webnovel

Lukisan

Aku berlari menghampiri papa yang berjalan bersama Felix menuju halaman Istana Garnet. Aku mempercepat lari ku. Di belakang, Lily kewalahan mengejar ku. Hihihi...maaf ya Lily, aku sudah tidak sabar bertemu papa. Sudah seminggu sejak aku tidak bertemu papa.

"PAPA!"

Papa tersentak kaget dan berbalik. Aku berlari dan melompat. Papa segera menangkap ku dan menggendong ku. Ada raut wajah bingung dan khawatir di sana. Lucu juga.

"Papa! Athy kangen dengan papa!"

Aku mencium pipi papa dan memeluk lehernya. Aku tersenyum sampai kedua mata ku menutup. Aku senang sekali. Meskipun agak malu untuk mengakuinya, aku kangen pada papa ku yang kurang ekspresi ini. Berbanggalah diri karena ada yang kangen dengan es batu seperti mu, papa!

"Jangan berlari dan melompat seperti itu. Kau membuat kepala ku pusing."

"Ehehe...Athy sudah tidak sabar bertemu, papa!"

Lily datang dengan napas kacau. Aku meminta untuk turun dan menghampiri Lily. Aku lupa Lily tadi mengejar ku!

"T...Tuan....Putri....jangan berla....ri seperti itu la...gi!"

"Maafkan Athy, Lily. Athy kangen dengan papa. Apa Lily baik-baik saja?"

Lily mengangguk dan jatuh terduduk. Aku panik. Haduh, kalau Lily sakit aku bakal merasa bersalah! Ah, Lily! Aku minta maaf! Saat aku sedang panik, Felix menghampiri kami. Felix menawarkan untuk mengantarkan Lily. Aku menyetujui nya dan berterima kasih pada Felix.

Aku meminta maaf lagi pada Lily yang dijawab oleh anggukan lemah. Lily berpesan agar aku bersenang-senang dengan papa. Aku tersenyum dan mencium pipinya. Sesaat kemudian aku kaget. Papa sepertinya juga kaget.

Setelah Felix meminta maaf pada Lily, Felix menggendong Lily ala bridal style. KALIAN PACARAN KOK TIDAK BILANG-BILANG, SIH? Setelah itu Felix langsung pergi. Aku bisa melihat kedua orang itu memerah seperti kepiting rebus.

Aku dan papa terdiam beberapa saat. Setelah berhasil mencerna apa yang terjadi, papa menggendong ku. Papa berbalik haluan dan pergi ke Istana Garnet.

Aku hanya diam. Ku pikir kami akan melakukan tea time. Kalau tidak jadi juga tidak apa. Aku melihat-lihat sekeliling, ke mana papa akan pergi? Aku belum pernah lihat tempat ini.

Aku terdiam saat papa membuka sebuah pintu. Ternyata itu sebuah kamar yang cukup sederhana. Ini kamar papa? Aku turun kemudian papa duduk di sofa. Aku mengedarkan pandangan ku sampai mata ku tertuju pada sebuah peta besar.

Ku tarik kata-kata ku tentang 'sebuah kamar yang cukup sederhana' itu. Peta besar yang sedang aku lihat saat ini ukurannya selebar dinding dan terbuat dari EMAS! Aku tidak berbohong, ini semua emas! Aku terdiam kemudian mendekati papa.

Pandangan ku lagi-lagi tertuju ke sebuah dinding, kali ini dihiasi dengan lukisan-lukisan Raja Obelia terdahulu. Tapi bukan lukisannya yang menarik perhatian, melainkan pigurannya. Mereka terbuat dari EMAS!

Aku melirik papa yang tidur di sofa. Apa? Tidur di sofa? Papa! Kasur mu ada di sebelah peta emas raksasa! Kenapa kau malah tidur di sofa? Aku geleng-geleng melihat papa. Aku menghela napas dan kembali melihat-lihat.

Pandangan ku tertuju pada sebuah lukisan yang tergeletak di lantai bersandar pada dinding. Kaca pada pigura itu retak, seperti habis dibanting. Terlihat seorang wanita berambut cokelat gelombang, bermata hijau, dan tahi lalat di bawah bibirnya. Aku sepertinya tahu siapa dia.

"Penelope Judith!"

Aku bergumam tanpa sadar. Aku berbalik menatap papa, dia tertidur. Aku menghela napas lega. Ku rasa papa tidak mendengar ku tadi. Mulut ku kenapa tidak bisa diajak kompromi sih?

Aku berjalan mendekati papa, melambaikan tangan di depan wajahnya. Tidak ada reaksi itu artinya papa sedang tidur. Aku memandang wajah papa dengan saksama. Karena masih ragu kalau papa sudah tidur, aku menarik rambutnya.

"Tidak ada reaksi. Papa benar-benar sudah tidur."

Aku merapikan rambut papa dan menatap wajahnya. Dilihat dari mana pun, papa memang tampan. Aku yakin banyak wanita yang jatuh cinta pada papa dulu. Aku terdiam dan menatap rambut berkilau papa, ku bandingkan dengan milik ku. Berbeda, aku mewarisi rambut mama.

"Papa itu tampan. Pasti mama juga jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku ingin lihat mama seperti apa. Mama pasti cantik, lebih cantik dari Athy."

Aku bergumam kemudian menatap papa. Aku juga mulai mengantuk karena papa. Aku mencium pipinya lalu naik ke sofa di seberang nya. Aku pun tidur di sofa itu. Perlahan-lahan kedua mata ku tertutup. Aku dapat alam mimpi.

***

Claude POV

Aku membuka kedua mata ku lalu duduk. Aku menoleh ke samping, menatap Athanasia yang tertidur. Dalam diam, aku memutar ulang memori ku setelah masuk ke kamar.

Karena lelah, aku memutuskan untuk membawa Athanasia ke kamar dan tidur. Aku ingin tidur tapi tidak bisa. Menyebalkan. Sepertinya Athanasia sedang asyik mengamati. Aku diam kemudian memutuskan untuk pura-pura tidur.

Apakah kalau aku tertidur, dia akan melakukan hal kurang ajar? Sudah lama sejak aku bertemu lagi dengan anak itu. Padahal hanya seminggu, tapi terasa seabad. Dia lebih berani dari yang ku kira. Sama-sama kurang ajar seperti ibunya, Diana.

Ah, Diana. Kenapa Kau lebih memilih anak ini daripada aku? Apakah semua yang ku berikan untuk mu itu kurang? Anak itu tidak bisa apa-apa. Kecuali kejeniusan dan sifat kurang ajarnya, selain itu dia tidak bisa apa-apa.

Aku membencinya. Dia merebut mu dari ku. Aku membencinya, sangat. Tapi waktu yang ku habiskan bersamanya, entah kenapa terasa seperti waktu yang ku habiskan dengan mu. Dasar. Apa sih yang membuat anak itu bisa mirip dengan mu?

Aku membencinya, tapi aku ingin melindunginya. Aku tidak tahu kenapa. Rasanya seperti kehilangan diri mu saat melihatnya pergi, Diana. Aku membencinya. Tapi karena mu, aku mencoba untuk menyayanginya.

Aku terdiam. Langkah kaki yang bolak-balik berlari membuat ku pusing. Aku mengintip sedikit, anak itu berdiri di depan sebuah lukisan. Ah, lukisan wanita ja**ng itu, huh? Aku yakin dia tidak tahu siapa itu. Semoga saja dia tidak berpikir bahwa itu ibunya atau mamanya.

Aku menatap anak itu. Dia terdiam di tempat menatap lukisan itu. Aku melihatnya menggenggam tangannya dengan erat. Anak itu tidak mungkin marah dengan ja**ng itu, kan? Dia bahkan tidak tahu siapa itu.

Tapi diluar dugaan, Athanasia malah menyebut namanya. Nama ja**ng itu, bagaimana Athanasia bisa tahu? Apakah pelayan bodohnya di Istana Ruby menyebar gosip? Tidak, tunggu dulu. Athanasia masih lima tahun, bagaimana dia bisa tahu?

Aku cepat-cepat memejamkan mata saat dia berbalik. Ku dengar langkah kakinya mendekati ku. Aku yakin saat ini dia berada di depan ku. Hening, apa yang dia lakukan? Saat aku berpikir, rambut ku ditarik.

'Ack! Rambut ku! Anak ini sama kurang ajarnya dengan mu, Diana!'

"Tidak ada reaksi. Papa benar-benar sudah tidur."

Bagus kalau kau tertipu. Sesaat kemudian, rambut ku dilepas. Sebuah tangan mungil merapikan rambut ku. Baguslah kalau kau merapikannya lagi. Mau dilihat dari manapun, dia tetaplah seorang bocah. Sekali bocah tetap bocah.

"Papa itu tampan. Pasti mama juga jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku ingin lihat mama seperti apa. Mama pasti cantik, lebih cantik dari Athy."

Aku terdiam mendengar ucapannya. Apakah dia penasaran dengan sosok mamanya? Bukankah bocah akan terus berteriak dan menangis jika menginginkan sesuatu? Bocah ini tidak pernah bilang pada ku ingin melihat mamanya itu. Sekali pun tidak. Merengek dihadapan ku sambil menangis juga hanya sekali.

Lalu kenapa tiba-tiba dia tidak melakukan hal itu kalau benar-benar penasaran? Apa benar dia ini hanyalah bocah lima tahun?

***

Bab berikutnya