webnovel

Papa

Keesokan harinya

"Tuan Putri. Bangunlah. Anda harus segera keluar."

Itu seperti suaranya Lily. Aku membuka mataku perlahan-lahan. Ku lihat seorang wanita berambut cokelat disanggul dengan mata biru langitnya menatap ku. Oh, ternyata memang Lily.

"Nanti dulu. Aku masih mengantuk."

Aku menarik selimut ku untuk tidur lagi. Namun Lily tidak membiarkan hal itu, ia segera membuka gorden. Sinar matahari pagi menyapa, membuat mata ku silau. Mau tidak mau, aku bangun dan turun dari kasur.

"Ada apa Lily?"

"Ayo kita turun. Tuan Putri sudah ditunggu."

Aku langsung ditarik Lily tanpa sempat bertanya lebih lanjut. Entah karena buru-buru atau apa, Lily menggendong ku tanpa basa-basi. Tidak biasanya Lily seperti ini.

***

"Suatu kehormatan bagi kami untuk melayani Tuan Putri."

A...Apa-apaan ini? Kenapa ada puluhan pelayan di hadapan ku saat ini? Ini kiriman dari papa atau bagaimana? Semua pertanyaan muncul di benak ku sampai ku dengar langkah kaki yang agak berat mendekat.

TAP!

TAP!

TAP!

Kesatria berambut merah maroon mendekat. 'Apa yang Felix lakukan di sini?' aku bertanya dalam hati. Tiba-tiba Felix berlutut di hadapan ku dengan satu tangan mengepal ke lantai.

"Hamba, Felix Rovein. Mulai hari ini hamba mendapat perintah untuk menjadi kesatria tangan kanan sementara Putri Athanasia."

Aku hanya bisa ternganga. Memang ada yang salah dengan papa. Dia salah makan atau kena sihir, sih? Lihatlah! Lily dan kakak pelayan di belakang ku ikut ternganga. Apa sih yang dipikirkan papa?

"Ka...Kami sangat berterima kasih pada Yang Mulia, tapi sampai Tuan Rovein..."

Lily tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Kami semua memandang ke arah puluhan pelayan kemudian ke arah Felix yang tersenyum lebar.

"Mohon bantuannya mulai hari ini, Tuan Putri."

Aku mengangguk patah-patah. Habis ini ada apa lagi?

***

Aku, Lily, dan Felix terdiam di kamar ku. Aku menatap Lily dan Felix yang melakukan ancang-ancang ingin menangkap ku. Aku menggembungkan pipi ku dan menatap mereka.

"Ayolah, Tuan Putri. Anda harus berganti pakaian. Anda akan bertemu dengan Yang Mulia," Lily memegang beberapa pakaian di tangannya.

"Athy gak mau ganti baju!"

"Kalau begitu kita temui Yang Mulia sekarang saja," Felix ancang-ancang ingin menggendong ku.

Aku mundur beberapa langkah, "Athy mau di sini saja! Athy capek!"

"Bukankah Tuan Putri sudah berjanji untuk menemui Yang Mulia hari ini?"

CTAAAAR!

Seakan ada petir yang menyambar ku. Aku lupa kalau kemarin sudah membuat janji dengan papa psikopat itu secara tidak langsung. Aku tersenyum kecut, sudah tidak bisa mengelak lagi.

Lebih baik aku menemui nya dari pada aku mati karena ingkar janji. Huhuhu....aku takut. Aku berjalan mendekati Felix dengan langkah kaku. Felix segera menggendong ku, takut kalau aku kabur lagi.

"Anda yakin tidak ingin ganti pakaian dulu?" Lily memastikan.

Aku menggeleng kuat-kuat. Buat apa aku tampil cantik untuk papa psikopat itu? Paling-paling dia hanya akan bilang 'berat' lagi kepada ku.

"Ya sudahlah. Hati-hati di jalan."

Lily melambaikan tangan yang segera ku balas. Aku dan Felix meninggalkan Istana Emerald dan pergi ke Istana Garnet. Benar kata Felix, istana sederhana dan sepi tempat kami bertemu adalah istana raja, Istana Garnet.

Felix masuk ke dalam istana. Aku menoleh ke segala arah, mencari keberadaan pelayan atau kesatria. Nihil, kosong sekali.

"Felix!"

"Iya, Tuan Putri?"

"Kenapa istana papa sepi sekali? Di mana pelayan dan kesatria nya?"

"Oh. Yang Mulia lebih suka melakukan semuanya sendiri. Karena itulah tidak ada pelayan dan kesatria di sini."

Aku mengangguk pelan. Felix berhenti di depan sebuah pintu, sepertinya sudah sampai. Aduh, aku merinding lagi.

"Yang Mulia, Tuan Putri Athanasia sudah datang."

"Masuk!" ucap suara di balik pintu.

Aduh aku semakin merinding, semoga baik-baik saja. Felix memutar kenop pintu dan melangkah masuk. Aku mengedarkan pandangan, ruang ini cukup sederhana untuk ruang belajar seorang raja. Hanya berisi meja belajar besar dan kursinya, dua sofa panjang, meja kopi, rak buku, dan sebuah lemari.

"Kau datang," ucap papa sambil menyusun dokumen di atas meja.

"Athy sudah datang!" aku memekik girang dan tersenyum.

Pasang wajah imut mu 24 jam, Athy. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi kalau dia tiba-tiba kesal melihat mu. Aku bergidik ngeri, tapi tetap tersenyum.

Papa melirik ku sekilas kemudian beralih lagi ke dokumen di hadapannya. Seperti kemarin, papa hanya memakai kain dari Siadona yang diikat di pinggang. Felix berdiri di samping belakang papa dengan sikap istirahat di tempat. Jadi, sekarang apa?

"Ambillah buku di sana!" papa menunjuk rak buku dengan lirikan matanya.

Aku segera berlari ke rak buku tersebut dan menjangkau buku sebisa ku. Aku melihat buku yang ku ambil, ternyata sejarah singkat. Aku berbalik dan berlari mendekati papa. Ku sodorkan buku yang ku bawa padanya. Dia meletakkan dokumennya dan mengambil buku ku.

'Katanya aku suruh membacakan, kenapa malah kau ambil, sih?' aku bertanya dalam hati. Niat ku itu menunjukkan bukunya, bukan menyuruhnya mengambilnya.

Tiba-tiba sepasang tangan mengangkat ku. Lagi-lagi papa mengangkat ku. Awalnya aku biasa saja sampai akhirnya dia mendudukkan ku di PAHANYA? Ha? Aku dipangku? Kau yakin mau memangku ku? Ku pikir pangkuan dari mu itu limited edition, khusus untuk Jennette kesayangan mu itu.

"Baca!"

Aku bangun dari lamunan ku. Segera ku buka buku di hadapan ku. Tanpa ba-bi-bu dan protes aku membacanya.

"Penyihir yang ada di menara adalah penyihir yang kuat. Kekuatan penyihir menara dapat menghancurkan satu kerajaan dengan mudah. Karena itulah mereka membekukan hati...mereka."

Aku melambatkan ucapan ku. Aku tidak tahu kalau di dunia ini ada yang namanya sihir. Di novel <Lovely Princess> tidak disebutkan hal-hal semacam ini. Aku cukup kaget, belum lagi tentang penyihir yang membekukan hati mereka. Apakah mereka nanti jadi seperti papa? Tidak punya perasaan atau rasa kasihan sedikit pun?

Saat Felix masih memuji ku, aku terdiam menatap ke buku yang ku baca. Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku baca barusan.

"Hanya sampai situ?" papa bertanya.

Aku menoleh ke arahnya, memberi tatapan bingung. Papa hanya mengangkat satu alisnya dan bertopang dagu di tangan kursinya.

"Apa sihir itu sungguhan ada?"

"Tentu saja ada, Tuan Putri. Yang Mulia saja punya beberapa sihir seperti sihir pelindung, penyerang, dan pendeteksi," Felix menjawab dengan antusias.

"Aku mau melihat sihir!" aku berkata dengan semangat dan menatap papa dengan mata berbinar-binar.

Bodoh amat dengan reaksinya nanti. Aku ingin melihat sihir paling tidak satu kali sebelum aku mati di tangan papa. Setidaknya izinkan aku bahagia!

"Lanjutkan membaca mu."

CTAAAAR!

Petir menyambar hangus keinginan ku. Dasar papa bre****k! Bisa-bisanya menghancurkan keinginan murni seorang anak! Benar-benar tidak berperasaan.

Dengan senyum kecut, aku menatap buku lagi dan membalikkan halamannya. Aku terdiam melihat lukisan di halaman itu.

Seorang pria dengan rambut pirang berkilau dan mata biru permata. Tatapan tajam dan dingin tampak di wajahnya. Pakaian resmi kerajaan yang ia kenakan sangatlah pas untuk nya.

Untuk beberapa saat aku terpana dengan pria dalam lukisan itu. Apa benar ini Claude? Papa psikopat ku yang saat ini sedang memangku ku? Apa ini benar-benar dia?

"Papa."

"Hm?"

"Ini gambar papa," aku tersenyum menoleh padanya. Dapat ku lihat senyum tipis dan ekspresi wajah bangga dari nya.

"Papa tersenyum lagi."

"Omong kosong," ucapnya.

Kali ini dia tidak menolehkan pandangannya ke arah lain. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan di atas kepala ku, bergerak ke kanan-kiri dengan lembut. Ternyata papa sedang membelai kepala ku.

Aku tidak percaya ini. Apa ini benar-benar Claude? Claude de Alger Obelia? Raja kejam berhati beku yang hanya sayang pada Jennette, kini sedang membelai lembut kepala ku?

Di kehidupan ku sebelumnya, aku hanyalah gadis yatim-piatu. Aku selalu melakukan apapun sendiri, tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Bahkan hanya sekedar belaian di kepala, aku tidak pernah merasakannya.

Aku memang bukan Athanasia yang asli. Aku hanya bereinkarnasi ke dalam tubuhnya. Apa aku boleh meminta kasih sayang pada ayahnya? Aku tidak membenci belaian tangan karena itu terasa hangat. Apa aku boleh menganggapnya sebagai ayah ku? Sebagai papa ku? Bolehkah aku merebutnya dari Jennette?

***

Bab berikutnya