Kuhentikan langkahku di pinggir danau yang sudah mulai membeku lalu menarik nafasku dalam-dalam, "CARLEON! KAU MERINDUKANKU?" teriakanku memecah keheningan malam yang sebelumnya menyelimuti. Mereka sudah mengamatiku sejak tadi jadi tidak ada gunanya bermain kucing-kucingan lagi, kan?
Aku menunggu dalam keheningan selama beberapa menit lamanya sambil tersenyum ke arah kegelapan hutan yang mengelilingi danau.
"Masih vulgar seperti dulu rupanya." suara yang sudah lama tidak kudengar itu membuatku membalikkan badanku.
"Ah... wajah jelekmu masih sama seperti dulu rupanya. Apa kau tidak tahu operasi plastik sudah sangat maju sekarang?" balasku dengan nada ceria. Salah satu sudut mulutnya berkedut ke bawah. Bekas luka memanjang menghiasi wajah Carleon dari ujung alis mata kirinya hingga ke rahang, Ia terlihat seperti boneka Chucky dari Rusia... luka itu adalah hasil karya terbaikku selama aku menjadi Volder.
Jadi aku tidak heran kalau Ia sangat, sangat membenciku.
"Melihat situasimu saat ini, aku tidak akan membuka mulutku terlalu lebar jika menjadi dirimu." Ia berdiri 10 meter dariku mengenakan mantel velvet panjang berwarna biru donker yang hampir menyerupai warna hitam dan kemeja putih di balik mantelnya. Volder dari Rusia memang memiliki selera fashion yang... mewah tapi aneh di mataku. Rambut coklatnya terlihat sangat terawat dan rapi, aku tidak akan terkejut jika Ia pergi ke salon untuk merapikan rambutnya.
"Jadi kalian akan main keroyok seperti biasa, huh?" tanyaku setengah bergumam. Kurasakan beberapa Volder lain mulai bergerak ke arah kami perlahan. Dugaanku sebelumnya ternyata salah, saat ini ada dua belas Volder yang mengelilingiku dan Carleon dari beberapa titik di sekitar hutan danau. "Aku sedikit tersanjung, Carleon, apa kau tidak percaya diri berbicara denganku sendirian hingga harus mengajak teman-temanmu?"
Di luar dugaanku Ia tersenyum lebar saat mendengar pertanyaanku, gigi putihnya yang rapi terbuka lebar seperti hiu yang akan memangsa, tapi kedua matanya masih menatapku dengan dingin. "Aku sedang mempersiapkan kejutan kecil untukmu."
"Jadi kau kesini bukan karena perintah Vlad?"
Ia memandangku sekilas sebelum menatap ke arah teman-temannya yang kuyakin saat ini sudah berada di belakangku. "Vlad memang ingin berbicara padamu."
Aku tertawa tanpa humor saat mendengar balasannya. Aku yakin Vlad ingin lebih dari berbicara padaku. "Bagaimana kabarnya? Apa Ia masih mengharapkan Alice kembali?" tanyaku dengan nada santai walaupun sebenarnya aku menunggu jawaban Carleon. Nasibku bergantung pada suasana hati Vlad saat ini.
"Mengapa kau tidak bertanya padanya sendiri? Ia sedang menunggumu. Tidak ada gunanya mengulur-ulur waktu lagi, Gregory."
Sial. Kupaksa mulutku untuk membentuk senyuman kaku. "Kalau begitu tunjukkan jalannya."
***
Perjalanan dari Helsinski menuju Saint Petersburg di Rusia hanya memakan waktu satu setengah jam. Anak buah Carleon yang mengawalku membawaku menuju bandara kecil yang terletak di pinggiran Helsinski lalu menaiki jet pribadi milik keluarga Vlad. Aku sama sekali tidak memperhatikan apapun selama perjalanan, seluruh perhatianku terpusat pada rencanaku... yang saat ini tidak terdengar semeyakinkan sebelumnya.
Aku tahu apa yang Vlad sangat inginkan, dan itulah satu-satunya harapan yang kumiliki. Kuharap keinginannya belum berubah selama 70 tahun terakhir ini, karena jika iya maka hidupku akan berakhir saat aku tiba di Saint Petersburg nanti.
Bulu halus di lenganku sedikit merinding membayangkan yang terburuk jika rencanaku berantakan. Pikiranku kembali ke wajah Lana saat aku terakhir melihatnya tadi, seharusnya aku tidak meninggalkannya dengan air mata mengalir di kedua pipinya. Setidaknya... aku tidak ingin ingatan terakhirnya tentangku menjadi kenangan yang buruk.
***
Saat akhirnya pesawat ini mendarat di bandara Saint Petersburg, rasa panik yang sebelumnya kurasakan berganti menjadi teror. Aku bukan Gregory Shaw yang sama dengan Gregory Shaw tujuh puluh tahun yang lalu.
Aliran adrenalin yang kurasakan dulu saat memburu Valkyrie sekarang berubah menjadi aliran adrenalin dan insting untuk melarikan diri dari tempat ini, bukan karena aku pengecut, tapi karena ada hal yang lebih kutakutkan daripada hukuman Vlad.
Janjiku pada Lana.
Sekarang aku menyesal telah berjanji berkali-kali padanya bahwa aku akan kembali. Aku menyesal telah membuatnya menangis karenaku, jika aku tidak kembali... aku tidak bisa membayangkan apa yang akan Lana rasakan. Rasa bersalah yang sangat amat sesaat membuatku mual.
Salah satu dari Volder yang mengawalku memintaku mengikutinya turun dari pesawat lalu diikuti oleh sembilan Volder lainnya. Seperti di Finlandia, salju menutupi sebagian besar bandara ini. Saint Petersburg tidak banyak berubah selama tujuh puluh tahun terakhir, sebagian besar populasi Volder berada di tempat ini.
Jika Moskow adalah adalah Ibukota Federasi Rusia, maka Saint Petersburg adalah Ibukota Volder Rusia. Jika Vlad memutuskan untuk memberikan hukuman mati maka aku tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini. Populasi Volder di Rusia adalah yang terbesar di dunia, dan sebagian besar masih berada di bawah kendali Vlad. Tidak seperti Volder di belahan dunia lain, di Rusia mereka masih memegang kuat tradisi yang sudah ada sejak awal mula. Kasta seperti bangsawan bahkan masih berlaku di tempat ini.
Jadi singkatnya, tempat ini adalah mimpi buruk untukku.
Rombongan pengawalanku keluar melalui jalur VIP khusus langsung menuju limosin yang sudah menunggu kami. Aku sedikit terkejut saat menyadari supir limosin yang kami naiki adalah manusia. Vlad tidak pernah memperkerjakan manusia sebelumnya, Ia menganggap manusia sama seperti domba, murni sebagai sumber makanan.
"Kau butuh darah?" tanya Volder di sebelahku dengan aksen Rusia yang jelas. Terakhir kali aku minum darah adalah malam sebelumnya, hampir dua puluh empat jam yang lalu. Aku mengangguk padanya lalu tersentak saat Ia membentak, "Sergei!"
Supir di depan sedikit terlonjak saat namanya dipanggil, Ia meminggirkan limosin lalu menoleh ke belakang. Setelah beberapa saat berusaha membuka kancing lengan kemejanya, tanpa mengatakan sepatah katapun, Ia mengulurkan tangan kirinya ke arahku. Rahangku sedikit terbuka saat melihat beberapa bekas luka gigitan yang sudah menutup di pergelangan tangannya. Aku melihatnya dengan jijik lalu kulambaikan tanganku sedikit untuk menolaknya. Volder di sebelahku menatapku sambil menyeringai sinis. Dasar, Ia sengaja menawarkanku darah karena tahu aku akan menolaknya.
Walaupun semalam aku baru saja membunuh dan meminum darah manusia sampai habis, tapi hal itu berbeda dari apa yang dilakukan para Volder Rusia brengsek ini... Mereka memperlakukan manusia seperti hewan ternak.
Kualihkan pandanganku pada pemandangan di luar jendela untuk meredam rasa marahku. Kami melewati salah satu gereja ortodoks terkenal di kota ini, Church of the Savior on Blood atau gereja Juruselamat dalam ceceran darah. Bukan hanya namanya yang membuatku bergidik tapi sejarah dibaliknya juga.
Tragedi yang terjadi hampir hampir dua ratus tahun yang lalu itu masih menjadi salah satu sejarah besar bangsa Volder. Darah manusia mengalir di setiap sudut kota ini karena pembantaian besar-besaran, butuh beberapa tahun untuk menghilangkannya dari ingatan manusia.
Tentu saja Volder-Volder Rusia itu tidak menghilangkannya hanya dengan menghapus pikiran, mereka membunuh semua saksi tragedi saat itu. Bayi dan anak-anak pun tidak luput dari pembantaian, tidak ada yang tersisa selain mayat yang tergeletak di sepanjang jalanan kota Saint Petersburg. Tentu saja saat ini manusia mengingat sejarah yang berbeda dari tragedi yang sebenarnya.
Mereka hanya mengingat gereja ortodoks ini dibangun sebagai memorial Tsar Alexander yang terluka parah karena bom anarkis lalu meninggal beberapa jam setelahnya. Satu-satunya hal yang sesuai dengan fakta sebenarnya hanya Tsar Alexander memang mati di Saint Petersburg saat itu.
Ia lah sumber yang memulai pembantaian besar-besaran hari itu, Vlad sendiri yang membunuh sang Tsar... dengan menusuk tubuhnya hidup-hidup di tombak lalu menampilkannya di alun-alun kota. Orang bodoh pun tahu Tsar tidak memiliki banyak peluang melawan Vlad the Impaler.
Dan aku, Gregory Shaw, adalah orang yang lebih bodoh karena memancing perhatian Vlad.
Saint Petersburg memiliki banyak kastil kuno yang megah dan yang ditempati Vlad sejak dulu masih sama, Kastil Mikhailovsky. Kastil yang juga memiliki fungsi sebagai benteng ini dibangun tahun 1801, sekarang salah satu bagian terkecilnya digunakan sebagai museum yang dibuka untuk umum selama beberapa hari dalam seminggu. Vlad tinggal di bagian terdalam kastil tersebut, dan ke tempat itulah tujuan kami saat ini.