webnovel

Chapter 27

Setelah ikut makan malam bersama, Jake pulang ke rumahnya. Aku membantu Dad mencuci piring sambil mengobrol bersama Mum sebelum kembali ke kamarku. Kujatuhkan tubuhku di atas tempat tidur, menunggu orangtuaku tidur sebelum aku bisa menyelinap keluar malam ini. Kuambil handphoneku lalu mengecek beberapa misscall dari Alex, beberapa kali aku mencoba menghubunginya balik tapi sambungan teleponku malah masuk ke dalam voicemail. Sepertinya Ia sedang sibuk saat ini.

Pandanganku tertuju pada langit-langit kamarku. Apa yang dikatakan Jake sore tadi kembali menghantui pikiranku. Jika Edward Adler sudah menyadari identitasku saat kami bertemu, maka sudah hampir bisa dipastikan permintaan Alex untuk mencabut peraturan mengenai Leykan akan ditolak. Apa yang akan terjadi jika mereka menangkapku? Jika aku tidak berlari, lalu apa yang akan terjadi pada Alex dan pack ini? Pada kedua orangtuaku?

Vincent benar, saat ini aku tidak memiliki pilihan lain.

Tapi apa yang akan Alex pikirkan jika aku pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun? Apa Ia akan membenciku nantinya? Kupandang hiasan bintang yang dipasang Alex di langit-langit kamarku beberapa tahun yang lalu dengan perasaan sedih. Apa aku bisa kembali ke tempat ini lagi nantinya?

***

Semalam akhirnya aku berhasil mengirim tas ranselku ke halte bis, walaupun aku harus menunggu hingga jam 3 pagi untuk memastikan kedua orangtuaku sudah benar-benar tidur. Lalu Jenna meneleponku pukul 6 pagi mengajakku ke salon dan bersiap-siap ke Prom bersamanya. Tentu saja aku menolaknya mentah-mentah lalu kembali tidur hingga Mum membangunkanku pukul 11 siang.

Sekarang... Aku sedang bersembunyi di kamar mandiku. Walau acara Prom masih dimulai 5 jam lagi tapi Mum sudah memenuhi kamarku dengan deretan sepatu, peralatan menata rambut, dan make up. Aku tidak tahu mana yang lebih antusias dalam menyambut pesta Prom ini, Mum atau Jenna.

"Cara, cepat keluar, aku harus mengoleskan maskermu sebelum mengering!"

Kuhela nafasku sebelum keluar dari kamar mandi. "Mum, aku tidak memerlukan ini semua." protesku sambil menunjuk ke sekitar kamarku. "Lagipula aku akan pergi dengan Eric."

Mum yang sedang memegang mangkuk berisi adonan masker memandangku dengan tatapan tidak percaya. "Cara! Ini adalah salah satu momen sekali seumur hidupmu."

Dan sekali saja sudah cukup untukku, gerutuku dalam hati. "Aku hanya akan pergi ke pesta Prom... bukan ke pesta pernikahanku!"

Ekspresi di wajah Mum membuatku sedikit menyesali kata-kataku. "Yah... Well, saat Alex ikut Prom aku tidak bisa mendandaninya. Dan sekarang adalah giliran putriku satu-satunya, apa aku tidak boleh sedikit bersemangat?"

Kupeluk Mum erat-erat lalu mencium pipinya, "Maafkan aku, Mum."

Wajahnya kembali bersinar setelah membalas ciuman pipiku, "Sekarang kau harus pakai masker, waktu kita tidak banyak lagi."

Kali ini aku menghela nafas dalam hati.

***

Acara Prom dimulai pukul 6 sore di gymnasium sekolah kami. Aku, Eric, Jenna, dan Dane menyempatkan diri berfoto di booth yang disediakan di depan sekolah. Di saat orang-orang disekitarku terlihat antusias dan bersemangat, aku hanya bisa merasa gugup. Sejak siang Vincent tidak bisa dihubungi, Ia juga tidak muncul di sekolah. Kupaksa diriku ikut tertawa dan tersenyum sepanjang sore ini.

"Cara, kau mau berdansa?" tanya Eric tiba-tiba dari sebelahku. Jenna dan Dane sudah berdansa entah untuk yang keberapa kalinya malam ini.

"Apa kau gila?" balasku dengan ekspresi pura-pura panik. Eric tertawa lalu mengangguk, "Kalau begitu apa kau tidak keberatan aku menghilang sebentar?"

Kuikuti arah pandangan Eric yang tertuju pada pria yang bediri di depan pintu gymnasium. "Kalau kalian tidak putus lalu kenapa kau pergi ke Prom bersamaku?!" bisikku dengan kesal padanya.

"Cara... Kami memang sudah putus, tapi bukan berarti kami tidak bisa bersenang-senang."

Kulemparkan ekspresi jijikku lalu mengusir Eric.

Aku bergabung bersama beberapa teman sekelasku yang lain sambil menikmati band sekolah yang sedang tampil. Beberapa orang mengajakku berdansa tapi aku harus menolaknya. Jenna dan Dane beberapa kali menghampiriku untuk mengobrol tapi aku tidak ingin mengganggu waktu pacaran mereka jadi aku mengusir mereka juga. Lagipula sebisa mungkin aku harus memisahkan diri dari Jenna dan Eric sebelum menyelinap keluar.

Gymnasium sekolahku saat ini dihiasi ratusan lampu kerlap kerlip dan dekorasi pesta dansa, bukan hanya tempat ini tapi seantero sekolahku juga dihiasi lampu-lampu kecil itu. Mungkin karena rasa gugupku aku jadi tidak sempat menikmati acara ini padahal Mum sudah menghabiskan banyak waktu untuk menata rambutku dan makeupku, tapi satu-satunya yang ada di pikiranku saat ini adalah rencanaku bertemu dengan Vincent nanti. Ia hanya mengatakan akan menungguku di dekat sekolah tapi aku tidak bisa menghubunginya lagi untuk memastikan.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang berada di pikiranku sejak tadi.

Alex.

Semalaman aku berpikir untuk menulis surat, jika aku tidak bisa mengatakannya secara langsung paling tidak aku bisa menjelaskannya dalam surat. Tapi pada akhirnya aku membatalkannya. Alex tidak akan mengerti mengapa aku melakukan ini semua, karena baginya tempat paling aman di dunia ini adalah disisinya. Kugigit bibirku untuk menahan rasa sedih yang tiba-tiba muncul.

Aku harus menunggu hingga seluruh perhatian tertuju pada acara puncak yaitu pemilihan Prom Queen & King sebelum bisa menyelinap keluar. Dengan alasan akan ke kamar mandi aku keluar dari gymnasium, melewati selasar panjang yang sudah lumayan sepi lalu belok menuju taman sekolah kami. Aku tidak bisa keluar melalui gerbang utama sekolah karena pasti akan ada yang melihatku, lagipula aku yakin Vincent juga tidak akan menjemputku tepat di depan sekolah.

Kupercepat langkahku menuju halaman belakang sekolah yang berbatasan langsung dengan hutan Pepperwell. Aku berencana keluar melalui gerbang belakang sekolah yang lebih sepi. Semoga saja tidak ada orang di sana saat ini.

Tapi seluruh harapanku sirna saat melihat halaman belakang sekolah yang dihiasi lampu dekorasi juga. Beberapa siswa yang sedang pacaran duduk di sudut halaman yang lebih remang-remang. Kuhentikan langkahku dengan sedikit kecewa. Tapi paling tidak tempat ini tidak seramai gerbang depan.

"Bagaimana kau tahu aku ada disini?" tiba-tiba sebuah suara bertanya dari belakangku. Kubalikkan tubuhku lalu membeku di tempat.

"Aku baru saja akan menghubungimu." ucapnya sambil tersenyum. Tapi senyumannya memudar saat memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepalaku.

"Alex?" bisikku dengan tidak percaya.

"Cara, kau terlihat sangat..." Alex tidak melanjutkan kalimatnya. Kami berdua sama-sama terdiam dan saling memandang. Alex mengenakan setelan jas minus dasi, guratan lelah terlihat jelas di wajahnya tapi hal itu tidak mengurangi ketampanannya.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku dengan suara rendah.

"Urusanku selesai lebih cepat jadi aku bisa pulang lebih awal." Alex memandangku lekat-lekat tanpa berkedip. "Jake bilang kau sedang menghadiri Prom jadi kupikir aku bisa mampir sebentar sebelum pulang."

"Oh..." gumamku padanya. Permintaan Alex dalam rapat antara Alpha pasti sudah ditolak. Kugigit bibirku untuk menyebunyikan rasa kecewaku.

"Cara, kau terlihat sangat cantik." Alex kembali tersenyum, kedua matanya menghangat ketika melihat wajahku yang agak memerah. "Aku bersyukur aku sudah menyempatkan untuk mampir."

"Padahal aku bisa mengirimkan foto padamu." balasku dengan senyuman.

"Aku ingin melihat gaun pilihanku secara langsung."

Senyumku sedikit memudar saat mendengarnya, "Kau... yang memilih gaun ini?"

"Iya. Mum bilang Ia sudah terlanjur membatalkan pesanan gaunmu yang sebelumnya karena kau tidak jadi ikut Prom. Karena waktunya sangat mepet jadi akhirnya aku yang membelikannya... Apa kau menyukainya?"

Aku tidak bisa menjawabnya. Kurasakan salah satu sudut mulutku mulai bergetar. Sial, saat ini aku ingin menangis.

Alex yang menyadari perubahan ekspresiku berjalan mendekat dengan tatapan khawatir. Kedua tangannya menyentuh lenganku perlahan, "Cara, ada apa?"

"Tidak apa-apa." balasku dengan senyuman tapi air mata mulai menggenangi kedua mataku. "Aku hanya..." kutelan ludahku saat melihat kedua mata coklatnya yang khawatir, "...sangat menyukai gaun ini. Terimakasih, Alex."

"Kalau begitu tidak sia-sia aku—"

Kupotong kalimatnya dengan menciumnya. Alex sedikit terkejut tapi tidak lama kemudian Ia membalas ciumanku, saat kedua tangannya menangkup wajahku kukalungkan kedua lenganku di lehernya.

"Alex... aku mencintaimu." bisikku di tengah ciuman kami.

Alex menarik wajahnya menjauh lalu mengamati wajahku lekat-lekat, salah satu ibu jarinya menyapu ujung mataku yang terasa basah. "Aku tahu." gumamnya sebelum menarikku ke dalam pelukannya.

***

Aku melihat mobil Volvo milik Vincent tidak jauh dari sekolahku. Kutarik nafasku dalam-dalam sebelum berlari kecil ke arahnya. Aku harus menunggu hingga mobil Alex benar-benar menghilang sebelum bisa menyelinap keluar. Dengan alasan acara Prom belum selesai aku memintanya pulang lebih dulu, Alex bahkan mengatakan akan menjemputku nanti. Kubiarkan perasaan sakit di hatiku menyiksaku saat ini.

Ini semua untuk Alex, untuk Packnya, dan untukku.

Aku tidak bisa melihat Vincent dari balik kaca mobilnya yang gelap tapi pintu penumpang mobilnya langsung terbuka begitu aku berdiri di depannya.

"Tutup pintunya." Kata Vincent sebelum aku masuk. Kututup pintu mobilnya lalu menoleh ke arahnya. Vincent terlihat berubah dari saat terakhir kali aku melihatnya. Rambutnya yang sebelumnya berwarna chesnut sekarang berwarna hitam kelam, kurasa Ia baru saja mencat rambutnya. Tapi pandangan matanya lah yang paling menarik perhatianku. Ia memandang lurus ke depan dengan pandangan setengah panik dan setengah marah. Sangat marah hingga aku bisa melihatnya dengan jelas pada kedua matanya yang biru.

"Berikan handphonemu padaku." katanya. Kuserahkan handphoneku padanya lalu detik berikutnya Ia melemparkannya ke luar jendela. Ia tidak membuang-buang waktu lebih lama, Vincent mengemudikan mobilnya pada batas maksimal kecepatan yang legal. Kedua tangannya mencengkeram kemudi mobil dengan erat.

"Kita harus keluar dari tempat ini secepatnya." Gumamnya dengan marah. "Kau tahu apa yang terjadi?"

Aku menggeleng padanya walaupun aku bisa sedikit menebak apa yang terjadi.

"Mungkin saat ini mereka semua sudah mengetahui identitasmu sebagai Leykan. Semua ini karena matemu."

"Apa maksudmu?"

"Alex baru saja mendeklarasikan perang dengan pack Silver Moon." Vincent menoleh ke arahku lalu melanjutkan kalimatnya dengan tidak sabar, "Ia baru saja mengumumkan akan merebut wilayah kekuasaan Silver Moon dalam rapat antara Alpha."

Kupejamkan mataku erat-erat lalu mengumpat pada diriku sendiri. "Alex berusaha mencabut peraturan mengenai Leykan, aku yakin permintaannya ditolak saat rapat. Karena itu Ia mendeklarasikan perang dengan pack Silver Moon... Ia melakukannya untuk mengalihkan para Alpha perhatian dariku."

Vincent tidak menjawabku selama beberapa saat, tapi ekspresi wajahnya masih terlihat tegang. "Aku hanya tidak mengerti mengapa Ia harus menyerang pack Silver Moon. Edward Adler bukan lawan yang mudah."

Kubenamkan tubuhku yang tegang di jok mobil dengan perasaan bersalah. "Edward Adler sudah mengetahui aku adalah Leykan."

Vincent menoleh ke arahku dengan tajam sebelum akhirnya kembali berkonsentrasi ke jalanan di depannya. "Kau bertemu dengannya."

Aku mengangguk kecil. "Aku bertemu dengannya di lobby apartemen Alex."

"Sialan." gumam Vincent dengan marah.

Kami berkendara dalam diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku mengira-ngira apa yang Alex sedang lakukan saat ini. Apa yang akan dipikirkan olehnya saat menyadari aku sudah pergi? Wajahnya yang dipenuhi kekhawatiran saat menatapku tadi kembali terngiang di dalam kepalaku. Perasaan bersalah membebani setiap tarikan nafasku.

"Kau tidak apa-apa?" suara Vincent memecah keheningan. Kami sudah berkendara hampir dua jam lebih tapi Ia belum mengurangi laju mobilnya sama sekali sejak tadi. Aku mengangguk lalu mengalihkan perhatianku ke luar jendela. "Kemana kita pergi?"

"Sejauh mungkin. Tempat apa yang belum pernah kau kunjungi? Kita bisa memulainya dari sana."

"Paris?"

"Terlalu mudah dilacak. Aku berpikir Islandia." Gumamnya. Aku menoleh ke arahnya dengan pandangan tidak percaya. Islandia?

"Kau serius?" Kami membicarakan tujuan kami seperti membicarakan pizza apa yang harus kita pesan.

"Yeah. Mungkin Islandia sedikit lebih dingin tapi lebih aman." Tiba-tiba Paman Dante menghentikan mobilnya. "Kita hampir mendekati perbatasan wilayah packmu." Lalu Ia melepaskan kaos hitam yang dikenakannya. "Ganti gaunmu dengan ini. Aku menaruh tas ranselmu di belakang."

Aku kembali memandangnya dengan tidak percaya. "Disini? Sekarang?"

"Aku akan keluar, tapi jangan terlalu lama bergantinya." Tambahnya. Ia mengambil sesuatu dalam tasnya yang berada di jok mobil belakang, sebuah kaos baru, lalu mengenakannya. Dan Ia memberikan kaos bekasnya padaku?

Seakan-akan membaca pikiranku, Vincent berkata lagi, "Kaos kotor menyembunyikan bau mu lebih baik."

Aku mengganti bajuku setelah Vincent keluar dari mobilnya. Ia mengambil gaun yang sebelumnya kukenakan lalu membuangnya di antara semak-semak di pinggir jalan. Ia juga meminta seluruh barang-barang yang kubawa sebelum menghilang selama beberapa menit lalu kembali dengan tangan kosong. Rasa sedih dan bersalah menghantuiku karena harus membuang gaun baruku yang dipilihkan Alex. Kami berkendara lagi hingga aku tertidur beberapa kali lalu berhenti di sebuah restauran kecil.

"Dimana kita sekarang?" tanyaku saat kami sudah duduk di meja restauran. Seorang waiter memberikan menu pada kami.

"Atlanta." Jawabnya sambil mengusap wajahnya yang terlihat sedikit lelah. "Kita akan berhenti besok siang. Kuharap di New Hampshire."

"Bukannya lebih cepat menggunakan pesawat?" gumamku sambil melihat menu di tanganku dengan pandangan kosong. Aku tidak merasa lapar.

"Lebih mudah dilacak." Vincent mengamati ekspresiku sejenak lalu mengerutkan keningnya, "Bagaimana pesta Promnya?" katanya tiba-tiba, pertanyaannya membuatku sedikit bingung.

Aku hanya mengangkat bahuku sekilas. "Biasa saja." kubalas tatapan lelahnya lalu tersenyum kecil. "Aku tidak percaya kau pernah mengajak keponakanmu sendiri ke pesta Prom." lanjutku.

"Well, lebih baik aku yang mengajakmu daripada teman-temanmu yang tidak jelas." Jawabnya sambil mengangkat bahu.

"Tidak jelas?"

"Yeah, anak laki-laki yang mengajakmu sebelum aku? Ia merokok di gudang sekolah setiap makan siang."

Aku sedikit terkejut mendengar penjelasannya, "Kau menguntitnya?" tanyaku sambil menyipitkan kedua mataku.

Ia tersenyum hingga kedua lesung pipinya terlihat jelas. "Aku menguntitmu, Caroline."

"Kau terdengar... menakutkan."

Vincent melakukan hal di luar dugaanku, Ia tertawa sedikit keras. Seluruh ekspresi paniknya dua jam yang lalu sudah hampir menghilang. "Well, aku harus memastikan kau terus hidup jika aku ingin hidup juga."

Obrolan kami dipotong oleh waiter yang mengantar makanan, lalu kami kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, tapi aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Lagipula pikiranku masih dipenuhi oleh Alex. Apa yang dilakukannya saat ini? Apa Ia sedang mencariku?

Kami kembali melanjutkan perjalanan setelah selesai makan malam, Vincent masih menyetir dengan kecepatan yang sama. Mungkin sedikit lebih cepat. Aku tertidur setengah jam kemudian, rasa lelah dan jok mobil Paman Dante yang nyaman membuat kedua mataku terasa sangat berat.

Bab berikutnya