalu memang membuat Lily sedikit terganggu.
"Aku lihat.. kamu mengatasi masalahmu dengan melupakan kejadian buruk itu. Jadi ketika kamu mengingatnya lagi, misalkan karena menemukan kejadian yang serupa kamu akan tersakiti."
"Lalu aku harus bagaimana?"
Dokter Mita tersenyum lembut. "Kamu harus menghadapinya, memang menghadapi itu lebih sulit dilakukan ketimbang diucapkan. Tapi itu adalah obat paling manjur yang pernah ada."
Lily mengangguk paham, memang menghindari masalah itu bukanlah hal yang bagus juga.
"Kamu sempat tidak mengunjungi psikiater beberapa waktu, apa ada orang yang membantumu untuk menghadapi trauma itu? Pacar mungkin?" Tebak dokter Mita membuat Lily tersipu malu. Oh ayolah, orang spesial memang ada walaupun bukan pacar.
"Bukan pacar kok dok." Mita terkekeh geli.
"Baiklah apapun itu, kamu harus berterima kasih padanya." Lily mengangguk setuju. Lily memang sangat berterima kasih atas kehadiran Angkasa.
"Tapi dok, akhir-akhir ini aku sering sekali sesak nafas jika mengingat kejadian itu ataupun ketika aku berdekatan dengan seseorang." Mita mengernyit mendengar penjelasan Lily.
"Seseorang itu berarti satu orang bukan? Apa dia pacarmu?" Lily membelalakan matanya.
"Bukan pacar dok."
"Oke-oke, jadi benar dia?" Lily mengangguk lemah. Lily membenci dirinya sendiri yang lemah.
"Kenapa bisa begitu? Bukankah dia membantumu pulih?" Lily mengangguk sekali lagi. Biarkan Mita menebak, pasti ada alasan khusus yang membuat Lily seperti ini.
"Kira-kira apa yang membuat trauma mu muncul kembali selain foto itu?" Lily memutar otaknya, ada satu hal, tapi Lily terlalu malu untuk mengatakannya.
"Katakan saja. Kita disini mencoba saling terbuka." Bujuk Mita ketika melihat keraguan pada Lily.
"Itu... kami pernah berciuman. Aku rasa semenjak itu." Tebak Lily ragu dan Mita terkekeh geli.
"Tidak usah malu. Di seumuranmu dulu, aku malah melakukan hal yang lebih dari berciuman. Ups, aku malah membuka aib ku." Lily tertawa, sungguh baru beberapa menit Lily duduk disini, Lily merasa sangat nyaman dengan Mita, berasa berbincang dengan orang yang sudah lama dikenalnya. Pantas saja papa menyebutnya lebih profesional dari dokter lamanya. Andai selingkuhan papanya seperti dokter Mita, mungkin Lily akan merestuinya.
Maafkan Lily mama.
"Jadi itu sebabnya..."
".. aku rasa kamu mengunci tubuhmu untuk menolak segala kontak fisik berlebih pada orang itu karena kamu menganggapnya spesial. Kalian tidak perlu terburu-buru. Kalian bisa melakukan semua hal secara bertahap."
"Tapi dulu kami sering bergandengan tangan bahkan berpelukan, tapi aku baik-baik saja." Tolak Lily. Tidak mungkin begitu.
"Itu dulu. Sekarangkan ada faktor foto yang kamu lihat, yang memicu traumamu. Jadi aku sarankan kamu memulai semuanya dari awal. Siapkan hatimu, lalu hadapi."
"Hadapi." Beo Lily. Setelah itu dokter Mita mengakhiri sesi konseling mereka dan memberikan Lily beberapa petuah. Dokter Mita tidak memberikan Lily obat karena merasa tidak perlu, melihat kondisi Lily yang lumayan stabil.
Coba berhitung mundur saat sesak itu datang.
Lily mengingat perkataan terakhir dokter Mita dengan baik. Berharap itu dapat mengurangi rasa sesak nafasnya.
Lily tidak suka fakta yang hanya karena sebuah ciuman, Lily jadi tidak bisa berdekatan dengan Angkasa.
Siaaaaal!