webnovel

Unforgettable Wedding

Setelah mengecek foto Sekar di ponselnya untuk yang kesekian kali, Brie berjalan melewati tamu-tamu yang berdiri mengenakan jas, kemeja batik, gaun, ataupun kebaya. Matanya memang selalu awas, tapi badannya tetap rileks dan langkahnya santai. Bahkan sekarang ia sedang menikmati sepiring kecil siomay.

Tugasnya cuma memperhatikan apakah ada sesuatu yang aneh di antara dekor-dekor serba putih gedung pertemuan ini, mengawasi suasana pesta yang termasuk sederhana bagi orang sekaliber Deny itu. Bahkan tas tangan yang tengah dibawanya hanya diisi pisau lipat kecil, bukan senjata api atau jarum yang dilumuri racun.

“Kok kamu malah makan, sih? Tugas kita kan jadi bodyguard?” tanya seorang pria tegap yang baru mendatanginya.

Brie menusuk potongan siomay dengan garpu, mencocolkannya ke saus kacang lantas memasukannya ke mulut. Ia sampai memejamkan matanya saat menikmati rasa makanan itu: ikan yang gurih dipadu manisnya saus kacang.

Si pria yang tak kunjung ditanggapi mendengus kesal. “Woi.”

“Ingat apa yang dikatakan pak Deny?” timpal Brie akhirnya, kali ini menguyah kubis dengan saus kacang. Tidak buruk, tapi ia lebih suka siomaynya. “Kita ini diminta untuk tidak mencolok, bukan? Tapi, apa yang kalian lakukan? Gerakan kalian mencurigakan. Ditambah dengan terus berbincang dengan alat komunikasi di telinga, banyak tamu yang jadi ketakutan.”

Brie mengedikkan kepalanya ke arah seorang ibu yang berjalan cepat menjauhi seorang bodyguard.

“Chill, makanlah, minum, santai saja. Nanti kalian malah lebih mencolok daripada diva dadakan itu,” lanjut Brie, menunjuk seorang ibu bertubuh subur yang sedang bernyanyi di atas panggung kecil, berlenggak-lenggok penuh percaya diri, diiringi organ tunggal yang berkali-kali harus menyesuaikan nada nyanyian yang meleset.

Mendengus lagi, pria itu meninggalkan Brie sendirian. Brie cuma mengangkat bahu dan bergerak menuju salah satu sisi dinding, berusaha untuk lebih tak mencolok. Namun, tetap saja banyak mata lelaki yang melirik ke arahnya, padahal gaun selutut berbahan brokat dan satin hijau yang dikenakannya ini tak seketat dan sependek biasanya. Dada dan seluruh lengannya juga tertutup rapat. Ia sudah memesan kepada Deny agar diberi busana sederhana saja. Toh, ia sedang tidak diminta untuk menggoda lelaki.

Perempuan cantik dan sendirian, siapa lelaki yang tidak tertarik? Lebih bagus kalau ada satu bodyguard saja yang menemaninya, sehingga dia akan dikira sudah punya pasangan. Ia juga bisa punya teman mengobrol. Namun, para bodyguard menganggap kalau ide Brie itu akan mengganggu profesionalitas. Mengobrol dengan tamu lain? Brie sudah mencobanya, tapi bodyguard-bodyguard bodoh itu malah menaruh perhatian khusus kepadanya, membuat orang yang diajak bicara jadi tak nyaman. Ketika ditanya apa maksudnya melakukan hal itu, para bodyguard malah menuduh Brie mengganggu tamu lain.

Setelah menandaskan siomaynya, Brie menguap sebentar lantas menghampiri dispenser berisi jus. Ditambah dengan absennya alkohol di pesta itu, Brie jadi merasa sangat bosan.

Begitu mengambil gelas berisi jus jambu, Brie memandang jauh ke sepasang mempelai di pelaminan. Pengantin laki-laki memakai tuxedo dengan potongan rambut undercut yang rapi, sementara yang perempuan—mempunyai muka berbentuk hati yang cantik dan kulit kuning langsat—mengenakan gaun dengan bahu terbuka, lengkap dengan veil yang menghiasi rambut ikalnya. Semua busana yang mereka kenakan berwarna putih bersih.

Brie tidak bisa membayangkan dirinya ada di pelaminan seperti itu, mengenakan busana nan indah, memajang senyum penuh kebahagiaan seperti mereka, serta menjadi pusat dari semua yang ada di sini.

Menikah, ya?

Setelah menandaskan jusnya, Brie kembali berjalan pelan. Ibu yang tadi bernyanyi baru saja turun dari panggung setelah membawakan lagu ketiga. Seorang gadis muda berkebaya ungu pun naik untuk mendapat giliran berdendang.

Brie langsung menghentikan langkahnya. Jantungnya seperti ditohok sesuatu, tapi ia tetap membuat wajahnya tampak santai. Perlahan, ia menghampiri panggung, mendekati si gadis berkebaya yang meski berdandan tebal, tapi tetap terlihat seperti Sekar itu.

“Tes…,” gumam Sekar melalui mic yang baru dipegangnya. “Pengunjung yang saya hormati, senang sekali saya berada di sini. Pesta pernikahan ini sangat meriah dan saya ingin membuatnya lebih meriah lagi.”

Deny yang duduk di dekat pelaminan langsung bangkit sambil membelalakkan mata. Ia segera turun dan menunjuk ke arah Sekar. “Sejak kapan dia masuk!? Tangkap dia!”

Dua bodyguard segera menyela tamu-tamu dan naik ke atas panggung. Para pengunjung kelihatan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka tetap berdiri di tempatnya, cuma mengarahkan pandangan kepada Deny, para bodyguard, ataupun panggung. Malah ada juga yang mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel.

Bersiap untuk yang terburuk, Brie mengeluarkan pisau lipatnya dari tas tangan.

“Maaf Mbak, tapi saya harus membawa Mbak keluar,” perintah salah satu bodyguard, mendekati Sekar sambil menjulurkan tangannya, berniat untuk menarik tangan gadis itu.

“Ahahahaha!!!” Bukannya menjawab, Sekar malah tertawa dengan mata membelalak. Sedetik kemudian, pola-pola lengkung berwarna perak muncul di tubuhnya, bersamaan dengan kedua tangannya yang mengeluarkan sabit.

“Argggghhh!!!” Si bodyguard pertama langsung berteriak saat pergelangan tangannya yang terjulur dikait oleh sabit Sekar, sedangkan bodyguard kedua tak bisa berbuat apa-apa begitu sabit lain menembus dagunya.

Teriakan-teriakan dan derap-derap lari langsung menggema di ruangan itu. Sekar menarik sabit di dagu bodyguard kedua, yang langsung tumbang berlumuran darah. Lalu, gadis itu menarik bodyguard pertama sampai jatuh, membiarkan rok batik panjang yang dikenakannya sobek.

Saat lehernya disayat sabit, bodyguard pertama itu tak bisa berkutik.

Brie sudah naik ke panggung dan menghunuskan pisaunya. Namun, Sekar yang baru bangun langsung menendang perutnya. Tubuh Brie terpental dan mendarat di salah satu stan makanan.

Tawa Sekar makin menjadi-jadi, seiring dengan bodyguard-bodyguard yang terus mendatanginya. Tak sempat menyerang, bodyguard-bodyguard itu tumbang diserbu sabetan-sabetan sabit Sekar.

Di kejauhan, pengantin wanita yang tengah menuruni tangga pelaminan jatuh tersungkur. Si pengantin pria pun langsung menggendongnya dengan kedua tangan.

Tubuh Brie jatuh dari meja stan. Merasakan dorongan keras dari kerongkongannya, ia pun muntah. Perutnya seperti baru ditimpa batu, membuatnya tak mampu berdiri.

Sekar berlari menghampiri kedua pengantin seraya menebasi siapa pun yang menghalangi. Ia menjejak salah satu meja makan dan melompat sambil mengangkat tinggi kaki kanannya. Sabit lain pun keluar dari tumit di kaki itu.

Jleb! Brugh!

Tubuh si pengantin wanita langsung jatuh ke lantai saat sabit di tumit Sekar menembus dadanya, Bersamaan dengan itu, si pengantin pria ikut rubuh.

“Gisel!!!” Deny langsung berlari menghampiri mereka.

Namun, Sekar keburu bangkit, melompat, dan berputar di udara.

Crasss!!!

Mendapat hujaman sabit dari tumit Sekar di pelipisnya, Deny langsung tumbang.

“Van… Revan, aku belum mau mati,” rintih si pengantin wanita kepada pasangannya. Matanya berlinang air mata saat melihat ayahnya yang sudah tak bergerak.

“Gisel!” Si pengantin pria bernama Revan itu menghampiri sang kekasih dan segera memeluknya. “Jangan lihat!”

Si pengantin wanita bernama Gisel itu membelalakkan matanya. “Revan, di belakangmu!!!”

Revan menoleh ke belakang dan melihat Sekar sudah berdiri di dekatnya, tertawa-tawa dengan tubuh berlumuran darah. Si pengantin pria cuma bisa menelan ludah, berusaha melindungi Gisel dengan tubuhnya yang gemetar.

Sekar mengangkat tumit bersabitnya tinggi-tinggi, sementara Revan yang tak mau meninggalkan Gisel cuma bisa menutup mata seraya melindungi kepalanya dengan tangan.

Srat! Srat! Srat!

Tak kunjung mendapat serangan, Revan membuka matanya. Ia langsung melongo kebingungan saat mendapati di sekitarnya ada empat sulur merah berbentuk aneh, beruas-ruas seperti tulang punggung, tapi sangat pipih.

Brie menautkan alis ketika melihat tubuh Sekar dibelit dan diangkat tinggi oleh sulur-sulur itu.

Menemukan kalau sulur-sulur itu ternyata berasal dari kedua pinggang Gisel, Revan langsung berjengit hebat.

“Gi… Gisel?” Revan sampai tergagap sewaktu mengamati pola-pola garis bergelombang merah di setiap inci kulit sang kekasih.

Brie yang keadaannya sudah sedikit membaik, berusaha bangkit dengan berpegangan di meja stan seraya melepaskan sepatu hak tingginya. Ia sama sekali tak berniat turut campur dalam kekacauan itu.

Dengan muka bengis, Gisel bangkit dan menghentakkan sulurnya, membuat Sekar terpental jauh dan menghantam kursi pelaminan sampai hancur.

Masih tercenung, Revan tak sempat berbuat apa-apa saat sulur-sulur Gisel membelit tubuhnya.

“Gisel! Lepasin!” Revan berontak saat tubuhnya juga diangkat tinggi.

Tanpa ampun, Gisel melemparkan Revan begitu saja. Tubuh Revan mendarat di meja prasmanan, menggelesar menjatuhkan piring-piring dan wadah makanan di sana.

Baru saja bisa menegakkan tubuh, Brie merasakan nyeri di perutnya makin menggigit. Tubuhnya langsung hilang keseimbangan dan membentur tumpukan piring di stan lainnya.

Pranggg!!!

Gisel langsung menoleh ke arah suara piring yang jatuh itu. Mematung sejenak karena kaget, Brie memaksakan diri untuk kabur. Namun, Gisel keburu berlari mendekati Brie seraya melancarkan sulur-sulurnya.

Bersamaan dengan itu, pola-pola emas terlukis lagi di tubuh Brie, dibarengi juga dengan kemunculan gelang dan pedang di tangan kirinya. Perutnya memang masih nyeri, tapi kali ini ia bisa menahannya. Tak hanya itu, ia seperti mendapat kekuatan tambahan untuk berlari lebih kencang.

Brakkkk!!!

Sulur-sulur itu cuma menerjang salah satu stan sampai hancur. Brie keburu menghindar dengan kecepatan di luar nalar manusia, berpindah ke salah satu sudut ruangan.

“Ahahahaha!!! Beruntung sekali bertemu dengan yang lainnya!” seru Sekar, berjalan mendekati dua gadis itu dengan mata yang mengilat gembira.

Brie mengamati pedang di tangannya lantas memperhatikan Sekar dan Gisel secara bergantian. Berbeda dengan amukannya di Kolombia waktu itu, kali ini Brie sadar siapa dirinya.

Bab berikutnya