Entah bagaimana caranya kami berhasil melewati makan malam bersama Greg dan Lana. Setelah aku memberitahunya tentang kehamilanku Nick terdiam cukup lama, Ia bahkan tidak memandangku lagi setelah itu. Selama beberapa saat aku yakin Ia akan meninggalkanku. Aku tahu aku mengulur waktu terlalu lama untuk memberitahunya tapi tetap saja sebagaimana pun aku berusaha mempersiapkan diriku, respon Nick tetap terasa sangat menyakitkan.
Aku tidak ingat berapa lama aku berdiri memandang punggungnya hingga akhirnya tiba-tiba Ia berdiri dan menggumam kami akan terlambat untuk makan malam jika tidak segera berangkat. Makan malam bersama Greg dan Lana adalah hal terakhir yang berada di dalam pikiranku, tapi aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun untuk menolaknya.
Nick tidak mengacuhkanku tapi Ia hampir tidak pernah memandangku selama makan malam. Saat Greg menuangkan Wine untukku Nick menukarnya dengan segelas air putih tanpa mengucapkan sepatah katapun, Greg hanya mengerutkan keningnya sedikit saat melihat sikap Nick. Mereka berdua masih saling bersikap dingin. Satu-satunya yang menyelamatkanku malam itu adalah Lana, Ia membuat pikiranku teralihkan sejenak dengan obrolan kami.
Perjalanan pulang menjadi siksaan tersendiri untukku, atau mungkin untuk kami berdua.
Nick tidak berbicara padaku sama sekali hingga kami berada di penthouse lalu Ia masuk ke dalam ruang kerja pribadinya dan mengurung dirinya semalaman. Aku tidak tahu berapa lama aku menunggunya, bergelung di atas tempat tidur kami hingga akhirnya aku menyerah dan mematikan lampu. Saat aku hampir tertidur samar-samar aku bisa mendengar suara langkah Nick yang masuk ke dalam kamar, aku tidak membuka mataku atau membalikkan badanku ke arahnya. Ia bergabung di sebelahku tanpa bersuara sedikitpun, tiba-tiba salah satu tangannya menarikku ke dalam pelukannya hingga punggungku kini menempel ke dadanya. Nick membenamkan wajahnya di rambutku sambil bergumam. Kugigit bibirku untuk menahan perasaan yang tiba-tiba menyelimutiku, aku bisa merasakan tangannya yang hangat berada di perutku seakan-akan Ia berusaha merasakan bayi ini.
Saat aku terbangun Nick sudah menghilang dari sampingku. Matahari sudah bersinar terang dari balik tirai dan jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. "Sial, aku tertidur." Gumamku sambil turun dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi. Rasa laparku kembali lagi tapi aku tahu Nick sedang bekerja saat ini dan aku tidak ingin mengganggunya.
Langkahku menuju ruang tengah terhenti saat mendengar suara feminim berbicara dari dapur, apa Nick belum bekerja? Kuikuti sumber suara itu lalu berhenti saat melihat sepasang mata berwarna biru keabu-abuan yang menatapku. Alice tersenyum kecil saat melihatku lalu mengambil sesuatu dari dalam lemari sambil meneruskan obrolannya dengan Erik. Aku tersenyum pada mereka berdua lalu mengambil tempat duduk di sebelah Erik, seperti biasa pagi ini Ia terlihat rapi.
"Halo, Eleanor." Sapa Alice dengan suaranya yang sedikit dingin sebelum menyodorkan segelas darah padaku, tanpa harus mengeceknya aku tahu darah yang berada di dalam gelas itu adalah darah Nick. Kukerutkan keningku sedikit saat menerimanya. "Aku tidak pernah menyangka akan melihat seorang Volder selevel Nicholas memompa darahnya ke dalam botol." Katanya lagi dengan senyuman lebih lebar, aksen Rusianya yang kental masih terdengar.
Kuminum darah di gelasku untuk menghindari menjawab pertanyaannya. Dari sebelahku tiba-tiba Erik berdiri. "Kau akan kembali sekarang?" tanya Alice lalu mengalihkan perhatiannya padaku lagi, "Nicholas meminta Eirik untuk melapor saat kau sudah bangun." Salah satu sudut mulutnya berkedut saat mengatakan ini, aku tidak tahu mengapa Alice menganggap ini lucu.
"Selamat pagi, Miss Heather." Gumam Erik sebelum pergi. Aku membalasnya lalu memandangnya hingga menghilang dari balik pintu. "Apa Ia selalu seperti itu?"
Alice menggeleng, "Hanya saat bekerja saja, Eirik sangat serius dengan pekerjaannya." Jawabnya sambil memutar kedua matanya sedikit. Aku mulai menyukai Alice, sebelum ini Ia bersikap lebih dingin padaku. "Jadi kapan bayinya akan lahir?"
Pertanyaannya yang tiba-tiba membuatku tersedak, kuletakkan gelasku yang kosong di atas counter lalu mengelap mulutku dengan punggung tanganku. Alice manatapku dengan ekspresi datar, salah satu tangannya menyelipkan sejumput rambut keemasannya ke balik telinganya. Apa aku pernah mengatakan bahwa Alice sangat cantik?
"Bagaimana... Apa Nick yang memberitahumu?" Aku tidak tahu Nick akan memberitahu seseorang secepat ini.
"Tidak. Tapi penciumanku cukup sensitif dan Nicholas mau bersusah payah memompa darahnya untukmu. Dua hal itu cukup menjadi petunjuk."
Nick pernah mengatakan padaku bahwa Alice adalah Valkyrie, kurasa Ia setingkat lebih kuat daripada Volder. "Aku tidak yakin." Gumamku, "Mungkin 9 bulan lagi."
Alice berkedip sekilas saat mendengar jawabanku, "Eleanor... Volder tidak mengandung selama itu."
"Apa?" kali ini giliranku yang menjadi bingung.
"Volder hanya mengandung selama 45 hari. Mereka berbeda dari manusia biasa, Nicholas belum memberitahumu tentang ini?"
Penjelasan Alice terasa seperti siraman air es untukku. Tanpa kusadari tanganku bergerak untuk mengusap perutku, 45 hari? Rasa panik mulai menyusupiku. Gundukan kecil di perutku mulai terasa sejak beberapa hari yang lalu tapi aku mengira hal itu karena terlalu banyak darah yang kuminum. "B-bagaimana dengan bayinya? Apa mereka akan lahir dengan... normal?"
Normal bukan kata yang tepat untuk pertanyaanku.
Kedua mata Alice sedikit melembut sebelum menjawabku, "Bayinya akan lahir sama seperti ayahnya, Volder."
Setelah beberapa minggu menjadi Leech aku baru menyadari bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Volder. Sudah berapa hari aku hamil? Kupaksa otakku untuk berpikir lebih keras, lima hari? Aku mengetahui kehamilan ini saat bertemu dengan Alastair. Mungkin lebih?
"Ada apa, Eleanor? Kau terlihat pucat."
"Apa... apa Nick mengatakan sesuatu padamu pagi ini?" Aku belum bertemu dengannya sama sekali pagi ini, Ia sudah meninggalkanku sebelum aku bangun. Hingga saat ini aku tidak tahu apa perasaan Nick yang sebenarnya tentang kehamilanku, Ia menjauh saat aku memberi tahunya semalam tapi Ia memelukku dengan erat saat tidur.
"Tidak. Ia hanya memintaku menemanimu." Alice menatapku lekat-lekat, "Ada apa?"
Kubalas pandangannya dengan ragu, aku berharap bisa berbicara dengan Greg langsung saat ini. Alice menatapku dengan ekspresi tenangnya, kedua mata biru keabu-abuannya yang cantik sedikit membesar saat menatapku, menunggu jawabanku. "Kurasa Nick tidak menyukai keadaanku saat ini."
"Tentu saja." Jawaban Alice membuatku terkejut. "Katakan padaku, apa Ia sudah membunuh Alastair? Ia tidak pernah mau menjawabnya saat aku bertanya."
Alastair? Apa hubungannya Alastair dengan ini semua? "Tidak... belum." Jawabku.
Alice menarik kedua sudut mulutnya ke bawah sedikit lalu menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia sebelum akhirnya mengakatakan padaku, "Tentu saja. Hal itu akan menjadi masalah saat bayinya lahir nanti."
"Apa maksudmu? Apa hubungannya Alastair dengan semua ini?"
"Seharusnya bukan aku yang menjelaskan ini padamu." Alice melirik ke arah pintu utama penthouse sejenak, "Tapi Nicholas tidak akan memberitahunya padamu, si bodoh itu bahkan tidak memberitahumu tentang masa kehamilan untuk Volder." Ia berjalan ke sebelahku lalu mengambil tempat duduk, dari jarak sedekat ini aku bisa mencium bau peach dan sedikit mawar darinya. Nick pernah memberitahuku tentang unsur Valkyrie Alice yang menjadi kelemahannya juga, bahwa Alice tidak bisa jatuh cinta. Aku bertanya-tanya jika hal itulah yang membuat penampilannya terlihat dingin.
"Memiliki keturunan sangat sulit bagi Volder, kadang seseorang harus mencobanya beberapa kali dengan pasangan yang berbeda. Biasanya tujuan Volder mengambil Leech adalah untuk memiliki keturunan." Alice berhenti sejenak. "Dan itu adalah alasan mengapa Nicholas sangat ingin membunuh Alastair."
Tapi... "Alastair mengubahku bukan karena Ia ingin memiliki keturunan."
"Aku tahu. Tapi Nicholas melihatnya dengan pandangan yang berbeda, sampai kapanpun Ia akan memandang Alastair sebagai ancaman." Alice tersenyum miris saat melihat ekspresi di wajahku. "Dan bukan hanya itu, Eleanor, Leech adalah properti milik Volder yang mengubahnya. Mereka akan terikat hingga salah satunya mati. Singkatnya, darah dan kekuatan Alastair lebih dominan di dalam dirimu daripada Nicholas sampai kapan pun juga."
"Apa yang akan terjadi jika Nick membunuh Alastair?"
"Jika Ia membunuh Alastair? Klannya akan membalasnya, tentu saja. Klan Alastair adalah salah satu klan tertua, aku tidak ingin membuatmu panik tapi tidak peduli seberapa kuat Nicholas Ia tidak akan memiliki kesempatan untuk... menghindarinya. Ada satu hal lagi yang harus dipertimbangkan Nicholas sebelum membunuh Alastair, bayimu. Bagaimana pun juga Ia akan memiliki ikatan dengan Alastair, dan jika Nicholas membunuh Alastair... bayi kalian akan menjadi milik klan itu."
Aku dapat merasakan seluruh darah di wajahku menguap. "Milik klan itu?"
"Hukum di dunia Volder berbeda dari hukum manusia, Eleanor. Jika Nicholas mati, wali anak kalian tidak akan jatuh padamu atau Gregory tapi ke Volder yang mengubahmu, Alastair. Jika Alastair juga mati makan wali bayi itu adalah klannya."
Sekarang aku mengerti apa arti diam Nick saat Ia mengetahui kehamilanku. Kubenamkan wajahku di kedua tanganku.
"Nicholas tidak memiliki pilihan. Jika Ia membunuh Alastair, anak kalian akan menjadi milik klan. Sedangkan jika Alastair tetap hidup... Anak ini akan memiliki ikatan yang kuat dengan Alastair."
"Apa maksud ikatan yang kau bicarakan?" tanyaku dengan suara tercekat.
"Ikatan darah, dan tentu saja kekuatan Alastair akan turun padanya. Eleanor, darah Alastair akan mengalir juga di tubuh anakmu, bahkan lebih kuat dari darah ayahnya."
***
Langit yang mendung membuat suasana hatiku semakin buruk. Alice sudah pergi beberapa jam yang lalu, pembicaraan kami masih terulang-ulang di dalam kepalaku sejak tadi. Setelah Alice pergi, Erik kembali lagi sambil membawa makan siangku. Sebotol darah Nick. Saat aku bertanya apa Nick ada di kantornya, Ia hanya menjawabku dengan sikap formal 'Mr. Shaw tidak ada di tempat.' lalu pergi ke dapur bersama laptopnya dan tidak muncul lagi hingga sekarang.
Kuhela nafasku sambil merebahkan tubuhku di sofa, rintik hujan perlahan mulai turun di bawah langit yang mendung. Tanganku mengelus gundukan kecil di perutku. Aku ingin memberitahu Lana tapi aku tidak tahu apa hal itu tepat. Lagipula saat ini orang yang paling ingin kuajak bicara adalah Nick. Aku ingin bertanya mengapa Ia menyembunyikan masalah ini dariku dan menanggung semuanya sendirian...
Suara hujan perlahan mengantarku ke dalam tidur.
Saat aku terbangun ruangan ini sudah gelap, begitu juga langit di luar. Satu-satunya cahaya hanya dari lampu taman kecil di luar. Kukerjapkan kedua mataku untuk mengusir rasa kantuk yang masih menyelimutiku, berapa jam aku tertidur? Sebuah selimut tebal membungkus tubuhku, kuangkat tubuhku sedikit saat kusadari seseorang sedang duduk di sofa seberangku. Siluet Nick sedang menatapku. Aku tidak bisa melihat sebagian wajahnya yang tertutup bayangan gelap, hanya siluet setengah wajahnya ke bawah. Nick masih mengenakan pakaian kerjanya.
"Nick?" panggilku dengan suara bangun tidurku. Ia tidak bergerak dari tempatnya sama sekali saat aku memanggilnya. Setelah jeda keheningan yang cukup lama akhirnya Ia menjawabku, "Apa aku membangunkanmu?"
Sikap diamnya membuatku sedikit takut. Aku tidak menyukai sisi Nick yang ini, yang terlalu jauh dariku. Kutarik selimutku tanpa menjawabnya lalu berdiri dari sofa, wajahnya masih tertutup bayangan gelap hingga aku tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. Kubiarkan selimut itu jatuh di kakiku saat aku berjalan untuk menyalakan lampu, sinar lampu membanjiri ruangan ini seketika tapi hal yang membuatku terhenyak adalah Nick. Ia terlihat berantakan. Rambut coklatnya yang biasanya rapi kini sudah berantakan seakan-akan ia mengacak-acaknya berkali-kali. Dan kedua matanya memandangku dengan ekspresi lelah. Aku hanya bisa berdiri terpaku di tempatku. Melihatnya seperti ini membuat hatiku hancur. Sekali lagi, Nick terasa sangat jauh dariku walaupun jarak kami saat ini hanya beberapa meter.
Tiba-tiba Ia mengulurkan tangan kanannya padaku, "Kau belum makan malam, Eleanor."
Kakiku melangkah ke arahnya hingga berhenti tepat di depannya. Tanganku menangkup wajahnya lalu Ia tersenyum kecil, "Kau terlihat sangat cantik hingga sesaat aku melupakan segalanya." Kedua mata birunya melembut saat Ia mengatakan hal itu. Kugigit bagian dalam pipiku lalu dengan suara tercekat kubisikkan satu-satunya kalimat yang ada di pikiranku saat ini. "Aku mencintaimu, Nick."
"Aku tahu." Jawabnya sambil menarikku ke dalam pangkuannya, Ia membenamkan wajahnya di leherku lalu menarik nafasnya dalam-dalam. "Aku tahu, Eleanor." Ulangnya tanpa mengangkat wajahnya. Kami berada di posisi itu selama beberapa saat, aku bisa mendengar detak jantung kami di tengah keheningan ini. "Kau tidak perlu menanggung semuanya sendirian, Nick." Kataku perlahan.
Nick menarik dirinya menjauh dariku, sebuah senyuman dingin menghiasi wajahnya. "Alice memberitahumu."
"Kau tidak ingin memberitahuku." Jawabku dengan sedikit perasaan terluka. "Alastair—"
"Jangan pernah menyebut namanya." Potongnya, kedua matanya sedikit menggelap saat aku menyebut nama Alastair.
"Ia tidak berbahaya, Nick. Tidak bisakah kau melupakan apa yang diperbuatnya? Untukku?" tanyaku dengan sedikit rasa frustasi. Aku tidak keberatan menjadi Leech Alastair selama Nick berada disisiku.
"Aku tidak ingin membicarakannya, Eleanor." Nick menarik dirinya lagi.
"Kalau begitu sebaiknya kita mengakhiri semuanya disini." Balasku dengan suara tercekat. Sebelum aku sempat berdiri kedua tangan Nick mencegahku, Ia menatapku dengan ekspresi tenangnya. "Kau pikir kau bisa meninggalkanku begitu saja saat kau sedang mengandung anakku?" Pertanyaannya terdengar lembut tapi ada sedikit nada berbahaya di dalamnya.
"Aku tidak bisa berada di sisimu dan membiarkan bayi ini hidup dalam bahaya." Jawabku sambil menarik tanganku dari genggamannya.
"Lalu kau akan meninggalkanku?"
"Aku tidak memiliki pilihan." Jawabku tanpa mengalihkan pandanganku darinya.
"Kau memilikinya." Jawabnya setengah berbisik. "Kau bisa berada disisiku dan melindungi bayi ini bersamaku. Kau tidak perlu berlari lagi..."