Kakiku menghentak-hentak tidak sabar. Sudah pukul setengah 7, tetapi Adam belum datang juga. Apa dia masih tersesat? Padahal aku sudah memberitahunya lokasiku. Kulihat mama kembali dari luar membawa ember, habis menjemur pakaian. Tatapan herannya menyerangku. Aku membalasnya dengan dengan tatapan kesal.
"Han, kenapa belum berangkat? Sudah jam setengah 7. Mana Jo?"
"Aku gak sama Jo pagi ini, ma. Aku sama temenku yang lain" balasku kesal.
"Ya sudah, minta dia cepat datang. Atau gak kamu pergi duluan saja nanti ketemu di jalan atau sekolah. Jangan sampai telat kamu" tegur mama, khawatir.
Aku mengiyakannya. Aku cepat-cepat mengikat tali sepatuku dan bergegas keluar. Kulihat ke kanan dan kiri, tidak nampak sosok seperti Joshua atau Adam menuju ke sini. Aku mendengus kesal dan segera berlari menuju sekolah. Kalau tahu seperti ini, lebih baik aku berangkat sedari tadi. Kakiku melangkah cepat setengah berlari. Kuharap bisa memotong waktu ke sekolah lebih cepat. Pikiranku mulai mengawang-awang agar perjalananku tidak terasa melelahkan.
Oh iya, Joshua juga tidak datang pagi ini. Apa dia mengerti ya ucapanku semalam? Ah, aku tidak menduga orang keras kepala seperti dia bisa mengerti ucapanku secepat ini. Lagi pula, bukankah semalam dia justru menjawab kalau dia... ingin menjadi laki-laki pertama yang kutemui setiap pagi?
Uh, aku malu sekali. Kenapa sih Joshua harus bicara seperti itu. Aku 'kan jadi berdebar. Tetapi aku tidak ingin jatuh padanya. Aku tidak ingin selamanya tidak bisa bernafas. Pagi ini pun dia tidak datang. Aku simpulkan saja kalau dia memang mengerti ucapanku.
***
"Adam Lubis? Ada?" tanya wali kelasku dari depan depan.
"Absen, Sir!" sahut ketua kelas.
Aku melihat ke kiri dan memang bangku itu kosong. Aku tidak mengerti, kemana dia? Tadi pagi dia jelas-jelas pergi, bahkan dia mengirimkan foto lokasinya karena sempat tersesat saat ingin menjemputku. Tetapi sekarang dia malah hilang.
Aku melirik keluar jendela. Di lapangan sekarang sedang ada kelas pelajaran olahraga. Dari lantai 2 ini aku bisa melihat jelas kegiatan mereka. Kulihat beberapa sosok siswi yang kuketahui, mereka yang kemarin melabrakku ada di sana. Mereka dari kelas yang sama dengan Joshua.
Benar, Joshua juga disitu. Aku heran kenapa sempat tidak melihatnya padahal dia yang paling tinggi di antara siswa sekelasnya. Tipe orang yang gampang sekali ditemukan di tengah keramaian.
Bicara soal Joshua, m dia ternyata masuk sekolah. Sebelumnya, yang ku tahu, jika dia tidak menjemputku saat pagi hari, artinya dia memang tidak sekolah. Tetapi kali ini tidak. Dia mulai berhenti mendatangiku dan itu membuatku sedikit lega. Tampaknya dia memang mengerti ucapanku.
Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba Joshua menoleh padaku dari bawah. Dia memang tahu lokasi kelasku tapi seharusnya dia tidak tahu aku memperhatikannya. Aku segera buang muka, mengingat tekad ku untuk menghindarinya pagi ini. Meski berdebar, aku harus tahan.
Getaran ringan terasa dari laci mejaku. Ada chat masuk. Pelan-pelan tanpa diketahui guru, aku mengecek chat dari siapa itu. Kurahap itu dari Adam. Aku sedikit khawatir dengannya.
Tetapi bukan, ini dari Joshua. Dia mengirimkannya begitu aku membuang muka darinya.
"Maaf gak jemput kamu pagi ini. Aku ada urusan yang harus diselesaikan. Tapi hari ini spesial. Aku harap bisa bicara padamu sebentar. Bagaimana kalau istirahat pertama, Han?"
Aku melirik padanya dari ujung mataku. Joshua baru saja mengantongi kembali smartphonenya lalu menoleh ke atas sekali lagi. Aku pura-pura tidak melihat. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tetapi bagaimana caranya aku menolaknya? Ah, aku jujur saja!
"Gak" balasku dingin di room chat kami.
Kulirik dia dari atas, dan dia segera mengambil smartphonenya kembali. Aku tidak menerima balasan apapun. Mungkin aku melukai hatinya tetapi bagaimana lagi, kupikir inilah yang terbaik.
Aku segera pindah room chat ke Adam. Aku khawatir padanya. Aku mengirimkan beberapa pesan.
"Dam, lu kemana :("
"Masa sih nyasar sampe gak masuk sekolah..."
"Gue masih mau nanyain chat lu semalem. Joshua emang kenapa?"
Aku segera mematikan layar smartphoneku begitu guru berdehem melihatku sibuk sendiri daripada pelajaran. Kurasakan beberapa getaran muncul dari laci mejaku. Ada balasan. Kuharap itu dari Adam, bukan Joshua. Begitu sudah aman, kubuka aplikasi chat itu dan benar ada balasan dari Adam. Mataku sempat melirik singkat room chatku dengan Joshua kalau Joshua tidak membalas. Aneh, biasanya dia banyak bertanya jika aku menolaknya.
Kubuka chat dari Adam dan pesan singkat darinya cukup membuatku heran.
"Hanessa"
Ya, oke. Itu namaku. Tapi jarang sekali aku Adam memanggilku Hanessa. Biasanya hanya Han atau Eca. Belum lagi nada tulisan lebaynya yang tidak ada. Kali ini benar-benar datar. Belum sempat aku membalasnya, pesan baru masuk, dan aku hampir kehilangan ketenanganku karenanya.
"Memangnya aku kenapa?"
"Aku"..? Aku kan bertanya Joshua kenapa, bukan dia yang kenapa. Baru saja jari-jari lentikku mengetik balasan, sebuah pesan baru masuk. Dia mengirimkan foto.
Foto Joshua.
Selfie Joshua dengan background gedung dimana kelasku berada dan foto itu baru saja diambil beberapa detik yang lalu.
Aku menoleh cepat ke lapangan. Di sana berdiri Joshua yang juga menoleh ke atas dari balik bahunya. Dia memamerkan sebuah smartphone asing yang kutahu bukan miliknya ke arahku. Itu... Smartphone milik Adam.
Kenapa ada bersamanya?
"Hanessa Cherie. Kalau masih ingin main handphone, lebih baik kamu di luar. Saya cuma mau mengajar anak yang mau belajar!" seru wali kelasku.
Semua mata anak sekelas kini menatap wajah pucatku. Tetapi itu bukan lagi menjadi fokusku. Aku segera beranjak dari mejaku dan permisi keluar. "Oke Sir, saya diluar saja kalo begitu. Permisi!" izinku dan langsung menutup pintu kelas. Meninggalkan guruku yang terkejut dengan sikapku pada kata-katanya.
Kakiku melangkah cepat menyusuri lorong kelas. Lorong sangat sepi, semuanya sedang belajar secara kondusif di kelas masing-masing. Bahkan tidak ada guru yang lewat. Aku jadi lebih mudah untuk mempercepat langkah. Bukan kepada Joshua tujuanku, aku tau dia pasti melakukan sesuatu. Tapi aku tidak ingin tahu apa-apa darinya. Aku ingin memastikannya sendiri. Masih sambil berlari, tanganku sibuk memesan ojek online menuju rumah Adam.
Namun hari ini aku sungguh tidak beruntung. Tepat di belokan menuju tangga turun, aku justru menabrak orang yang paling tidak ingin kutemui. Joshua. Dia segera menggenggam pergelangan tanganku keras dan menatapku tajam. Aku terkesiap, berusaha melepaskan cengkramannya tetapi dia lebih kuat.
"Joshua, lepas!" perintahku.
"Ikut aku" perintahnya balik.
"Gak! Kamu apain Adam?! Kamu apain temen aku?! Kenapa smartphonenya sama kamu?!"
"Segitu pentingnya kah Adam? Han, kenapa kamu gak begitu sama aku?"
"Kamu sinting ya?!"
"Aku gak biarin kamu pergi. Ikut aku" Jo menarik tanganku ke tangga menuju lantai tiga.
"Gak mau!!" aku membanting keras cemgkramannya dan celah tercipta di situ. Aku segera menarik tanganku dan berlari ke bawah. Kudengar suara langkah Joshua mengikuti dari belakang, tapi aku tidak ingin membuang waktu hanya untuk mengeceknya.
Aku berlari sekuat tenaga menuju gerbang sekolah. Syukurlah itu sedang terbuka, jadi aku tidak perlu bertengkar dengan satpam untuk membukakannya. Lebih baik lagi, ojek pesananku sudah datang.
Aku segera naik dan menyuruh pengemudinya segera jalan. Kulihat Joshua tertahan di lapangan karena tertangkap guru olahraganya. Kulihat juga mata dinginnya menatapku tajam seiring aku menjauh. Dia bahkan tidak peduli dengan guru yang sedang memarahinya.
Perjalananku terhenti ketika jalan yang biasa tiba-tiba ditutup. Kulihat ada banyak mobil polisi dan sebuah mobil ambulans disana. Terdorong penasaran, aku turun dan mengecek ada apa. Aku bertanya pada ibu-ibu yang berkerumun di sana dan mereka bilang ada mayat yang memakai seragam SMA ditemukan di balik semak-semak.
Aku pucat. Perasaanku tidak enak, sangat tidak enak. Aku menyelipkan tubuh kecilku di antara banyaknya orang untuk melihat sosok itu. Tak lama, aku pun sampai pada posisi yang amat nyaman untuk melihat jelas mayat yang sudah dimasukan ke dalam kantong mayat itu, dengan resleting yang masih terbuka.
Adam.
Itu benar Adam.
Sekalipun wajahnya hancur, aku bisa mengenali tahi lalat di lehernya itu dan seragam sekolahnya yang sama dengan milikku berlumuran darah. Dia benar Adam.
Aku tidak bisa lebih pucat dari ini. Lututku rasanya lepas dari tempatnya. Aku bahkan tidak punya kekuatan untuk memuntahkan rasa mualku melihat begitu banyaknya darah. Polisi menyuruhku untuk mundur, tetapi aku segera menahan tangan polisi itu. Dia berhenti.
"P-pak, i-itu teman saya... Ka-kami satu se-sekolah... Dia kenapa, p-pak?" tanyaku, hampir menangis. Untunglah polisi itu mengerti. Dia segera memberitahuku apa yang terjadi.
"Temen kamu kecelakaan. Dugaan sementaranya karena jatuh dari motor lalu sama warga di bawa ke semak-semak. Tapi kami belum bisa kasih jawaban pasti karena belum divisum"
Dia tidak jatuh dari motor. Kalau pun iya, kenapa smartphonenya bisa ada pada Joshua? Aku yakin sekali sesuatu terjadi di antara mereka.
Sudah setengah menangis, aku mencoba mengutarakan keraguanku "P-pak, saya rasa penyebabnya bukan kecelakaan. S-saya yakin penyebabnya-" ucapanku terpotong ketika sebuah tangan menarikku ke belakang.
"Maafin pacar saya, pak" Joshua menyahut dari belakangku.
"Itu sahabatnya pacar saya. Dia pasti shock berat. Tolong segera kabari kami bagaimana hasil visum sahabat kami itu ke sekolah. Sekolah kami di SMA Noimosýni" lanjut Joshua dengan nada iba. Aku menatapnya tidak percaya dengan mataku yang masih terus mengeluarkan air mata.
"Baik, akan segera kami urus" tutup polisi itu dan segera dia pergi.
Aku sempat melawan dan ingin ikut dengan polisi itu tetapi Joshua menarikku keras, lebih kuat dari sebelumnya. Aku menangis, tetapi Joshua tampaknya tidak peduli. Ojek pesananku sudah tidak ada. Aku ditarik oleh Joshua ke motornya yang diparkir tidak jauh daru keramaian. Di sana sudah ada tas kami berdua.
"Aku izinin kamu dari sekolah. Kubilang kamu sakit. Aku juga bolos sekalian" jelas Joshua sambil memakai helm.
"J-Jo-"
"Aku bilang hari ini spesial kan." Joshua memotong kata-kataku.
Cengkramannya semakin sakit di lenganku. Dia menaikkan kaca helmnya dan kini mata biru itu menatapku penuh intimidasi.
"Kamu harus ikut aku. Naik. Dan jangan berani coba untuk turun atau loncat. Aku tabrak kamu nanti seperti yang aku lakukan ke Adam" ancamnya. Benar, dia memang melakukan sesuatu ke Adam.
Aku naik ke atas motornya perlahan. Joshua segera menarik tanganku agar memeluknya dari belakang. Kemudian dia melajukan motornya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
***
"Turun" perintah Joshua lagi.
Kita sudah sampai di depan rumahnya. Rumah besar itu masih berdiri sama seperti tahun-tahun lalu. Aku jadi teringat betapa lamanya aku tidak berkunjung kesini. Selalu Joshua yang ke rumahku. Suara pagar ditutup membuyarkan nostalgia kliseku. Aku juga baru menyadari kalau Joshua menggembok pagarnya. Aku menatapnya pucat.
"Ke-kenapa digembok?"
"Kenapa? Supaya kamu gak lari. Rumahmu cuma dua gang dari sini"
"Jo-"
"Masuk" Jo mendorong punggungku ke dalam pintu yang sudah dia bukakan untukku. Aku terlempar masuk dan kulihat ruang tamu yang sama seperti dulu. Bayangan-bayangan masa lalu ketika kami menginap bersama disini teringat kembali. Kali ini terasa perih karena situasi sudah sangat berubah.
Joshua sudah jadi pembunuh.
"Jo, kamu mau apa?" tanyaku, kukumpulkan sisa-sisa keberanianku untuk terlihat kuat di depannya. Yang kutatap malah memutar bola matanya dengan malas.
"Kenapa kamu bunuh Adam? Dan Rachel? Rasanya tuduhan Naura jadi masuk akal buat aku. Kenapa kamu lakukan semua itu?"
"Kamu benar. Aku yang bunuh mereka" deklarnya.
Aku lemas seketika, meski aku sudah mendapat firasat ini lebih dulu. Dia mengakui semua bukti dari perasaan tidak nyamanku padanya.
"Tapi kenapa? Jo?" tanyaku lemas.
"Mereka serangga yang mengganggu hubungan kita"
"Hubungan kita? Memang kita apa...?" mataku mulai menahan air mata. Aku berusaha menatap sosok Joshua yang mendekat dan meraih pipiku dari buramnya pelupuk penuh air ini.
"Kamu anggapnya apa?"
"Jo, dengerin aku. Aku tahu Rachel suka sama kamu. Naura juga. Dan aku diam saja pas mereka dekati kamu, bukan karena mereka temanku. Tapi karena aku memang gak punya perasaan romantis ke kamu. Aku anggap kamu temenku dari kecil. Teman aku yang paling berharga. Aku gak mau lebih banyak hal buruk terjadi sama kamu karena kamu dekat sama aku. Kamu lihat... Banyak hal buruk terjadi kalau kita sama-sama. Mata kamu yang tercungkil, aku kecelakaan kereta, kamu mau apa lagi? Suatu saat juga kamu pasti pacaran, dan aku juga pasti pacaran. Tapi bukan kita berdua, kita sama orang lain..." aku menyeka air mataku yang jatuh. Sungguh kuharap dia bisa mengerti. Joshua mengusap pipiku lembut dan mendekat.
"Even so, I’ll keep going" jawabnya lembut.
"Jo, ih kamu kenapa sih gak ngerti-ngerti... Aku gak bisa-"
"Aku gak akan pacaran sama Rachel, Naura, atau siapapun. Aku, akan selalu sama kamu, Han" potongnya. Dia menatapku seperti yang belum pernah aku lihat. Tersirat banyak harapan dan perasaan yang meluap.
"Aku sayang kamu"
Kuterpaku mendengarnya. Tengkukku terasa dingin sekali dan tidak ada rasa senang sedikitpun. Tidak seperti mendapatkan pernyataan cinta dari seseorang yang terasa menyenangkan. Aku justru merasa kebalikannya. Rasanya sedih dan menakutkan. Joshua mengambil beberapa helai rambutku dan menciumnya.
"That's why I killed Adam, too" lanjutnya.
"Kamu pikir aku akan membiarkan kamu dengan orang lain begitu saja? Sebagai laki-laki, aku tidak bisa melihat perempuan kesayanganku didekati orang lain. You are mine, Han, you should have know that. Sejak pertama kamu milikku" deklarnya.
"No!! Kita gak pacaran!"
"Yes. Mulai hari ini"
"Joshua!! Lepasin!!" aku meronta, mencoba melarikan diri dari pegangannya. Tetapi Joshua justru menarikku ke dalam pelukannya. Daguku terangkat ke atas, dipaksa untuk menatap mata birunya.
"Aku sering melihat beberapa pasangan di sekolah melakukan ini. Kurasa kita juga sudah bisa sekarang" Joshua mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku bisa merasakan nafasnya berhembus di pipiku. Tercium seperti mint dan tembakau secara bersamaan.
Aku meronta, "Tante Widyaaaa!!" jeritku keras sambil mencoba memalingkan wajahku dari cengkramannya. Joshua sempat berhenti, tetapi hanya untuk menahan tawanya.
"Oops, aku lupa kasih tahu kamu. Mamaku sudah pindah ke Jerman. Aku juga akan menyusul kesana setelah lulus SMA. Kamu juga ikut denganku nanti"
"Gak!! Lepasiiiin!!" tolakku cepat. Tetapi Joshua sama sekali tidak bergeming.
Aku semakin menjerit ketika Joshua menurunkan kepalanya. Dia semakin dekat dan aku tidak bisa lari lagi. Rontaanku sejenak berhenti ketika tekanan ringan mendarat di bibirku. Masih dengan tangan yang mencengkram daguku, Joshua mencium bibirku. That’s my first kiss.
Aku diam membeku. Merasakan nafas mint Joshua yang berhembus mengenai wajahku. Joshua memperdalam ciumannya. Dia menekan bibirku dan memaksanya terbuka. Aku masih bertahan dengan tidak memberinya izin masuk. Tetapi tangannya justru menekan pipiku hingga rahangku terbuka.
Dengan celah kecil yang terbuka, Joshua masuk ke dalam mulutku. Lidahnya menjelajah di dalam dan sesekali mengajak lidahku bermain. Dadaku panas, seluruh tubuhku panas. Joshua tetap melakukan itu seperti seorang yang akhirnya mendapatkan candunya. Tangannya berpindah dari pinggangku menuju atas. Mencengkram rambutku hingga berantakan dan mendorong kepalaku kepadanya agar ciuman kami lebih dalam.
"Ngggh!!" aku mulai kehabisan oksigen. Joshua tampak mengerti tetapi keringanan yang dia beri hanya memberi celah di hidungku untuk menarik nafas, tanpa melepas bibirnya dari bibirku. Nafasnya juga semakin menderu ketika semakin dalam dia masuk. Tampaknya belum ada tanda jika dia ingin menyudahi ciumannya.
Aku mulai menangis lagi dan memukuli dadanya. Aku berusaha menyadarkannya. Usahaku sedikit berhasil. Mata indah Joshua yang tadinya terpejam kini setengah terbuka dan bertemu dengan mataku yang berlinang. Dia menggigit bibir bawahku lembut dan memberikanku satu ciuman basah yang terakhir sebelum akhirnya menjauh.
Aku segera mengambil banyak oksigen. Wajahku memanas. Kulihat wajahnya juga memerah. Dan benang-benang saliva yang terhubung di antara bibir kami menambah kesan erotis. Joshua masih menangkup wajahku di kedua tangannya. Uap panas dari nafas kami masih terasa satu sama lain. Menambah lemas tubuhku yang hampir jatuh. Kulihat dari mataku yang sayu, Joshua kembali bicara.
"Kamu gak boleh pulang. I love you, Han"