Malam itu, aku menginap di rumah Joshua.
Setelah ibuku pulang dari mengantar ku ke rumahnya, tante Widya langsung mempersilahkan ku masuk untuk makan malam bersama. Joshua juga menyambut ku, lalu langsung mengangkat tas ku dan menaruhnya di ruang tengah yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk kami.
Dua kasur dengan selimut tebal sudah berada disana, playstation keluaran terakhir dengan dua consoler, ada juga beberapa komik dan buku lainnya. Kalau tidak salah, Joshua juga bilang kalau ingin menonton, kami bisa menonton dari Netflix.
Aku memandanginya, hal ini membuat perasaanku sedikit hangat. Ini pertama kalinya aku menginap di rumah teman. Lalu mendapat sambutan seperti ini, aku tersentuh.
"Jo? Ayo ajak Cherie makan!" seru tante Widya dari dapur. Aku tersipu ketika dipanggil Cherie olehnya. Joshua segera menarikku ke dapur sambil tersenyum. Aku menurutinya tak kalah bersemangat.
Wangi garam masala tercium lembut saat aku memasuki dapur. Mataku langsung menangkap menu yang tersaji di atas meja. Bukan menu Indonesia yang sering ku makan, tapi berpengaruh sangat kuat terhadap nafsu makanku. Mataku berbinar melihatnya, lalu tante Widya tersenyum.
"Tante sudah lama tidak pulang ke Indonesia, jadi banyak lupa makanan di sini. Sementara makan menu yang biasa kami makan dulu ya, Cherie"
"Ini apa, tante?" tanyaku, excited.
"Ini Beef Scouse and Chicken Tikka Masala. Menu favoritnya si Papa" tante Widya tersenyum jahil. Dia mengenalkan menu-menu kesukaan mendiang suaminya padaku tanpa tersandung rasa sedih lagi. Tampaknya dia sudah baik-baik saja dari kematian suaminya.
"Kalo ini bread pudding. Kesukaannya aku!" sahut Joshua juga sambil menyodorkan seloyang bread pudding di depan wajahku. Aku bisa mencium wangi kayu manisnya yang tercampur susu. Melihat semua ini, aku tidak kuat. Bolehkah aku makan di sini untuk selamanya? Jangan, nanti aku tidak tahu diri.
Tidak lama basa-basi, makan malam kami pun dimulai. Aku mencelupkan roti naanku ke dalam Chicken Tikka Masala, dan memasukannya ke dalam mulut. Jika ini anime jadul, mungkin adegan selanjutnya akan seperti keluarnya naga dari Tikka Masala ini atau aku yang melayang-layang di antara awan karena terlalu enaknya makanan yang kumakan. Apa hubungannya naga dan awan dengan makanan yang enak? Tidak ada.
Aku menguyahnya pelan. Terharu akan setiap rasa yang menyentuh indra pengecapku di setiap kunyahannya. Melihat Jo dan tante Widya yang tampak biasa memakannya membuat aku merasa sedikit kalah level dengan mereka.
"Hmmh senangnyaaa" tante Widya tiba-tiba saja bicara. Dia menopang dagunya sambil tersenyum dan menatap kami berdua.
"Dari dulu tante pengeeen banget punya anak perempuan. Kalau begini kalian terlihat seperti kakak-adik..." lanjutnya mengawang sambil tersenyum.
Aku hanya bisa tertawa garing sambil menggaruk pipiku yang tidak gatal. Tidak pernah terpikir sedikit pun di benakku aku punya saudara laki-laki, entah kakak atau adik. Jika ada pun, kuyakin hubungan kami hanya ada dua kemungkinan; selalu bertengkar atau saling acuh. Berbeda dengan Joshua, sepertinya dia akan menjadi seorang kakak laki-laki yang baik.
Tetapi berlawanan dengan pikiranku, Joshua justru membantah ibunya.
"Mommy, no. I don't want to be her brother. I want to stay with her forever."
Huruf “O” kecil terbentuk di bibirku dan tante Widya. Joshua mengatakan itu dengan tenang tetapi terdengar sangat serius. Bukan seperti omong kosong yang keluar dari mulut remaja kecil biasanya.
Lagi, rasa tidak nyaman itu menyerang tengkukku lagi, bahkan kurasa Tante Widya juga. Apa yang dia ucapkan memang tidak terdengar tidak menyenangkan, tapi kenapa justru membuatku stress? Apa Joshua punya kemampuan lahiriah untuk mengintimidasi seseorang hanya dengan bicara? Aku sedikit tertekan.
Tiba-tiba tawa renyah dari Tante Widya mencairkan suasana. "Aa..hahaha! Jo kamu ini bisa saja! You are still very young, dear. Don't make a decision too soon!" Tante Widya menanggapinya lembut. Hembusan nafas lega keluar dari bibirku begitu aku mendengarnya. Aku setuju dengan kata-katanya. Terlebih, aku merasa baru saja diselamatkan dari situasi sulit.
Namun apa yang dikatakan Joshua berikutnya justru membuat kami kembali pada rasa tidak nyaman itu. Dia justru menantang Tante Widya.
"Just see" sahutnya, dengan berani menatap langsung ibunya. Menantang dan kurang ajar.
Aku jadi ingin pulang saja.
Makan malam kami pun berakhir canggung. Tante Widya meyakinkanku untuk tetap tinggal malam ini. Joshua memang terkadang seperti itu, tapi sebetulnya dia baik. Aku pun mengiyakannya karena memang Joshua sangat baik padaku juga.
Setelah kami selesai cuci piring, Joshua segera menarikku ke ruang tengah untuk bermain playstation. Kecanggungan barusan hilang begitu keseruan bermain game mendatangi kami. Aku sempat melirik Tante Widya yang mengawasi kami beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum dan masuk kedalam kamarnya. Meninggalkan kami di dalam dunia kami berdua.
Hampir jam 11 malam. Ini waktu yang cukup telat untuk anak-anak seperti kami tidur. Setelah semua keseruan itu, akhirnya kami kelelahan juga. Aku memandangi Joshua yang sibuk memasukkan dirinya ke dalam selimut. Dia yang menyadari tatapanku, langsung bertanya.
"Kenapa?"
"Hmmh..., Bagus" pujiku.
"Apanya yang bagus?" balasnya penasaran
"Mata kamu... Aku suka... Seperti warna biru kesukaan aku" aku tersipu mengucapkannya, tapi jujur dari hati. Sejak awal mata Joshua memang banyak menarik perhatianku.
Semburat pink kontras terlihat di pipi putihnya. Kupikir awalnya itu hanya imajinasiku saja tetapi wajahnya yang tidak berpaling sama sekali dariku membuat aku semakin melihatnya semakin yakin dengan semburat itu.
Dia tersipu.
"Han suka mataku?" tanyanya pelan.
"Hum. Sukaaa... sekali..." aku pun menjawabnya tak kalah lirih dikarenakan kantuk juga mulai melahapku pelan-pelan.
"Oh begitu" balas Joshua singkat.
Dia kembali keluar dari selimutnya dan bergegas pergi. Aku pun jadi terjaga kembali. Aku segera duduk dan memperhatikan Joshua yang menuju pintu dapur.
Sebelum dia benar-benar meninggalkanku, aku ingat sekali dia bicara dari balik punggungnya.
"Han, tunggu ya. Aku kembali sebentar lagi"
"...? Iya.." aku menyahut tanpa curiga.
Kupikir ke toilet. Aku kembali berbaring dan memfokuskan diri untuk tidur. Untuk beberapa menit, aku fokus untuk sampai ke dunia mimpi. Tidak mempedulikan suara dentingan besi dari arah dapur, ataupun suara pintu kamar tante Widya yang terbuka dan langkah kakinya yang menuju dapur.
Paling bangun untuk ambil minum, pikirku.
Namun semua perkiraanku salah. Semua terbanting ketika tiba-tiba jeritan tante Widya terdengar kencang.
"AAAAAAAAAAGGHH!!" Jeritan Tante Widya menamparku kembali ke dunia nyata.
Aku segera bangun dan berlari ke arah suara itu. Berasal dari dapur. Aku terus meneriakkan nama mereka berdua tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Tengkukku terasa dingin sekali dan firasatku buruk. Langkah gelisahku terhenti begitu sampai dapur. Akhirnya dengan mataku sendiri aku menyaksikan apa yang terjadi.
"Joshua!! Hentikan, nak!! Kamu ngapain?! Joshua!!!" Tante Widya menahan tangan Joshua dengan panik.
Melihat tangan Joshua yang ditahan membuatku jadi fokus pada tangannya. Aku jadi menyadari kalau tangan Joshua sudah berlumuran darah. Aku lemas seketika.
Kulihat darah juga sudah berceceran di mana-mana. Dilantai, di baju Tante Widya juga lalu yang paling banyak berasal dari Joshua sendiri. Suara detingan besi keras yang terbentur lantai juga menyadarkanku kalau sedari tadi Joshua menggenggam sebuah garpu dan itu baru saja jatuh. Dan garpu itu berlumuran lebih banyak darah daripada yang tercecer di lantai.
"A-Ada..apa...?" aku gemetaran hebat sampai sulit bicara. Belum pernah kulihat pemandangan berdarah persis di depan mataku seperti ini seumur hidupku.
Joshua tampak tersentak mendengar suaraku. Aku menjadi lebih pucat lagi saat dia memalingkan wajahnya padaku. Aku melihat asal darah itu adalah dari matanya. Mata kanannya yang sudah setengah tercungkil.
Seperti tidak terpengaruh rasa sakit, Joshua tersenyum kepadaku, yang justru membuatnya semakin terlihat mengerikan. Di antara teriakan-teriakan ibunya yang menggema, aku bisa mendengar Joshua bicara padaku sambil menunjuk matanya yang setengah tercungkil.
"Han... This is for you..."
Aku terjatuh lemas, seketika tidak bisa bepikir dan bicara.
***
"Untunglah segera ditangani. Jika telat 10 menit saja, mata anak ibu sudah tidak tertolong"
Tanganku bergetar di atas lutut ketika mendengar dokter itu bicara. Kurasakan lengan mama dengan lembut merangkul posturku yang masih gemetaran takut.
"Lukanya cukup dalam tapi tidak fatal. Hanya, tetap butuh waktu yang cukup lama sampai benar-benar pulih" ku lirik Tante Widya yang dengan seksama mendengarkan penjelasan dokter. Tak sedikitpun ia menyisihkan detik-detiknya untuk melihat ke yang lain.
"Yang ingin saya tanyakan, bu. Sebetulnya apa yang membuat anak ibu sampai mencungkil matanya sendiri?"
Wajah Tante Widya berubah sedikit getir. Alisnya bekerut dan peluhnya mengalir dari pelipisnya. "Saya sudah tanyakan itu sama anak saya, dok"
"Tapi jawabannya entalah, masih tidak masuk akal untuk saya" lanjutnya. Semakin membuat dokter penasaran.
"Memangnya dia jawab apa?"
"Dia bilang...."
Aku pun teringat ketika Joshua mengatakan alasannya. Saat itu aku hanya bisa berdiri di luar pintu kamar rawatnya karena aku sendiri trauma melihat luka di matanya. Dari pintu kamar rawat yang terbuka, aku bisa mendengar dengan jelas alasan Joshua yang semakin membuatku takut.
"Han bilang dia menyukai mataku. Aku ingin memberikannya sebagai hadiah"
Tengkukku dingin. Aku menahan tanganku yang semakin gemetaran mendengarnya.
Aku, akulah yang menyebabkan semuanya ini.
Kurasa sudah cukup. Sedari awal memang salahku yang memulai pertemanan. Aku tidak pandai berteman, dan sekalinya berteman, hal ini terjadi.
Aku tidak bisa berteman dengan Joshua lagi. Aku tidak ingin dia melukai dirinya lebih banyak. Meskipun semuanya menyenangkan, tetapi aku harus terpaksa meninggalkannya. Sejak itu aku memutuskan untuk menghindari Joshua.