webnovel

Hantu Muka Rata

"Jangan buru-buru periksa kandungan istrimu ke Rumah Sakit itu lagi!" Terdengar suara Mbok Sum keluar dari kamar tidurnya menuju ruang makan. Sepertinya dia tadi mendengar percakapan Wibi dengan Ratri. Dan mengharuskannya keluar menemui mereka berdua.

"Memangnya kenapa, Mbok?" tanya Ratri.

"Apa kalian ingin kejadian dulu terulang lagi? Sukerta itu masih mengikuti anakmu, apalagi jika harus kembali ke sana." Sejenak Wibi dan Ratri hanya bisa saling pandang.

"Apakah ini kolomengo lagi? Duh Gusti Alloh ... semoga tidak terjadi apa-apa dengan calon bayi dalam kandungan Ratri," kata Wibi dalam hati.

"Simbok ...? Kenapa Simbok berkata begitu?" tanya Ratri.

"Karena tempat itu telah memberi sawan)* pada anakmu," jawab Mbok Sum.

"Tapi besok Ratri mau ganti dokter lainnya, Mbok. Yang lebih berpengalaman," kata Wibi ikut memberi alasan.

"Sama saja! Selama masih di rumah sakit itu, anakmu dapat terkena sawan lagi. Karena sukerta itu masih ada."

"Sawan dari mana, Mbok? Rumah sakit itu kan terawat, bersih, dan tidak terkesan angker. Kecuali sawan dari penyakit-penyakit medis. Dan lagi jarak dari rumah ke rumah sakit itu relatif lebih dekat bila dibandingkan dengan rumah sakit lainnya, Mbok."

Wibi mencoba memberi penjelasan kepada Ibu mertuanya dan tetap pada prinsipnya bahwa kasus yang terjadi pada bayi dalam kandungan istrinya adalah murni kasus medis. Karena pada saat hari pantangan bepergian itu ada juga pasangan muda yang memeriksakan kandungannya dan calon bayinya sehat-sehat saja. Begitu juga dengan orang-orang yang mempunyai hajat pada saat itu tetap melakukan aktivitasnya.

"Rupanya kalian belum mengerti juga maksud simbokmu ini."

"Eee ... maksud Simbok bagaimana?" tanya Ratri.

"Sawan itu disebabkan oleh gangguan lelembut. Dan hanya bisa dihilangkan dengan pemberian sesajen! Tetapi selama ini kalian berdua tidak percaya dan tidak mau melaksanakannya juga," jelas Mbok Sum.

"Bukankah lebih baik begitu, Mbok? Kalau kami tidak percaya maka tidak akan berpengaruh apa-apa?" tanya Wibi.

"Bukankah ada gangguan dengan kandungan istrimu? Itu pengaruhnya, karena kalian tidak mau menebus kesalahan kalian dengan membuat sesajen untuk baurekso kampung ini," jawab Mbok Sum dengan tegas.

"Tapi gangguan kandunganku sudah dapat diatasi oleh Dokter Sepuh, Mbok. Dan itu karena sebab medis. Jadi tidak ada alasan untuk takut atau apa, kalau aku kembali periksa ke rumah sakit itu lagi," kata Ratri.

"Bukan masalah bisa diatasi atau tidak, tetapi sebab awal adanya gangguan itu yang harus kalian pahami. Karena lelembut itu akan terus mengikuti anak dalam kandunganmu selama kamu belum membuat sesajen untuk menebus kesalahan kalian," jelas Mbok Sum.

"Tapi, Mbok ...," Wibi berusaha menyela pembicaraan Mbok Sum

"Simbok tidak akan memaksa kalian untuk percaya, tapi Simbok merasa kasihan pada anakmu kelak. Paham maksud Simbokmu ini, Nduk?" lanjut Mbok Sum.

Terjadi sedikit perdebatan di antara mereka berdua dengan Mbok Sum. Semua tetap pada pendapatnya masing-masing sehingga tidak ada titik temu di antara mereka. Wibi tetap pada keputusannya menyetujui usul Ratri tanpa bermaksud membantah pada omongan Mbok Sum. Mereka berdua berusaha untuk berpikir secara logis dalam menghadapi masalah ini.

"Rupanya keyakinan mereka begitu kuat untuk menolak tradisi leluhur dan ritual sesajen. Terutama Wibi. Aku harus sabar dan lebih telaten lagi untuk memberikan sugesti ini pada mereka, khususnya pada Ratri." Untuk ke sekian kalinya usaha Mbok Sum menemui jalan buntu. Dan tiap sebulan sekali Wibi tetap mengantar Ratri untuk kontrol kandungannya ke Rumah Sakit yang dulu.

***

"Mengapa Simbok ingin sekali agar Ratri mau melakukan ritual sesajen? Benarkah itu untuk meredam sukerta? Apakah ada maksud lain, seperti yang pernah diutarakan ayah Ratri sebelum meninggal dulu?" Pikiran Wibi berkecamuk dalam perjalanan menuju tempat kerjanya.

Perbedaan pandangan tentang tradisi leluhur kerap kali menimbulkan perdebatan di antara Wibi dan Ratri di satu pihak dengan Mbok Sum pada pihak yang lain. Yang pada akhirnya akan berujung pada permintaan Mbok Sum pada Ratri untuk melaksanakan ritual sesajen. Wibi pun tidak mau berpikir kalau itu semua terjadi karena mereka telah melanggar pantangan leluhur. Atau juga pengaruh lelembut yang memanfaatkan Mbok Sum untuk menyugesti mereka berdua agar mau melaksanakan ritual sesajen. Tetapi untunglah hingga bulan kelima usia kandungannya, Ratri belum terpengaruh oleh sugesti Mbok Sum. Dia tetap dengan aktivitas mengajarnya setiap hari sebagai guru di Sekolah Menengah Pertama dekat tempat tinggalnya.

Setelah Wibi berangkat kerja, Ratri pun segera berangkat menuju ke sekolah untuk mengajar. Dan di pagi itu, tidak seperti biasanya Ratri langsung masuk ke kelas menunggu bel tanda masuk kelas berbunyi. Dia duduk santai di kursi meja kerjanya sambil memperhatikan murid-murid yang masih bermain di luar kelas.

Beberapa saat sebelum bel berbunyi seorang murid perempuan tiba-tiba masuk kelas sendirian. Murid itu berjalan tergesa-gesa sambil menundukkan kepalanya. Dia berjalan melewati depan meja guru tanpa menoleh dan tanpa menyapa Ratri sebagai gurunya. Murid itu menuju bangku pojok belakang di sebelah kanan meja Ratri dan duduk diam bersandar pada kursinya. Pandangannya masih tertunduk. Ratri mendiamkannya dengan maksud nanti setelah jam masuk kelas akan memberikan nasihat kepada semua murid tentang sopan-santun terhadap guru. Ratri kembali sibuk mempersiapkan bukunya untuk mengajar. Tak lama kemudian terdengar bel tanda masuk kelas. Salah seorang siswa putri berlari masuk dan berhenti di depan meja Ratri.

"Pagi, Bu," sapa siswa putri tersebut sambil tersenyum.

"Putri ...? Bukankah kamu tadi sudah masuk kelas? Dan setelah itu ibu tidak melihatmu keluar lagi dari ruangan ini. Kamu dari mana?" tanya Ratri terkejut.

"Ibu ... Putri dari tadi masih di luar, belum masuk ke kelas," jawab Putri keheranan.

"Bukankah kamu tadi ...," kata Ratri sambil menengok ke bangku Putri.

Ratri menghentikan perkataannya begitu melihat bangku di pojok belakang itu ternyata sudah ada yang menduduki. Seorang anak perempuan berseragam SMP dengan rambut sebahu dan mirip sekali dengan Putri. Tiba-tiba anak itu menoleh ke arah Ratri.

"Duh Gusti Alloh ... berikan hambamu ini kekuatan dan jauhkan dari gangguan lelembut yang selalu mengikutiku," doa Ratri dalam hati ketika mengetahui anak perempuan itu bermuka rata.

Ratri terkesiap. Darahnya seolah berhenti mengalir. Dan wajahnya berubah pucat. Seketika Ratri mengalihkan pandangannya ke arah Putri yang masih diam berdiri di depan mejanya. Dan semilir angin berembus pelan seperti meniup perut Ratri. Dia merasakan udara dingin mengalir masuk ke dalam perut kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya. Ratri terlihat gelisah.

"Ada apa, Bu?" tanya Putri keheranan melihat sikap Ratri.

"Eee ... tidak apa-apa, Putri. Sudah ... kamu duduk saja!" kata Ratri sambil menengok kembali ke kursi Putri.

Kursi itu telah kosong! Anak perempuan bermuka rata itu telah menghilang entah ke mana. Ratri menghela nafas panjang sambil mengelus-elus perutnya. Putri kemudian duduk di bangkunya seperti murid-murid yang lain.

Pelajaran pun dimulai. Suasana hening ketika semua murid sedang mengerjakan soal yang sudah ditulis Ratri di papan tulis. Tiba-tiba Ratri mendengar suara senandung anak perempuan. Suara itu sepertinya berasal dari bangku pojok belakang. Suara itu dari bangku Putri!

"Putri, kamu bersenandung?" tanya Ratri.

"Tidak, Bu!" jawab Putri sambil terus menulis.

Sejenak senandung itu berhenti ketika Putri menjawab pertanyaan Ratri. Kemudian sayup-sayup terdengar kembali dan semakin lama semakin jelas. Senandung itu pun memberikan reaksi pada janin di dalam perut Ratri. Dia merasakan gerakan-gerakan janinnya seperti mengikuti irama senandung itu.

"Ada apa ini? Apakah itu senandung lelembut yang berusaha mempengaruhi bayiku?" tanya Ratri dalam hati.

Dia terlihat memejamkan mata sambil memegangi perutnya. Ratri teringat kembali perkataan Simbok tentang lelembut itu. Sesaat kemudian dia terlihat panik dan segera keluar menuju ruang guru. Ratri langsung duduk beristirahat sambil mengelus-elus perutnya yang terasa mengeras seperti sedang berkontraksi. Diminumnya beberapa teguk air putih untuk meredakan rasa paniknya.

"Duh Gusti Alloh ... berikanlah keselamatan dan lindungi anakku ini." Terlihat titik-titik keringat dingin memenuhi dahi Ratri. Semilir angin berembus pelan membawa aroma wangi bunga melati. Ratri semakin gelisah. Pandangan matanya bergerak mengelilingi seluruh ruangan.

Tiba-tiba tercipta sebuah halusinasi di sana. Ruang guru bagaikan dunia lain baginya. Di telinganya terdengar bermacam-macam suara riuh rendah bersahut-sahutan. Ratri seperti berada di tengah-tengah kerumunan orang yang tidak kelihatan. Seperti ada yang mencengkeram pikiran dan perasaannya. Seperti ada yang menguasai jiwanya. Ratri berusaha melawan dengan sepenuh keyakinannya. Bayangan lelembut yang mengikuti bayinya muncul kembali. Kata-kata Simboknya waktu itu seolah-olah telah membelenggu dan menyugesti pikirannya untuk mengakui keberadaan lelembut tersebut.

"Lelembut itu ... apakah ingin menguasai jiwaku?" kata Ratri dalam hati. Kata-kata Ratri itu bagaikan air yang menerjang fondasi keyakinan Ratri sendiri. Dan lambat-laun halusinasi di alam bawah sadarnya semakin kuat.

Catatan :

Sawan : gangguan

Bab berikutnya