"Sini aku anter ke salon buat potong rambut."
Setelah Angkasa mengatakan itu, Lily mengunci dirinya sendiri di kamarnya, masih sayang terhadap rambutnya yang panjangnya masih tidak rata itu.
Lily mengabaikan ketukan pintu dari Angkasa, padahal sedari siang Angkasa hanya diam saat Lily mengunci diri. Kenapa baru sekarang?
Lily melirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Sebentar lagi merupakan gilirannya untuk menjaga mamanya.
"Ly, bukain pintu."
"Gak mau!"
"Ayo bicara sebentar."
"Tadi udah."
"Sekarang bicara lagi."
"Gak mau." Tolak Lily mentah-mentah.
"Kenapa?"
"Kamu maksa aku potong rambut."
"Terus maunya gimana ke salon aja? Aku dikasih tahu Kak Sean kalau kamu diamanahin buat pergi ke salon kan?"
"Pokoknya gak mau, titik!"
"Ya udah ayo keluar dulu, nanti malem mau jagain mama kamu kan jam tujuh?"
"Iya kenapa? Mau anter?!"
"Iya ayok aku anter, tapi rambutnya dirapiin dulu."
"Gak jadi ah."
"Ly." Angkasa mulai frustasi.
"Keluar atau aku dobrak pintunya terus aku bawa paksa ke bagasi mobil hm?"
Setelah beberapa saat suara kunci berputar dan mengeklik terdengar. Angkasa menatap Lily tajam yang hanya bisa menunduk.
"Potong rambut ya?"
"Iya." Hampir saja Angkasa tersenyum, namun kembali tidak jadi tersenyum begitu Lily menambahkan kalimatnya. "Tapi kamu yang potongin."
Angkasa menghela nafas berat. "Ya udah, tapi kalau jelek bukan salah aku ya."
*
Lily cemberut saat mamanya, Aster dan Kak Sean mentertawakan potongan rambut barunya.
"Lucu tau kak. Kayak dora." Ledek Aster.
"Mama ih, ikutan ketawa. Aku pulang nih, gak nemenin mama."
"Eh enak aja lo. Gantian dong. Pulang yok ter." Sean menarik Aster berjalan keluar, sebelum Lily yang keluar dari ruangan ini.
"Mama ngapain ketawa terus sih."
"Gapapa kok, lebih rapi dibanding rambut panjangmu yang awut-awutan."
"Ya berhenti dong ketawanya." Lily mulai kesal, semua ini karena Angkasa. Walau sebenarnya ini salahnya sendiri yang meminta Angkasa melakukannya ketimbang salon.
"Abis lucu, masa ada potongan salon kayak gitu."
"Ya ada."
"Salon Angkasa! Sebel deh." Mamanya berhenti tertawa.
"Itu yang diluar Angkasa."
"Iya ma, aku cuma dianter aja kok, bentar lagi juga pasti pulang anaknya."
"Suruh masuk aja, cape pasti berdiri diluar."
"Beneran mah?"
"Iya, suruh masuk."
Lily berjalan gontai membuka pintu yang bagian atasnya terbuat dari kaca itu. Lily memberi gestur agar Angkasa mendekat.
"Kenapa Ly?"
"Kamu gak ikut pulang Kak Sean sama Aster."
"Enggak, Nyonya Ida sama Tuan Aska suruh aku jagain kamu disini, tapi karena mama kamu yang gak ngebolehin aku deket sama kamu, jadi aku tunggu sini aja." Lily terkekeh menyadari Angkasa menggunakan sebutan yang Lily gunakan untuk orang tua.
"Berdiri?" Tanya Lily. Angkasa melihat kesekitar.
"Itu disana ada kursi." Menunjuk kursi yang letaknya berada jauh dari kamar yang ditempati mama Lily.
"Yang ada diusir kalau jam besuk udah kelar."
"Yuk masuk." Ajak Lily.
"Tapi.."
"Gapapa, mama yang nyuruh sendiri." Barulah Angkasa melangkah, memasuki ruangan.
Desi menyambut uluran tangan Angkasa, kemudian meminta Angkasa duduk di sofa kamar kelas satu ini.
"Tangan kosong kesini nak?" Angkasa gelagapan.
"Eh, Angkasa beliin dulu tan." Lily mencegat tangan Angkasa agar tidak bangkit dari duduknya.
"Yang tadi Lily bawa masuk juga dati Angkasa ma."
"Oh ya udah. Mama bercanda aja kok, jangan serius banget ya Sa." Mama Lily tertawa pelan. "Itu ada banyak buah dikulkas dari temen kantor mama, dimakan aja biar kalau dibawa pulang gak berat."
Lily dengan semangat mengambil beberapa apel. Kebiasaan Lily, tidak akan memakan buah lain saat ada apel yang digemarinya.
"Ah gak bisa ngupasnya ma." Mamanya menggeleng sambil berdecak. "Anak perempuan kok ngupas gitu aja gak bisa."
"Sini Ly, aku aja." Angkasa mengambil alih pisau dan apel-apel itu. Mengupasnya dengan terampil.
"Mau bentuk kelinci?" Lily mengangguk semangat.
"Waaaah, beneran jadi. Ma, lihat deh, mama aja gak bisa gini kan?" Ledek Lily.
"Iya deh, Angkasa jago." Desi memberi dua acungan jempol dan yang diberi hanya senyum malu-malu.
"Mama mau tidur duluan ya." Pamit mama Lily, kemudian mulai memejam kan matanya.
Suara itu dan wajah yang walau dibalut dengan dandanan cupu, Desi bisa tahu siapa sebenarnya Angkasa. Sudah dari pertama kali mereka bertemu Desi mengenalinya, bahkan walau hanya melihat diberita atau saat berpapasan dikantornya.
Desi juga tahu, Angkasa adalah model. Namun permasalahan sebenarnya bukan disana.
Melihat anaknya yang tidak menunjukkan tanda-tanda trauma muncul saat bersama Angkasa, membuat Desi tak tahu harus berbuat apa.
Biarlah saat ini mereka bersama. Desi hanya takut saat Lily mengetahui siapa sebenarnya Angkasa nanti. Apakah akan mempengaruhi traumanya atau tidak?
"Mama kok belum tidur, kita berisik ya?" Lily menyadarkan Desi dari lamunannya.
"Kalau gitu kita keluar dulu, nanti kalau mama udah tidur kita balik lagi." Tambah Lily.
"Enggak, kalian sini aja. Kalau sepi mama tambah gak bisa tidur."
Kemudian Desi benar-benar mulai memejamkan matanya.
*
Lily membenarkan posisi selimut mamanya. Setelah dirasa mamanya tertidur lelap Lily kembali ke kursinya.
"Tadi kamu pulang dijemput siapa? Nyonya Ida?"
"Bukan, sama bang Sean."
"Loh, berarti kak Sean bolak-balik dong dari rs ke bandara ke rumah ke rs lagi?"
"Mungkin."
"Kok mau sih kak Sean jemput-jemput. Emang anda ngasih ongkos?" Tanya Lily penuh selidik.
"Bang Sean mana mau gratisan Ly."
"Lah sama aku mau kok gratis." Angkasa mengangkat bahunya acuh. Entah mengapa ia tak menyukai Lily membicarakan orang lain selain dirinya, terutama cowok, Bang Sean sekaligus.
Lily mendengus sebal saat Angkasa malah tidak menanggapinya dan memilih sibuk dengan smartphone yang terlihat baru itu. Lily mengambil perban didalam tasnya untuk mengganti perban kusut di luka jahitan belakang lehernya.
Lily berdiri mendekati kaca yang ada di dinding. Sangat mudah melepaskan namun sangat sulit untuk memasang perban yang baru diposisi yang tepat.
Tanpa diduga Angkasa mengambil perban yang menempel ditangan Lily, tapi tak kunjung memasangkannya.
"Kok gak dipasang?"
"Dioles obat dulu, mana obatnya." Lily menyerahkan obat merah yang diresepkan dokter.
"Ini." Angkasa menyibak rambut pendek Lily yang menyentuh lukanya.
"Aw, perih."
"Tahan aja." Angkasa fokus mengobati Lily, sedangkan Lily fokus menahan perih.
"Ini gara-gara papa."
"Gak boleh gitu Ly, gimanapun papa tetep papa kamu kan? Mending kamu doain aja semoga papa kamu disadarkan."
"Iya, aamiin." Angkasa menempelkan perban setelah mengoleskan obat merah.
"Lomba kamu gimana Sa? Lancar?" Lily hampir lupa kalau Angkasa sama sekali belum istirahat semenjak pulang dari lomba.
"Alhamdulillah, juara satu dong. Dapet hadiah hp baru." Ucap Angkasa sambil menunjukkan hp yang sedari tadi dipakainya untuk bermain game.
"Kamu gak mau pulang? Istirahat?"
"Udah jam satu pagi Ly. Banyak begal."
"Bener? Gak capek?"
"Gakpapa kok. Aku juga gak ngantuk."
Berkebalikan dengan ucapannya beberapa menit lalu, kini Angkasa sudah tertidur disampingnya dengan posisi terduduk.
Ucapan dan tindakan benar-benar gak sesuai!