webnovel

Hutan Yang Semakin Aneh

Tapi tubuhnya merasa lemas sekali mengingat dirinya tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Menyelamatkan diri saja ia masih merasa bingung!

Ia meneliti hutan aneh di sekitarnya. Berharap menemukan satu petunjuk apa yang bisa dilakukan.

Rusa itu terlihat terpaku menatap dirinya. Seperti berpikir. Hewan itu dirasa Lusia aneh sekali. Ia kerap bertingkah seperti manusia. Apakah itu karena pengaruh kutukan hutan ini? Atau apakah ia hewan jadi-jadian? Atau ia justru manusia yang telah dikutuk menjadi hewan?

Ah, Lusia segera menghapus berbagai pertanyaan dari benaknya. Ia takut semakin dipusingkan karena masalah yang ada saja sudah cukup memusingkannya.

Pandangannya kembali berkeliling, lalu menemukan sederet kotak kayu yang menggeletak di sisi sebuah pohon besar. Pohon itu tinggi menjulang.

Ia bergegas menghampiri kotak-kotak kayu itu. Meletakkan dua tas ransel yang sejak tadi dibawanya. Satu milik Hendra yang menghilang entah kemana.

Lusia pingin menangis rasanya jika mengingat pemuda seperjalannya itu. Sudah tentu ia tak bisa lagi mengharapkan perlindungan pemuda itu karena ia kini benar-benar sendirian.

Rusa itu terlihat menciumi kotak-kotak kayu tempat Lusia meletakkan tasnya. Ia memilih duduk di kotak itu sambil terus berpikir bagaimana caranya untuk bisa keluar dari hutan itu.

Pakaiannya masih basah kuyup, sehingga ia menggigil kedinginan.

"Kamu sih enak! Tinggal makan rumput sudah kenyang. Kalau aku? Mungkin harus membangun ladang dulu baru bisa makan di hutan ini!" gerutunya sambil menatap rusa yang duduk santai di dekatnya.

Hewan itu melenguh pelan, seperti menertawakan dirinya.

Lusia membuka-buka tas ransel Hendra. Dan ia terbelalak gembira saat menemukan beberapa bungkus mie instant yang tersimpan rapi di dalam tas itu. Tak hanya itu, ia juga menemukan beberapa bungkus besar roti yang masih utuh.

Ia terduduk pelan di kotak kayu dengan tatapan sendu. "Hendra... kau telah tiada, tapi tas mu masih berguna untukku..." ia mengisak di sana. Tak mampu menahan kesedihannya. Terus sesenggukan di sana sampai sang rusa mengangkat kepala nya memperhatikan Lusia.

Seperti mengerti akan perasaan galau yang melanda hati Lusia, rusa itu pelan-pelan beranjak mendekatinya. Lalu duduk di sampingnya. Rusa itu juga tiba-tiba menjilati tangannya, lalu menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca.

"Oh? Apa maksudmu rusa? Kau benar-benar seperti manusia! Kau seperti mengerti perasaanku! Apakah kau memang diutus untuk menjagaku?" Lusia mengguncang-guncang tanduk rusa itu dengan tangannya. Lalu ia membelai-belai lehernya. Tangisnya menjadi-jadi. "Jangan tinggalkan aku rusa! Aku benar-benar membutuhkanmu. Kaulah pelipur laraku!" Lusia sedikit menjerit. Ia benar-benar depresi dengan keadaan yang menimpanya. Air matanya bercucuran. Ia memeluk leher rusa itu erat-erat, dan menangis di sana se puas-puasnya.

CLTAAAARRRR!

Petir terdengar menggelegar kembali di langit. Suaranya memekakkan telinga. Lusia mendongak ke atas. Terlihat ratusan burung-burung gagak beterbangan di langit.

Ia cepat-cepat mengusap air matanya. "Menangis juga percuma... ujung-ujungnya aku juga mati..." desahnya putus asa.

Ia terus menatap ratusan burung gagak yang beterbangan liar di langit di atas mereka.

Burung gagak biasanya pertanda buruk. Itu kepercayaan di hatinya sejak ia kecil. Dan burung itu berputar-putar aneh di atasnya.

Seekor burung gagak melayang turun ke arahnya. Hinggap di atas sebuah dahan terdekat sembari mengepak-ngepakkan sayapnya.

NGAAAAK! NGAAAAK! Burung berwarna hitam itu menjerit-jerit seraya menatapnya dengan tajam.

"Apa maumu?! Jangan ganggu aku! Pergi sana!" Lusia menjerit galak seraya mengibaskan tangannya agar burung itu pergi.

Burung itu tak mau beranjak pergi. Ia terus menatap Lusia dengan pandangan aneh. Gadis itu merinding.

"Aku tak bermaksud mengganggumu, kumohon pergilah!" desisnya dengan perasaan ngeri.

Burung itu mengepakkan sayapnya lebih cepat, lalu terbang ke arahnya dan hinggap di kepalanya.

"Aaahhhh!" Lusia terkejut. Burung itu langsung mematuki kepalanya. Terasa sakit karena paruhnya sempat melukai kulit kepalanya. Lama-lama kelakuan burung itu makin menjadi. Ia makin mengganas mematuki kepala gadis itu, sehingga gadis itu menjerit-jerit histeris sambil terus mengibaskan tangannya.

"Pergiiiiii! Pergiiii! Burung sialan!" Ia terus mengibas-ngibaskan tangannya.

Suatu saat tangannya berhasil mencengkeram burung itu, dan meremasnya dengan gemas. "Kena kau burung sialan!" Lusia memekik gembira sambil ia terus memiting unggas itu.

Burung itu menggelepar-gelepar di tangannya. Dengan gemas Lusia membantingnya ke tanah, lalu menginjak-injaknya hingga burung itu penyok-penyok berlumuran darah. "Kau pikir ini film Indonesia? Yang horor selalu menang?!" Lusia memekik dengan penuh rasa puas. Nafasnya terengah-engah. Ia terduduk kelelahan di peti kayu, mengembalikan nafasnya yang megap-megap. Lalu memandang lagi ke arah langit dengan pandangan nanar.

Ratusan, kini bahkan ribuan burung gagak berkumpul di langit di atasnya. Berputar-putar seakan mengawasi dirinya.

Lusia mengerutkan alis. "Apakah burung-burung itu mempunyai kelakuan yang sama dengan burung yang tadi? Menghadapi satu saja dari mereka aku sudah kerepotan..." desisnya khawatir. Ia lalu menatap sepatunya yang berlumuran darah burung. Ia tersenyum kecut.

NGAAAAK! NGAAAAK!

Puluhan burung gagak yang lain tampak terbang semakin rendah, dan semuanya kini terbang melesat cepat ke arah dirinya!

Wajah Lusia sontak pucat. "Duh, sialan! Burung gagak ternyata punya rasa solidaritas juga...!" desisnya tak percaya.

Puluhan burung gagak itù kini menyerbu dirinya, seraya berusaha mematuk tubuhnya, sama seperti tadi.

Lusia kembali mengibas-ngibaskan tangannya dengan panik. "Kalian mau jadi burung geprek lagi ya?! kayak tadi...?!" Ia berteriak beringas. Tangannya menampar kesana-kemari berusaha menangkap burung-burung yang ada di sekitar tubuhnya.

Puluhan burung-burung itu terus mengelilingi tubuhnya, berusaha mematuknya, dan Lusia hanya bisa menutup bagian tubuhnya yang terbuka agar tidak dipatuk burung-burung itu.

Rusa jinak itu tiba-tiba berdiri dan melenguh keras seraya menggoyang-goyangkan kepalanya.

Burung-burung ganas itu mendadak pergi lagi ke langit. Berkumpul bersama teman-temannya yang masih terus berputar di langit sana.

Lusia terpaku. Nafasnya masih ngos-ngosan. Ia menatap rusa yang masih berdiri menantang burung-burung itu dengan pandangan takjub. Benar-benar hewan ajaib! Pikirnya.

Tapi ketakjubannya tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian terjadi hal yang kembali membingungkannya.

Peti-peti kayu, salah satunya yang ia duduki tiba-tiba bergerak terbuka papan penutupnya.

Kreoootttt-tttt-t-t.... brak!

Papan penutup salah satu peti terdekat terempas ke tanah....

Lusia.melotot menatapnya. Ia cepat-cepat menjauh ketika hal yang sama juga terjadi pada peti kayu yang ia duduki....

Bab berikutnya