webnovel

Kontrakan Angker

Mamaku, em... Sebut saja namanya Iyah. Memutuskan untuk pindah kontrakan yang tempatnya lebih strategis tentunya, yang utama dekat dengan sekolahan. Saat itu aku baru akan masuk ke sekolah dasar, tentu saja menjadi satu poin penting supaya mama bisa mengantar ke sekolah tanpa menggunakan angkutan umum. Setelah Iyah survey ke beberapa tempat, akhirnya ia mendapatkan kontrakan yang letaknya strategis dan juga kebetulan kontrakan itu lumayan murah.

Pak Min nama pemilik kontrakan yang terletak di daerah Cijantung, Jakarta Timur. Kontrakan berderet dengan 4 pintu kurang lebih, masing-masing kamar mandi sudah berada di dalam kontrakan, aku masih sangat ingat letak kontrakan itu, sisi kiri/timur kontrakan ada sebuah kebun yang sebagian tertanam pohon kelapa, sebagian lagi masih terdapat pohon bambu dan juga semak belukar, sedangkan di belakang kebun itu terdapat sungai panjang yang memiliki dua jalur. Jalur satu mengalir ke arah utara dan satu lagi mengalir kearah barat melewati belakang kontrakan.

Pohon bambu yang rindang tumbuh lebat di sepanjang sungai jika siang memang hawanya semilir dan sejuk, tapi jika sudah menjelang maghrib, suasana berubah menjadi mencengkam, bulu kuduk pasti merinding jika keluar rumah pada malam hari. Lanjut ke gambaran kontrakan yang ditempati Iyah. Di seberang sungai itu masih terdapat satu lapangan, sebenarnya jika dilihat dari kejauhan memang lapangan itu tidak terlihat jelas karena tertutup rindangnya pohon bambu, tapi aku pernah menyelinap nyebrang sungai dan berain di sana hehe, tolong jangan ditiru, karena ini merupakan sifat anak yang petakilan. Hmmm.

Lapangan yang terletak di seberang sungai itu bukanlah lapangan biasa, disana adalah lapangan khusus para Kopasus yang berlatih setiap harinya. Beladiri, menembak, dan sebagainya. Terkadang aku menyeberang kesana demi mendapatkan slontongan peluru kosong untuk mainan, tapi setelah ketahuan ayah, aku dimarahi dan tidak boleh menyebrang sungai lagi. Didepan kontrakan juga ada lapangan yang terkadang dijadikan titik istirahat untuk Kopasus yang sudah berlatih di pinggir sungai. Sedangkan di sisi barat adalah sebuah perkampungan. Tempat yang asik sebenarnya. Iya kan? Tapi kalian tidak tau bagaimana horornya tempat itu.

Hari itu kami selesai memindahkan barang dari kontrakan lama, kebetulan juga ayah sedang libur, jadi lumayanlah ada yang membantu mengemas barang. Hari pertama kita tidur di kontrakan baru, meskipun beralaskan kasur sederhana, tapi kami bisa tidur dengan cukup nyaman. Awalnya memang tidak ada yang aneh, tapi pada pukul 10 malam, mama terbangun karena ingin pergi ke kamar mandi. Ayah sudah tidur, begitu juga denganku.

Namun ditengah jalannya menuju kamar mandi langkah iyah terhenti. Sayup- sayup telinga Iyah mendengar suara orang yang sedang mrndengkur cukup keras. Iyah menajamkan telinganya, "Ah mungkin itu ayah yang mendengkur" gumam iyah menepis rasa bergidik yang mulai mengganggunya sambil bergegas pergi menuju kamar mandi. Setelah selesai dengan urusan kamar mandinya Iyah kembali ke kamar, namun lagi-lagi suara mendengkur kembali dengan irama yang lebih kencang. Anehnya lagi, suara itu terdengar di kamar mandi.

Iyah berhenti, kembali iya melongok kamar mandi tapi suara itu hilang. Bergegas Iyah kembali ke kamar, namun dengkuran itu kembali terdengar. Ia menoleh kearah ayah, yakin bukan ayah yang mendengkur. Kini suara itu terdengar dari kontrakan sebelah timur tepat di ruangan kontrakan yang kami tinggali. "Huh, ternyata tetangga sebelah, bikin kaget saja" Iyah bernafas lega kembali menuju kealam mimpinya.

Keesokan harinya, iyah menceritakan kejadian semalam sambil tertawa karena sempat merasa ketakutan dengan dengkuran tetangganya. Namun, mendengar cerita Iyah, ayah malah merenyitkan alisnya, "Kenapa ayah?" Tanya mama penasaran dengan ekspresi ayah.

"Dek, kontrakan sebelah timur kita kan kosong" ucap ayah menatap mama dalam.

Seketika itu juga tawa mama yang tadi, hilang dari wajahnya, berubah menjadi pias diiringi rasa merinding menerpa tengkuknya. "Terus, yang mendengkur semalam siapa?" Tanya mama dengan nada takut.

Ayah terdiam, jika ia menjelaskan siapa yang mendengkur, mama pasti akan ketakutan dan pasti tidak mau ditinggal lama-lama bekerja oleh ayah. "Sudahlah, jangan terlalu difikirkan" ayah tersenyum.

Hari berganti hari tidak terasa seminggu sudah kami tinggal di sana, selama ini lancar-lancar saja, meskipun kadang aku merasa aneh pada mama yang sering memintaku untuk menemaninya pergi ke kamar mandi hampir setiap malam. Mungkin banyak yang ia dengar tapi tidak mau memberitahu. Pada setiap hari minggu ayah libur dirumah, saat itu aku mendengar ayah bercerita pada mama.

"Semalam aku melihat makhluk aneh di belakang kontrakan" ucap ayah membuka obrolan.

"Makhluk aneh seperti apa mas?" mama merenyitkan alisnya. Sebenarnya mama sudah tidak heran kalau ayah melihat makhluk aneh, karena mama juga sudah tau mata batin ayah terbuka. Mama hanya penasaran makhluk aneh seperti apa yang ayah lihat oleh ayah di belakang kontrakan semalam.

"Semalam ada suara wanita tertawa, aku keluar untuk memperingatinya supaya tidak mengganggu. Tapi pas aku keluar sosok itu melesat terbang ke area pohon bambu seberang sungai bagian belakang"

"Ku... Kuntilanak maksudmu?" Tanya mama kaget.

"Dari baju putih yang dia pakai sepertinya, iya. Tapi ada lagi. Setelah dia menghilang aku melihat sepasang hewan Anjing juga"

"Anjing? Itu mungkin peliharaan warga di kampung sini mas!"

"Oh iya? Tapi apa ada, anjing peliharaan sebesar itu? Tubuhnya berkali kali kali lipat dari ukuran anjing biasa. Warnanya itam dan putih. Besar dek, tingginya hampir sama dengan pundakku"

Mama menatap ayah seksama. Benar juga, di kampung mana ada anjing sebesar itu. "Mas, kita cari kontrakan lagi ya, aku juga ga nyaman disini. Hampir setiap malam aku mendengar suara dengkuran yang tidak jelas asalnya darimana" sambung mama yang memang sering merasakan kejadian aneh saat ayah tidak ada.

Mama yakin, suara dengkuran itu bukan dari tetangga, karena dari 4 kontrakan itu hanya terisi 2 keluarga, dan kebetulan kami menempati kontrakan tepat di tengah-tengah antara dua kontrakan kosong, sedangkan tetangga kami ada di pintu paling ujung sebelah barat.

"Ya sudah, kamu cari lagi info kontrakan kosong di daerah ini ya. Kalau suda dapat kita pindah saja" ucap ayah menutup pembicaran.

Untuk sementara ini mungkin kami harus tetap bertahan, aku sudah mulai masuk sekolah soalnya, kalau dapat kontrakan jauh, maka aku akan lebih kesulitan untuk pergi kesekolah. Namun mama masih berusaha untuk mendapatkan suasana kontrakan yang lebih baik dan yang penting, nyaman.

Hari itu hujan lumayan lebat, aku duduk di depan jendela sambil memandang kearah pohon kelapa yang mendayu karena tiupan angin disertai hujan. Bluk… bluk… terlihat dua kelapa jatu ke tanah.

"Mama lihat, tadi ada dua kelapa yang jatuh" ucapku riang. Ya selama ini aku memang suka mencari kelapa jatuh di kebun itu. Lumayan kan. Hmmm.

"Iya kah? Nanti kalau sudah agak reda kita ambil ya" jawab mama.

Aku setuju, dan masih belum beranjak dari tempatku duduk. Memandang jendela, juga menanti hujan reda. Bosan, aku tidak bisa bermain keluar bersama teman-teman. Sekitar 20 mnit berlalu, hujan mulai mereda meskipun masih terlihat rintik tapi ga deras. Aku sudah antusias banget buat ambil kelapa yang jatuh tadi.

"Mama, udah ga hujan, ayo ambil kelapanya"

"Iya. Tapi kita masih perlu pake payung nak! Mama ambil dulu payungnya"

Aku dan mama berjalan menuju kebun, mencari kelapa jatuh yang aku lihat saat hujan tadi. Ga lama kemudian satu kelapa kami dapatkan, tapi yang satu entah mengilang kemana, sudah di cari tapi tidak ketemu juga. Mungkin jatuh kedalam semak-semak, sehingga tidak terlihat olehku ataupun mama.

Okelah, cuma dapet satu kelapa ga papa. Mama mengajakku pulang, tapi aku belum bisa berlih melihat semak belukar yang tinggi di area kebun itu. "Apalagi yang kamu tunggu, ayo pulang!." ucap mama

"Mama, coba lihat itu." Ucapku sambil menunjuk kearah semak.

Agak heran sih. Selama aku bermain ke area ini rasanya baru pertamakali aku melihat semak belukar setinggi itu. Yang lebih anehnya lagi, semak itu membentuk seperti lorong, mungkin tingginya sekitar dua meteran. Dan mulut lorong itu sebagian tertutup akar dengan ujung yang kelihatan gelap.

Mama jadi ikut terpana meliatnya, kami diam mengamati sesekali saling pandang. Terlihat mama begitu terkejut juga heran. Mataku masih fokus menatap ke mulut lorong yang terbuat dari semak belukar itu, sampai akhirnya aku melihat sesuatu.

"Mama, itu" ucapku, bukan takut, tapi heran juga penasaran.

"Apa?" Tanya mama membungkkuk menyamakan pandangannya dengan pandanganku kearah yang sedang aku tunjuk.

"Lihat itu mah, gede banget kan?" ucapku.

"Apanya yang gede? Lubang itu?" mama tidak mengerti.

"Bukan ma, itu. Apa mama ga lihat ada ular besar sekali, sisiknya warna hitam lagi mau masuk ke dalam lubang semak-semak." ucapku sambil menunjuk.

"Hah? Ular???" Mama menatapku dengan wajah cemas. "Sudah, ayo kita pulang" mama langsung menarik tanganku supaya lekas menjauh dari kebun itu. Sesampainya dirumah, mama memandikanku dan menggati baju yang lebih hangat.

"Coba ceritakan pada mama, apa yang kamu lihat di kebun tadi" Tanya mama sambil menyisir rambutku.

"Ada ular besar ma, warnanya hitam"

"Memangnya sebesar apa?"

"Besarnya kaya pohon kelapa ma. Masa mama ga liat ular sebesar itu, itu tadi dia masuk kelubang goa itu loh ma"

"Nimas. Mungkin tadi yang kamu lihat itu memang batang pohon kelapa. Kamu salah lihat mungkin" ucap mama ingin memastikan.

"Enggak kok ma. Nimas gak salah lihat. Tadi bukan pohon kelapa Tapi ular besar ma! dia bersisik kok, trus juga gerak lagi mau masuk ke dalam goa semak itu" ucapku yakin. Aku menjelaskan apa yang aku lihat tadi. Sedangkan mama langsng terdiam menatapku.

"Nimas. Kamu dengerin mama ya! mulai sekarang kamu ga boleh pergi main ke kebun itu lagi, dan, jangan pernah menyeberang sungai ataupun mendekati semak belukar tadi. Kamu paham?!"

"Iyama" jawabku singkat. Akumemang anakyang ga bisa diam danserba penasaran. Tapi gara-gara lihat ular sebesar itu, jujur, aku jadi agak takut memang. Apalagi mama,diapasti akan lebih ketat padaku. Meskipun ga terlalu menyenangkan, tapi demi keselamatanku juga sih.

Bab berikutnya