webnovel

Istana Sapphire

Setelah berbincang-bincang dengan papa, aku dan Felix kembali menuju Istana Emerald. Aku masih sebal dengan Felix jadi ku diamkan saja dia. Kami berjalan dalam keheningan sampai aku melihat Seth berjalan menuju Istana Sapphire.

Istana Sapphire itu kan, istana untuk tamu kerajaan. Kenapa Seth mau ke sana? Memangnya ada tamu? Selain itu, Seth juga jarang terlihat di Istana Emerald. Tanya saja deh. Aku berlari menghampiri Seth sambil setengah berteriak.

"Seth!"

Seth menoleh, "Eh, Tuan Putri."

"Seth sedang apa di Istana Sapphire?"

Seth menatap ku bingung seolah-olah wajahnya berkata, 'Tuan Putri tidak tahu?'. Aku balas menatapnya bingung. Aku di sini bingung tahu, kenapa kau ikut bingung. Seth lalu menatap Felix kemudian bertanya.

"Tuan Rovein, Anda belum bercerita pada Tuan Putri?"

Felix tertawa canggung. Seth menepuk jidat kemudian menghela napas. Apa sih? Kalian menyembunyikan apa sih dari aku?

"Tuan Putri. Saya ditugaskan oleh Yang Mulia menjadi kepala pelayan di Istana Sapphire."

"Memangnya ada tamu?" aku bertanya polos.

Seth menepuk jidatnya sekali lagi dan Felix kini tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya. Aku jadi tambah bingung. Aku menghela napas pelan, Seth menatap ku dan mulai berbicara.

"Jadi begini Tuan Putri. Saat Anda sedang koma, Yang Mulia berjanji untuk memberikan kamar paling besar di Istana Sapphire bagi siapapun yang bisa menyembuhkan Tuan Putri. Lalu setelah itu Tuan Penyihir datang dan berhasil menyembuhkan Tuan Putri."

"Ha? Jadi Lucas sekarang tinggal di sini?"

"Iya, Tuan Putri."

Aku terdiam. Kalau Lucas sekarang tinggal di sini, kenapa dia marah-marah saat aku memintanya menjadi teman bicara ku? Bukannya dia dari awal memang di rencanakan terjebak di istana? Eh, tunggu dulu. Mungkin yang dimaksud terjebak adalah terjebak di pengawasan papa.

HAHAHAHA! Aku terkekeh pelan memikirkan hal itu. Seth dan Felix menatap ku heran, segera saja ku sudahi kegiatan ku. Aku menatap Seth.

"Apakah Lucas ada di dalam?"

"Iya."

"Ayo, kita ke sana!" ucap ku bersemangat.

Aku menggandeng tangan Seth dan meninggalkan Felix. Felix memasang wajah sedih melihat ku, sedangkan Seth melirik aku dan Felix bergantian dengan bingung. Hmph! Biarin saja! Felix duluan yang meninggalkan ku.

***

TOK! TOK! TOK!

Seth mengetuk pintu, kami menunggu izin masuk dari pemilik kamar. Tidak lama kemudian, terdengar suara seperti benda jatuh yang cukup keras. Kami bertiga bertukar pandangan dengan bingung. Dia nggak kejatuhan sebuah lemari di dalam kan?

Tak lama kemudian terdengar suara dari dalam, "Masuklah, Seth."

Seth membuka pintu dan membungkuk pelan, "Tuan Penyihir, Anda kedatangan tamu."

Lucas menoleh dan menatap kaget ke arah ku. Seolah-olah dia tidak percaya karena melihat ku di hadapannya. Aku melipat kedua tangan ku dan menatap sebal. Lucas menghela napas pelan.

"Yah, aku ketahuan Tuan Putri, deh."

"Bisa-bisanya Kau menyembunyikan hal ini dari ku!" aku setengah berteriak dan berlari ke arahnya.

Aku hendak memukulnya, tapi terhenti ketika aku melihat kamarnya. Gila! Lebar sekali untuk ukuran kamar! Papa yakin ini kamar untuk Lucas? Kamar ini bahkan lebih lebar dari milik papa. Kamar tamu untuk raja memang luar biasa.

Namun rasa kagum ku sirna, setengah dari ruangan ini sangatlah berantakan. Aku menatap Lucas, dia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum mengejek.

"Kau iri dengan ukuran kamar ku?"

"Dasar Geer! Aku lebih memilih kamar ku daripada kamar mu yang lebar ini tapi setengahnya berantakan tidak karuan."

"Biar dong. Ini kan kamar ku. Terserah pada ku dengan apa yang akan terjadi pada kamar ini. Lagi pula itu semua buku-buku penting tahu!"

Kami saling tatap dengan wajah sengit. Bagi ku dia menjengkelkan dan baginya aku menjengkelkan. Kami saling tatap dengan rasa kesal sampai Felix tiba-tiba berkata.

"Tuan Putri dan Tuan Penyihir sangat akrab ya."

"Kami tidak akrab!" kami menjawab bersamaan.

Felix dan Seth tersenyum senang mendengar jawaban kami. Ugh, jangan bilang mereka menganggap kami benar-benar akrab. Aku dan Lucas menatap sebal satu sama lain kemudian Lucas mengajak ku telepati.

[Kau pasti ingin membicarakan sesuatu, kan?]

[Hee...tahu saja penyihir tua yang satu ini.]

[Tentu saja aku tahu. Yang sedang ada di hadapan ku kan hanyalah seorang Tuan Putri yang bodoh.]

[Hentikan itu. Kau itu satu-satunya yang bodoh.]

[Kau yang bodoh.]

[Kau yang bo-]

[Cukup. Kita harus menyingkirkan dua orang dulu kalau mau membicarakan hal itu.]

Aku menghela napas kemudian menatap Felix, "Felix. Kau bisa kembali, aku akan main di sini sebentar dengan Lucas."

"Tapi, nanti siapa yang mengawal Tuan Putri?"

"Di sini ada Lucas. Lucas bisa mengantar ku. Iya kan, Lucas?"

"Dalam mimpi- AAA!"

Aku menginjak kaki Lucas dan tersenyum. Aku menanyakan hal yang sama. Lucas menjawab dengan senyum kecut dan perempatan di dahinya. Kali ini dia menjawab kalau dia akan mengantar ku. Nah, gitu dong.

"Baiklah kalau begitu. Salam berkat dan hormat Obelia."

Felix menunduk dan berbalik. Oke, satu orang sudah pergi. Aku menatap Lucas, sekarang gilirannya. Lucas duduk di salah satu sofa kemudian menatap Seth.

"Seth. Tolong siapkan teh dan kue kering, ya."

"Baik, Tuan Penyihir."

Seth membungkuk dan berbalik pergi. Pintu ditutup pelan-pelan oleh Seth. Sekarang tinggal kami berdua. Aku menghela napas panjang dan duduk di sofa yang berhadapan dengannya. Lucas melipat kedua tangannya kemudian menatap ku.

"Jadi?"

"Sepertinya aku membuat kesalahan."

"Lalu? Kau ingin aku memutar ulang waktu begitu?"

"Bisa?" aku bertanya antusias.

"Terlalu beresiko," jawabannya cuek, "memang kesalahan apa yang Kau buat kali ini, Tuan Putri?"

Aku menghela napas kemudian menatap Lucas. Ku ceritakan tentang semua yang terjadi di ruang bicara tadi. Padahal aku sudah berhasil menolak Izekiel untuk menjadi teman bicara ku, kenapa aku malah mengizinkannya menemui ku beberapa kali, sih? Kalau begini kan aku jadi terlibat dengan mereka. Aku belum tahu rencana licik apa yang akan Roger lakukan bukan?

Lucas mengacak rambut panjangnya, membuat ku geram ingin menguncir rambut itu. Dia tampak berpikir, apa dia tidak paham cerita ku barusan?

"Kalau sudah terjadi ya sudah."

"Ha?"

"Lanjutkan saja. Bukannya dari pertemuan itu nanti, Kau bisa menganalisa apakah dia membahayakan mu juga atau hanya ayahnya itu."

"Lucas. Kau jenius!"

Aku tersenyum senang. Lucas mendengus bangga dan tersenyum remeh. Heh, kau senang karena ku puji jenius begitu? Seharusnya aku tidak bilang begitu tadi.

"Tapi tetap saja aku takut."

"Apa lagi sih yang Kau takutkan?"

"Aku masih takut kalau novel itu jadi kenyataan."

Lucas menghela napas, "Paling kalau Kau mati, Kau reinkarnasi lagi."

"Reinkarnasi ke mana lagi, bodoh! Aku sudah bersyukur masih hidup setelah reinkarnasi jadi Athanasia. Capek tahu harus berpura-pura menjadi anak kecil dengan pikiran polos nan suci begitu!"

Aku menatap Lucas dengan jengah, Lucas hanya menatap datar. Uh, dia itu tidak ada peduli-peduli nya hah? Yang aku takutkan itu kalau papa membenci ku. Apa dia tidak tahu rasanya dibenci oleh orang yang kita sayang? Salah deh aku menanyakan itu, dia kan penyihir menara, hatinya pasti beku. Saat kami berkutat dengan pikiran masing-masing, suara seorang menginterupsi.

"Tuan Putri seorang reinkarnasi?"

***

Bab berikutnya