"Good morning, Han" sapa Joshua ketika kubuka pintu rumah. Dia sudah siap di sana dengan seragam SMA nya. Joshua terlihat sedikit lebih dewasa sekarang dengan celana abu-abu panjang plus dasi di kerahnya. Sungguh sebuah pemandangan yang segar dan baru untukku.
Aku tersipu, tetapi langsung mengalihkannya dengan menunduk. "Good morning..." kataku lirih sambil mengalihkan wajah darinya.
Kulihat sepatuku di bawah belum terpasang rapi. Saat aku baru ingin membetulkannya, tiba-tiba sepasang tangan memasuki pandanganku. Tangan milik Joshua. Dia berlutut memasangkan sepatuku.
"Ah! Eh! J-Jo?" aku panik. Aku berusaha mencegahnya tetapi dia menepisku pelan.
"Udah, biar aku aja" balasnya ketus membuatku sulit menolak. Tangannya dengan cepat mengikat tali sepatuku dengan rapi.
Aku malu. Akhir-akhir ini Joshua semakin sering melakukan sesuatu untukku meski aku tidak memintanya. Dia hanya bilang dia khawatir aku lelah padahal aku sudah sepenuhnya sehat. Hal ini justru kadang mengangguku. Yah, walaupun aku juga tidak memungkiri kalau sebetulnya aku cukup berterima kasih padanya. Tetapi tetap saja aku merasa diremehkan.
"Ayo jalan?" ajaknya setelah berdiri kembali. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku tidak menyambut tangan itu. Langsung saja kudahului dia dengan berjalan di depannya. Kudengar dia sempat terkekeh di belakangku lalu mulai mengikutiku.
Kami berjalan dengan aku di depan Joshua, bukan bersebelahan. Kakiku dengan hati-hati menghindari genangan-genangan sisa hujan semalam. Lalu udara dingin juga membuatku merapatkan jaketku menahan angin yang terus berhembus.
Cuaca hari-hari ini sangat love-hate. Terkadang aku senang ketika hujan turun karena suaranya menenangkan. Juga aroma hujan yang memberiku banyak nostalgia. Tetapi terkadang aku tidak kuat dengan dinginnya angin setelah hujan. Aku jadi gampang terkena flu.
Melihatku kedinginan, Joshua mendekatkan dirinya padaku untuk menutup ruang angin berhembus di antara kami. "Bagaimana kabarmu hari ini?" Joshua mengulang pertanyaan itu lagi. Aku sampai hapal pertanyaan itu setiap pagi. Aku tersenyum paksa sambil menggaruk pipiku yang tidak gatal.
"Kamu bukan dokterku atau apa, ’kan... Apa perlu aku lapor terus ke kamu soal kesehatanku?" nadaku jengkel.
Joshua memicingkan matanya. "Kamu gak suka?"
"Enggak juga sih, Jo..."
"Kalau gitu, jawab saja. Apa sulitnya?" tuntutnya tanpa ampun.
Aku menarik nafas panjang. "Baik. Aku sudah sembuh loh, Jo. Dari kemarin-kemarin juga sudah. Pertanyaanmu rasanya sudah gak perlu ditanyakan lagi..." sebisa mungkin aku menjawabnya dengan tenang. Menyingkirkan sebentar kejengkelanku.
"Yah, setidaknya" balas Joshua, menggantung.
"Setidaknya?"
"Setidaknya aku mau tahu kamu jujur atau enggak"
"Hah? Maksudnya?"
"Aku selalu pantau kamu, setiap waktu." Joshua menekan nadanya di bagian “setiap waktu” seakan memintaku untuk fokus pada bagian itu. Dia melirikku dengan tatapan itu lagi. Mata kelam dan mengintimidasinya.
Bulu kudukku berdiri melihatnya. 'Setiap waktu" bukanlah kata-kata yang pas. Karena tampaknya kegiatan di SMA lebih banyak daripada SMP, Joshua hanya menemuiku setiap pagi seperti ini. Kita bahkan tidak pulang sekolah bersama lagi. Sudah jarang saling main ke rumah satu sama lain, bahkan tidak pernah lagi menghabiskan sore di taman. Hanya seperti ini pertemuan kami. Tetapi dia bilang dia memantauku setiap waktu?
"Ehm.. Jo, aku sudah sehat. Kamu bisa tenang. Bukannya aku gak senang diperhatikan kamu, tapi sepertinya kamu terlalu berlebihan deh-"
Belum selesai aku bicara, aku terkejut ketika Joshua menyambar tasku dan memikulnya. Dia langsung melenggang mendahuluiku, tidak peduli denganku yang berusaha menarik tasku kembali.
"Jo, balikin!" tarikku ketika tanganku berhasil menggapai tasku.
"Biar aku yang bawa" balasnya dingin.
"Ih kamu apaan sih? Aku udah sehat! Aku kuat bawanya sendir-"
Aku terlalu fokus menarik tasku hingga tidak sadar jalan yang kupijak licin. Kakiku terpeleset. Seketika pandanganku berputar cepat dan kabur. Aku akan jatuh. Bahkan dalam detik-detik itu aku masih bisa berpikir sangat cepat, tetapi secepat apapun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mempersiapkan diri untuk menerima rasa sakit sampai tiba-tiba pandanganku berhenti menghadap langit biru. Tetapi tidak ada sakit atau benturan.
Jo menahan tubuhku agar tidak jatuh.
Masih dengan dua tas yang dia bawa, Joshua memposisikan aku berdiri tegap kembali. Aku masih terdiam beberapa saat, berusaha mengembalikan diri dari shock. Lalu genggaman tangan Joshua pada tanganku membuat aku mulai fokus kembali.
"Mau jalan yang benar atau aku genggam tangan kamu sampai sekolah? Pilih." tanyanya serius, dengan penekanan disetiap nadanya. Masih dengan aura intimidasi darinya, dia tidak membiarkanku memilih hal lain dari pilihan yang dia berikan.
Aku menarik tanganku perlahan, dia menatapnya, tetapi tidak menahan tanganku pergi. Titik keringat mengalir di pelipisku. Aneh, padahal pagi ini sangat dingin.
"Kalau begitu, jalan yang benar" perintahnya. Kembali dia berjalan mendahuluiku. Aku menelan ludah gugup tetapi langsung berlari kecil agar kami berjalan bersebelahan. Joshua kembali melirikku, dia tersenyum dan memotong kembali celah angin di antara kami.
"Sore ini aku main ke rumah, ya" kata Joshua tiba-tiba. Aku sedikit kaget. Tumben. Bukankah dia yang selalu sibuk dengan kegiatan sekolah akhir-akhir ini?
"Ya, boleh saja sih. Tapi mamaku sepertinya pergi. Kalau mau makan siang, mungkin kita beli di luar atau masak dulu"
"Nanti aku yang masak. Jangan beli di luar nanti kamu sakit"
"Ya ‘kan aku belinya yang gak jorok..." gerutuku, bohong. Terkadang jajanan yang kubeli memang kurang bersih sih, tapi rasanya enak. Bagaimana dong?
Joshua mendengus kesal. "Gak, kamu jajan selalu yang gak bersih. Aku lihat kamu jajan di pinggir jalan dan yang jualannya dekat tong sampah" bantah Joshua.
Dia lihat? Selama jajan aku selalu sendirian.
"Ka-kamu lihat dari mana?!"
"Aku lihat, pokoknya. No more discussion. Pokoknya aku datang nanti terus masak. Bantu aku" perintahnya. Kakinya berhenti dan Joshua memberikan kembali tasku.
Aku sampai tidak sadar kita sudah sampai di sekolahku. Joshua masih harus berjalan 50 meter lagi untuk sampai ke sekolahnya. Dia tersenyum menungguku mengambil tasnya. Kini wajahnya sudah seperti Joshua yang kukenal. Ramah dan ceria. Aku ingin bersikap normal kembali tetapi entah mengapa perasaan takutku padanya tidak hilang, justru semakin besar dengan sikapnya sekarang.
Aku segera mengambil tasku dan pergi begitu saja ke dalam sekolah tanpa berpamitan, atau membiarkan kepalaku diusap olehnya seperti yang dilakukannya setiap selesai mengantarku.
Kali ini aku benar-benar kesal. Kenapa dia mengetahui semuanya? Apa dia mengikutiku?
***
Jam menunjukkan pukul 15.00 sore. Joshua benar-benar datang. Berbeda dengan seragam SMA yang dia pakai tadi pagi, sekarang seragam itu diganti dengan kaos hitam polos dan celana olahraga biru dongker terlihat bagus di postur tingginya. Dia tersenyum ketika aku membukakan pintu untuknya.
"Kamu udah mandi ya?
"Iya, tapi belum makan. Mamaku juga sedang pergi bertemu teman bisnisnya. Ayo masak, aku sudah lapar"
"Hum. Ayo masuk. Aku juga sudah lapar"
Aku mempersilahkan Joshua masuk. Rasanya seperti kembali asing, dia melihat-lihat bagian dalam rumahku seperti pertama kali. Aku membuka jendela agar udara segar masuk ke dalam. Kulihat Joshua masih memperhatikan rumahku sampai menuju ke dapur. Aku menghampirinya dan kami mulai mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan. Saat kutelfon mama, dia bilang kami boleh memakan bahan apapun di kulkas. Ada daging, udang, sayur... Bahannya lengkap, bisa mendukung terbuatnya masakan yang enak. Kami mulai mengeluarkan bahan-bahan itu tetapi kemudian kami menyadari sesuatu yang sangat penting.
Kami tidak punya kemampuan memasak.
Joshua tersenyum kecut saat menyadari kalau dia lebih pandai makan daripada memasak. Aku tertawa renyah, kemudian memasukan kembali bahan-bahan itu ke kulkas. Pada akhirnya kami hanya masak telur dadar dan tumis pokcoy apa adanya. Itu pun setelah berdebat ketika aku bilang ingin makan mie instan saja tetapi Joshua melarangnya.
Aku memasukan sendok berisi nasi, telur dan pokcoy itu ke dalam mulut. Ternyata rasanya tidak begitu buruk. Tapi apa Joshua merasakan yang sama? Lidahnya mungkin kurang cocok dengan makanan ini. Kulihat Joshus makan dengan lambat karena dia kembali melihat-lihat isi rumahku.
"Aku kangen rumah kamu, padahal setiap pagi aku ke sini" katanya, masih sambil menerawang rumahku.
Aku menelan makananku dulu sebelum menjawabnya. "Iya soalnya kamu gak main ke dalam. Terakhir kamu masuk, saat saat liburan naik kelas 9. Sekarang aku saja sudah mau ujian akhir semester dan kamu mau naik ke kelas 11" jelasku, masih melanjutkan makan.
Joshua tiba-tiba menatapku serius. Bahkan tidak memberi perhatian sedikit pun pada makanannya. "Oh iya Han, nanti kamu mau masuk SMA mana?" tanya nya.
Oh, aku jadi teringat berita baik yang pihak sekolah sampaikan padaku tadi pagi. Sedikit bersemangat, aku mengatakan itu pada Joshua. "Oh iya, Jo! Aku belum cerita! Aku dapet rekomendasi yang sama seperti kamu dapat tahun lalu loh! Ke sekolah Internasional itu! Nilai-nilaiku bagus soalnya. Kayaknya aku mau masuk ke sana aja, deh!" ceritaku berseri-seri.
Kontras denganku, Joshua malah tampak semakin serius. Dia bahkan hampir tidak berkedip saat menatapku. Udara terasa semakin dingin. Untuk beberapa detik, Joshua diam. Lalu akhirnya merespon ceritaku.
"Oh ya? Aku juga mau pindah kesana semester depan"
Aku kaget dan hampir tersedak. Apa aku tidak salah dengar? Joshua menolak rekomendasi itu tahun lalu dan kini mau pindah ke sana? Padahal kukira prestasinya di sekolah yang sekarang sangat bagus.
"Ke-kenapa kok mau pindah? Bukannya dulu kamu tolak?"
"Aku sudah buat keputusan untuk pindah kesana. Standard pendidikannya lebih bagus" jawabnya, kini dia mulai makan.
Aku masih terdiam. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi... Apa dia mau pindah karena aku bilang aku mau ke sana?
Joshua melirikku yang berhenti makan. Dia menegurku "Makan, Han. Jangan terlalu dipikirkan. Lihat dari sisi positifnya, kita bisa pulang dan pergi sekolah bersama lagi. Ada aku, kamu jadi lebih aman" tegasnya.
Tetapi tidak ada rasa aman yang kurasakan dari mendengar kata-katanya. Aku justru semakin takut. Joshua seperti mendeklarkan kalau aku tidak bisa lepas darinya. Aku takut, sama seperti yang kurasakan saat insiden mata Jo yang hampir tercungkil. Aku ingin lari lagi darinya tapi kemudian rasa bersalahku tidak mengizinkanku berlari lebih jauh.
Joshua yang tersenyum di hadapanku, pelan-pelan mengembalikanku pada kenyataan. Ekspresi teduhnya menenangkan aku kalau aku tidak perlu takut padanya, aku hanya terlalu tenggelam dalam perasaanku. Jo itu temanku yang paling baik. Aku tidak ingin disiksa rasa bersalah lagi. Aku harus menguasai diriku dari rasa takut padanya.
***
Hanessa terdiam ketika aku mengucapkan sebagian alasanku di balik rencana pindah sekolah. Wajahnya menyiratkan kengerian, tapi itu bukan urusanku jika dia takut. Aku adalah orang yang bertanggung jawab pada ucapanku sendiri, bahkan sejak aku kecil.
Like what I said before, when you came to my house at that time, Han.
"I'll stay with you forever."
You will hear this again when things are getting more serious
And I can't wait for that too.
Yang harus aku lakukan sekarang adalah melindungimu dari siapapun pengganggu yang bisa menyebabkan kamu terluka. Aku akan terus melindungi kamu, bahkan sampai lebih dari saat tujuanku tercapai.
Aku melemparkan senyumku padanya, menahan semua semangatku yang akan terjadi saat kami dewasa nanti. Aku sangat tidak sabar. Hanessa yang kemudian membalas senyumku membuat adrenalinku semakin cepat.
You're mine, Hanessa.