webnovel

Aditya dan Burung Elang Neprim

Mereka menghindari anak panahku.

"Heremara, kita habisi orang gendut paling depan terlebih dulu."

"Yoi, Heremaru."

Dua prajurit kembar suku Yani berlari kencang ke arah badan raksasa Nopo, dua tangan mereka memegang dua pemukul dari kayu Sengon dengan panjang setengah meter, ujungnya tumpul dan dibalut kain supaya mengurangi dampaknya; seperti pemain tinju yang membungkus kepalan tangannya. Heremara dan Heremaru memiliki postur tubuh yang sama persis, seperti tulisan copy-paste di komputer:Gaya rambut cepak dan tubuh pendek 150 cm. Topi mereka dilingkari bulu ayam jago berwarna hitam pekat. Mereka berlari mendekati Nopo dengan senyum menyerupai Iblis yang ada di cerita bergambar.

"Aku Nopo! Aku Nopo!" suaranya menggelegar, Nopo menyambut kedatangan prajurit kembar, "Aku akan merebut resep masakan korang!" Dia melemparkan perisainya ke depan menggunakan lengan gempalnya, perisai itu meluncur cepat seperti peluru meriam kuno, jika terkena, perut Heremara yang posisinya berada paling depan mungkin akan memuntahkan makanan yang telah ia telan tadi pagi.

Namun Heremara dan saudaranya punya gerakan kaki yang cekatan; Heremara melompat untuk menghindari lemparan perisai, sedangkan Heremaru menjatuhkan dirinya untuk berseluncur di bawah perisai Nopo.

Nopo yang melihat serangannya berhasil dihindari tidak terkejut. Orang-orang suku Yani terutama kaum lelakinya selain dalam hal memasak, mereka memang ahli dalam menggiring bola, gerakan kaki mereka lincah nan terlatih. Tangan ahli mengenal bumbu masakan, kaki mereka ahli mengenal medan pijakan.

Heremaru berteriak pendek, mirip suara tawa yang mengejek. "Hah! Lemah sekali serangan korang!"

Heremara menimpali, "Menu sarapan ko hambar, kah?"

Mereka berdua tertawa sambil melompat tinggi sejajar dengan kepala Nopo, masing-masing menyabetkan kedua pemukul di tangan mereka mengenai dua pundak dan lengan Nopo, kemudian sebelum jatuh di belakang Nopo, si kembar melakukan salto depan sembari memukul punggung Nopo. Tubuh raksasa suku Lani itu bergetar, bukan karena kesakitan, namun karena lemak tubuh Nopo menangkis semua serangan cepat tadi. Serangan yang sia-sia.

Anewa dengan tubuh jangkungnya maju menghampiri musuh yang sekarang berada di belakang Nopo, berdiri lima meter di depanku. Tombak panjang dan tumpulnya bergoyang-goyang di bagian ujung. Nopo membalik badan seraya merentangkan tangannya.

"Terkepung korang," Nopo tersenyum licik, "Siapkan resep makanan korang!"

Anewa maju menyerang dengan ujung tombak bergerak ke kiri dan kanan seperti cambuk kuda, ujung tombaknya seperti cemeti, memecut dua orang kembar secara bergantian. Heremara yang mempunyai lukisan bundar di pipi kanan mengelak, ia merunduk ke samping; Heremaru yang lukisannya berada di pipi sisi kiri meloncat ke arah yang berlawanan, dia juga berhasil menghidar.

Tangan Nopo segera menggapai lengan Heremaru dan berhasil, namun Heremara lolos dari cengkraman tangan kirinya dengan gerakan merunduk lalu berguling seperti trenggiling.

Lalu tidak berselang lama, tubuh Nopo diguncang serangan hebat dari balik tubuhnya hingga membuat tenggorokannya tersedak dan membelalakkan mata. Seolah belum cukup untuk menaklukkan raksasa suku Lani ini, serangan berikutnya datang lebih besar, pukulan berdebam menyalur dari punggung hingga dadanya. Tangan nopo yang menggenggam Heremaru terbuka, musuh kecil itu lolos sambil terkekeh berlari ke belakang, ia memukul tubuh gempal Nopo yang terjerembab.

"Mati ko babi busuk, Hah!"

Heremara menendang pantat manusia perisai kami. "Makan saja kentang rebus!" Mereka berdua berdiri di samping teman satu timnya yang tertinggal saat berlari, tingginya lebih pendek sekepala dari Anewa, gaya rambut militernya di tutup topi bulu yang sama hitam dengan rekan kembarnya, ia memiliki pandangan mata merendahkan dan bibir yang berisi. Dia tipe orang yang pendiam. Perisai persegi empat masih menempel dipunggungnya.

Aku berdiri dihalangi tubuh Anewa yang kurus namun tinggi, cukup untuk menghalangi pandangan manusia perisai mereka. Aku tidak membuang waktu, aku mengambil tiga anak panah langsung, menariknya di tali busur, berhitung sebentar untuk menentukan jalur luncur panahku dari balik tubuh tinggi Anewa. Di saat si kembar tertawa-tawa mengolok Nopo, di saat mereka baru saja berdiri di samping manusia perisai mereka, aku melangkah setengah meter ke kanan lalu meluncurkan anak panah yang tidak bersuara. Meluncur hening seperti tengah malam yang sunyi.

Aku tahu manusia perisai mereka akan sempat mengambil senjatanya yang masih menempel dipunggung dan menangkis semua anak panahku, jadi sebelum itu terjadi, aku meluncurkan tiga anak panah lagi, kemudian dua lagi secara cepat.

Heremara tahu seranganku, "Kahale!" ia berteriak pada manusia perisainya.

Kahale juga gesit, sebelum diteriaki pun dia sudah mencabut perisainya dan melangkah ke depan. Perisainya dibelah menjadi dua menjadi persegi panjang, rancangan senjatanya canggih tidak seperti tahun kemarin. Kahale menyapu tiga puluru panah pertama; satu menjuju dada Heremara, dada Heremaru dan Heremara lagi dibagian kepala. Panah menempel di perisai Kahale seperti permen karet.

Tidak selang lama. Peluru gelombang kedua dan ketiga muncul seperti berondongan, berjumlah tiga, disusul dua dan pola jalurnya berbeda, berputar acak seolah tornado yang bergerak ngasal, namun sebenarnya arahnya pasti. Aku sudah berlatih memanah jutaan kali.

Kahale terlihat bingung mau menangkis yang mana terlebih dahulu. Akhirnya ia hanya bisa melindungi dadanya walaupun sebenarnya tidak satu anak panah pun tertuju ke sana. Heremara sempat menjatuhkan diri ke tanah, namun salah satu anak panahku menukik ke arah bawah, lalu terkena tepat di dadanya, getah karet diujung anak panah membuatnya menempel di dada Heremara. Dia dianggap mati. Berbeda dengan Heremaru, ia menangkis satu-dua anak panah, akan tetapi yang terakhir meliuk ke atas mengenai dahinya mengeluarkan bunyi cepak. Menempel di dahi. Dia juga dianggap mati. Kini hanya seorang saja yang masih berdiri di suku Yani. Heremara dan Heremaru melangkah keluar gelanggang, diikuti Nopo yang tergeletak lebih dari lima detik—dianggap mati, napasnya tersengal dan ia melangkah seperti gorila lapar yang mau pingsan.

"Menangkan resep rahasia suku Yani untukku, e!" lirih Nopo saat melewatiku untuk menuju ke pinggir tribun suku Lani.

Aku berdiri sejajar dengan Anewa, "Seperti kata Nopo tadi, " bibirku menyungging senyum, "Jadi, siapkan resep makanan rahasia korang." Anewa tersenyum samar sambil memegang tombak di tangan kanan, wajahnya berwibawa dan hampir sama pendiamnya dengan musuh dihadapan kami sekarang.

Kahale mendengkus sebal seperti kerbau, ujung alisnya turun mendekati hidung.

Aku mengambil anak panah. Kahale berlari cepat mendekati kami seperti kerbau gila, dia berteriak marah. Anewa maju di hadapanku menggantikan posisi Nepo menjelma menjadi ajudan dadakan.

"Bima ko tahu apa yang harus ko lakukan." Aku mengangguk. Apalagi kalau bukan memanah.

Anewa berlari menjemput serbuan Kahale. Aku menarik panah, tiga panahku menembus desiran angin, menyusul Anewa yang berlari dengan tombak terhunus ke depan dan menyongsong tubuh Kahale. Serangan kombo, tombak dan panah.

Kahale berteriak, suaranya besar dan serak, kedua lengannya menyapu bersih peluruku dan tusukan tombak milik Anewa, membuat kedua tangannya terentang. Aku tersenyum, itu posisi tubuh yang dicari Anewa, pertahanan musuhnya sangat terbuka.

Ujung tombak Anewa lentur bagaikan seutas tali. Setelah ditangkis, tombak Anewa berputar-putar seakan baling-baling kincir angin di persawahan, membuat pusing Kahale yang menatapnya, kemudian dengan serangan silih berganti menyabet lengan bawah kemudian ke kaki bagian atas, lalu kaki bawah, perut samping dan pindah ke sisi tubuh lainnya dengan urutan yang sama. Serangan itu cepat tapi kurang efektif melumpuhkan badan Kahale yang kuat dan besar.

Tapi cukup bagiku untuk meluncurkan satu anak panah menuju titik mematikan, panahku meliuk melewati punggung Anewa dan menabrak dada Kahale. Tepat sasaran. Kahale terkejut memegang dadanya yang tertempel panah, ia menggeram seperti sapi mendengkur, telapak tangan mengepal, wajahnya memerah dan mengkerut seolah tidak menerima kekalahan. Kemudian seolah mengingat ini hanya permainan, wajah tegangnya mengendur lalu melangkah meninggalkan gelanggang sambil menunduk sedih tidak bisa memenangkan pertandingan. Peluruku tersisa delapan. Dan bayarannya adalah kekalahan untuk suku Yani.

Aku dan Anewa beradu tinju pelan merayakan kemenangan sembari tersenyum lebar. Langit yang menaungi kami sedikit berembun, cahaya matahari tidak sepenuhnya menerpa wilayah lembah Baliem, gunung-gunung yang mengitari kami ditumbuhi banyak pohon membuatnya terlihat seperti brokoli raksasa, burung-burung eksotis lalu lalang di atasnya. Indah dan menenangkan.

Anewa beranjak mengambil anak panahku dengan segera. Dua pemain suku Dani masih menjadi penonton, mondar-mandir di pinggir lapangan seperti anjing yang menunggu jatah makan dan minum.

Suara burung elang menggema di atas langit bersamaan dengan suara hembusan angin kencang di telingaku. Aku melihat ke depan, elang itu terbang sangat rendah. Kerumunan penonton ramai dari arah suku Dani, kepala mereka menengok ke belakang, kerumunan penonton tersibak seolah gerbang kerajaan. Sosok Aditya berjalan di atara penonton suku Dani yang membuka jalan.

Aku dan Anewa menatap sengit orang itu. Tangan kananku memegang quiver. Anewa melangkah ke depan bersiap melindungiku.

Aditya tersenyum lebar dan manis, memperlihatkan gigi taringnya yang seputih tulang, gaya rambutnya dipilin berbaris ke arah belakang seperti cakar harimau yang menggurat luka di dada hitamnya. Burung elang yang terbang rendah tadi turun perlahan dan bertengger di pundak kiri Aditya. Elang itu mengeluarkan suara melengking keras menggema. Jika aku di sana mungkin akan menutup telinga, tetapi Aditya berbeda, dia anak lembah Baliem paling primitif, seakan bersahabat dengan alam dan hewan liar. Aditya tidak terganggu dengan suara menggema yang dekat dengan telinganya sama sekali, malah ia tetap tersenyum manis dan melambaikan tangan ke penonton satu suku dan lain suku. Para gadis tersipu. Para penonton bersorak seakan menyambut pahlawan zaman dulu.

"Maaf sa (saya) terlambat. Sa mencari Sute di ujung hutan," kata Aditya berteriak sambil menunjuk seekor elang di pundaknya. Kecepatan langkah kakinya sedang, tidak buru-buru. Dia sudah siap memakai kostum, lukisan tangisan air di pipi, menunjukkan busung dada bidang yang tergurat luka cakaran, rok pelepah kelapa pendek yang kering, dan topi dengan bulu emas tegak ke atas. Tubuhnya berotot ideal. Aditya lebih mirip pangeran tampan berkulit hitam legam daripada seperti monster buas dari hutan yang keluar kandang.

Genderang perang ditabuh kembali. Anewa membuat peluru panahku lengkap kembali. Di sisi pinggir gelanggang utara pemain suku Dani telah lengkap. Aditya menjadi satu-satunya orang yang mengembangkan senyum dan paling hitam di antara teman setimnya.

"Nah pemirsa sekalian, penduduk lembah Baliem dan para turis jauh! Pertandingan seru akan segera dimulai!" Panita berseru semangat seperti komentator di pertandingan sepak bola.

"Dua lawan satu! Apakah suku Lani bisa memenangkan pertarungan berat sebelah ini!?"

Sute melenguh tinggi seakan menyemangati kelompok suku Dani, suaranya menggema di ruang langit, menggetarkan angkasa dan isinya.

Bab berikutnya