Do memandang jari telunjuk Thomas yang mengarah ke arah rumah itu, ia memegang tangan Thomas, mata besarnya itu menyipit, ia tersenyum kecil.
Thomas menggaruk rambutnya dengan mata yang memandang Do dengan penasaran, sedangkan Morgan, dia sudah memejamkan matanya.
"Dia putri salju." Do berucap dengan pelan, tangannya yang kecil itu bergerak memisahkan buah arbei dari daunnya dan memasukkannya ke keranjang di hadapan Thomas. Buah arbei berwarna merah itu terlihat sangat menggiurkan.
"Bagaimana kamu tahu tentang dia?" Do bertanya sambil menatap heran Thomas, sedangkan Thomas mengangguk-angguk dan memainkan jari-jarinya, ingatan masa kecilnya kembali melintas di benaknya, Ratu Dwizella punya kebiasaan yang sama seperti ibu rumah tangga pada umumnya, ketika menjelang tidur sang ratu dengan senang hati membacakan cerita pengantar tidur untuk putra dan putrinya.
"Ibuku pernah bilang, mereka ada di suatu tempat yang tidak bisa aku jangkau, namun aku tidak menyangka bertemu salah satu dari putri legenda itu sekarang."
Morgan yang sedari tadi memejamkan matanya terbangun, menatap Thomas yang tangannya dipegang oleh Do.
"Mereka?" Tanya Morgan bingung.
Thomas menoleh ke arah Morgan dan mencibir. "Kau tidak tahu tentang dongeng tujuh putri legenda?"
Dongeng tujuh putri legenda adalah salah satu dongeng yang paling banyak diceritakan oleh manusia dari mulut ke mulut di kerajaan Megalima, cerita para putri yang berjuang menemukan cinta sejati, hidup bahagia di kastil indah dan memiliki keajaiban di sekeliling mereka.
Tapi mengapa Thomas menemukan Putri Salju tinggal di desa kurcaci? Di mana sang pangeran? Bukankan seharusnya sang putri memakan apel yang diberi racun oleh ratu jahat yang iri dengan kecantikannya, lalu seorang pangeran datang dan menciumnya, mereka hidup bahagia di kastil di akhir cerita.
Morgan mengendikkan bahunya, ia lalu membuang muka dan kembali memejamkan matanya dengan tenang. Sejak kecil ia paling tidak suka mendengar dongeng tentang cinta atau hal-hal semacam itu, ia pikir itu hanya pantas diceritakan untuk anak perempuan saja. Sa yang sedari tadi rebahan mendekat ke arah Thomas, duduk dan menatap bocah itu lekat-lekat.
"Wajar dia tidak tahu," ucap Do sambil terkekeh, topi merahnya itu bergoyang-goyang mengikuti kepalanya. "Kami memang tidak seharusnya dilihat kalian."
"Apa maksudnya?"
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi seharusnya kalian tidak bisa masuk ke desa kami begitu saja." Mi yang duduk dekat Morgan tiba-tiba bicara, menatap Thomas lurus dari balik kacamata bundarnya, kakinya berselonjor ke depan.
Thomas memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Putri menangkal desa kami dengan sihir agar tidak terlihat oleh siapa pun di luar. Tapi mengapa kamu bisa masuk?"
Thomas hanya mengedip-ngedipkan matanya, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku tidak mengerti."
Mi mendengus, kacamatanya melorot ke hidungnya, ia menunjuk ke langit, tampak langit itu tidak berwarna biru, melainkan ada cahaya merah muda tipis yang melingkari desa, membentuk sebuah kubah.
"Penyihir putih datang beberapa bulan yang lalu …" Mi kembali berucap sambil menghela napas panjang. "Dia mengacaukan alur dongeng itu, pangeran terbunuh tepat di hari pernikahannya, Putri Salju marah dan menyembunyikan desa ini agar tidak terlihat oleh ras manapun, bahkan oleh penyihir putih."
"Kenapa dia melakukan itu?" Thomas mengerutkan keningnya, ia tidak meyangka penyihir putih akan mencampuri urusan para putri legenda, ia tidak bisa membaca kemana jalan pikiran penyihir putih, membingungkan.
"Aku tidak tahu, mungkin dia tahu," ucap Mi sambil melirik rumah Putri Salju, Do mendekat ke arah Thomas dan memegang bahunya.
"Sekarang bisa kau jelaskan kenapa kalian bisa menembus pelindung yang dibuat Putri Salju?"
Morgan tidak bergerak, ia tetap pada posisinya, tidak terganggu sama sekali dengan obrolan Thomas dan para kurcaci itu, ia hanya mendengarkannya dengan seksama.
"Aku tidak tahu. Mungkin karena aku pangeran?" Ia menunjuk dirinya sendiri dengan senyuman lebar.
Mi memutar bola matanya, kabar tentang runtuhnya pemerintahan Ratu Dwizella tentu saja sampai ke segala penjuru wilayah Kerajaan Megalima, ia tahu jika di depannya ini adalah seorang Thomas Phyla, pangeran yang terbuang dari tahta, dikutuk oleh kutukan mengerikan penyihir yang tidak beradab, penyihir putih.
Do hanya terkekeh, diam-diam ia menatap miris Thomas, rambutnya sudah memutih dan kulitnya yang hampir sewarna kulit mayat, tinggal berapa lama lagi waktu yang pangeran ini miliki? Mengapa ia tidak menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan dirinya untuk terakhir kalinya, tapi malah berjalan-jalan mempersingkat masa hidupnya.
"Belati itu," ujar Morgan sambil menegakkan tubuhnya, Sa yang di dekatnya kembali naik ke punggungnya dengan antusias.
Thomas mengambil jarum perak yang ada di sakunya, ketika ia memegangnya dalam sekejap membesar seukuran belati, Morgan menyipitkan matanya, ia mendengus.
Sejak dulu ia tahu, kelemahan manusia serigala adalah perak, awalnya ia pikir itu hanya berlaku untuknya, tetapi pada kenyataannya hampir semua ras takut dengan keberadaan perak, hanya manusia yang tidak merasakan efek mengerikan itu, oleh karena itu keberadaan perak hampir tidak ditemukan di kerajaan Megalima atas titah Ratu Dwizella.
Dan sekarang pangeran terbuang itu memilikinya, entah dapat darimana. Ia harus mewaspadai itu sebelum senjata itu membesar dan menjadi ancaman untuk makhluk immortal seperti dirinya.
"Belati perak?" Do membelalakkan matanya, ia mendongak dan menjauhkan tubuhnya, takut senjata itu menyentuh tubuhnya.
Mi membenarkan letak kacamata di hidungnya, ia menatap belati itu lekat, lalu mengangguk seolah memahami sesuatu.
"Belati itu yang menangkal sihirnya." Mi berucap dengan nada dingin, Thomas memandangi belati itu dan membolak-balik senjata itu sambil bergumam kecil.
Morgan dan Mi bertatapan sebentar, lalu mereka diam. Belati perak itu kembali mengecil seukuran jarum, Thomas dengan hati-hati memasukkannya ke dalam tabung kecil dan kembali memasukkannya ke dalam saku bajunya, ia menatap langit yang dipendari kubah merah muda milik Putri Salju. Ia menghela napas lelah, sebenarnya apa yang penyihir putih rencanakan?
***
Iris merasakan kepalanya serasa dihantam palu yang sangat besar, berdenyut nyeri dan pandangannya terasa berputar-putar, telinganya berdengung dan terasa sangat panas, dadanya terasa sesak, ia menarik selimut dan duduk dengan rambut yang basah oleh keringat.
"Seharusnya jangan langsung duduk," ucap Putri Salju sambil mengupas apel di samping ranjang, Iris menoleh dengan pandangan bingung.
"Kepalamu akan terasa sangat sakit," lanjutnya lagi, Iris tersentak dan memegangi kepalanya, ia langsung kembali merebahkan dirinya ke ranjang, meringis kesakitan.
"Itu adalah efek dari penyihir hitam." Putri Salju seolah tak terganggu oleh ringisan Iris, ia tetap mengupas apel di tangannya, wajahnya cantiknya itu tenang.
"Kau siapa? Aku di mana?" Iris bertanya dengan susah payah, dadanya masih sesak.
"Mereka menyebutku Putri Salju," ucapnya sambil tersenyum, lalu meletakkan kupasan apel di nakas samping tempat tidur.
"Aku bahkan tidak tahu, apa aku benar-benar seorang putri?"