webnovel

Kegelisahan Yang Li Yun

Selesai berdiskusi, keesokan harinya, Tan Bu ditemani dengan Lu Xiou Fu pagi-pagi sekali sudah memacu kudanya menuju kuil Shao Lin. Sesuai rencana, ia akan meminta biksu So Lai untuk ikut berrsamanya ke Lembah Gezi.

Sementara di ruangan lain, Suro terlihat memegangi kepalanya yang pusing dan terasa sakit. Beberapa hari ini ia kurang istirahat dan tampak begitu lelah memikirkan adik angkatnya, Yang Li Yun.

Suro tak sadar ketika tiba-tiba Rou Yi muncul dan sudah berada didekatnya dengan membawa segelas teh khusus yang terbuat dari bahan-bahan obat untuk Suro.

"Kakak Luo," sapanya.

Suro tersenyum, wajahnya terlihat lelah menyambut Rou Yi. Ia menerima segelas teh yang disuguhkan kepadanya.

"Duduklah," ia menggeser kursi panjang memberi tempat Rou Yi untuk duduk disebelahnya.

"Alangkah baiknya jika kakak beristirahat, kulihat kau begitu lelah. Masalah Nona Li Yun, biarlah adik yang merawatnya sampai kakak merasa lebih baik," ia memberi saran pada Suro.

Pemuda itu cuma mengangguk, meskipun belum tentu ia bisa melakukannya, sambil kemudian meminum air teh pemberian Rou Yi.

Ia memandangi gelas yang sudah kosong ditangannya, lalu tersenyum membuat wajah gadis itu seperti bertanya-tanya. Ia menebak suatu pengalaman telah telah terjadi pada Suro ketika melihat gelas teh tersebut.

"Kalau kutebak, kakak Luo pasti punya cerita dengan gelas itu?" Rou Yi bertanya menebak, membuat Suro memandang kepadanya dengan tersenyum. Tak lama tertawa mendengar ucapan Rou Yi. Ia sudah tidak terkejut lagi dengan gadis itu yang selalu bisa menebak apa yang ada difikirannya.

"Tak ada yang bisa kusembunyikan darimu, ya..." Suro memuji Rou Yi, membuat wajah gadis itu bersemu merah karena malu.

"Sewaktu perjalanan menuju biara Shao Lin, aku bertemu dengan beberapa biksu yang sedang bertarung dengan ahli kungfu berilmu tinggi, akhirnya aku turun membantunya. Para Biksu itu terluka pada organ dalamnya akibat serangan tenaga dalam sedangkan aku terkena cakaran diperut. Beruntung kami berhasil lolos, dan aku mengobati luka mereka dengan obat-obat yang adik sisipkan dalam bekalku," ceritanya pada Rou Yi. "Sungguh aku sangat berterima kasih padamu."

Mendengar itu, Rou Yi tersenyum. Ia memang sengaja menyisipkan beberapa botol obat penting sebagai bekal dalam perjalanan Suro. Sekedar berjaga jika suatu saat diperlukan. Ia memprediksi perjalanan yang cukup jauh pastilah tidak selalu aman. Toh obat itu sudah dalam bentuk kering dan bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama.

"Oh, begitu," ia menjawab singkat.

Pada kesempatan ini, Rou Yi sebenarnya ingin bercerita banyak hal dengan Suro. Melepas kerinduannya yang terpendam selama perjalanan Suro. Tetapi rasa tidak etis mengingat suasana berkabung menahan niat gadis itu untuk berbincang-bincang panjang lebar. Apalagi dengan adanya Li Yun, ia khawatir kedekatannya dengan Suro akan membuat gadis itu cemburu dan menimbulkan masalah baru.

Dengan kondisi Li Yun saat ini, ia tak ingin menyakiti perasaan gadis itu. Ia tak mau menjadi manusia yang tak tahu diri dengan merebut kekasih orang. Apalagi mereka berdua saling mencintai satu sama lain.

Untuk beberapa lama, mereka saling diam. Rou Yi tak ingin mengusik Suro, membiarkannya untuk menjalani masa-masa berduka setelah kematian orang tuanya, dan musibah yang menimpa adik angkatnya.

"Kakak Luo adalah anak yang berbakti. Aku sungguh tersentuh melihatmu memperlakukan keluarga Yang, terutama ibu Zhou Lin" Rou Yi memecah kebisuan. Terlalu lama berdiam membuatnya nampak seperti orang bodoh.

Suro menoleh ke arah Rou Yi, lalu tersenyum, meluruskan kembali kepalanya memandang ke depan dengan tatapan matanya yang masih nampak sayu.

"Sejak kecil aku sudah Yatim Piatu," katanya, "Ketika berada dalam keluarga ini, aku menemukan kebahagian yang dulu hilang. Meskipun mereka bukan orang tua kandung, tetapi mereka sudah mengganggapku sebagai bagian dari mereka, menunaikan hak dan kewajibannya sebagai orang tua. Maka, aku juga berkewajiban membahagiakan mereka sebagai anak."

Suro berkata panjang lebar, saat itu ia ingat nasehat gurunya, Ki Ronggo, bertutur mengenai kewajiban anak kepada orang tua.

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan perkataan "ah", dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al-Isra: 23).

Dari Abu Hurairah, dia berkata, telah dating kepada Rasulullah saw, seorang laki-laki lalu bertanya:, "Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik?" Beliau menjawab, "Ibumu" dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu" dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu" dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Ayahmu".

Dari isi Hadist terlihat betapa Allah melalui Rasulullah menilai besarnya pengorbanan orang tua kita terutama Ibu. Apa yang sudah ibu berikan kepada anaknya tidak dapat dibandingkan dengan apapun di dunia ini.

Orang tua, terutama ibu harus selalu kita hormati sepanjang hidup kita. Walaupun itu bukan orang tua kita sendiri. Kalau kita menghormati semua orang tua, berarti kita menghormati orang tua kita. Begitu juga bila kita memaki orang tua yang bukan orang tua kandung, maka berarti kita memaki orang tua kita sendiri.

Memuliakan orang tua kita bukan dengan memberinya harta yang berlimpah. Tetapi akhlak yang baik dari anak-anaknya sudah membuat orang tua kita damai dan senang. Harta tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan akhlak yang baik.

Kita sebagai anak harus memohon, berjuang sekuatnya kepada Allah bila orang tua kita belum mendapat hidayah dari Allah. Dan kita harus selalu menerima segala kekurangan orang tua kita dengan lapang dada.

Suro menghela nafas panjang, meskipun terlihat sayu, wajahnya menunjukkan kegembiraan yang tidak bisa dilukiskan.

"Alhamdulillah, diakhir hayatnya, mereka sudah menerima hidayah Allah. Itu yang membuatku sangat ikhlas."

Rou Yi terperangah mendengar apa yang disampaikan oleh Suro panjang lebar. Hatinya seperti mendapat pencerahan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Ia berkesimpulan, prilaku seperti inilah yang membuat keluarga Yang sangat menyayanginya. Li Yun sangat beruntung memiliki orang seperti Suro. Ia menjadi iri, sekaligus cemburu....

Saat ini ia hanya bisa mencintai Suro tanpa bisa berharap pemuda itu juga mencintainya. Perasaan yang muncul dihatinya membuat matanya berkaca-kaca. Jika tidak ditahan, air mata bening itu pastilah sudah mengalir jatuh membasahi pipinya yang lembut.

Ia semakin tertunduk, dihadapan Suro ia merasa rendah. Sangat rendah, seolah ia ingin membenamkan kepalanya ke dalam tanah.

"Adik Yi?" Suro melihat Rou Yi seperti melamun. Panggilannya tidak membuat gadis itu tersadar. Kemudian ia menyentuh pundak Rou Yi, hingga membuatnya tersentak kaget.

"Oh," katanya gelapapan. Menutupi rasa itu, Ia kemudian buru-buru berdiri sambil merapikan gaunnya."Kakak Luo, aku mau masuk ke dalam dulu."

Suro mengangguk, "Baiklah, aku akan melihat kondisi Li Yun."

Mereka bersamaan masuk ke dalam rumah.

Di ruang pengobatan, Suro melihat Yang Li Yun adik angkatnya itu tengah terbaring tidur. Ia kemudian duduk dikursi, lalu merebahkan kepalanya dipembaringan lain menjadikan lengannya sebagai bantal.

Ia merasa penat dan mengantuk, dan tak lama kemudian ia pun terlelap.

***

Malam hari, selesai menyuapi Li Yun dan meminumkan ramuan obat yang sudah disiapkan Rou Yi, Suro menutupi kaki gadis itu dengan kain selimut. Tetapi Li Yun menahan tangannya sambil tersenyum.

"Kakak," katanya, "Aku ingin melihat bulan, bisakah?"

Suro berfikir sejenak, memandang berkeliling lalu matanya berhenti pada sebuah dipan panjang. Kemudian ia berdiri menuju dipan itu.

"Sebentar," sahutnya. Ia langsung mengangkat dipan itu keluar ruangan dan meletakkannya di halaman. Tak lama ia pun sudah kembali di sisi pembaringan Li Yun.

"Kakak gendong, ya?" Suro berkata menawarkan diri. Gadis itu tersenyum, kemudian mengangguk.

Dengan sangat hati-hati, pemuda itu mengangkat tubuh Li Yun, lalu dibawanya ke luar halaman dan membaringkannya kembali diatas dipan yang tadi ia bawa, berusaha agar adiknya itu tidak merasa kesakitan.

Ia mengambil sebuah bangku yang berada di sisi meja di dekat pintu masuk.

Suro meletakkan ganjalan dipundak Li Yun agar posisi kepalanya lebih tinggi dan Li Yun bisa memandang halaman dengan lebih baik.

Sambil menarik nafas panjang, wajahnya yang cantik mengarah ke atas, matanya memandang leluasa langit biru yang diterangi cahaya bulan dan bintang-bintang.

"Kakak," Li Yun berkata membuat Suro menoleh padanya. "Apakah ayah dan ibu ada di sana?"

Gadis itu menunjuk ke langit. Suro tersenyum. Ia masih maklum karena Li Yun masih belum banyak tahu tentang ajaran Islam. Kebiasaan sebelumnya, umum berkata bahwa orang yang sudah meninggal arwahnya berada dilangit mengawasi orang-orang yang masih hidup.

"Mereka saat ini sedang berada di suatu tempat yang lebih indah daripada yang ada di dunia ini. Mereka sangat dekat, hanya saja tak bisa menyapa, tapi mereka masih bisa mengunjungi kita dalam mimpi atas ijin dari yang kuasa," sahutnya dengan bahasa yang mudah difahami oleh Li Yun.

Kata-kata Suro begitu menghibur dirinya dan membuat ia kembali tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kakak, mungkinkah aku bisa pulih seperti sediakala?" ia bertanya sambil menoleh pada Suro.

Suro tak berani menjawab pasti kesembuhan Li Yun. Ia cuma berharap, biksu So Lai akan bisa mengobati adiknya itu.

"Mmmm.... Insyaallah, kakak Luo akan berusaha mencari cara agar Adik Li bisa pulih," jawabnya.

Angin malam berhembus lembut, membuat suasana menjadi terasa lebih dingin dan menusuk. Tidak ingin adiknya merasa kedinginan, Suro merapikan selimut yang terurai tertiup angin untuk menutupi tubuh Li Yun dari kaki hingga ke dadanya. Ia berusaha membuat gadis itu merasa nyaman.

Raut wajah bahagia terpancar dari senyum Li Yun. Ia dapat merasakan kehangatan dari luar dan dalam. Suro yang pemalu dan tak pernah berani mengungkapkan perasaannya malam ini mengatakannya dengan tindakan.

"Ah, malam ini, aku hanya ingin memandang langit sepuas-puasnya, menikmati cahaya bulan yang teduh, berbaring di alam terbuka disisi orang yang kucintai. Membantuku melerai duka yang membungkus hati." Li Yun membatin.

Suro diam-diam memperhatikan raut wajah Li Yun. Ia melihat pandangan mata gadis itu tak lepas dari langit, senyumannya menunjukkan kepasrahan. Ia seperti tak ingin berbicara banyak, hanya ingin menikmati apa yang dipandanginya sebagai pelarian dari rasa dukanya.

"Seandainya aku tidak bisa pulih, dan tetap dalam kondisi sekarang ini, lumpuh dan tidak berdaya, masihkah kakak akan memperlakukanku seperti ini?"

Suro tertawa mendengar kata-kata Li Yun, ia melipat tangannya di depan dada untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk.

"Aku sudah berjanji pada ayah dan ibu. Aku akan menjagamu walaupun kondisimu tetap seperti ini," jawabnya.

Lagi-lagi gadis itu menarik nafas dalam.

Suro merasakan kegelisahan Li Yun. Ia membayangkan jika berada diposisinya, lumpuh dan tidak berdaya, pasti ia pun berfikir demikian. Seumur hidupnya akan selalu bergantung belas kasihan orang lain.

"Adik jangan khawatir berlebihan, kakak Luo sudah meminta tolong pada kakak Tan untuk menjemput seorang ahli pengobatan tulang dari biara Shou Lin." Ia berkata lagi menenangkan Li Yun.

Yin Rou Yi tiba-tiba muncul dari dalam rumah dengan membawa nampan berisi dua cawan teh diatasnya, berjalan lembut dan anggun dihadapan Suro dan Li Yun

Melihat kedatangan Rou Yi, mereka menyambutnya dengan tersenyum.

"Malam ini cukup dingin dan berangin," katanya sembari menyuguhkan secawan teh pada mereka berdua, "Tentu akan terasa lebih nikmat dan hangat dibarengi dengan teh panas agar tak masuk angin."

"Terima kasih, nona Yi," Lin Yu berkata, yang dijawab senyuman oleh Rou Yi.

Suro mengangguk sambil menatap Rou Yi yang juga menatap matanya. Suro dapat merasakan kalau gadis itu sedang menahan sesuatu dari hatinya.

Rou Yi tak bermaksud berlama-lama dan mengganggu aktivitas Suro dan Li Yun. Maka, setelah menyuguhkan hidangan tehnya, ia langsung berbalik kembali ke dalam rumah. Tetapi Li Yun keburu memegang tangannya.

"Nona Yi," Rou Yi menghadapkan tubuhnya ke arah Li Yun, "Kita bisa menikmati pemandangan malam ini bersama kalau kau mau..."

Rou Yi tersenyum memandang Li Yun. "Silahkan nona Li Yun, kalian sudah lama tidak bertemu dan berbincang-bincang. Aku tak ingin mengganggu."

"Oh, ...." katanya, "Sebenarnya aku juga ingin ditemani dan mengobrol bersamamu."

Rou Yi tak langsung menjawab, ia mendekati Li Yun lalu duduk berjongkok disampingnya sambil menggenggam tangan Li Yun.

Ia kembali menggeleng dibarengi dengan senyumannya yang manis, suaranya yang lembut menjawab ajakan Li Yun, "Nona Li Yun, aku berdo'a agar tuhan memberikan kesembuhan padamu. Nanti, kapan-kapan aku akan menemanimu mengobrol, ya."

Li Yun menampakkan wajah agak kecewa, namun akhirnya mengangguk dan membiarkan tubuh Rou Yi melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah tubuh Rou Yi menghilang dibalik pintu, Li Yun menoleh ke arah Suro yang memandang langit, tangannya meraih lengan pemuda itu.

"Kakak..." Suro menoleh, "Nona Rou Yi itu baik sekali, ya."

Suro melihat Li Yun yang kembali menatap langit. Ia menghela nafas dan tersenyum sebelum menanggapi.

"Nona Rou Yi gadis yang baik dan murah hati. Kakak berrhutang budi padanya. Ia tak pernah mengeluh ketika sedang menangani banyak orang yang sakit, termasuk orang tua kita," jawabnya, ia mengangguk dan tersenyum.

Anggukan kepala Li Yun merupakan jawaban yang sama dengan Suro. Ia merapatkan selimutnya dan menarik nafas dalam.

"Kakak, Nona Rou Yi itu juga cantik, ya..." Li Yun memuji Rou Yi dihadapan Suro, membuat keningnya berkerut.

Li Yun dapat merasakan tanpa melihat bahwa Suro sedang mengangguk. Suro juga merasakan gadis itu ingin mengatakan sesuatu yang membuatnya menarik nafas dalam.

"Kakak,...." tiba-tiba, Li Yun meraih tangan Suro dan menoleh kearahnya dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi bibirnya menyungging senyum."Aku ikhlas dan ikut bahagia jika kakak menjadikan Nona Rou Yi sebagai penggantiku."

Sontak Suro terbatuk seperti tersedak mendengar Li Yun mengucapkan kata-kata itu. "A-a-apa?"

Mendadak air mata Li Yun mengalir tumpah membasahi pipinya, mengangguk meyakinkan Suro dengan senyumannya yang nampak tulus.

Suro memandang Li Yun dengan tatapan sedih, lalu menghapus air mata gadis itu dengan tangannya yang lain.

"Anak bodoh!" ia membentak Li Yun dengan suara berbisik, tetapi bibirnya menyunggung senyuman, "Kamu belum kenal kakakmu, ya? Apa yang sudah kakak Luo katakan, pantang untuk ditarik kembali. Sekali kakak Luo berjanji, matipun tak akan kuingkari. Kakak sudah berjanji pada Ayah dan Ibu untuk menjagamu, apapun yang terjadi dan bagaimanapun kondisimu."

Tangisan Li Yun semakin menjadi mendengar kata-kata Suro yang meyakinkannya, ia terisak dengan tubuh berguncang.

"Kakak....." kalimatnya seperti merengek, tangan Suro yang menyeka air matanya ia genggam dengan erat. "Maafkan aku, kakak.... Aku tak ingin kakak kecewa dengan kondisiku...."

"Aku akan berusaha untuk kesembuhanmu, tubuhmu akan membaik seperti semula, insyaallah!" katanya yakin.

Bab berikutnya