"Selamat datang !"
Seorang penyihir dengan rambut berantakan menyapaku tanpa semangat. Matanya memiliki lingkaran hitam seperti panda, melihat ke dalam panci besar. Panci besar itu mengeluarkan asap-asap hitam dan pergi melalui cerobong asap. Tubuhnya pendek bahkan lebih pendek daripadaku.
Dilihat dari penampilannya, wanita ini merupakan seorang penyihir yang sedang kesulitan membuat ramuan. Dengan buku di tangan kirinya, sendok besar di tangan kanannya, dia berusaha membuat ramuannya persis seperti yang ada di bukunya. Namun kenyataannya, dia ternyata kesulitan dalam membuatnya.
Tak lama kemudian, penyihir itu meluangkan matanya dan menatapku. Seketika dia terkejut dan langsung melompat dari kursi tinggi yang di dudukinya. "Nona Jeanne !" Dia berjalan dengan cepat mendekatiku kemudian menggenggam tanganku sekuat tenaga. "Apakah itu benar anda, Nona. Benarkah ? Benarkah ? Benarkah ? Saya sudah lama ingin bertemu anda semenjak koboi berambut pirang itu memasuki kedaiku !"
Ternyata penyihir ini lebih ceria dari dugaanku. "Tentu saja itu aku. Selamat untukmu karena kau telah bertemu idolamu." aku tersenyum sombong.
"Haaaa ! Yeay yeay yeay yeay !" penyihir pendek ini melompat-lompat bahagia. "Lalu lalu, apa yang anda inginkan, Nona Jeanne ?"
"Kuharap koboi itu memberitahu dirimu terlebih dahulu. Aku datang kesini untuk mencari buku tentang Kedua Puluh Dua Pemegang Kartu Tarot. Kau memilikinya ?"
Tanpa mendengarkanku, penyihir kecil itu langsung berlari ke dapurnya lagi lalu mengambil buku yang dibacanya tadi dan kembali untuk menunjukkannya kepadaku. Dia membuka lembaran buku itu dan mengarahkannya tepat ke depan wajahku. "Pertama-tama, lihatlah ini terlebih dahulu, Nona Jeanne !"
Aku mendekatkan wajahku dan membaca halaman yang sepertinya dari tadi ia pikirkan. Dan ternyata, dia membaca buku yang sangat langka yang dimana aku harus menyelinap ke ruangan rahasia perpustakaan Arcadia Apple terdahulu. Namun anak ini, dia memegangnya lebih santai daripada aku seratus dua puluh tahunan yang lalu.
"Aku ingin sekali berhasil membuat ramuan ini namun mereka selalu berubah menjadi warna hitam, tak seperti yang ada di buku. Apakah anda punya saran, Nona ?"
Matanya tiba-tiba sungguh indah di pandanganku. Dia memelas dengan bersungguh-sungguh kepadaku. Aku tidak tahan, wajahnya begitu imut memohon kepadaku. Dia seperti penyihir kecil berusia tiga puluh tahunan. Imut sekali.
Akan tetapi, aku bukanlah tipe orang yang mudah terbujuk oleh hal yang seperti ini. Aku punya standarku sendiri dalam menangani klien yang memintaku. "Oooh..... berani-beraninya kau meminta-minta kepadaku, anak kecil. Kau tahu bukan aku ini mempunyai julukan "Sang Malapetaka" ?" ujarku menakut-nakuti.
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah inspirasi terbesarku menjadi seorang penyihir hebat. Karena itu tolonglah aku menyelesaikannya."
"Oh ! Bagaimana kalau aku mengambil nyawamu ?"
"Tentu saja !"
"Baiklah kalau begitu--"
*brakkk* "Hentikan !"
Seseorang kemudian mendobrak pintu dengan sangat keras. Dia adalah seorang wanita yang memiliki rambut hitam acak-acakan sama seperti gadis penyihir ini. Sambil menghisap sebuah permen, dia membawa sekumpulan buku yang cukup besar. Alasan terbesar dia mendobrak pintu dengan kakinya, mungkin karena dia tak bisa menggunakan kedua tangannya.
Mata wanita itu sangat lesu. Sepertinya dia terlalu banyak bekerja sehingga lupa istirahat.
"Anak itu sedang aku tes seberapa kemampuannya. The High Priestess jangan dulu mengganggu rencanaku untuk membesarkannya."
"Apakah kau ibunya ? Seharusnya kau menjaga anakmu lebih baik."
Wanita itu kemudian mendudukkan buku-bukunya di rak dan melepaskan permen dari mulutnya. "Sayangnya aku bukan ibunya. Dialah yang datang kemari sendirian untuk mencari buku ramuan tingkat tinggi. Jadi, aku tes dia dengan salah satunya."
Wajah gadis penyihir itu kemudian mengerut setelah wanita ini mengungkap kebenarannya. Akan tetapi dia tidak mengeluh atau semacamnya, gadis ini hanya diam saja begitu wanita itu berbicara. Nampaknya, dia masih tidak mampu melawannya.
Hal ini mengingatkanku lagi dengan masa laluku yang bahagia. Dimana saat itu aku dihukum oleh seorang guru sihir yang teramat galak. Aku tak bisa membantahnya maupun berbicara sedikitpun. Karena pada waktu itu, aku salah tempat menggunakan kekuatanku.
"Kau itu memanglah spesial. Akan tetapi, menjadi seseorang yang spesial itu bukanlah berarti kau berbeda dengan kami."
Itulah ucapan terakhirnya kepadaku sebelum dia pindah menjelajahi dunia luar. Dengan jubah hitamnya, dia berjalan melewatiku tanpa menoleh ke belakang. Sejak saat itulah, aku tidak pernah mendengar beritanya lagi.
"Nona Jeanne, apakah kau pernah kesulitan dalam memahami ilmu racikan ?" tanya gadis penyihir itu sambil menarik-narik lengan bajuku.
Aku tidak bisa benar-benar membantunya. Akan tetapi, sedikit nasihat mungkin bisa membuatnya maju sedikit demi sedikit.
Akupun mengambil pisau yang berada di dekat kursi tempat anak itu duduk sebelumnya. Kutarik lengan bajuku lalu aku iris-iris kulit lenganku itu. Dengan cepat, aku mengambil suatu ramuan kecil dari saku bajuku. Sekali aku teteskan ke luka yang aku buat, kulitku beregenerasi dengan cepat.
Gadis penyihir itu langsung terkagum-kagum melihat efek ramuanku. Pupil matanya melebar dan mulutnya tersenyum dengan sangat bahagia. "Nona nona ! Bagimana kau mempelajari itu ?"
"Mudah saja. Aku memiliki ambisi yang sangat kokoh sehingga otakku mampu menerima materi apa saja dengan mudah. Hahahaha..."
"Kalau begitu baiklah ! Aku juga akan memiliki ambisi yang besar sepertimu."
"Bagus, gadis muda. Kau sekarang memiliki pembimbing yang mau menerimamu, tidak seperti aku dulu yang ceroboh." aku mengusap-usap kepalanya. "Karena itu, berjuanglah."
Gadis penyihir itu kemudian tersenyum lalu pergi ke dapur sihirnya lagi. Dengan semangat, kini dia lebih fokus membaca buku tersebut. Saking bersemangatnya, dia tidak menghiraukan aku lagi melainkan berfokus terhadap bukunya.
Sekarang, sama seperti gadis itu, aku akan berfokus terhadap wanita ini. Dia sepertinya lebih berilmu karena bisa membuat gadis itu melakukan tes untuknya.
Tepat sebelum aku hendak berbicara, dia kemudian membanting sebuah buku ke meja dengan keras hingga suaranya nyaring. Diapun nampak puas dengan suara bising yang dikeluarkannya. Wajahnya berbicara dengan jelas.
"High Priestess, pasti buku ini yang kau cari." ujarnya sambil cengengesan.
Akupun mendekatinya. Buku itu nampak seperti sebuah buku ensiklopedia dunia. Begitu tebal, mewah, dan juga menarik untuk dibaca. Namun ditelaah dari judulnya, buku ini sepertinya mengungkap banyak tentang kerajaan Celestial. Aku penasaran, apa yang sebenarnya berada di benak pikiran wanita ini.
"Koboi pirang itu telah memberitahu semuanya kepadaku dan gadis itu." wanita itu mengambil permen dari sakunya, membukanya, kemudian menghisapnya. "Sayangnya, kami tidak memiliki buku yang seperti itu lagi. Buku itu telah dipinjam seseorang dari gunung beberapa hari lalu."
"Lalu, bagaimana dengan buku ini ? Kenapa kau merekomendasikannya ?" aku meraba-raba sampul buku tersebut.
"Karena lawanmu adalah Pemegang Kartu Tarot Justice, seorang Celestial, Shin Gluttenford, Jendral Utama Ksatria Celestial, dan juga...." wanita itu mengeluarkan permennya dari mulut. Terlihat, dia sudah setengah menghabiskannya. ".....Walikota Kota Kecil ini, La Giustizia."
Mendengar semuanya sekaligus membuat otakku gila. Nafasku kacau, wajahku berkeringat, dan pikiranku terasa kosong hanya dengan mendengarnya. Langsung saja, audorong wanita itu sekuat tenaga ke dalam ruangan yang baru saja dia keluar dari sana. Tak lupa, aku tutup pintu rapat-rapat agar tak ada seseorangpun yang mendengar kami.
Disana, hanya kami berdua, berbicara dalam kegelapan.
+---+---+---+---+
"Justice Showdown."
Ruangan yang aku masuki tiba-tiba menjadi abstrak. Seluruh benda yang ada di ruangan ini beterbangan ke sana dan ke sini. Atmosfer ruangan ini berubah, seakan-akan aku sedang berada di ruangan yang lain.
Cahaya lampu yang sebelumnya menerangi kami tiba-tiba menghilang. Kami bertiga tiba-tiba berada di suatu belahan dunia yang masih malam. Sinar rembulan menggantikan, aku berada di sebuah ladang bunga yang begitu luas hamparannya.
Angin bertiup kencang, kelopak bunga beterbangan dibawa angin tersebut ke arah Shin Gluttenford. Dia dengan gagahnya berdiri di atas batu sambil dilewati kelopak bunga. Orang itu menatapku dengan tajam.
Setelah aku melihat kemampuannya ini, langsung aku cabut pedangku dari sarungnya. Menodongkan bagian tertajam pedangku ke arahnya dan mengancam dengan aura merah Red Velvet.
"Tunggu dulu, August !" Shin mencoba menahanku. "Jangan salah sangka. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu."
"Usaha yang bagus, Celestial." aku membantah dengan nada kesal. "Lalu mengapa kau menyakiti Jeanne ?"
"Itu semua kesalah pahaman. Kalau saja penyihir cilik itu mau mendengarkanku, bajunya tidak akan berlumuran darah seperti itu."
Aku menurunkan pedangku. Aura yang aku keluarkan juga ikut turun. Sepertinya, aku dapat melayaninya dengan kata-kata saat ini. Akan tetapi, akan terus kugenggam pedangku ini dengan kuat untuk berjaga-jaga.
Majordome berjalan menuju Shin sambil membawa secangkir teh yang ia buat sebelumnya. Teh itu terlihat masih hangat di tangannya. Dengan elegan, Majordome memberikan secangkir teh itu beserta pisinnya.
Perlahan-lahan, Shin menghirup aroma teh yang dibuatkan Majordome terlebih dahulu. Wajahnya begitu tenang saat menghirupnya. Diapun menghembuskan teh itu dan merasa nikmat. Tak lama kemudian, dia menyeruput teh itu dengan sangat perlahan.
"Ah..... Seperti biasa, teh buatanmu memanglah menyegarkan. Wahai pelayanku."
Majordome menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian, Shin menyerahkan cangkirnya lagi dan Majordome menerimanya kemudian perlahan-lahan dia berjalan mundur.
"August, aku berterima kasih kepadamu karena telah mau mendengarkanku. Aku sempat mengira, kau akan mengamuk seperti yang Jeanne, pacarmu, lakukan."
"Sudah aku bilang, dia itu bukan pacarku !" jawabku kasar.
"Kalau begitu, mari kita langsung ke intinya saja." Shin membalikkan dirinya, menghadap bulan dan hamparan bunga di belakangnya. "Apakah kau tahu, misteri di balik dataran bunga yang besar ?"
"Aku selalu hidup di padang pasir yang sangat luas. Aku ragu, aku pernah menemukannya."
"Seharusnya disana juga ada satu." Shin menengokku. "Seharusnya disana juga tidak ada." Dia membalikkan badannya dan menghadap ke arahku lagi. "Ada sebuah misteri di sebuah ladang bunga yang besar ini. Konon katanya, ladang bunga ini merujuk kepada keberadaan seorang Celestial yang sedang tertidur."
Mataku terbelalak mendengarnya. Celestial itu sudah dinyatakan punah oleh seluruh kerajaan. Kenyataan aku bertemu satu juga merupakan sebuah kejutan untukku. Akan tetapi, mendengar ada seorang Celestial lagi yang akan aku temui membuatku sangat gugup.
"Aku tahu dimana keberadaan rajaku saat ini. Namun, disini bukanlah tempatnya."
"Lalu apa yang kau inginkan ?"
"Aku menginginkan sebuah kerja sama dengan Jeanne. Hanya dialah satu-satunya kunci untuk memecahkan misteri buatanku yang terbesar ini." Shin berjalan cepat mendekatiku dan menyodorkan tangannya. "Kumohon ! Biarkan aku bergabung dengan kelompokmu."
Wajah Shin begitu serius. Dia menatapku penuh harapan. Aku rasa, dia tidak akan menggigit untuk sementara waktu. Dan juga, Shin Gluttenford merupakan seorang Pemegang Kartu Tarot yang aku cari-cari. Ini kesempatan bagus untukku agar tugasku mudah selesai.
Saat aku akan meraih tangannya, dia langsung menariknya kembali. "Namun sebelum itu, aku punya satu permintaan lagi untukmu."
Aku benar-benar kesal begitu dia menariknya begitu saja. Seolah-olah dia tidak menghargai perasaanku yang telah berbaik hati menerimanya masuk ke kelompokku. Kerutan wajahku menebal dan aku menunjukkan ekspresi kesal.
"Izinkan aku..... Melakukan penyucian terhadap Jeanne !"
Bersambung